Untuk apa belajar filsafat? Pertanyaan itu
pasti telah pernah muncul pada diri semua orang yang sedang dan telah belajar
filsafat. Ketika memutuskan belajar filsafat secara formal dan tertib, semua
pelajar telah memiliki jawaban masing-masing untuk diri sendiri dari pertanyaan
tersebut. Yang saya sayangkan adalah hampir semua pelajar filsafat mengambil
jawaban yang kurang tepat sehingga jawaban mereka itu menjadi cara pandang dan
para digma baku dalam kepala sendiri sehingga setiap menerima pelajaran filsafat
selalu disaring melalui dan oleh frame masing-masing itu yang keliru. Akibatnya
setelah belajar filsafat walau tahunan, walau tartil, mereka tidak mendapatkan
perubahan apapun pada jiwa kecuali paradigma lama dengan beberapa catatan kaki
dari pelajaran filsafat tahunan yang diterima. Sayang sekali.
Seharusnya mereka menerima argumen populer dan sederhana dari filosof
besar yang sangat populer di telinga mereka yakni ''filsafat adalah pengakuan
akan kebebalan''. Argumen filsuf besar yang mencetus kalimat ini bukan candaan.
Setiap argumen para filosof adalah permukaan yang terluhat, kedalaman dan isi
samudera jiwa mereka sangat kaya dan tak bisa orang lain menyelami. Kalimat
familiar tersebut jadi diabaikan setidaknya kerana dua hal: pertama karena terlalu
populer sehingga menjadi tak dihargai, sehingga tak mau direnungkan akan
maknanya. Kedua karena mereka yang bersiap belajar filsafat adalah orang yang
egois, sok pinter, merasa diri paling cerdas, sihingga menganggap frame yang
dibentuk dalam diri yang nantinya dijadikan kacamata untuk menerima pelajaran
filsafat--dianggap telah absolut dan dibakukan oleh kecongkakan diri. Inilah
bencana bagi pelajar filsafat. Dan mereka membuat citra filsafat menjadi buruk.
Dalam praktik mereka menggunakan argumen untuk menundukkan orang lain. Kepala
mereka adalah sarang iblis dan setan yang angkuh. Na'udzu billah min hum.
Modal yang benar untuk belajar filsafat seperti modal yang dibawa bocah
cilik untuk masuk padepokan shaolin. Tidak ada yang mereka bawa kecuali
sepasang pakaian yang melekat di badan, sepotong tongkat disangkut selembarkain
yang dijadikan selimut yang dikajikan pembungkus sepotong roti yang diberi oleh
Ibu sebagai bekal: sebuah kepala yang kosong dengan was-was takut-takut tidak
diterima belajar, sebuah harapan kepala kosong itu dapat berisi kelak. Sebatang
tubuh yang telah dipersiapkan untuk dicampuk, dipukul dan dipalu supaya kelak
tumbuh menjadi tangguh. Sehamparan dada yang lapang siap menerima perintah dari
sang guru. Seonggok hati di dalamnya yang sangat sendah yang mudah-mudahan
nanti dapat diisi dengan sejuta hikmah sehingga dia menjadi semakin rendah.
Ketahuilah belajar filsafat adalah sebuah harapan untuk mendapatkan
hikmah dari Allah. Bukankan semua maklum bahwa hikmah itu tiada Allah beri
kecuali kepada kepala yang merasa kosong, kepada hati yang tiada sombong.
Sepotong hati yang dibawa bila ada seatom angkuh di dalamnya, akan menelan
sejuta hikmah yang diberi. Sebuah kepala bila ada sedikit saja riya maka akan
melenyapkan sejuta pengetahuan. Belajar filsafat bukan sebuah buldoser yang
siap mengeruk gunung pengetahuan, bukan pula mata bor yang siap menggali hingga
ke dasar pengetahuan. Belajar filsafat adalah hadirnya seorang hamba yang fakir
ke hadapan Raja Diraja yang Amat Kaya dan Amat Kuat. Kepada Dia kita tinduk,
kepadaNya kita menyerahkan diri yang sama sekali tiada daya: harap hamba diberi
petunjuk.
Saya
melihat dengan mata, mendengar dengan telingan dan memahami dengan hati. Banyak
teman-teman yang telah belajar konsep-konsep filsafat dengan amat tartilnya
terlempat dari jalan Allah karena tidak mampu memahami. Mereka banyak mendengar
konsep tentang Wujud, Ruh, Jiwa, Hati dan segalanya, tetapi mereka tidak lebih
hanya menggunakan mata dan telinga untuk menerima pelajaran. Sekali-kali mereka
menggunakan pikiran, itupun untuk mempersiapkan diri menerima ujian. Pernah
mereka menggunakan hati, tidak lebih untuk menyombongkan diri: ''aku akan
menjadi Master Filsafat. Semoga orang-orang segan, mudah mudahan orang takut''.
Dalam kondisi itu, bagaimana Dr. Abbaci dapat
memperkenalkan konsep wahdatul wujud dengan gamblang kepada kepala-kepala yang
isinya adalah keangkuhan. Bagaimana cahaya dapat diisi kepada kepala yang
gelapnya amat pekat. Karenanya mereka selalu bingung untuk mengetahui, ketika
dikatakan ''Sebuah gelas adalah Wujud''. Mereka berlomba menafsirkan: yang satu
mengatakan ''gelas itu adalah Tuhan'', yang lain menyanggah: ''Tidak, gelas itu
memiliki sifat wujud sebagaimana maujud-maujud lainnya.'' Saya mengatakan:
''Ayolah kawan, jangan menjadi zindiq, dan kita tidak sedang belajar semantik.
Kita sedang berada dalam perjalanan menjuju jalan Allah. Lihatlah segalanya
dengan kesadaran ontologis.'' ketika saya katajan demikian, kebanyakan mereka
menertawakan, beberapa lainnya diam saja tidak peduli. Ada orang yang ingin
memahami, malah memaknai kata 'ontologi' yang saya ucapkan sebagai konsep
tentang ontologi. Ada yang lain yang mencoba mengerti realitas ontologi sebagai
konsep tentang realitas ontologi. Demi Allah saya melihat mereka berenang dan
tidak dapat melepaskan diri dari lumpur kegelapan, mereka berada dalam jebakan
labirin pikiran mereka sendiri.
Hanya
orang-orang yang ditentukan Allah saja yang dapat melihat Hakikat Realitas
Wujud. Wujud itu berada dihadapan dan pada diri mereka sendiri.tetapi Dia hanya
bisa dilihat dengan mata hati bukan mata kepala. Dan hata hati dihidupkan Aklah
pada siapa yang Dia kehendaki dan dimatikan pada siapa yang Ia kehendaki.
Banyak juga dosen kami yang mengulang-ulang kata-kata kunci dalam
disiplin Filsafat Hikmah ini. Tetapi mereka sendiri tidak lebih seperti tape
recorder yang dikirim ke Qumm, Iran untuk merekam kuliah-kuliah Filsafat Islam
dan kembali ke sini untuk mempopulerkan istilah-istilah kunci kepada kami. Mereka
berguna untuk mengakrabkan kami dengan istilah-istilah, sekalipun pada sikap,
paradigma dan tindakan, saya lihat dengan hati mereka tidak menyelam, bahkan
jauh dari pantai irfan. Semoga Allah
menyelamatkan saya dari kata dusta dan fitnah.
Mulla Sadra dalam kitab Hikmah Muta'aliyah berulangkali mengajak
pembacanya untuk menyelam sendiri ke dalam Samudra Hikmah. Dia mengakui bahwa
filsafatnya adalah alat semata untuk mengakrabkan pikiran dengan hikmah, supaya
tidak taklid dalam mengikut irfan. Bukankah nalar dan pikiran telah dipuaskan
oleh karya Sadra, atau analogi Rumi dan Hamzah Fansuri, tidakkah itu semua
mensadarkan kita untuk menceburkan diri kedalam Samudra? Tidak, orang yang
modal berfilsafat adalah kesombongan dan dalam perjalanan orientasinya adalah
mahiyah, maka cukuplah dia berhenti pada derajat dalam fakultas jiwa disebut
sebagai gambar dan atau konsep saja. Berat mereka meniunggalkan lumpur dunia
zulmah.
Katahuilah wahai saudaraku. Bahwa apapun yang kita ingat, kita pikirkan
dan kita renungkan selain Allah, maka kita memikirkan hal yang tidak ada,
ketiadaan, kegelapan, zulmah. Padahal kita hadir, mengada hanya karena satu
alasan, yakni sadar, ingat dan remung. Maka barang siapa yang sadarnya,
ingatnya, dan renungnya bukan akan Allah, maka dia sejatinya tiada. Bila dia
tidada, maka mustahil diingat dia Oleh Allah. Padahal bila tiada diingat oleh
Allah, maka tiada dia diberi wujud. Padahal Wujud hanya dari Allah. Maka
pantaslah yang tidak mengingat Allah tidak pernah mengada. Na'udzu billah.
Mungkin tidak kurang sembilan kali kita mengucap. ''Hormat, berkat,
salawat bagi Allah. Salam pada Nabi Muhammad Saw., pada diri dan abdi Allah
yang salih.'' tetapi berapa kali kita sadar akan ucapan itu selain dari kalimat
wajid yang musti dibaca. Ketahuilah, bahwa kalimat pertama dan kedua adalah
Realitas, dianya tidak kita ucapkan juga demikian adanya. Kehadiran kita
mengikrar kalimat tersebut adalah keinginan kita untuk terlibat dalam Realitas
Ada. Ketika kita mengatakan ''Salam pada kami dan abdi Allah yang saleh'' maka
disitulah ikrar keterlibatan. Ikar yang diterima adalah hanya yang kepada
kalimat pertama dia menyadari dengan sadar sekali bahwa dirinya sendiri tidak
punya apapun, fakir sefakir fakirnyanya sebab dia paham sekali bahwa hanya
Allah yang memiliki hormat, berkat, bahagia dan kebaikan hanya milik Allah.
Keempat tersebut adalah sifat daripada Realitas Wujud yang artinya adalah Wujud
sebagaimana Hamzah ungkapkan dalam Asrar Arifin. Maka ikrar itu adalah
kesadaran penuh bahwa diri sipengikrar adalah tidak berhak sama sekali akan
sifat Wujud yang artinya dia sama-sekali tidak menyandang wujud. Maka itu
artinya dia sama sekali tidak eksis, tidak ada. Selanjutnya dia juga berikrar
bahwa Allah yang Pemilik segala sifat wujud dan wujud, yang dia Wujud yang
EsensiNya adalah Wujud, dia yang A'yan Atstsabithah, memiliki gradasi sifat
kepada Muhammad Cahaya. Yang kepada Muhammad itu si pengikrar yang fakir mutlah
juga menyaksikan, berikrar memiliki sifat Wujud Mutlak dengan mengucap salam,
sebagai kesaksian bahwa Muhammad juga adakah Wujud. Juga si fakir berikrar
bahwa adalah real bahwa Muhammad juga adalah Wujud dengan bukti menyandang
sifat Wujud Mutlak yakni Rahmat dan Barakah. Maka disaksikanlah oleh si fakir
bahwa Muhammad Cahaya adalah gudang sifat dari Wujud Wajib. Maka Sifat itu
adalah tsykik dari dari Ghaibul Ghuyub.
Ketika si fakir menyaksikan realitas tersebut dengan, akibat dia
berikral, maka diri sifakir juga disadarinya juga adalah mengandung sifat Wuju
yakni Salam. Maka penyaksiannya itu dia ikrarkan juga, karena dia adalah fakir,
yang tidak punya daya untuk mensembunyikan realitas yang ia saksikan kecuali
dia ikrarkan. Maka dia berikrar dirinya juga adalah mengandung sifat Wujud
yakni Salam yang itu berarti dia sendiri adalah bukan dirinya sebagai 'diri'
tetapi sepenuhnya telah diisi oleh Wujud karena sifat yang ada pada dirinya
dalah Dzat Wujud. Maka tentunya ia menjadi lenyap dan tiada dan yang ada hanya
Wajibul Wujud. Demikian realitas (bukan gejala psikologis) yang ia saksikan
pada dirinya dan demikian pula kejadian yang berlaku pada abdi Allah yang saleh
seperti para nabi, awliya dan orang-orang yang yakin, yang berikrar dan
mengikrar dan menyaksikan.
Pengalaman si fakir dari dirinya sebagai ketiadaan, kegelapan total,
zulmah menjadi wujud karena berikrar (semoga dapat) kita jadikan cara melihat
wujud pada realitas eksternal yang melalui persepsi pikiran, quiditasnya
menjadi beragam. Maka dia yang telah mengenal wujud akan melihat wujud pada
remua realitas maujud. Dia sadar bahwa realitas eksternal adalah kehadiran
Wujud melalui cerminNya yang plural. Inilah tujuan kita belajar filsafat. Dan
Allah telah menggambarkan ini pada Q.S. Al-Baqarah: 190-194.
Si fakir menjadi wujud adalah karena potensi, pengetahuannya dan
amalannya. Lebih dari itu adalah karena dia membuang segala sifat buruknya
yakni sombong sehingga dia lepas dari lumpur kelam dan gelap. Demikian dia
melihat orang salih wujud karena sifat dan amalnya. Dia juga menemukan semua
makhluk yang majemuk mendapat wujud adalah karena mereka semua berikrar akan
kebesaran Allah dan kemuliaan Muhammad Cahaya. Kalau saja makhluk-makhluk
berhenti berikrar melalui tasbih, syukur dan takbir serta berhenti bershalawat
kepada Muhammad, maka wujud mereka sirna seketikan dan menjadi tiada.
Wujud adalah hal yang paling kaya karena dia memberi eksistensi kepada
setiap maujud. Dia menjadi sangat sederhana karena tidak dapat didefenisikan
dengan cara apa dan bagaimanapun sebab. Defenisi adalah limitasi, sementara
wujud tidak terbatas. Pintu masuk defenisi adalah 'apa', sementara sesuatu yang
memiliki 'keapaan' bukanlah wujud. Maka setiap ingin mesdeskripsikan wujud
selalu gagal. Wujud juga bukan genus dan bukan differensia. Karena itu dia
tidak tunduk pada hukum kausalitas. Maka dia tidak mampu dijangkau nalar yang
hanya bekerja secara hukum kausal. Pada realitas eksternal, wujud adalah hal
yang paling jelas terlihat. Dia sangat kaya. Tetapi karena kita baru bisa dapat
mengkonsepsi hal yang sangat jelas itu melalui empirikal dan rasio, maka
menjadilah wujud itu tersembunyi dibalik sensasi dan nalar.sehingga pada alam
mental, mujud terkesan menjadi entitas tambahan bagi kuiditas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar