Para
pemikir masih belum memahami maksud Kant: bahwa Tuhan tidak dapat dijangkau
dengan akal, tetapi melalui 'praktik'. Mereka meganggap 'praktik' yang
dimaksudkan Kant adalah adalah tindakan sehari-hari atau mereka kenal dengan
'moral. Para pemikir tentu tidak benar-benar salah karena Kant sendiri memaknai
praktik itu dengan 'moral' juga. Maka Barat, termasuk Kant sendiri, akan selalu
dalam keadaam zulum (gelap, bodoh, terhijab jadi kebenaran sebelum mereka
mengetahui menjangkau Noumena dengan praktik, utamanya bukan dengan arti adalah
moral.
Kant telah menemukan penerawangan yang luar biasa (melalui
konsep epistemologinya) sehingga mengantarkannya untuk memahami bahwa Noumena
hanya dapat disingkap melalui praktik (tindakan), bukan akal. Tetapi sayang dia
sendiri kelliru dan buru-buru memaknai bahwa praktik itu adalah tindakan moral.
Moral memang utamanya berfokus pada pendisiplinan diri dan sikap diri. Kant
sendiri telah mengaplikasikan kedisiplinan ini hingga bahkan anekdot yang
berkembang, orang-orang membetulkan petunjuk waktu di arlojinya menurut
rutinitas keseharian Kant yang begitu tertib setertib bumi mengitari matahari.
Tetapi apakah praktik moral yang dijalankan Kant sejalan dengan prinsip akal
murni yang ia susun?
Kira-kira tujuh atau delapan ratus tahun sebelum Kant,
seseorang yang juga berasal dari ras keturunan yang sama dengannya pernah
menyusun tertib hukum berpikir yang sangat rapi dan cemerlang. Orang-orang
setelahnya hanya mengkritik sistem logika yang ia bangun ketika menemukan
inkonsistensi epistelogoginya dengan penjelasan hal-hal metafisik yang ia
argumentasikan. Orang tersebut adalah Avicenna (Ibn Sina).
Inkonsistensi antara hal-hal logik dengan hal-hal metafisik
adalah bukti, hamoir seribu tahun sebelum Kant, bahwa akal murni tidak bisa
menjangkau hal-hal metafisik. Tetapi, belajar pada inkonsistensi Avicenna saat
mengulas metafisika, apakah inkonsistensi itu muncul karena kekeliruan
menjelaskan metafisika, atau karena susunan logika yang ia bangun itu yang
keliru? Bila yang diminta menjawab adalah para pemikir Barat, maka tanpa perlu
pikir-pikir mereka akan langsung menjawab bahwa Avicenna keliru dalam
menjelaskan metafisika, bahkan, orang Barat tidak yakin bahwa hal metafisik itu
nyata. Misalnya kita dapat melihat ketika Russell mengatakan bahwa teori
tentang jiwa sekalipun dipopulerkan oleh filosof Yunani, namun konsep tersebut
muncul dari agama.[1]
Beban ini tentu saja kita kembalikan kepada Avicenna.
Inkonsistensinya mengindikasikan bahwa, (gagasan metafisikanya yang tidak
sejalan dengan logikanya,) konsep metafisika yang ia bangun berasal dari sumber
lain. Maka langsung saja kita sadar bahwa Teks Sucilah yang mempengaruhinya
dalam merumuskan metafisikanya. Bahkan pengikut setianya, Fazlur Rahman,
mengakui inkonsistensinya itu.
Saya sendiri melihat, hukum-hukum logika yang dipakai
Avicenna mungkin sudah tepat, tetapi hukum-hukum itu tidak berlaku pada ranah
metafisik. Epistemologi tugasnya hanya untuk menganalisa dan mengembangkan
teori dan praktik yang berlaku pada ranah esensi. Sementara untuk ranah
metafisika, bila hukum logika dipaksakan, yang terjadi hanya reduksi. Sekalipun
bahasa yang dipakai sangat kaya. Melihat hal itulah, Jalaluddin Rumi dan Hamzah
Fansuri memilih pengungkapan metafisika melalui simbol-simbol. (lihat Abdul Hadi
W.M dalam 'Tasawuf yang Tertindas', Jakarta: Paramadina, 2001, h. 206).
Tetapi beban yang dihadapi Avicenna adalah sama seperti yang
dihadapi para filosof Barat. Seperti juga Suhrawardi, Thusi dan Mulla Shadra,
mereka dihadapkan pada masyarakat Persia yang tidak dengan mudah meneipa
penyampaian-penyampaian melalui bahasa simbolik. Hamzah dan Rumi tidak
mengalami tantangan dalam penyampaian gagasan metafisika mereka karena sasaran
mereka adalah masyarakat Melayu dan Turki yang tidak begitu tertarik dengan
epistemologi dan logika. Apalagi masyarakat melayu yang punya tradisi pantun.
Masyarakat Arab juga punya kecenderungan yang sama, mereka tidak punya
persoalan mengenai logika dan epistemologi. Bagi orang Arab, keputusan untuk
menerima sesuatu tidak berrdasarkan pada argumen tetapi melalui rasa yang
timbul. Itulah salah satu pembenarannya kenapa Al-Qur'an tidak turun sebagai
kitab yang lebih mirib buku filsafat tetapi lebih mirib syair-syair. Saya
sendiri lebih sepakat hal dari dunia metafisik diungkap melalui bahasa simbolik
karena dengan begitu otentisitasnya dapat terus terjaga.[2]
Saya melihat,
dorongan masyarakat Persia dan Barat yang tidak begitu mudah menerima bahasa
simbolis adalah karena mereka menginginkan segala sesuatu memiliki faedah dalam
kehidupan praktis. Lagi pula, orang Persia punya penyair yang hebat-hebat,
bahasa merekapun sangat indah. Karakter seperti ini tentunya berbeda dengan
karakter Bani Israil yang memberikan pertanyaan logis dengan tujuan menolaknya.
Masyarakat Barat sendiri sebenarnya tidak punya tradisi
Kritis, mereka adalah orang-orang yang menindas diri mereka sendiri sejak
dahulu. Bibit perbaikan Eropa bermula dari hijrahnya bangsa Persia ke sana.
Melalui bibit Persia itulah budaya kritis mereka mulai berkembang dan mencapai
kejayaannya pada mara Romawi dan Yunani. Bani Israil yang punya perangai buruk
juga banyak bermigrasi ke Eropa, tetapi mereka hanya melakukan kekacauan di
sana. Karena itulah Hitler melakukan pemusnahan terhadap ''hama kecoa'' itu.
Bahasa simbolok memang sifatnya sangat sensitif, sdikit saja
disalah maknai, dia bisa membuat orang tersesat selamanya. Tradisi pikir
seperti yang dimiliki Persia sangat berguna karena dapat dipakai untuk
memperjelas bahasa-bahasa simbolis yang tersirat di dalam karya-karya Sastra.
Bukankah Kitab Suci semuanya adalah kitab yang memiliki karakter yang sama
dengan karya sastra sebab mereka sama-sama menggunakan bahasa
simbolis.Al-Qur'an yang dipahami bangsa Persia tidak sama dengan pemahaman
bangs Arab. Bangsa Arab tunduk pada huruf-huruf yang dimaknai sacara verbal.
Muhammad Ibn Wahab telah menyelamatkan bangsa Arab dari kemusyrikan ketika dia
menyerat kembali kaumnya untuk tunduk pada Al-Qur'an dengan baik seperti
recorder. Tetapi bangsa Persia memaknai Al-Qur'an bukan secara tersurat, mereka
melihat Al-Qur'an sebagai sesuatu yang hidup dan dinamis persis seperti
jiwa-jiwa mereka.
Kedua tradisi budaya ini, Arab dan Persia, sama-sama melihat
kepercayaan masing-masing sebagai kebenaran yang tidak dapat disanggah sama
sekali. Begitu yakinnya mereka, sehingga melihat orang-orang yang tidak
berpaham yang sama dengan mereka benar-benar dalam kegelapan yang nyata.
Berangkat dari keyakinan seperti intan itu keduanya pergi membawa lilin
masing-masing kepada bangsa lain yang mereka anggap gelap. Salah saty bangsa
yang mereka anggap belap adalah bangsa Melayu-Nusantara. Kalau dilihat secara
objektif, bangsa Melayu memang benar benar malang. Mereka adalah bangsa
terpuruk yang dilihat oleh Arab dan Persia perlu diselamatkan karena
hampir-hampir manusia seperti mereka juga. Sekalipun mereka tidak terlalu yakin
Melayu adalah manusia, tetapi mereka saling bertarung untuk mendapatkan Melayu.
Tragedi ini tidak beda dengan adegan buaya yang bertarung dengan harimau
memperebutkan seekor kancil yang malang.
Arab melalui baju Wahabinya saya lihat lebih mudah diterima.
Alasan yang paling jelas adalah karena mereka berbahasa Arab sama seperti
bahasa Kitab Suci. Jadi, perdapat Melayu, Arablah yang lebih benar karena lebih
bisa berbahasa Arab. Alasan inilah yang selalu saya dengar dari pengikut Wahabi
dan sejenisnya. Jawaban ini selalu membuat saya ingin tertawa sampai sakit
perut. Mereka tidak tahu, tidak percaya, dan tidak akan pernah mau tahu, bahwa
orang Arab seperti kaset recorder yang mampu mengeluarkan sura yang sama
seperti aslinya (Al-Qur'an), belakangan mereka juga sudah seperti video recor,
mampu menalpilkan suara sekaligus gambar sesuai aslinya (Amalan Hadits Nabi
Saw.) sekalipun mereka tidak tahu apa-apa. Harus diakui mereka lebih baik
daripada burung beo; sebab burung itu tidak pernah bisa berbunyi semirip
aslinya.
Maka wajrlah orang Melayu-Nusantara tidak mampu menjadikan
Al-Qur'an dan Hadits sebagai solusi atas masalah yang mereka hadapi. Ilmu itu
adalah cahaya dari Allah, cahaya akan berhenti bila terhalang benda. Cahaya itu
umpama wujud, wujud akan lenyap dengan halangan esensi. Karena itu mustahil
bisa memperoleh cahaya bila guru kita adalah orang esensialis. Pada mereka
sendiri sudah tidak lagi masuk cahaya, lantas apa lagi yang dapat mereka
bagikan kepada orang lain selain menjadi bagian dari artis yang menari dalam sebuah
video record.
Esensialis itu adalah mereka yang menterjemahkan bentuk dan jumlah. Ketika fakultas jiwa mereka menerima suatu informasi, baik secara langsung maupun diwakilkan dengan kata, mereka terjebak pada gambar informasi itu, jiwa mereka tidak mampu melampaui bentuk, kualitas dan aksiden-aksiden lain dan menjangkau substansi. Sementara kalangan eksistensialis adalah mereka yang memperoleh cahaya oleh karena mereka tidak terjebak oleh fakultas imajinasi. Setiap informasi yang mereka terima dapat menghantarkan mereka kepada Wujud yang tidak ada serikat bersamaNya.
Esensialis itu adalah mereka yang menterjemahkan bentuk dan jumlah. Ketika fakultas jiwa mereka menerima suatu informasi, baik secara langsung maupun diwakilkan dengan kata, mereka terjebak pada gambar informasi itu, jiwa mereka tidak mampu melampaui bentuk, kualitas dan aksiden-aksiden lain dan menjangkau substansi. Sementara kalangan eksistensialis adalah mereka yang memperoleh cahaya oleh karena mereka tidak terjebak oleh fakultas imajinasi. Setiap informasi yang mereka terima dapat menghantarkan mereka kepada Wujud yang tidak ada serikat bersamaNya.
Dengan mengikuti orang yang memiliki cahaya, maka tentulah
kita punya potensi untuk memperoleh cahaya. Kita berharap tidak seperti kuda
yang kemana saja ditunggangi mengikut saja. Sejarah menunjukkan kejayaan
Melayu-Nusantara karena mereka mengikut pada cahaya. Bukankan kedua aliran itu
mengaku Islam, tetapi kenapa yang satu mengikut pada Yahudi yang jelas memusuhi
Allah dan membunuh para nabi. Kenapa kelompok Islam satu lagi yang diikuti mayoritas
Nusantara sekarang malah menjadi beban dalam hidup.Kenapa tidak kita kembalikan
kejayaan itu. Ketika ada satu kelompok kecil yang ingin kembali kepada cahaya,
maka mereka menjadi korban. Dikorbankan oleh yang zalim sebagaimana pendahulu
mereka dikorbankan.
Orang yang ditutup hatinya adalah orang yang ditutup pandangannya dari Realitas Wujud. Mereka senantiasa akan bergelut dengan dengan bentuk dan kuantitas. Setiap harinya mereka berharap endingnya di sebuah ruang yang bebentuk dipan dengan kuantitas pintu kedelapan dengan jarak dibawahnya sungai susu. Ada pula yang takut berada di pintu ketujuh dalam ruang bersuhu panas. Mereka sibuk memikirkan bentuk dan kuantitas.
Orang yang ditutup hatinya adalah orang yang ditutup pandangannya dari Realitas Wujud. Mereka senantiasa akan bergelut dengan dengan bentuk dan kuantitas. Setiap harinya mereka berharap endingnya di sebuah ruang yang bebentuk dipan dengan kuantitas pintu kedelapan dengan jarak dibawahnya sungai susu. Ada pula yang takut berada di pintu ketujuh dalam ruang bersuhu panas. Mereka sibuk memikirkan bentuk dan kuantitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar