A. Latar Belakang Masalah
'Wujûd' adalah kata dari bahasa Arab
yang diadopsi ke dalam bahasa Melayu. Banyak kosa kata Arab lainnya yang
dimasukkan ke dalam bahasa Melayu. Alasan utamanya karena banyak kata yang
tersedia dari bahasa Melayu yang dianggap tidak mapan atau menjadi beda makna
bila dipakai untuk menterjemahkan kosa kata Arab. Misalnya kata 'rela' tidak
sesuai untuk dipakai sebagai terjemahan kata 'ikhlaş' yang dimiliki bahasa Arab.
Adapun kata 'wujûd' yang memiliki arti terdekat dengan kosakata Melayu
adalah 'ada'. Tetapi kata 'ada' tidak sepenuhnya sama dengan kata 'wujûd'.
Allah adalah Wujûd; dan ''Memberikan wujûd pada
sekalian alam. Bila Allah tidak berwujûd bagaimana memberi wujûd
kepada sekalian alam. Maka Ḥamzah Fansûrî menyatakan wujûd Allah
adalah Wajîb al-wujûd, sementara wujûd alam
adalah mumkîn al-wujûd. Kata Ḥamzah Fansûrî, bagi para ulama mutakallimin
(teolog), wujûd Allah dengan wujûd makhluk
terdiri dari dua entitas berbeda. Sementara bagai kaum sufi, Wujûd Allah dan wujûd
makhluk adalah sama. Perumpamaan yang diambil adalah cahaya matahari dan sinar
bulan, meski namanya berbeda, hakikatnya sama yakni adalah cahaya matahari
juga. Sementara alam ini bagi kaum sufi bukanlah wujûd hakiki karena
sifatnya seperti bayang-bayang di dalam cermin: rupanya ada, hakikatnya tiada.[1]
Chahaya ÃthârNya
tiada akan padam
Memberikan wujûd pada sekalian alam
Menjadikan makhlûq siang dan malam
Ilâ abadi'l ãbâd tiadakan karam[2]
Memberikan wujûd pada sekalian alam
Menjadikan makhlûq siang dan malam
Ilâ abadi'l ãbâd tiadakan karam[2]
Sebagaimana umumnya ‘urafã atau ahlu sulûk yang
menganalogikan wujûd dengan cahaya, Hamzah juga melakukan hal yang sama.
Sebagai contoh, Mullâ
Şadrâ menggunakan perumpamaan cahaya dalam menganalogikan wujûd.
Shihâb al-dîn al-Suhrawardî menjelasakan realitas quiditas juga dengan analogi
cahaya.[3]
Alam semesta bagi umumnya ‘urafa tidak memiliki wujûdnya sendiri. Alam
semesta menjadi wujûd hanyalah karena pancara atau bayangan Wujûd
Allah SWT. Hanya ahlu sulûk saja golongan yang mampu menyibak rahasia alam
semesta. Pluralitas maujud itu sekalian
tiada karena tanpa tajalli Allah padanya, dia tidak ril. Allah terlalu agung.
Tiada siapapun yang dapat mengenalNya. Kita hanya bisa menerangkan Dia hanya
melalui afirmasi negatif yakni bayangannya pada realitas. Tahunya Allah tidak
sama denga tahunya manusia: kita hanya bisa menganalogikan Tahu Allah dengan tahu kita, dan sejatinya
segala SifatNya tidak ada yang sama denganNya pada realitas ini. Alam hanya
baganyanNya,
dan hanya melalui bayangan yang fana ini kita menjelaskan Dia. tiada yang
menyerupainya apapun. Realitas eksternal seperti bayangan di dalam cermin. Hati
manusia seperti cermin itu. hanya hati yang bersih yang bisa menghadirkan
bayangan dengan baik.
Dalam pandangan Ḥamzah Fansûrî, Allah bukan berada pada
tempat tertentu yang dapat kita tunjuk atau kita bayangkan. Semua yang dapat
ditunjuk adalah terbatas, yang menunjuk juga terbatas. Demikian juga yang
dibayangkan dan yang membayangkan terbatas adanya. Allah sebagaimana Dia
menggambarkan dirinya kepada kita: Dia Satu, Dia meliputi semua, tidak ada
apapun yang menyerupai apalagi menyamai Dia. Allah
adalah Cahaya, cahayaNya tiada pernah padam. Padam adalah Dia. jadi kalaupun
padam, adalah Cahaya juga: Dia juga. Allah Kekal: awal adalah Dia, akhir Dia
juga. kalaupun Dia berakhir, maka Dia juga. Dia adalah yang tak terlihat, yang
terlihat juga Dia. Bila melihat, maka adalah Dia, kalau tidak melihat, Dia
juga. Ini adalah prinsip yang dipegang Ḥamzah Fansûrî.
Allah adalah Wujûd,
segala wujûd adalah pemberianNya. Sesaat saja Dia menghentikan wujûd,
maka binasa semuanya. Ḥamzah Fansûrî mentamsilkan wujûd seperti tanah, dari tanah itu
dibuatkan kendi, dibikinkan piala dan diciptakan piring. Pada sekalian perabotan
tiada wujûd, hanya Dia yang ada. Demikian Ḥamzah Fansûrî menganalogikan Wujûd
yang Tunggal sekaligus majemuk (plural). Seperti tanah yang disirami air, maka
tumbuhlah aneka tumbuhan. Tanah adalah umpama Wujûd, air pula demikian.
Percampuran Wujûd dengan Wujûd menumbuhkan aneka jenis tumbuhan
dengan aneka bentuk, bermacam corak, beragam rasa. sedianya semua itu adalah Wujûd.
Analogi dalam persoalan yang sama juga diberikan Ḥamzah
Fansûrî untuk menerangkan kausalitas yang bercorak kesatuan tersebut. Hamzah
menjelaskan kesatuan dalam konsep kausalitasnya diibaratkan seperti meleburnya
kapas ke dalam kain. Dalam kain masih ada kapas. Ḥamzah Fansûrî mengungkapkan konsep kesatuan sebab
dan akibat dengan menyatakan:
Yogya kau pandang kapas dan kain
Keduanya wahid asmanya lain
Wahidkan hendak lahir dan batin
Itulah ilmu kesudahan main[4]
Dari
syair di atas terbukti
jelas bahwa kapas adalah analogi sebab dan kain adalah analogi akibat. Yang
menjadi kain adalah kapas itu sendiri. Antara kapas dengan kain adalah hal yang
sama. Perbedaannya hanya pada nama saja. Antara sebab dan akibat adalah hal
yang sama, perbedaannya janya pada penamaan.
Wujûd hanya
Satu. Karena Wujûd terlalu terang sehingga tidak dapat indera
menerimanya, maka Wujûd mentajallikan diriNya ke dalam bayangan sehingga
terciptalah alam materi. ''Asalnya daripada Wujûd, maka menjadi siang dan
malam, langit dan bumi; 'arash dan kursi, surga dan neraka, Islam dan kafir,
baik dan jahat---- dengan hukum isti'dad diriNya jua.'' . Ḥamzah Fansûrî juga menulis:
Tertentu awwal suatu cahaya
Itulah cermin yang Mulia Raya
Kelihatan di sana miskin dan kaya
Menjadi dua Tuhan dan sahaya.[5]
Keseluruhan pemikiran para filosof termasuk Ḥamzah
Fansûrî dapat digolongkan ke dalam tiga tema yakni ketuhanan, kemanusiaan dan
kosmologi. Ketiga tema ini memang menjadi tritunggal pemikiran semua filosof.
Sekalipun Ḥamzah Fansûrî tidak ditemukan karya-karyanya yang membahas logika
dan epistemologi secara eksplisit seperti pada karya-karya Ibn Sînâ dan
Suhrawardî, namun dalam keseluruhan karya Ḥamzah Fansûrî yang berbentuk puisi dan prosa,
mengandung informasi tentang ontologi yang sangat mendalam. Lagi pula, sebagian para sarjana filsafat Islam
menolak logika dan epistemologi adalah bagian dari filsafat Islam. Konsenterasi
filsafat Islam adalah ontologi. Logika dan epistemilogi hanya dianggap sebagai
pintu masuk dan analogi penjelas (tools) bagi
ontologi. Ḥamzah Fansûrî lebih suka
menjelaskan Realitas Wujûd melalui puisi karena, sebagaimana ungkapan
Abdul Hadi W.M. “Puisi
memiliki banyak keunggulan sebagai media ekspresi pengalaman rohani karena
kepersonalan, keunikan dan keuniversalannya dapat terpelihara dengan baik”.[6]
Ajaran Ḥamzah Fansûrî akan selalu dipahami dengan keliru
atau bahkan tidak akan dapat dipahami sama sekali bila belum memahami konsep
epistemologi dan metafisika Wujûd. Dalam pandangan sufi dan filosof, segala quiditas yang dikenali pada realitas eksternal hanyalah
poyeksi pikiran. Hakikat daripada alam adalah wujûd. Wujûd
tersembunyi di balik pluralitas maujud yang bewarna dan berbentuk. Maujud
selanjutnya diabstraksi pikiran dan membentuk quiditas. Hanya yang memiliki
kesadaran akan Realitas Wujûd saja yang mampu menyadari kehadiran wujûd
dibalik pruralitas maujud. Ḥamzah
Fansûrî sendiri mengatakan wujûd seperti air yang menjelma pada
beraneka tumbuhan. Sekalipun wujûd itu lebih jelas daripada esensi,
tetapi dia hanya bisa dilihat oleh orang tertentu.
Suluhnya terlalu terang
Harinya tiada berpetang
Jalannya terlalu hening
Barang mendapat dia
terlalu menang [7]
Sekalipun dilihat sebagai ajaran seorang sufi, atau lebih
parah lagi yakni hanya mampu melihat karya Ḥamzah Fansûrî dari unsur estetikanya saja, namun sebenarnya dalam karya-karya
Ḥamzah Fansûrî mengandung nuansa
filsafat yang sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan dua karya Syed Muhammad
Naquib Al-Attas yakni A Commentary on the Hujjat al-Siddîq Nûr al-Dîn
al-Ranîrî dan The Mysticism of
Ḥamzah Fansûrî yang mengkaji
pemikiran ontologi Ḥamzah Fansûrî secara
mendalam. Melalui dua karya ini juga kita juga dapat menemukan bukti bahwa
konsep ontologi Ḥamzah Fansûrî sangat
sensitif. Sensitivitas ontologi tidak hanya terjadi pada pemikiran Ḥamzah Fansûrî tetapi juga pada banyak sufi-filosof
lainnya seperti Suhrawardî dan Ibn ‘Arabî.
Adapun sifat dengan zat Allah dalam
pandangan sufi adalah satu. Hamzah mengatakan alam semesta
adalah Rahman Allah. (h. 263). Maka alam ini adalah Dia juga. Dalam menjelaskan
makna Allah Berkehendak (Murîd), Hamzah menjelaskan perbedaan antara
pandangan ulama (teolog) dengan ahl sulûk (sufi dan filosof). Dalam
pandangan teolog, realitas alam semesta adalah baharu. Artinya, pernah ada
masa sebelum Allah mengata 'kun' kepadanya, dia belum ada. Tetapi
persoalannya adalah, pendapat ulama menjadi ambigu karena bunyi ayatnya adalah
' ...idhà aradhà shay'an ayaquùna lahu 'kul' fayakun.'' seharusnya bila
belum ada, tidak dikatakan 'lahu'. Sementara ahli suluk berkeyakinan
bahwa syay'i itu mawjûd kerena dia telah ada bersama Allah
sebagai IlmuNya meskipun hanya sebagai batin belum zahir.
Sufi dan filosof mengakui bahwa setiap pengetahuan sifatnya
adalah konfirmasi, bukan informasi. Pengetahuan adalah perluasan diri si
pengetahu. Argumentasi ini ingin membuktikan bahwa zat dengan sifat tiada
bercerai dengan zat. Sifat telah ada bersama zat. Rahmân sebagai salah satu sifat
Allah memberi wujûd kepada segenap alam. Dengan itu alam sebagai sifat
Allah telah ada bersama zat, bahkan tanpa permulaan. Maka segala realitas alam
bagi kita, sekalipun dalam citra kita dianggap sebagai informasi, sebenarnya
adalah konfirmasi sebab manusia dan alam adalah dari rahman Allah.
Dalam
'Asrar 'Arifin' Ḥamzah Fansûrî mengatakan Dzat Allah dengan
Sifat-sifatNya adalah Satu. Bila tidak, maka ada dua entitas dalam Allah, yakni
dzat dengan sifat. Allah SWT adalah Qayyîm. Dia adalah Wajîb al-Wujûd. Dia berdiri dengan SendiriNya. Dia tidak diakibatkan
oleh apapun. Tetapi justru segenap maujud adalah dari Dia. Ḥamzah Fansûrî Mengkritik pandangan teolog (ulama
syariat) yang menganggap Wujûd memiliki dualitas. Dalam pandangan
Ḥamzah Fansûrî dan ahl al-sulûk, Wujûd itu satu. Allah dan
Sifat-sifatNya adalah Satu;
tidak ada dualitas antara keduanya. Bila ada dualitas, maka menurut Ḥamzah Fansûrî, Tuhan telah dibatasi oleh ruang: Dia
bisa dekat atau jauh dengan alam. Ḥamzah
Fansûrî menganalogikan cahaya matahari dengan sinar bulan: keduanya
adalah satu, yakni cahaya matahari. Sementara bulan hanya memantulkan cahata
matahari. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Mullâ Şadrâ. Mullâ Şadrâ
mengatakan, sesuatu yang satu dalam keterusmenerusan pasti
satu pula dalam hal wujûd dan individuasi.[8]
Kalimah
dari Allah ternyata tidak hanya kata sebagaimana yang ada di dalam mushaf.
Kepada 'Isa as. Allah juga mengatakan adalah kalimahNya. Dikatakan bahwa
Al-Qur'an dan potensi segala makhluk adalah berada di lawh mahfudz. Selanjutnya
secara bertahap diturunkan ke bumi. Dalam analogi Ḥamzah Fansûrî, perumpamaan Lawh adalah qalâm
(tinta),
dan Allah sebagai pena-nya. Sementara makhluk adalah tulisan dari pena itu.
Antara pena dan tinta adalah satu kesatuan dan tinta yang menjadi tulisan
adalah satu jua dengan tinta di dalam pena.
Semua
kata-kata di dalam mushaf serta segala makhluk adalah tulisan yang menandakan
bahwa pena itu ada sekalipun pena itu tidak dapat dilihat. Sungai, laut,
langit, bintang dan kapal adalah ayat. Realitas hanya menjadi tanda atau ayat
khulus bagi ulîl albâb. Segala
makhluk tidak diciptakan dengan sia-sia. Semuanya berguna untuk menjadi tanda
Allah. Bila melalui realitas maujud-maujud gagal dilihat sebagai tanda, maka
nerakalah kembalinya (Q.S. Ali Imran: 191). Dari sini kita menemukan bahwa
neraka adalah bagi yang tidak dapat menghantarkan dia kepada kenal akan Allah
melalui pluralitas mawjûd.
Sebagaimana dikemukakan Ḥamzah Fansûrî, bahwa ilmu Allah adalah sifatNya.
Sifat dan Dzat adalah satu. Semantara 'amr
Allah adalah makna. Yakni segala yang disebut sebagai 'amrNya berarti
adalah sebuah makna dari kalamNya. KhâlqNya
adalah objek dari ‘amr. Karena objek
itu sendiri adalah dari SifatNya dan sifat adalah juga Dzat maka objek itu
sendiri adalah subjek.
Hubungan Ruh dan jiwa dipakai juga untuk menggambarkan
kesatuan antara Sifat/Nama-Nama Allah dengan Dzat-Nya. Jalal al-Dîn al-Rûmî membuat analogi Ruh yang terpisah dari
Dzat seperti seruling yang yang terpisah dari rumpun bambu. Seruling dalam terminologi Persia disebut dengan nawn.
Kelompok sufi sering menamakan diri mereka sebagai syâhr nawn karena
mereka sadar bahwa mereka berasal dari Allah. Terminologi syâhr nawn
juga dipakai Ḥamzah Fansûrî untuk
menyatakan tempat dirinya mendapat ilmu hakikat.
Mengenal diri dengan sebenar-benar kenal sejatinya adalah mengenal wujûd. Kenal ini dalam pandangan ahl suluk
adalah ma'rifat. Kenal ini bukan melalui indera dan persepsi mental tetapi dengan
hati. Jalannya adalah melalui syaria't dan thariqat. Mengenal wujûd
adalah salah satu ajaran terpenting daripada filsafat Ḥamzah Fansûrî. Ajaran filsafatnya terlihat dalam 'Asrar al-'Arifîn' yang menjadi sasaran penelitian. Karya ini adalah salah satu dari tiga karya
Ḥamzah Fansûrî berbentuk prosa. Karya
prosal lainnya adalah al-Muntâhi yang isinya berbicara tentang pandangan
wahdah wujûd kaum sufi sebelumnya.
Sementara prosa lainnya 'Syarabu al-Asyiqîn' berbicara tentang empat
jalan mengenal wujûd yakni syariat, tharikat, hakikat dan ma'rifat.
Pemikiran asli Ḥamzah
Fansûrî adalah tentang martabat tujuh yang membicarakan tentang
sifat-sifat Allah. Pemikiran ini diteruskan oleh muridnya Syams al-dîn Al-Sumatrâ-i dan diikuti oleh banyak sufi Nusantara
setelahnya.
Wujûd adalah istilah terpenting
dalam kajian filsafat. Untuk memahami pokok pemikiran seorang filosof, kita
wajib memahami konsep wujûd yang ia pakai. Bila tidak
memahami konsep wujûd yang dimaksud seorang filosof, maka kita tidak
akan memahami apapun dari gagasannya. Pemahaman konsep wujûd seorang
filosof adalah syarat pertama dan paling utama dalam mengkaji pemikiranya.
Seorang filosof dan sufi terbesar Nusantara yang menjadi
tokoh kajian ini adalah pemikir yang paling kontrofersial karena paling
disalahpahami. Sebab kesalahpemahaman ini mutlak karena para penentangnya tidak
meneliti secara mendalam dan menyeluruh konsep-konsep gagasannya.
Dr. Kausar Azhari Noer mengatakan
istilah Waḫdah al-Wujûd pertama
kali dipakai oleh Şadr al-Dîn al-Qûnawî (w.1279 m).[9]
tetapi ajaran ini popular di tangan Ibn ‘Arabi. Sekalipun demikian dikatakan
bahwa ajaran ini pertama kali diajarkan oleh Ma’ruf al-Karkhi (w.815 m).
sekalipun istilah ini tidak dicantumkan dalam al-Qur’an, tetapi ajaran ini
diakui pengajarnya berasal dari Al-Qur’an.
Pemahaman penting dalam mempelajari Waḫdah al-Wujûd yakni kita perlu membedakan wujûd ke
dalam kategori Wajîb al-Wujûd atau Necessary Being dan wujûd
yang bergantung/mungkin atau contigent being (mumkîn al-wujûd). Wujûd
yang wajib keberadaannya tidak bergantung pada apapun dan malah dia menjadi
penyebab bagi wujûd-wujûd lainnya yang beragam. Sementara wujûd mumkin adalah
keberadaannnya yang bergantung pada wujûd wajib. Disebut mungkin karena
dia mungkin ada dan juga mungkin tiada. mungkin ada karena dia berasan dari Wujûd,
dikatakan tiada karena dia tidak memiliki wujûdnya sendiri.
Penelitian ini bertujuan mengkaji secara
menyeluruh dan mendalam konsep wujûd yang dipakai Hamzah Fansuri dalam 'Asrar
al-‘Arifîn' untuk memahami secara utuh pemikirannya. Kajian ini menjadi
menarik karena meski Hamzah Fansuri tidak mengemukakan secara eksplisit bahwa
gagasannya itu adalah wahdatul wujûd, tetapi melalui kajian terhadap
konsep wujûd, istilah-istilah kunci dan analogi-analogi atau argumentasi
yang dikemukakan, pemulis ingin membuktikan bahwa ajaran Hamzah Fansuri adalah
wahdatul wujûd. Oleh karena itu, penulis mengangkat tesis ini dengan
judul KONSEP WUJÛD DALAM ASRAR AL-‘ARIFÎN; PEMBUKTIAN WAHDAH
AL-WUJÛD ḤAMZAH FANSÛRÎ.
B.
Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Ḥamzah Fansûrî adalah
seorang sufi yang memiliki konsep metafisika yang didasarkan pada konsep wujûd.
Wujûd merupakan tema sentral dalam bangunan pemikiran Ḥamzah Fansûrî.
2. Pembatasan Masalah
Di dalam keumuman konsep wujûd yang dijelaskan
oleh Ḥamzah Fansûrî,
penelitian ini akan berupaya membuktikan bahwa pemahaman tentang wujûd
yang difahami oleh Ḥamzah
Fansûrî merupakan bentuk dari pemahaman wahdatul wujûd.
3. Rumusan
Masalah
Tujuan utama penelitian ini adalah menganalisis konsep wujûd
di dalam karya Ḥamzah
Fansûrî, Asrar Al-‘Arifîn, dan membuktikan bahwasanya ajarannya
tentang wujûd adalah wahdah al-wujûd.
C. Tujuan Penelitian
Meskipun
istilah wahdah al-wujûd tidak digunakan oleh Ḥamzah Fansûrî
namun sebagaimana umumnya ‘urafã atau ahlu sulûk konsep wujûd
Ḥamzah Fansûrî
pada dasarnya penulis ingin membuktikan bahwa konsep wujûd Ḥamzah Fansûrî
merupakan wahdah al-wujûd.
D. Metode Penelitian
Kajian ini
menggunakan metode ta'wil. Metode ini ''... bukanlah metode empiris ataupun
rasional tetapi merupakan gabungan metode empiris, rasional dan intuitif dengan
menekankan pentingnya penglihatan ruhani akal dan imajinasi kreatif.''[10] metode
ini adalah yang paling sesuai untuk mengkaji karya mistisme seperti 'asrar
arifin' karena tidak hanya berfungsi untuk mengkaji
makna luar teks (exoteric) tetapi juga makna dalamnya (esoteric)
yaitu tafsir keruhanian (spiritual hermeunetics). Metode
ta'wil atau disebut juga spiritual hermeunetics karena ''... Menekankan
perhatian pada ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat di dalam teks.'' Metode ini telah banyak digunakan oleh para peneliti dalam kajian sufisme. Metode ini diyakini
dapat lebih akurat dalam menemukan hakikat wujûd yang merupakan sebuah
lambang dari suatu makna yang dikandung dildalam teks karya-karya ahl suluk.
Metode ta'wil harus dapat ''... menembus bentuk lahir dan bergerak menuju makna
hakiki atau mengembara sejauh mungkin melalui simbol menuju yang disimbolkan (mamtsûl)''[11] Salah satu hal penting dari penggunaan metode ta'wil
adalah dapat menyingkap teks karya mistik yang menggunakan lambang dari sesuatu
yang dapat diindera terhadap pembahasan alam spiritual dan transendental.
E.
Tinjauan Pustaka
Penelitian ini tentunya menggunakan metode
kualitatif dengan riset
pustaka. Rujukan utama penelitian ini adalah 'Asrar al-‘Arifîn', yang transliterasinya
terdapat di dalam The Mysticism of
Ḥamzah Fansûrî karya Syed Muhammad Naquib
Al-Attas.
Selanjutnya karya bersama G.W.J.
Drewes dan L.F. Brakel berjudul ‘The Poems
of Ḥamzah Fansûrî’ dan Tasawuf Yang Tertindas:Kajian Hermeunetik Terhadap Karya-Karya Hamzah
Fansuri karya Dr. Abdul Hadi W.M. Kedua
buku ini memuat transliterasi naskah puisi Ḥamzah Fansûrî terlengkap.
F.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
(A) Latar Belakang Masalah,
(B) Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan
Masalah,
(C) Tujuan Penelitian,
(D) Metode Penelitian,
(E) Tinjauan Pustaka,dan
(F) Sistematika Penulisan
Bab II Ḥamzah Fansûrî, membahas tentang
(A)
Sosio-Relijius dan konsep Wujûd di Aceh
(B)
Riwayat Hidup Ḥamzah Fansûrî
Bab III Konsep Wujûd dan Realitas Wujûd
(A) Pengertian konsep Wujûd dalam
Terminologi Filsafat
(A) Wujûd dan Wujûd Haqîqî
(B) Wujûd dan Diri
(C) Wujûd dan Mawjûd
Bab IV Identifikasi Konsep
Wujûd Hamzah Fansuri sebagai Waḫdah al-Wujûd
(A)
Konsep Waḫdah al-Wujûd
(B)
Analogi Waḫdah al-Wujûd Ḥamzah Fansûrî
(C)
Identifikasi Konsep Wujûd Hamzah Fansuri sebagai Waḫdah
al-Wujûd
Bab, V Penutup,
(A) Kesimpulan
(B) Saran.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, The Mysticism of
Ḥamzah Fansûrî, Kuala Lumpur:
University of Malaya Press, 1970
Al-Walid, Khalid,
Dr, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat: Filsafat Eskatologi Mulla Sadra, Jakarta:
Sadra Press, 2012
Drewes, G.W.J. & L.F. Braker, The Poems of Ḥamzah
Fansûrî, Dordrecht: Forish Publication
Halland, 1986
Hadi, Abdul, W.M., Rumi Sufi dan Penyair, Bandung:
Pustaka, 1995
_________, Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeunetika
Terhadap Karya-karya Ḥamzah Fansûrî
Fansuri, Jakarta: Paramadina, 2001
Noer, Kautsar Azhari, Dr. Ibn
‘Arabi: Waḫdah al-Wujûd dalam
Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995
Şadrâ, Mullâ, Hikmah
al-Arsyiah (Kearifan Puncak, Terj. Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M. Eng. Dan Ir. Dedi Djuniari),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005.
[1] Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, The Mysticism
of Ḥamzah Fansûrî (Kuala Lumpur: University of Malaya
Press, 1970) h. 242
[2] Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, The Mysticism
of Ḥamzah Fansûrî(Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970) h. 242-248
[3] Dr. Khalid al-Walid, Perjalanan Jiwa
Menuju Akhirat: Filsafat Eskatologi Mulla Sadra (Jakarta: Sadra Press,
2012), h. 38.
[5]
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Mysticism
of Ḥamzah Fansûrî (Kuala Lumpur: University of
Malaya Press, 1970), h. 260
[6]
Abdul Hadi W.M. ‘Rumi: Sufi dan Penyair’,
(Bandung: Pustaka, 1985), h. viii
[7]
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The
Mysticism of Ḥamzah Fansûrî (Kuala Lumpur: University of Malaya
Press, 1970) h. 498
[9] Dr.
Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabi: Waḫdah al-Wujûd dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 36
[10] Dr. Abdul Hadi W.M, Tasawuf yang
tertindas: Kajian Hermeunetik Terhadap Karya Hamzah Fansuri, (Jakarta,
Paramadina, 2001), h. 106
[11] Dr. Abdul Hadi W.M, Tasawuf yang
tertindas: Kajian Hermeunetik Terhadap Karya Hamzah Fansuri, (Jakarta,
Paramadina, 2001), h. 100
Tidak ada komentar:
Posting Komentar