''Salman Al-Farisi adalah orang pertama yang mendakwahkan Islam di Nusantara.'' kalau peryataan tersebut saya katakan adalah daripada pengetahuan yang saya dapat secara intuisi, bukan empirikal, maka pernyataan saya tersebut perlu dibuktikan secara empirik. Bila pengalaman intuitif tidak dapat ditemukan pembuktiannya secara empirik, maka akan ditempuh jalan lain yakni menemukan konfirmasi secara empirik apakah pernyataan intuitif tersebut adalah nenegatif atau tidak terbukti secara empirik. Cara terakhir ini tampaknya hampir mirip dengan cara yang ditempuh para filosof Islam untuk membuktikan Wujud yang ontologis melalui selain diriNya. Masalahnya adalah, sejauh mana kita dapat menentukan pernyataan noumena terkonfirmansi dengan fenomena?
Dalam kajian Filsafat Mulla Sadra, dia membagi konsep pengetahuan menjadi dua yakni tasawwur (demonstrasi) dengan tasydiq (intuisi). Tasawwur mungkin dapat disamakan dengan empiris dan tasydiq dengan intuisi. Sadra, uniknya mengatakan bahwa tasawwur sendiri adalah tasydiq. Indra memang adalah instrumen kita untuk mengalami realitas luar. Tetapi pengalaman itu bergantung pada kesadaran. Kesadaran itu sendiri adalah murni metafisik. Maksudnya, kesadaran sebagai kesadaran, bukan pada apa yang disadari.
Realitas alam material sebenarnya juga adalah realitas metafisika pada level terakhir. Pernyataan ini berangkat dari argumentasi bahwa realitas material adalah persepsi dari kesadaran kita yang sifatnya metafisik. Dikhotomi antara alam metafisik dengan fisik adalah dari ketergesa-gesaan Aristoteles dalam menyanggah alam ide Plato. Akibat dikhotomi ini, semua filosof setelah mereka terbelah menjadi dua aliran besar yang meyakini eksistensi ril adalah alam metafisik dan yang meyakini bahwa yang ril adalah alam fisik; setidaknya, di antara filosof setelah mereka, terbagi menjadi yang mempercayai lebih utama adalah metafisik dan yang meyakini yang lebih utama adalah fisik. Pasca filsafat Yunani, filsafat yang berkembang adalah di Persia. Orang Persia saat itu telah diresapi Islam hingga ke sum-sum. Sehingga, para filosofnya tentunya adalah mereka yang meyakini secara sangat mantap kemendasaran alam idea atau metafissik daripada alam yang dapat diinderai. Bahkan sampa-sampai, banyak yang meyakini alam inderawi adalah tidak ril, dianya hanya proyeksi mental semata.
Sesuatu pada realitas inderawi, baik peristiwa maupun benda, dibentuk oleh persepsi pikiran melalui indera yang sifatnya sangat terbatas. Setiap fenomena adalah reduksi dari indera dan pikiran. Realitas di luar tampaknya secara sejati tidak dapat dijangkau (oleh indera dan pikiran). Karena tidak dapat, maka pikiran mengirimkan ''sinyal'' kepada indera untuk menerapkan konsep yang dimilikinya kepada realita di luar. Kemudian pikiran membentuk quiditas-quiditasnya sendiri. Dengan begitu, pikiran menganggap realitas di luar adalah quiditas-quiditas. Menurut saya, pada realitas eksternal tidak ada quidita-quiditas. Pada realitas eksternal, sebenarnya adalah Realitas. Demi Allah yang Maha Tinggi, kesadaran sendiri adalah Realitas. Dengan demikian, ketika dibicarakan dibagilah realitas kesadaran dengan realitas eksternal: sejatinya realitas (kesadaran dengan eksternal) adalah Satu; bahkan harus disebut 'Satu', bukan 'kesatuan', bukan 'penyatuan'.
Terkecoh para filosof adalah karena mereka tidak dapat membedakan antara produksi kesadaran dengan kesadaran itu sendiri. Umumnya menganggap produksi kesadaran adalah kesadaran. Padahal produksi-produksi kesadaran itu semua adalah quiditas-quiditas yang diproduksi oleh pikiran. Karena itu, quiditas-quiditas sama sekali tidak nyata.
Realitas sebagaimana adanya hanya bisa diketahui melalui pengalaman intuisi. Tetapi pengalaman ini murni subjektif. Karena kita tidak pernah bisa melihat kebenaran absolut secara bersama, maka kita perlu menemukan kesepakatan bersama. Kesepakatan bersama tentunya mustahil terjadi karena beramai ramai mempercayai. Dianya harus dapat dibuktikan secara empirik sehingga dapat dipahami bersama.
Dalam hal ini pula, perlu diperjelas bagaimana standar seseorang menerima sesuatu sehingga dia dapat mempercayainya. Mulla Sadra adalah pemikir yang paling mengerti dalah hal ini. Awalnya Sadra memberitahukan bahwa modal kita menerima kebenaran berupa rasio sebenarnya tidak sebagaimana kita pahami biasanya. Ternyata kita menerima sebuah kebenaran bukan sebagaimana rasio bekerja tetapi bagaimana kita memahami rasio bekerja. Dan Sadra memberitahukan sistem kerja rasio yang sebenarnya.
Mengenai nyata dan sejatinya alam metafisik tidak perlu diragukan lagi. Plato sendiri adalah filsuf yang paling teguh dengan alam metafisik. Sejak dia hingga Aquinas para filosof mengakui kesejatian alam metafisik. Tetapi sejak Descartes muncul, manusia terlalu disibukkan dengan dengan rasio sehingga melupakan ajaran sehati filosof Prancis itu. Padahal Descartes sendiri meyakini alam noumene sebagai tempat bergantungnya kausalitas. Artinya rasio juga bertumpu pada kesejatian metafisika.
Ketika David Hume datang, metafisika semakin tersingkirkan. Hume menyatakan rasio bukanlah hal yang prinsipil, menurutnya pengalaman empirik adalah lebih sejati dibandingkan rasio. Dengan menyingkirkan rasio, Hume pasti telah membuat sains dan hal-hal objektif lain menjadi mati kalau tidak ada Immanuel Kant yang menengari perseteruan antara rasionalis dan empirisis. Kant, melalui argumen-argumen cemerlang berhasil meruntuhkan paham empirisme yang berbahaya bila tertanam di benak manusia karena dapat mematikan seluruh aktivitas saintifik. Kritik tajam Kant terhadap empirisme adalah, bila mereka menolak pentingnya rasio, maka mereka menolak keberadaan diri mereka sendiri (Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphsics that Will be Able to Come Forward as Science, Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1988 (cet. VII) h. 92-93) karana eksistensi apapun dari seseorang atau setiap gagasan apapun harus mengakui rasio. Di tangan Kant, antara rasio dan empiril memperoleh posisi yang sama. Sekalipun Kant mengakui supremasi alan metafisika, tetapi filsafat Sadra terlalu idealis dan hal inilah yang tidak diinginkan Immanuel Kant. Kant sendiri sepakat dengan Sadra bahwa kesadaran adalah metafisik, tetapi Kant tidak ingin metafisika selalu subjektif. Sekalipun metafisika lebih asasi.
Saya pernah membaca tetapi lupa buku apa. Di sana dikatakan bahwa menciptakan lingkungan intelektual lebih penting daripada gagasan-gagasan. Artinya, menciptakan sebuah lingkungan yang siap memahami hingga dapat memahami gagasan-gagasan jauh lepih perlu daripada melahirkan gagasan-gagasan tetapi tidak ada yang dapat memahaminya. Socrates, Al-Hallaj, Syihabuddin Suhrawardi, Bruno dan Galileo Galilei adalah contoh daripada betapa gagasan-gagasan yang tidak memiliki lingkungan yang layak hanya akan menjadikan penyuaranya sebagai tumbal.
Thomas Kuhn (Peran Paradigma dalam Revolusi Sains) menggambarkan bagaimana para saintis yang bergelut dengan teori-teori tingkat tinggi hanya ada beberapa orang saja. teori-teori mereka pasti sama sekali tidak dimengerti masyarakat umum. Teori mereka hanya bisa dicoba pe-ngerti-kan kepada beberapa orang saja yang mudah-mudahan dapat mengerti. Beberapa orang yang mudah-mudahan dapat mengerti ini adalah orang yang selanjutnya menerangkan kepada orang di bawahnya lagi dengan cara dipe-mengerti-kan dan mudah mudahan mereka mengerti. Demikian selanjutnya.
Demikian cara kerja transformasi sains tingkat tinggi. Demikian pula metafisika. Santer, dalam ranah sains tinggi jarak antara fisika dan metafisika tidak jelas. Karena itu, metafisika dan sains tingkat tinggi membutuhkan orakel andal sebagai syarat supaya dianya dapat didownload ke bawah. Atau, metafisika supaya dapat diobjektifkan.
Di Barat, Kant adalah filsuf yang tulus dalam memperjuangkan metafisika sebagai ilmu objektif layaknya sains. Motifasi utama Kant, dalam hal ini adalah karena ternyata semua ilmu adalah berasal dari alam metafisik. Dalam hal ini, Kant sejalan dengan Sadra.
Kalau dilihat, Kant benar juga. Bahwa bila memang metafisika itu azali, maka tentunya dia harus sesuai dengan prinsip dasar logika; dalam hal ini Kant melihat akal murni perlu diluruskan supaya metafisika dapat dilihat sebagai hal yang objektif. Maka Kant, melalui Critique of Pure Reason, melakukan pengulangan sebagaimana dilakukan Sadra. Dalam argumentasinya tentang metafisika, Kant mengatakan kita sama sekali tidak bisa menjangkau metafisika dengan pikiran. Metafisika walau bagaimanapun ada sebagaimana dirinya. Kita hanya mampu menggambarkan alam metafisik melalui sensasi-sensasi empirik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar