Jumat, 07 Juni 2013
Teodisi Fakhruddin Razi
''Bila engkau menemukan perbedaan antara akal dengan wahyu, maka pilihlah akal.''. Pernyataan ini membuat Razi menjadi pemikir yang sangat kontrofersial pada masanya hingga kini. Filosof yang lahir di Rayy, Persia ini memang sangat menyadari akan pentingnya peranan akal. Dia menerangkan empat tingkatan akal yakni ala;hayyulaniyah, yaitu akal yang belum terisi oleh pengetahuan apapun. Akal ini siap diisi dengan pengetahuan. Akal ini milik bayi dan anak-anak. Kedua adalah akal malakah, yakni kerja akal merumuskan atau menyusun pengetahuan-pengetahuan yang didapatkan. Penyusunan ini berbeda pada masing-masing orang, selain karena berbedanya pengetahuan yang didapat, perbedaan lainnya karena potensi dan intensi setiap orang berbeda. Selanjutnya adalah akal fa'il, yakni kemampuan mereproduksi pengetahuan. Dan akal mustafad, yakni akal keempat atau terakhir 'Akal ini mampu menangkap pengetahuan tanpa melalui tangkapan indrawi dan dapat mengaktualisasikan pengetahuan secara jelas dan tepat.'' (Dr. teuku Safir Iskandar, MA, Falsafah Kalam: Kajian teodisi Filsafat Teologis Fakhr al-Dil al-Razi, Lhokseumawe, Nadiya Foundation, 2003, h. 69-70). Terkait dengan alam dan makhluk lain, akal terakhir ini tampaknya melihatnya sebagai wujud yang eksistensinya bergantung secara mutlak kepada Allah.
Menurut Razi, Allah memberi kewajiban kepada seseorang menurut kemampuan akalnya (ibid, h. 78). Mengenai sifat akal, maka kecenderungan murninya adalah beribadah dan menjaukan yang buruh. Tetapi mengenai teknis pelaksanaan ibadah dan hal-hal yang perlu ditinggalkan, tidak semua akal dapat mengetahinya, hanya akal Rasul saja yang mampu. Saya sendiri tidak sepakat dengan pikiran yang mengatakan ibadah adalah bentuk terimakasih manusia kepada Allah. Istilah itu sangat parsialistik, seolah ada jarak yang sangat jauh antara manusia dengan Allah, seolah Allah butuh pada ibadah kita, atau setidaknya terkesan Allah akan merajuk bila kita tidak berterimakasih.
Saya sendiri tidak akal ambil pusing mengenai dua hal yang bertolak belakang, maksudnya adalah antara kodra dat kehendak bebas manusia. Manusia telah ada posisi masing-masing dihadapan Allah. Sekalipun secara lahiriyah baik, atau sebaliknya, tetapi yang penting hati seseorang itu. Dan tentunya Razi sendiri sepakat dengan ini ketika dia, misalnya, mengatakan bahwa boleh jadi seseorang dalam kondisi tertentu seperti dalam keterpaksaan melakukan tindakan melanggar syariat tetapi hatinya tidak menginginkan. Demikian pula sebaliknya kalau ada yang sangat patuh pada syariat tetapi perbuatannya beralas keterpaksaan dan ketidakiklasan.
Pada satu sisi Razi berpendapat akal dapat mengenal kebaikan dan keburukan sekalipun belum ada wahyu. Pada sisi lain Razi juga mengatakan syariat perlu bernegosiasi dengan akal. Kedua pendangan ini tampak bagaimana dalam pandangan Razi betapa syariat yang berlandas wahyu dan sunnah Nabi yang juga identik dengan wahyu. Maka saya mengira perlu diberikan kategori akal dalam hal ini. Akal yang mampu membedakan kebaikan dan keburukan sekalipun wahyu tidak ada adalah akal murni, yakni seperti 'nurani' dalam terminologi Melayu. Sementara akal yang perlu mengkondisikan diri antara realitas dengan wahyu yakni akal praktis atau akal aktual. Akal praktis, sekalipun dapat menentukan sesuatu yang tidak sejalan dengan syariat dengan syariat, tetapi tidaklah lebih tinggi daripada syariat. Dan wahyu sendiri tentunya jauh lebih tinggi daripada akal praktis itu. Syariat sebagai bagian daripada wahyu, sementara akal praktis adalah bagian dari akal murni atau nurani karena nurani manusia dan wahyu adalah tajalli dari Wujud Mutlak.
Walau bagaimanapun saya melihat ajaran Razi adalah ajaran yang benar karena dia mengakui bahwa sebagian dari wahyu yakni syariat adalah hal yang tidak dapat ditemikan sendiri oleh akal (praktis) sehingga fungsi wahyu (terutama terkait syariat) adalah sebagai informasi (bukan konfirmasi) sehingga ini adalah pengakuan Razi bahwa syariat lebih unggul dari akal. Mengenai persoalan secara teknis sering terjadi perbedaan antara kodisi lapangan dengan syariat, maka yang melakukan ijtihad atau penyesuaian adalah akal praktis. Dan akal praktis ini seharusnya difungsikan untuk mengupayakan supaya syariat dapat dijalankan, bukan malah dugunakan sebagai alat menciptakan kondisi dan argumentasi supaya syariat tidak dilaksanakan.
Dalam pemikiran teologi, secara umum pemikiran Razi mirip pemikiran Asy'ariyyah, misalnya dalam pembahasan antara zat dengan sifat Tuhan. Razi berpendapat sifat tidaklah dipahami sebagai sifat. Asy'arriyah juga mengakui zat berbeda dengan sifat. Tetapi Asy'ariyah mengatakan selain zat bukanlah Dia. Sementara Razi mengakui sifat itu berada pada zat.
Berikut tiga perbandingan. 1. Razi:innahu 'alimun wa lahu 'ilmu, 2. Asy'ariyah: innahu 'alimun bi'ilmihi wa 'ilmuhu sifatihi, 3. Mu'tazilah, innahu 'alimun bi 'ilmihi wa ilmihi zatihi. Perlu titegaskan kembali bahwa, sebagaimana pendapat Ay'ariyyah, bahwa zat berbeda dengan sifat, adalah argumen yang perlu dipertimbangkan. Pentingnya ini adalah untuk memutuskan apakah Razi lebih dekat dengan Asy'ariyah atau mu'tazilah. Sebab menurut saya, bila argumen Asy'ariyah ini benar, maka benarlah pernyataan Teuku Safir bahwa Razi memang dekat dengan Asy'ariyah. Tetapi bila meleset maka tampaknya Razi lebih dekat ke Mu'tazilah. Saya sendiri dalam hal ini insya' Allah nyaman dengan Mu'tazilah. Dan ini juga sejalan dengan pandangan Hamzah Fansuri. Saya ingin berpendapat bahwa sifat bagi Dzat Allah adalah atribut pengenalan saja bagi makhluknya, atau lebih khusus kepada manusia. Saya sendiri melihat Razi lebih mirip dengan Mu'tazilah daripada Asy'ariyah secara makna. Secara teks (permukaan), memang terlihat tokoh kita ini mirip Asy'ariyah.
Wacana tentang sifat dan zat Allah sering menyeret orang ke arah antropomorsentris. Padahal Allah adalah negasi daripada segala bentuk. Dia bebas dari ruang dan waktu. Allah memperkenalkan diriNya kepada manusia yang terbatas melalui simbol-simbol yang dapat dipahami oleh manusia. Misalnya tangan, wajah, tahta dan lainnya. Rujukan semantik dari simbol itu adalah hal-hal yang dapat dipahami manusia. Namun karena sifatnya adalah analogi, maka maknanya bukanlah quiditas rujukan. Rujukan hanya dijadikan permisalan untuk memudahkan pemahaman pikiran manusia yang hanya mampu mencerap bentuk dan warna. Dengan ini jelaslah bahwa sifat-sifat Allah adalah hal yang dimunculkan sebagai analogi pengkenalan Allah kepada manusia karena manusia yang terbatas tidak dapat mengenal hakikat zatnya.
Dalam perbincangan tentang aktualitar teodisi teologis, Teuku Safir Iskandar menerangkan perdebatan tentang tindakan manusia yang apakah dianya adalah atas kendali mutlak dari Tuhan ataukah manusia sendiri memiliki kebebasan dalam tindakannya. Perdebatan ini mengarah pada kemampuan dan keinginan manusia untuk melaksanakan suatu tindakan. Menurut saya, mengenai kemampuan adalah hal yang tidak perlu dibincangkan karena orang yang tidak memiliki kemampuan mustahil akan melaksanakan suatu tindakan. Terkait tentang keinginan, seseorang yang tidak mampu pasti tidak akan menginginkan.
Saya sendiri menganggap persoalan ini adalah hal yang kurang penting sekalipun ini adalah persoalan inti dalam kajian teodisi. Karena saya melihat segala perbutan manusia, baik itu baik maupun buruk adalah hal yang sangat terbatas, sangat relatif. Sekalipun seseorang melakukan perbuatan buruk, tetapi bila takdir Allah dia di sisiNya, maka baiklah nasibnya. Demikian pula kebalikannya. Persoalannya adalah bila orang yang jauh dari Allah menemukan argumentasi seperti ini, maka dia akan memberikan alasan pembenaran bagi perbuatan buruknya. Dan orang yang mencari pembenaran seperti ini tentulah orang buruk. Sebab bagi orang baik, sekalipun dia memahami argumentasi ini, dia tetap akan meninggalkan yang buruk dan melaksanakan yang baik sebab dia beramal dengan iklash, rela dan tulus karena Allah.
Mengenai perdebatan panjang para teolog tentang dugaan bahwa semua perbuatan manusia dikendalikan Allah ternasuk maksiat perlu kiranya sedikit ditanggapi. Ada yang menduga bahwa Allah juga yang menggerakkan manusia untuk bermaksiat padahal allah Maha Baik. Setiap perbuatan buruk bukanlah dikendalikan oleh Allah. Perbuatan buruk adalah perbuatanyang dilakukan oleh orang yang tidak dipandang di sis Allah, yakni dia bukan tajalli Allah. Orang demikian berbuat baik atau buruk tidak dihitung di sisi Allah karena dia tidak menyandang Nur Allah. Hal ini berbeda dengan orang yang menyandang sifat Allah sebagaimana para rasul dan auliya. Mereka adalah cermin zat dengan menyandang sifat dari tajalli zat. Perhatikan penggalan tahiyat akhir shalat: ''Salam atasmu hai Nabi, dan Rahmat dan Barakat Allah. Salam atas kami dan abdi-abdi Allah yang saleh.'' orang shalat (yang benar-benar shalat), orang shaleh, sebagaimana Nabi adalah orang yang memperoleh anugerah sifat Allah. Karena dalam pandangan kami sifat zat yang diperkenalkan kepda makhluk yang terbatas, karena pada hakikat hanya ada zat, maka Nabi dan orang saleh adalah tajalli atau bayangan zat atau sering disebut sifat zat. Mereka dalam bertindak, dalam secuil amal baiknya, sebagaimana sebuah kata dengan makna rujukannya (reference), langsung menuju Allah. Amal baik orang suci langsung menuju Allah karena antara dia dengan Allah tidak memiliki spasi. Bahkan tindakan mereka adalah zat yang tampin dalam bentuk sifat. Sementara amal buruk tidak akan berpengaruh apa-apa karena amal buruk itu umpama kata yang tidak memiliki rujukan. Karena tidak ada rujukan berarti dia tidak kemana-mana. Karena tidak ada apa-apa selain Allah, maka amal itu sebenarnya tidak ada. Dia hanya sensasi saja. Pada hakikatnya amal itu tidak ada. Demikian juga si pelakunya sendiri. Orang buruk hanyalah sensasi. Mereka menjadi tercitrakan sebagai negasi dari orang suci yang wujud.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar