Link Download

Minggu, 09 Juni 2013

KONSEP WUJÛD DALAM ASRAR AL-‘ARIFÎN; PEMBUKTIAN WAHDAH AL-WUJÛD ḤAMZAH FANSÛRÎ.

A.    Latar Belakang Masalah
'Wujûd' adalah kata dari bahasa Arab yang diadopsi ke dalam bahasa Melayu. Banyak kosa kata Arab lainnya yang dimasukkan ke dalam bahasa Melayu. Alasan utamanya karena banyak kata yang tersedia dari bahasa Melayu yang dianggap tidak mapan atau menjadi beda makna bila dipakai untuk menterjemahkan kosa kata Arab. Misalnya kata 'rela' tidak sesuai untuk dipakai sebagai terjemahan kata 'ikhlaş' yang dimiliki bahasa Arab. Adapun kata 'wujûd' yang memiliki arti terdekat dengan kosakata Melayu adalah 'ada'. Tetapi kata 'ada' tidak sepenuhnya sama dengan kata 'wujûd'.
Allah adalah Wujûd; dan ''Memberikan wujûd pada sekalian alam. Bila Allah tidak berwujûd bagaimana memberi wujûd kepada sekalian alam. Maka Ḥamzah Fansûrî menyatakan wujûd Allah adalah Wajîb al-wujûd, sementara wujûd alam adalah mumkîn al-wujûd. Kata Ḥamzah Fansûrî, bagi para ulama mutakallimin (teolog), wujûd Allah dengan wujûd makhluk terdiri dari dua entitas berbeda. Sementara bagai kaum sufi, Wujûd Allah dan wujûd makhluk adalah sama. Perumpamaan yang diambil adalah cahaya matahari dan sinar bulan, meski namanya berbeda, hakikatnya sama yakni adalah cahaya matahari juga. Sementara alam ini bagi kaum sufi bukanlah wujûd hakiki karena sifatnya seperti bayang-bayang di dalam cermin: rupanya ada, hakikatnya tiada.[1]

Chahaya ÃthârNya tiada akan padam
Memberikan wujûd pada sekalian alam
Menjadikan makhlûq siang dan malam
Ilâ abadi'l ãbâd tiadakan karam
[2]

Sebagaimana umumnya ‘urafã atau ahlu sulûk yang menganalogikan wujûd dengan cahaya, Hamzah juga melakukan hal yang sama. Sebagai contoh, Mullâ Şadrâ menggunakan perumpamaan cahaya dalam menganalogikan wujûd. Shihâb al-dîn al-Suhrawardî menjelasakan realitas quiditas juga dengan analogi cahaya.[3]
Alam semesta bagi umumnya ‘urafa tidak memiliki wujûdnya sendiri. Alam semesta menjadi wujûd hanyalah karena pancara atau bayangan Wujûd Allah SWT. Hanya ahlu sulûk saja golongan yang mampu menyibak rahasia alam semesta. Pluralitas maujud  itu sekalian tiada karena tanpa tajalli Allah padanya, dia tidak ril. Allah terlalu agung. Tiada siapapun yang dapat mengenalNya. Kita hanya bisa menerangkan Dia hanya melalui afirmasi negatif yakni bayangannya pada realitas. Tahunya Allah tidak sama denga tahunya manusia: kita hanya bisa menganalogikan Tahu Allah dengan tahu kita, dan sejatinya segala SifatNya tidak ada yang sama denganNya pada realitas ini. Alam hanya baganyanNya, dan hanya melalui bayangan yang fana ini kita menjelaskan Dia. tiada yang menyerupainya apapun. Realitas eksternal seperti bayangan di dalam cermin. Hati manusia seperti cermin itu. hanya hati yang bersih yang bisa menghadirkan bayangan dengan baik.
            Dalam pandangan Ḥamzah  Fansûrî, Allah bukan berada pada tempat tertentu yang dapat kita tunjuk atau kita bayangkan. Semua yang dapat ditunjuk adalah terbatas, yang menunjuk juga terbatas. Demikian juga yang dibayangkan dan yang membayangkan terbatas adanya. Allah sebagaimana Dia menggambarkan dirinya kepada kita: Dia Satu, Dia meliputi semua, tidak ada apapun yang menyerupai apalagi menyamai Dia. Allah adalah Cahaya, cahayaNya tiada pernah padam. Padam adalah Dia. jadi kalaupun padam, adalah Cahaya juga: Dia juga. Allah Kekal: awal adalah Dia, akhir Dia juga. kalaupun Dia berakhir, maka Dia juga. Dia adalah yang tak terlihat, yang terlihat juga Dia. Bila melihat, maka adalah Dia, kalau tidak melihat, Dia juga. Ini adalah prinsip yang dipegang Ḥamzah  Fansûrî.
Allah adalah Wujûd, segala wujûd adalah pemberianNya. Sesaat saja Dia menghentikan wujûd, maka binasa semuanya. Ḥamzah  Fansûrî  mentamsilkan wujûd seperti tanah, dari tanah itu dibuatkan kendi, dibikinkan piala dan diciptakan piring. Pada sekalian perabotan tiada wujûd, hanya Dia yang ada. Demikian Ḥamzah  Fansûrî  menganalogikan Wujûd yang Tunggal sekaligus majemuk (plural). Seperti tanah yang disirami air, maka tumbuhlah aneka tumbuhan. Tanah adalah umpama Wujûd, air pula demikian. Percampuran Wujûd dengan Wujûd menumbuhkan aneka jenis tumbuhan dengan aneka bentuk, bermacam corak, beragam rasa. sedianya semua itu adalah Wujûd. Analogi dalam persoalan yang sama juga diberikan Ḥamzah Fansûrî untuk menerangkan kausalitas yang bercorak kesatuan tersebut. Hamzah menjelaskan kesatuan dalam konsep kausalitasnya diibaratkan seperti meleburnya kapas ke dalam kain. Dalam kain masih ada kapas. Ḥamzah  Fansûrî mengungkapkan konsep kesatuan sebab dan akibat dengan menyatakan:

Yogya kau pandang kapas dan kain

Keduanya wahid asmanya lain

Wahidkan hendak lahir dan batin

Itulah ilmu kesudahan main[4]


Dari syair di atas terbukti jelas bahwa kapas adalah analogi sebab dan kain adalah analogi akibat. Yang menjadi kain adalah kapas itu sendiri. Antara kapas dengan kain adalah hal yang sama. Perbedaannya hanya pada nama saja. Antara sebab dan akibat adalah hal yang sama, perbedaannya janya pada penamaan.
Wujûd hanya Satu. Karena Wujûd terlalu terang sehingga tidak dapat indera menerimanya, maka Wujûd mentajallikan diriNya ke dalam bayangan sehingga terciptalah alam materi. ''Asalnya daripada Wujûd, maka menjadi siang dan malam, langit dan bumi; 'arash dan kursi, surga dan neraka, Islam dan kafir, baik dan jahat---- dengan hukum isti'dad diriNya jua.'' . Ḥamzah  Fansûrî  juga menulis:
            Tertentu awwal suatu cahaya
            Itulah cermin yang Mulia Raya
            Kelihatan di sana miskin dan kaya
            Menjadi dua Tuhan dan sahaya.[5]

Keseluruhan pemikiran para filosof termasuk Ḥamzah Fansûrî dapat digolongkan ke dalam tiga tema yakni ketuhanan, kemanusiaan dan kosmologi. Ketiga tema ini memang menjadi tritunggal pemikiran semua filosof. Sekalipun Ḥamzah Fansûrî tidak ditemukan karya-karyanya yang membahas logika dan epistemologi secara eksplisit seperti pada karya-karya Ibn Sînâ dan Suhrawardî, namun dalam keseluruhan karya Ḥamzah  Fansûrî yang berbentuk puisi dan prosa, mengandung informasi tentang ontologi yang sangat mendalam. Lagi pula, sebagian para sarjana filsafat Islam menolak logika dan epistemologi adalah bagian dari filsafat Islam. Konsenterasi filsafat Islam adalah ontologi. Logika dan epistemilogi hanya dianggap sebagai pintu masuk dan analogi penjelas (tools) bagi ontologi. Ḥamzah  Fansûrî lebih suka menjelaskan Realitas Wujûd melalui puisi karena, sebagaimana ungkapan Abdul Hadi W.M. “Puisi memiliki banyak keunggulan sebagai media ekspresi pengalaman rohani karena kepersonalan, keunikan dan keuniversalannya dapat terpelihara dengan baik”.[6]
Ajaran Ḥamzah Fansûrî akan selalu dipahami dengan keliru atau bahkan tidak akan dapat dipahami sama sekali bila belum memahami konsep epistemologi dan metafisika Wujûd. Dalam pandangan sufi dan filosof, segala quiditas yang dikenali pada realitas eksternal hanyalah poyeksi pikiran. Hakikat daripada alam adalah wujûd. Wujûd tersembunyi di balik pluralitas maujud yang bewarna dan berbentuk. Maujud selanjutnya diabstraksi pikiran dan membentuk quiditas. Hanya yang memiliki kesadaran akan Realitas Wujûd saja yang mampu menyadari kehadiran wujûd dibalik pruralitas maujud. Ḥamzah  Fansûrî sendiri mengatakan wujûd seperti air yang menjelma pada beraneka tumbuhan. Sekalipun wujûd itu lebih jelas daripada esensi, tetapi dia hanya bisa dilihat oleh orang tertentu.
Suluhnya terlalu terang
Harinya tiada berpetang
Jalannya terlalu hening
Barang mendapat dia terlalu menang [7]

Sekalipun dilihat sebagai ajaran seorang sufi, atau lebih parah lagi yakni hanya mampu melihat karya Ḥamzah  Fansûrî dari unsur estetikanya saja,  namun sebenarnya dalam karya-karya Ḥamzah  Fansûrî mengandung nuansa filsafat yang sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan dua karya Syed Muhammad Naquib Al-Attas yakni A Commentary on the Hujjat al-Siddîq Nûr al-Dîn al-Ranîrî dan The Mysticism of Ḥamzah  Fansûrî yang mengkaji pemikiran ontologi Ḥamzah  Fansûrî secara mendalam. Melalui dua karya ini juga kita juga dapat menemukan bukti bahwa konsep ontologi Ḥamzah  Fansûrî sangat sensitif. Sensitivitas ontologi tidak hanya terjadi pada pemikiran Ḥamzah  Fansûrî tetapi juga pada banyak sufi-filosof lainnya seperti Suhrawardî dan Ibn ‘Arabî.
Adapun sifat dengan zat Allah dalam pandangan sufi adalah satu. Hamzah mengatakan alam semesta adalah Rahman Allah. (h. 263). Maka alam ini adalah Dia juga. Dalam menjelaskan makna Allah Berkehendak (Murîd), Hamzah menjelaskan perbedaan antara pandangan ulama (teolog) dengan ahl sulûk (sufi dan filosof). Dalam pandangan teolog, realitas alam semesta adalah baharu. Artinya, pernah ada masa sebelum Allah mengata 'kun' kepadanya, dia belum ada. Tetapi persoalannya adalah, pendapat ulama menjadi ambigu karena bunyi ayatnya adalah ' ...idhà aradhà shay'an ayaquùna lahu 'kul' fayakun.'' seharusnya bila belum ada, tidak dikatakan 'lahu'. Sementara ahli suluk berkeyakinan bahwa syay'i itu mawjûd kerena dia telah ada bersama Allah sebagai IlmuNya meskipun hanya sebagai batin belum zahir.
Sufi dan filosof mengakui bahwa setiap pengetahuan sifatnya adalah konfirmasi, bukan informasi. Pengetahuan adalah perluasan diri si pengetahu. Argumentasi ini ingin membuktikan bahwa zat dengan sifat tiada bercerai dengan zat. Sifat telah ada bersama zat. Rahmân sebagai salah satu sifat Allah memberi wujûd kepada segenap alam. Dengan itu alam sebagai sifat Allah telah ada bersama zat, bahkan tanpa permulaan. Maka segala realitas alam bagi kita, sekalipun dalam citra kita dianggap sebagai informasi, sebenarnya adalah konfirmasi sebab manusia dan alam adalah dari rahman Allah.
            Dalam 'Asrar 'Arifin' Ḥamzah Fansûrî mengatakan Dzat Allah dengan Sifat-sifatNya adalah Satu. Bila tidak, maka ada dua entitas dalam Allah, yakni dzat dengan sifat. Allah SWT adalah Qayyîm. Dia adalah Wajîb al-Wujûd. Dia berdiri dengan SendiriNya. Dia tidak diakibatkan oleh apapun. Tetapi justru segenap maujud adalah dari Dia. Ḥamzah  Fansûrî Mengkritik pandangan teolog (ulama syariat) yang menganggap Wujûd memiliki dualitas. Dalam pandangan Ḥamzah  Fansûrî dan ahl al-sulûk, Wujûd itu satu. Allah dan Sifat-sifatNya adalah Satu; tidak ada dualitas antara keduanya. Bila ada dualitas, maka menurut Ḥamzah  Fansûrî, Tuhan telah dibatasi oleh ruang: Dia bisa dekat atau jauh dengan alam. Ḥamzah  Fansûrî menganalogikan cahaya matahari dengan sinar bulan: keduanya adalah satu, yakni cahaya matahari. Sementara bulan hanya memantulkan cahata matahari. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Mullâ Şadrâ. Mullâ Şadrâ mengatakan, sesuatu yang satu dalam keterusmenerusan pasti satu pula dalam hal wujûd dan individuasi.[8]
Kalimah dari Allah ternyata tidak hanya kata sebagaimana yang ada di dalam mushaf. Kepada 'Isa as. Allah juga mengatakan adalah kalimahNya. Dikatakan bahwa Al-Qur'an dan potensi segala makhluk adalah berada di lawh mahfudz. Selanjutnya secara bertahap diturunkan ke bumi. Dalam analogi Ḥamzah  Fansûrî, perumpamaan Lawh adalah qalâm (tinta), dan Allah sebagai pena-nya. Sementara makhluk adalah tulisan dari pena itu. Antara pena dan tinta adalah satu kesatuan dan tinta yang menjadi tulisan adalah satu jua dengan tinta di dalam pena.
Semua kata-kata di dalam mushaf serta segala makhluk adalah tulisan yang menandakan bahwa pena itu ada sekalipun pena itu tidak dapat dilihat. Sungai, laut, langit, bintang dan kapal adalah ayat. Realitas hanya menjadi tanda atau ayat khulus bagi ulîl albâb. Segala makhluk tidak diciptakan dengan sia-sia. Semuanya berguna untuk menjadi tanda Allah. Bila melalui realitas maujud-maujud gagal dilihat sebagai tanda, maka nerakalah kembalinya (Q.S. Ali Imran: 191). Dari sini kita menemukan bahwa neraka adalah bagi yang tidak dapat menghantarkan dia kepada kenal akan Allah melalui pluralitas mawjûd.
            Sebagaimana dikemukakan Ḥamzah  Fansûrî, bahwa ilmu Allah adalah sifatNya. Sifat dan Dzat adalah satu. Semantara 'amr Allah adalah makna. Yakni segala yang disebut sebagai 'amrNya berarti adalah sebuah makna dari kalamNya. KhâlqNya adalah objek dari ‘amr. Karena objek itu sendiri adalah dari SifatNya dan sifat adalah juga Dzat maka objek itu sendiri adalah subjek.
Hubungan Ruh dan jiwa dipakai juga untuk menggambarkan kesatuan antara Sifat/Nama-Nama Allah dengan Dzat-Nya. Jalal al-Dîn al-Rûmî membuat analogi Ruh yang terpisah dari Dzat seperti seruling yang yang terpisah dari rumpun bambu. Seruling dalam terminologi Persia disebut dengan nawn. Kelompok sufi sering menamakan diri mereka sebagai syâhr nawn karena mereka sadar bahwa mereka berasal dari Allah. Terminologi syâhr nawn juga dipakai Ḥamzah  Fansûrî untuk menyatakan tempat dirinya mendapat ilmu hakikat.
Mengenal diri dengan sebenar-benar kenal sejatinya adalah mengenal wujûd. Kenal ini dalam pandangan ahl suluk adalah ma'rifat. Kenal ini bukan melalui indera dan persepsi mental tetapi dengan hati. Jalannya adalah melalui syaria't dan thariqat. Mengenal wujûd adalah salah satu ajaran terpenting daripada filsafat Ḥamzah  Fansûrî. Ajaran filsafatnya terlihat dalam 'Asrar al-'Arifîn' yang menjadi sasaran penelitian. Karya ini adalah salah satu dari tiga karya Ḥamzah  Fansûrî berbentuk prosa. Karya prosal lainnya adalah al-Muntâhi yang isinya berbicara tentang pandangan wahdah wujûd kaum sufi sebelumnya. Sementara prosa lainnya 'Syarabu al-Asyiqîn' berbicara tentang empat jalan mengenal wujûd yakni syariat, tharikat, hakikat dan ma'rifat.
Pemikiran asli Ḥamzah  Fansûrî adalah tentang martabat tujuh yang membicarakan tentang sifat-sifat Allah. Pemikiran ini diteruskan oleh muridnya Syams al-dîn Al-Sumatrâ-i dan diikuti oleh banyak sufi Nusantara setelahnya. 
Wujûd adalah istilah terpenting dalam kajian filsafat. Untuk memahami pokok pemikiran seorang filosof, kita wajib memahami konsep wujûd yang ia pakai. Bila tidak memahami konsep wujûd yang dimaksud seorang filosof, maka kita tidak akan memahami apapun dari gagasannya. Pemahaman konsep wujûd seorang filosof adalah syarat pertama dan paling utama dalam mengkaji pemikiranya.
Seorang filosof dan sufi terbesar Nusantara yang menjadi tokoh kajian ini adalah pemikir yang paling kontrofersial karena paling disalahpahami. Sebab kesalahpemahaman ini mutlak karena para penentangnya tidak meneliti secara mendalam dan menyeluruh konsep-konsep gagasannya.
Dr. Kausar Azhari Noer mengatakan istilah Waḫdah al-Wujûd pertama kali dipakai oleh Şadr al-Dîn al-Qûnawî (w.1279 m).[9] tetapi ajaran ini popular di tangan Ibn ‘Arabi. Sekalipun demikian dikatakan bahwa ajaran ini pertama kali diajarkan oleh Ma’ruf al-Karkhi (w.815 m). sekalipun istilah ini tidak dicantumkan dalam al-Qur’an, tetapi ajaran ini diakui pengajarnya berasal dari Al-Qur’an.
Pemahaman penting dalam mempelajari Waḫdah al-Wujûd yakni kita perlu membedakan wujûd ke dalam kategori Wajîb al-Wujûd atau Necessary Being dan wujûd yang bergantung/mungkin atau contigent being (mumkîn al-wujûd). Wujûd yang wajib keberadaannya tidak bergantung pada apapun dan malah dia menjadi penyebab bagi wujûd-wujûd lainnya yang beragam. Sementara wujûd mumkin adalah keberadaannnya yang bergantung pada wujûd wajib. Disebut mungkin karena dia mungkin ada dan juga mungkin tiada. mungkin ada karena dia berasan dari Wujûd, dikatakan tiada karena dia tidak memiliki wujûdnya sendiri.
Penelitian ini bertujuan mengkaji secara menyeluruh dan mendalam konsep wujûd yang dipakai Hamzah Fansuri dalam 'Asrar al-‘Arifîn' untuk memahami secara utuh pemikirannya. Kajian ini menjadi menarik karena meski Hamzah Fansuri tidak mengemukakan secara eksplisit bahwa gagasannya itu adalah wahdatul wujûd, tetapi melalui kajian terhadap konsep wujûd, istilah-istilah kunci dan analogi-analogi atau argumentasi yang dikemukakan, pemulis ingin membuktikan bahwa ajaran Hamzah Fansuri adalah wahdatul wujûd. Oleh karena itu, penulis mengangkat tesis ini dengan judul KONSEP WUJÛD DALAM ASRAR AL-‘ARIFÎN; PEMBUKTIAN WAHDAH AL-WUJÛD ḤAMZAH  FANSÛRÎ.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah
1.      Identifikasi Masalah
            Ḥamzah Fansûrî adalah seorang sufi yang memiliki konsep metafisika yang didasarkan pada konsep wujûd. Wujûd merupakan tema sentral dalam bangunan pemikiran Ḥamzah Fansûrî.
2. Pembatasan Masalah
            Di dalam keumuman konsep wujûd yang dijelaskan oleh Ḥamzah Fansûrî, penelitian ini akan berupaya membuktikan bahwa pemahaman tentang wujûd yang difahami oleh Ḥamzah Fansûrî merupakan bentuk dari pemahaman wahdatul wujûd.                                    
       3. Rumusan Masalah
            Tujuan utama penelitian ini adalah menganalisis konsep wujûd di dalam karya Ḥamzah Fansûrî, Asrar Al-‘Arifîn, dan membuktikan bahwasanya ajarannya tentang wujûd adalah wahdah al-wujûd.

C. Tujuan Penelitian
            Meskipun istilah wahdah al-wujûd tidak digunakan oleh Ḥamzah Fansûrî namun sebagaimana umumnya ‘urafã atau ahlu sulûk konsep wujûd Ḥamzah Fansûrî pada dasarnya penulis ingin membuktikan bahwa konsep wujûd Ḥamzah Fansûrî merupakan wahdah al-wujûd.



D. Metode Penelitian

Kajian ini menggunakan metode ta'wil. Metode ini ''... bukanlah metode empiris ataupun rasional tetapi merupakan gabungan metode empiris, rasional dan intuitif dengan menekankan pentingnya penglihatan ruhani akal dan imajinasi kreatif.''[10] metode ini adalah yang paling sesuai untuk mengkaji karya mistisme seperti 'asrar arifin' karena tidak hanya berfungsi untuk mengkaji makna luar teks (exoteric) tetapi juga makna dalamnya (esoteric) yaitu tafsir keruhanian (spiritual hermeunetics). Metode ta'wil atau disebut juga spiritual hermeunetics karena ''... Menekankan perhatian pada ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat di dalam teks.'' Metode ini telah banyak digunakan oleh para peneliti dalam kajian sufisme. Metode ini diyakini dapat lebih akurat dalam menemukan hakikat wujûd yang merupakan sebuah lambang dari suatu makna yang dikandung dildalam teks karya-karya ahl suluk. Metode ta'wil harus dapat ''... menembus bentuk lahir dan bergerak menuju makna hakiki atau mengembara sejauh mungkin melalui simbol menuju yang disimbolkan (mamtsûl)''[11] Salah satu hal penting dari penggunaan metode ta'wil adalah dapat menyingkap teks karya mistik yang menggunakan lambang dari sesuatu yang dapat diindera terhadap pembahasan alam spiritual dan transendental.


E. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini tentunya menggunakan metode kualitatif dengan riset pustaka. Rujukan utama penelitian ini adalah 'Asrar al-‘Arifîn', yang transliterasinya terdapat di dalam The Mysticism of Ḥamzah  Fansûrî karya Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Selanjutnya karya bersama G.W.J. Drewes dan L.F. Brakel berjudul ‘The Poems of Ḥamzah  Fansûrî’ dan Tasawuf Yang Tertindas:Kajian Hermeunetik Terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri karya Dr. Abdul Hadi W.M. Kedua buku ini memuat transliterasi naskah puisi Ḥamzah Fansûrî terlengkap.

F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
(A) Latar Belakang Masalah,
(B) Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah,
(C) Tujuan Penelitian,
(D) Metode Penelitian,
(E) Tinjauan Pustaka,dan
(F) Sistematika Penulisan

Bab II  Ḥamzah  Fansûrî, membahas tentang  
(A)             Sosio-Relijius dan konsep Wujûd di Aceh  
(B)              Riwayat Hidup Ḥamzah  Fansûrî

Bab III  Konsep Wujûd dan Realitas Wujûd
(A) Pengertian konsep Wujûd dalam Terminologi Filsafat
(A) Wujûd dan Wujûd Haqîqî
(B) Wujûd dan Diri
(C) Wujûd dan Mawjûd

Bab IV Identifikasi Konsep Wujûd Hamzah Fansuri sebagai Waḫdah al-Wujûd
(A)  Konsep Waḫdah al-Wujûd
(B)   Analogi Waḫdah al-Wujûd Ḥamzah  Fansûrî
(C)   Identifikasi Konsep Wujûd Hamzah Fansuri sebagai Waḫdah al-Wujûd
Bab, V Penutup,
(A) Kesimpulan
(B) Saran.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, The Mysticism of Ḥamzah  Fansûrî, Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970
Al-Walid, Khalid, Dr, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat: Filsafat Eskatologi Mulla Sadra, Jakarta: Sadra Press, 2012
Drewes, G.W.J. & L.F. Braker, The Poems of Ḥamzah  Fansûrî, Dordrecht: Forish Publication Halland, 1986
Hadi, Abdul, W.M., Rumi Sufi dan Penyair, Bandung: Pustaka, 1995
_________, Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeunetika Terhadap Karya-karya Ḥamzah  Fansûrî Fansuri, Jakarta: Paramadina, 2001
Noer, Kautsar Azhari, Dr. Ibn ‘Arabi: Waḫdah al-Wujûd dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995

Şadrâ, Mullâ, Hikmah al-Arsyiah (Kearifan Puncak, Terj. Dr. Ir. Dimitri     Mahayana, M. Eng. Dan Ir. Dedi Djuniari), Yogyakarta: Pustaka           Pelajar, 2005.




[1] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Mysticism of Ḥamzah Fansûrî (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970) h. 242
[2] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Mysticism of Ḥamzah Fansûrî(Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970) h. 242-248
[3] Dr. Khalid al-Walid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat: Filsafat Eskatologi Mulla Sadra (Jakarta: Sadra Press, 2012), h. 38.
                [4] G.W.J. Drewes & L.F. Braker, The Poems of amzah  Fansûrî, (Dordetch: Forish publication Holland, 1986), h. 88
[5] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Mysticism of amzah  Fansûrî (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970), h. 260
[6] Abdul Hadi W.M. ‘Rumi: Sufi dan Penyair’, (Bandung: Pustaka, 1985), h. viii
[7] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Mysticism of Ḥamzah Fansûrî (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970) h. 498
                [8] Mullâ Şadrâ, Kearifan Puncak,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) h. 204.
[9] Dr. Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabi: Wadah al-Wujûd dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 36
[10] Dr. Abdul Hadi W.M, Tasawuf yang tertindas: Kajian Hermeunetik Terhadap Karya Hamzah Fansuri, (Jakarta, Paramadina, 2001), h. 106
[11] Dr. Abdul Hadi W.M, Tasawuf yang tertindas: Kajian Hermeunetik Terhadap Karya Hamzah Fansuri, (Jakarta, Paramadina, 2001), h. 100

Tidak ada komentar:

Posting Komentar