Link Download

Selasa, 08 Januari 2013

ilmu Diam

Sufism is silence. Schimmel ketika ditanyai apa itu ilmu sufi, jawabnya adalah belajar bagaimana untuk diam. Schimmel adalah sarjana mistisme Islam. Saya kira dia mendapatkan pengetahuan itu dari sufi Qadi Qadan. ''Tinggalkan tata bahasa dan sintaksis, aku merenungkan kekasih'', kata sufi tersebut. Lama sebelumnya, pengamal mistik Cina, Zen Masters mengatakan Zen adalah kesunyia, diam, tanpa kata, tiada suara. Zen adalah sesuatu yang tidak dapat diucapkan, tidak bisa disebut. Bila coba dibahasakan, maka bukan Zen. kalau diturunkan kepada konsepsi, Zen terdistorsi.
Filsafat Islam sebenarnya adalah jalan berisik menuju diam. Belajar filsafat Islam syaratnya adalah harus dengan tartil, tahap demi tahap: seperti menginjak anak-anak tangga satu persatu secara teratur, tidak boleh melewatkan satu anak tanggapun. Mereka yang suka berkicau berati adalah pelompat. Setiap lompatan adalah tidak baik. Cahaya itu tidak melompat, dia terpancar. Kalau terhalah dia berhenti. Ilmu adalah cahaya. Filsafat Islam adalah cahaya. Cahaya ilmu adalah pancaran ke Kesunyian. Siapa saja yang bicara apalagi bicara sembarangan setelah belajar filsafat, itu artinya saat belajar filsafat melakukan lompatan, dia melinggalkan anak tangga tertentu. Dan artinya dia tidak belajar filsafat. Itu artinya dia tidak belajar apapun.
Seorang teman mengatakan bila belajar filsafat banyak konsep yang dia punya, jadi maunya terus berbicara. Tetapi kalau saja dia belajar filsafat yang benar, maka konsep-konsep itu akan menghantarkannya kepada pemahaman Eksistensi yang sama sekali tidak terlingkup lagi ke dalam konsepsi. Dari konsep yang benar menuju Eksistensi Tinggi adalah seperti sperma yang menjadi manusia dewasa. Setelah dewasa, manusia tidak muat lagi ke dalam rahim. Setelah menjadi Kesadaran Eksistensi, dia tidak lagi bisa ditampung ke dalam konsep. Ketika dikonsepkan, maka bukan lagi Eksistensi. Ketika manusia dewasa dicoba masukkan ke dalam rahim, maka bukan lagi manusia dewasa. Manusia dewasa di dalam rahim boleh jadi itu adalah janin, foto atau gambar atau bayangannya saja, atau penggalan bagiannya seperti tangan atau kepala saja; yang semua itu bukan manusia dewasa.
Eksistensi di dalam konsep sama sekali bukan Eksistensi; tetap Eksistensi didapatkan manusia harus melalui konsepsi. Konsepsi adalah ilmu sebagai cahaya. Ada pula pengetahuan yang bukan cahaya, maka dia harus menghadapi konsekuensi selamanya sebagai konsep. Maka selamanya konsep adalah bayangan, hanya ketiadaan. Semua manusia memiliki fakultas konseptual. Tetapi tidak semua yang ada di dalam konsep berasal dari fakultas imajinasi. Nabi Isa As tidak berangkat dari konsepsi tetapi dari Eksistensi ke konsep ketika bayi berkata ''Aku Hamba Allah yang diwahyukan Injil''.
Manusia yang diilhami potensi mengenal Wujud boleh saja belum mencapai maqam miliknya. Dengan itu dia menempuh jalan tasawwur sehingga batas tertinggi model ini yakni konsep. Model seperti ini ditempuh Ibn Sina. Ketika orang seperti dia mencapai maqam Wujud, ia menyadari dirinya telah melakukan banyak kesilapan sebelumnya. Bahkan hingga dia tidak peduli dan tidak menghiraukan untuk menarik balik atau merevisi karyanya sebelumnya. Dia tidak peduli terjadinya inkonsistensi antara karya sebelumnya dengan setelah itu. Hal inilah yang tidak berani dilakukan pemikir Barat. Orang Barat takut melanggar pemikirannya sebelumnya. Mereka mewajibkan diri secara linear pemikirannya yang baru adalah dari ikutan pemikiran sebelumnya. Motofasi mereka berkarya memang berbeda dengan filosof muslim.
Pernyataan saya di atas sekaligus memperlihatkan bahwa memang ada inkonsistensi antara konsep dengan Eksistensi. Karena memang demikianlah hakikat konsep. Dia adalah himpunan dari keterbatasan-keterbatasan indera dan nalar. Karena itu, sejalan dengan pandangan Popper, bahwa konsepsi juga sejatinya adalah gradasi dari Ontologi. Semua ilmu adalah metafisika, kata pemikir Austria itu. Karena, capaian intensi gradasi Wujud kepada konsep terus begerak seiring akal ('aql) yang, meminjam istilah Hegel, terus bergerak di dalam sejarah.
Para filosof muslim yang bila terlebih dahulu mencapai maqam wujud baru menulis tema logika akan membongkar logika sistem tasawwur tulen supaya dapat menghantarkan kepada pemahaman Pengalaman yang ia alami. Model ini digunakan oleh Ibn Arabi, Suhrawardi dan Mulla Sadra. Sekalipun demikian, model seperti ini tetap saja memiliki banyak kekurangan sekaligus terdapat banyak perbedaan sebab intensitas atau Maqam masing-masing mereka berbeda. Di samping itu, persoalan yang lain yang tidak kalah penting adalah kemampuan logika masing-masing mereka juga berbeda. Kata 'berbeda' di sini juga dapat bercabang maknanya: boleh jadi masing-masing bergantung pada kepedulian masing-masing pada logika; bisa juga karena pengaruh intensitas Wujud masing-masing yang berkonsekwensi pada logika (sebab punya kaidah-kaidah bersama atau objektif).
Ketika hendak merumuskan konsep ontologinya, Suhrawardi dan Shadra harus ''mengganggu'' sistem logika yang objektif. ''Gangguan kepada sistem logika yang objektif harus dilakukan dengan hati-hati. Kant dan Popper juga sedikit mengotak-atik logika objektif. Suhrawardi dan Sadra ''mempreteli'' logika objektif karena mereka harus menjelaskan Hakikat Ontologi yang mereka lihat secara jelas. Sementara Popper dan Kant melakukannya karena mereka merasa-rasa adanya alam metafisika yang menjadi sumber dari segala konsep. Al-Ghazali menghujat para filosof sejadi-jadinya karena saat melakukan itu dia belum melihat Hakikat. Sufi sebelum Arabi menghadapi dilema besar karena ketika mereka menjelaskan Pengalaman, mereka tidak memiliki istilah yang tepat untuk digunakan sehingga mereka terpaksa disalahpahami oleh mayoritas orang yang tidak mendapat Pengalaman.
Filsafat Islam yang baik adalah instrumen yang baik untuk menginformasikan Realitas. Tetapi banyak pembelajar filsafat Islam hanya akan terjebak dalam hutan konsep apabila mereka tidak punya potensi anugerah Wujud. Peringatan filosof Yunani untuk berprinsip ''Satuhal yang aku ketahui hanya satu yakni aku tidak tahu'' harus direnungkan dan diterapkan saat belajar filsafat. Alasannya, semua manusia punya alat untuk mempreteli semua hal yang masuk ke dalam imajinasinya. manusia dengan nalarnya mempreteli semua informasi yang masuk dan segera menyimpannya dalam konsep.
Sejatinya nalar itu adalah seperti pedang yang menebas segala informasi untuk ditaklukkan dan dengan itu dapat di tempatkan sebagai konsep. Konsep adalah quiditas sesuatu yang telah memiliki makna. Makna itu adalah kemampuan penalaran atau defenisi. Makna relatif bagi semua orang tergantung horisonnya masing-masing. Bagi orang tang diberi Taufiq oleh Allah maka dia diberi pengetahuan ladunni atau intuisi. Dengan itu setiap konsep yang masuk dapat dia lihat sebagai Realitas yang memiliki intensitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar