Link Download

Selasa, 11 Desember 2012

Refleksi Filsafat Islam III (Bag. I)



Para pemikir masih belum memahami maksud Kant: bahwa Tuhan tidak dapat dijangkau dengan akal, tetapi melalui 'praktik'. Mereka meganggap 'praktik' yang dimaksudkan Kant adalah adalah tindakan sehari-hari atau mereka kenal dengan 'moral. Para pemikir tentu tidak benar-benar salah karena Kant sendiri memaknai praktik itu dengan 'moral' juga. Maka Barat, termasuk Kant sendiri, akan selalu dalam keadaam zulum (gelap, bodoh, terhijab jadi kebenaran sebelum mereka mengetahui menjangkau Noumena dengan praktik, utamanya bukan dengan arti adalah moral.
Kant telah menemukan penerawangan yang luar biasa (melalui konsep epistemologinya) sehingga mengantarkannya untuk memahami bahwa Noumena hanya dapat disingkap melalui praktik (tindakan), bukan akal. Tetapi sayang dia sendiri kelliru dan buru-buru memaknai bahwa praktik itu adalah tindakan moral. Moral memang utamanya berfokus pada pendisiplinan diri dan sikap diri. Kant sendiri telah mengaplikasikan kedisiplinan ini hingga bahkan anekdot yang berkembang, orang-orang membetulkan petunjuk waktu di arlojinya menurut rutinitas keseharian Kant yang begitu tertib setertib bumi mengitari matahari. Tetapi apakah praktik moral yang dijalankan Kant sejalan dengan prinsip akal murni yang ia susun?
Kira-kira tujuh atau delapan ratus tahun sebelum Kant, seseorang yang juga berasal dari ras keturunan yang sama dengannya pernah menyusun tertib hukum berpikir yang sangat rapi dan cemerlang. Orang-orang setelahnya hanya mengkritik sistem logika yang ia bangun ketika menemukan inkonsistensi epistelogoginya dengan penjelasan hal-hal metafisik yang ia argumentasikan. Orang tersebut adalah Avicenna (Ibn Sina).
Inkonsistensi antara hal-hal logik dengan hal-hal metafisik adalah bukti, hamoir seribu tahun sebelum Kant, bahwa akal murni tidak bisa menjangkau hal-hal metafisik. Tetapi, belajar pada inkonsistensi Avicenna saat mengulas metafisika, apakah inkonsistensi itu muncul karena kekeliruan menjelaskan metafisika, atau karena susunan logika yang ia bangun itu yang keliru? Bila yang diminta menjawab adalah para pemikir Barat, maka tanpa perlu pikir-pikir mereka akan langsung menjawab bahwa Avicenna keliru dalam menjelaskan metafisika, bahkan, orang Barat tidak yakin bahwa hal metafisik itu nyata. Misalnya kita dapat melihat ketika Russell mengatakan bahwa teori tentang jiwa sekalipun dipopulerkan oleh filosof Yunani, namun konsep tersebut muncul dari agama.[1]
Beban ini tentu saja kita kembalikan kepada Avicenna. Inkonsistensinya mengindikasikan bahwa, (gagasan metafisikanya yang tidak sejalan dengan logikanya,) konsep metafisika yang ia bangun berasal dari sumber lain. Maka langsung saja kita sadar bahwa Teks Sucilah yang mempengaruhinya dalam merumuskan metafisikanya. Bahkan pengikut setianya, Fazlur Rahman, mengakui inkonsistensinya itu.
Saya sendiri melihat, hukum-hukum logika yang dipakai Avicenna mungkin sudah tepat, tetapi hukum-hukum itu tidak berlaku pada ranah metafisik. Epistemologi tugasnya hanya untuk menganalisa dan mengembangkan teori dan praktik yang berlaku pada ranah esensi. Sementara untuk ranah metafisika, bila hukum logika dipaksakan, yang terjadi hanya reduksi. Sekalipun bahasa yang dipakai sangat kaya. Melihat hal itulah, Jalaluddin Rumi dan Hamzah Fansuri memilih pengungkapan metafisika melalui simbol-simbol. (lihat Abdul Hadi W.M dalam 'Tasawuf yang Tertindas', Jakarta: Paramadina, 2001, h. 206).
Tetapi beban yang dihadapi Avicenna adalah sama seperti yang dihadapi para filosof Barat. Seperti juga Suhrawardi, Thusi dan Mulla Shadra, mereka dihadapkan pada masyarakat Persia yang tidak dengan mudah meneipa penyampaian-penyampaian melalui bahasa simbolik. Hamzah dan Rumi tidak mengalami tantangan dalam penyampaian gagasan metafisika mereka karena sasaran mereka adalah masyarakat Melayu dan Turki yang tidak begitu tertarik dengan epistemologi dan logika. Apalagi masyarakat melayu yang punya tradisi pantun. Masyarakat Arab juga punya kecenderungan yang sama, mereka tidak punya persoalan mengenai logika dan epistemologi. Bagi orang Arab, keputusan untuk menerima sesuatu tidak berrdasarkan pada argumen tetapi melalui rasa yang timbul. Itulah salah satu pembenarannya kenapa Al-Qur'an tidak turun sebagai kitab yang lebih mirib buku filsafat tetapi lebih mirib syair-syair. Saya sendiri lebih sepakat hal dari dunia metafisik diungkap melalui bahasa simbolik karena dengan begitu otentisitasnya dapat terus terjaga.[2]
 Saya melihat, dorongan masyarakat Persia dan Barat yang tidak begitu mudah menerima bahasa simbolis adalah karena mereka menginginkan segala sesuatu memiliki faedah dalam kehidupan praktis. Lagi pula, orang Persia punya penyair yang hebat-hebat, bahasa merekapun sangat indah. Karakter seperti ini tentunya berbeda dengan karakter Bani Israil yang memberikan pertanyaan logis dengan tujuan menolaknya.
Masyarakat Barat sendiri sebenarnya tidak punya tradisi Kritis, mereka adalah orang-orang yang menindas diri mereka sendiri sejak dahulu. Bibit perbaikan Eropa bermula dari hijrahnya bangsa Persia ke sana. Melalui bibit Persia itulah budaya kritis mereka mulai berkembang dan mencapai kejayaannya pada mara Romawi dan Yunani. Bani Israil yang punya perangai buruk juga banyak bermigrasi ke Eropa, tetapi mereka hanya melakukan kekacauan di sana. Karena itulah Hitler melakukan pemusnahan terhadap ''hama kecoa'' itu.
Bahasa simbolok memang sifatnya sangat sensitif, sdikit saja disalah maknai, dia bisa membuat orang tersesat selamanya. Tradisi pikir seperti yang dimiliki Persia sangat berguna karena dapat dipakai untuk memperjelas bahasa-bahasa simbolis yang tersirat di dalam karya-karya Sastra. Bukankah Kitab Suci semuanya adalah kitab yang memiliki karakter yang sama dengan karya sastra sebab mereka sama-sama menggunakan bahasa simbolis.Al-Qur'an yang dipahami bangsa Persia tidak sama dengan pemahaman bangs Arab. Bangsa Arab tunduk pada huruf-huruf yang dimaknai sacara verbal. Muhammad Ibn Wahab telah menyelamatkan bangsa Arab dari kemusyrikan ketika dia menyerat kembali kaumnya untuk tunduk pada Al-Qur'an dengan baik seperti recorder. Tetapi bangsa Persia memaknai Al-Qur'an bukan secara tersurat, mereka melihat Al-Qur'an sebagai sesuatu yang hidup dan dinamis persis seperti jiwa-jiwa mereka.
Kedua tradisi budaya ini, Arab dan Persia, sama-sama melihat kepercayaan masing-masing sebagai kebenaran yang tidak dapat disanggah sama sekali. Begitu yakinnya mereka, sehingga melihat orang-orang yang tidak berpaham yang sama dengan mereka benar-benar dalam kegelapan yang nyata. Berangkat dari keyakinan seperti intan itu keduanya pergi membawa lilin masing-masing kepada bangsa lain yang mereka anggap gelap. Salah saty bangsa yang mereka anggap belap adalah bangsa Melayu-Nusantara. Kalau dilihat secara objektif, bangsa Melayu memang benar benar malang. Mereka adalah bangsa terpuruk yang dilihat oleh Arab dan Persia perlu diselamatkan karena hampir-hampir manusia seperti mereka juga. Sekalipun mereka tidak terlalu yakin Melayu adalah manusia, tetapi mereka saling bertarung untuk mendapatkan Melayu. Tragedi ini tidak beda dengan adegan buaya yang bertarung dengan harimau memperebutkan seekor kancil yang malang.
Arab melalui baju Wahabinya saya lihat lebih mudah diterima. Alasan yang paling jelas adalah karena mereka berbahasa Arab sama seperti bahasa Kitab Suci. Jadi, perdapat Melayu, Arablah yang lebih benar karena lebih bisa berbahasa Arab. Alasan inilah yang selalu saya dengar dari pengikut Wahabi dan sejenisnya. Jawaban ini selalu membuat saya ingin tertawa sampai sakit perut. Mereka tidak tahu, tidak percaya, dan tidak akan pernah mau tahu, bahwa orang Arab seperti kaset recorder yang mampu mengeluarkan sura yang sama seperti aslinya (Al-Qur'an), belakangan mereka juga sudah seperti video recor, mampu menalpilkan suara sekaligus gambar sesuai aslinya (Amalan Hadits Nabi Saw.) sekalipun mereka tidak tahu apa-apa. Harus diakui mereka lebih baik daripada burung beo; sebab burung itu tidak pernah bisa berbunyi semirip aslinya.
Maka wajrlah orang Melayu-Nusantara tidak mampu menjadikan Al-Qur'an dan Hadits sebagai solusi atas masalah yang mereka hadapi. Ilmu itu adalah cahaya dari Allah, cahaya akan berhenti bila terhalang benda. Cahaya itu umpama wujud, wujud akan lenyap dengan halangan esensi. Karena itu mustahil bisa memperoleh cahaya bila guru kita adalah orang esensialis. Pada mereka sendiri sudah tidak lagi masuk cahaya, lantas apa lagi yang dapat mereka bagikan kepada orang lain selain menjadi bagian dari artis yang menari dalam sebuah video record.
Esensialis itu adalah mereka yang menterjemahkan bentuk dan jumlah. Ketika fakultas jiwa mereka menerima suatu informasi, baik secara langsung maupun diwakilkan dengan kata, mereka terjebak pada gambar informasi itu, jiwa mereka tidak mampu melampaui bentuk, kualitas dan aksiden-aksiden lain dan menjangkau substansi. Sementara kalangan eksistensialis adalah mereka yang memperoleh cahaya oleh karena mereka tidak terjebak oleh fakultas imajinasi. Setiap informasi yang mereka terima dapat menghantarkan mereka kepada Wujud yang tidak ada serikat bersamaNya.
Dengan mengikuti orang yang memiliki cahaya, maka tentulah kita punya potensi untuk memperoleh cahaya. Kita berharap tidak seperti kuda yang kemana saja ditunggangi mengikut saja. Sejarah menunjukkan kejayaan Melayu-Nusantara karena mereka mengikut pada cahaya. Bukankan kedua aliran itu mengaku Islam, tetapi kenapa yang satu mengikut pada Yahudi yang jelas memusuhi Allah dan membunuh para nabi. Kenapa kelompok Islam satu lagi yang diikuti mayoritas Nusantara sekarang malah menjadi beban dalam hidup.Kenapa tidak kita kembalikan kejayaan itu. Ketika ada satu kelompok kecil yang ingin kembali kepada cahaya, maka mereka menjadi korban. Dikorbankan oleh yang zalim sebagaimana pendahulu mereka dikorbankan.
Orang yang ditutup hatinya adalah orang yang ditutup pandangannya dari Realitas Wujud. Mereka senantiasa akan bergelut dengan dengan bentuk dan kuantitas. Setiap harinya mereka berharap endingnya di sebuah ruang yang bebentuk dipan dengan kuantitas pintu kedelapan dengan jarak dibawahnya sungai susu. Ada pula yang takut berada di pintu ketujuh dalam ruang bersuhu panas. Mereka sibuk memikirkan bentuk dan kuantitas.


[1] Bertrand Russell, 'Perjumpaan Sains-Agama dan Cita-cita Politik', (Jakarta: Ufuk, 2005, h. 123)

[2] lihat Miswari, 'Garudaku Tangguh', (Jakarta: PII Press, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar