Link Download

Selasa, 11 Desember 2012

Asraul 'Arifin Hamzah Fansuri (Part I)

Awalnya kita adalah tiada: lalu Allah memberi kita badan, diberi tulang. Lalu diilhami kita pendengaran dan penglihatan. Kita memiliki hati dan lidah. Itu semua supaya kita mengenalNya. Sebelum ilham ini diberi, kita terdahulu dibuat janji. Untuk mengingatkan kita punya janji, diturunkan kepada kita seorang Rasul. Bersama Kitab Suci, kita diingatkan kembali:
diingatkan akan kita punya janji yang harus dijunjung tinggi.
Sifatnya manusia adalah lupa, lebih dari itu dia berkecenderungan untuk ingkar. Maka yang melanggar ajaran Nabi, tentunya dia orang merugi. Maka mari kita ingat kembali. Perteguh diri sanjung saji Ilahi Rabbi. Karena tahu segala indera, jasad dan nama adalah sebelumnya dari ketiadaan, dan datangnya dari Allah, maka niscaya hendak kita sadari bahwa dianya adalah fana. Sebab, yang Kekan Abadi hanya Allah semata. Karena itu, sebenarnya semua itu adalah hijab bagi kita dari bertemu dengan Allah. Oleh sebab itu, untuk mencapai maqam ma'rifah, kita harus menyingkirkan semua sematan tersebut. Disamping itu, segala terkait atau yang diproduksi oleh hijab itu adalah penebal hijab.
Jika belum fana pada ribu dan ratus
Tiada 'kan dapat adamu kau hapus
Nafikan rasamu itu daripada kasar dan halus
supaya dapat barang katamu harus (Al-Attas: 1970: 237)

Bahwasanya indera dan rasa itu mempersepsikan alam eksternal dengan warna, bentuk dan rasa. Dengan itu, ketertarikan inndera dan pikiran kepada proyeksinya sendiri semaki mengukuhkan dirinya. Padahal dirinya indera dan pikiran itu adalah hijab. Dengan kecenderungan pada duniawi itu maka semakin teballah hijab dengan Allah. Karena itu, dari segala kecenderungan kepada apa saja yang dapat dipersepsi indera dan dirasa pikiran harus kita nafikan supaya hapus kedirian kita, supaya dapat kita tunaikan perjanjian dengan Allah.
Bahwa dua kalimah syahadat itu adalah pintu masuk menunaikan janji. Mengucapnya terlalu mudah, tetapi barang siapa yang mengucapnya dengan tulus, maka dia masuk surga.
Kita tidak bisa mengenal Allah. Apa-apa yang bisa kita kenal adalah hal-hal yang dapat diinderai dan yang dapat diproyeksi oleh pikiran. Hal inilah yang disadari oleh filosof dan sufi. Maka, kita melihat para filosof yang berjalan dengan baik pada jalur epistemologi pasti akan meninggalkannya karena tidak menemukan Allah melalui pikiran dan menjadi sufi. Ketika menjadi sufi, mereka mengakui kelemahan diri untuk menganal Allah. Mereka mengakui kekurangan diri, mereka mengaku kekurangan atau kefakiran mereka akan pengetahuan tentang Allah. Maka, perlu kita pahami, maksud para sufi akan 'fakir' bukanlah kekurangan materi seperti uang, rumah, atau benda lainnya melainkan keinsyafan akan kekurangan ilmu untuk mengenal Allah. Di samping memang sufi tidak suka banyak materi karena berpotensi menjadi hijab akan Allah.
Terkait dengan ketidaktahuan kita akan Allah, maka Hamzah mengatakan bahwa Allah dengan 'Huwa' sama adanya. Allah adalah nama yang menghimpun segala sifat-sifatNya (Al-Attas: 1970: ). Seorang yang suka memberi, misalnya diberi gelar Rahman, seorang yang dapat dipercaya diberi gelar 'Shiddiq'. Demikian juga kita, mengenal seseorang, misalnya, tidak mendalam hanya pada mengenal warna, bentuk dan baunya. Yang lebih mendalam dari makna mengenal itu yakni mengetahui sifatnya. Demikian juga Allah. Dia tidak perlu dan tidak mungkin dikenal sebagai bentuk. Bahkan mungkin dia tidak berbentuk (sebab bila berbentuk dia berbatas). Kita mengenal Allah dengan sifat-sifatNya yang terejawantah melalui alam ini. Pada alam ini, kita dapat mengidentifikasi sifat-sifat Allah secara analogis. Perlu ditegaskan: hanya secara analogis. Sebab sifatNya yang sebenarnya hanya Dia yang tahu.
Ketujuh sifat Allah itu adalah Hayat, 'Ilm, Iradat, Qudrat, Kalam, Sami', Basar. Kata Hamzah, ketiju sifit itu nyatanya Satu jua.
Allah SWT adalah Qayyim. Dia adalah Wajibul Wujud. Dia berdiri dengan SendiriNya. Dia tidak diakibatkan oleh apapun. Tetapi justru segenap maujud adalah dari Dia. Hamzah Mengkritik pandangan teolog (ulama Syariat) yang menganggap Wujud memiliki dualitas. (Al-Attas, 1970: 242) Dalam pandangan Hamzah dan Ahl Suluk, Wujud itu satu. Allah dan Sifat-sifatNya adala Satu; tidak ada dualitas antara keduanya. Bila ada dualitas, maka menurut Hamzah, Tuhan telah dibatasi oleh ruang: Dia bisa dekat atau jauh dengan alam. Hamzah menganalogikan cahaya matahari dengan sinar bulan: keduanya adalah satu, yakni cahaya matahari. Sementara bulan hanya memantulkan cahata matahari. (ibid)
Bulan itu diumpamakan alam materi, dianya tidak punya cahaya sendiri, alam tidak punya wujudnya sendiri. Wujud alam adalah dari Wujud Ilahi. Karena itu Hamzah mengatakan wujud Allah dengan wujud materi itu esa. Maka wujud alam itu fana, tidak nyata, seperti bayangan dalam cermin: rupa (bentuk, warna dan kesan lain yang ditimbulkan) ada, tetapi tidak memiliki hakikat (wujud). Maka tidak patut Allah disebut sama dengan alam. Tidak sama antara nyata dengan bayangan yang muncul dalam cermin. Cermin itu hati manusia. Dan banyak cermin iu yang bernoda sehingga tidak dapat menampilkan bayangan yang jelas.
Allah tidak mengambil tempat. Dia 'tiada dengan betapanya' (bila kayfa, tidak dapat dipertanyakan 'bagaimana', without 'how') artinya dia tidak bercampur sama sekali dengan mahiyah (esensi). Baginya tidak berlaku: 'dulu' dan 'sekarang' atau 'akan datang'. Ini sejalan dengan pandangan Al-Kindi yang menyatakan Wujubul Wujud tidak dapat disebut sebagai 'pertama' atau 'terakhir' sebab penyematan-penyematan itu menyebabkan Dia terbatas. Dan itu mustahil bagiNya. Lebih jauh Al-Kindi menolak Allah disebut sebagai 'penyebab', dia bukan genus dari spesies dan differensia, Sebab bila dianalogikan begitu akan berkonsekwensi pada dua hal: pertama menyebabkan alam materi memiliki wujud kalau disebut adalah akibat dari Dia, padahal alam fana; kedua menganggap dia dapat dipahami pikiran, sebab kausalitas adalah proyeksi pikiran, padahal Dia tak dapat dikonsepsikan. Bagi Hamzah, tidak ada sesuatu apapun, apalagi alam materi yang serupa dengan Dia. Bahkan Hamzah mengaku segala analogi yang dipakai untuk menggambarkan RealitasNya adalah kesalahan.
Allah dengan pada DiriNya tiada berlaku perubahan. Sebab perubahan adalah tanda kekurangan. Wujud Hakiki, yang dapat dikenali atau dipahami bukanlah DzatNya, melainkan ''... keadaan Dzat dengan periNya''. Yakni kita hanya pengetahuan kita tentang konsep tentang Wujud. Kalaupun ada para filosof dalam argumentasinya membedakan antara konsep Wujud dengan Realitas Wujud, maka tetap saja penjelasannya, termasuk penjelasan tentang Reallitas Wujud menggunakan konsep, dan itu artinya tetap saja konsep. Sementara DzatNya, kata Hamzah: ''Tetapi yang kunhiNya, Dzat itu tiada sesiapa sampai kesana. Jangankan awwam, wali dan nabi dan mala'ikatu'l muqarrabin pun tiada datang ke sana.''
Hamzah menolak konsep ittihad dan hulul. Ini sejalan dengan ajaran Ibn Arabi dan Mulla Shadra. Ittihad maupun hulul meniscayakan adanya dualitas yakni kemenyatuan antara wujud manusia dan Wujud Tuhan. Dan ini sama sekali bertentangan dengan prinsip Realitas. Kedua istilah itu memang digunakan kaum sufi sebelum Ibn Arabi, tetapi mereka tidak memaksudkan adanya dua realitas. Masalahnya dalah sulitnya kaum sufi sebelum Ibn Arabi menemukan istilah-istilah bahasa yang tepat untuk mengemukakan pengalaman mereka. Ibn Arabi menguraikan pengalaman mistiknya secara filosofis sehingga argumennya menjadi jelas sebab mengadopsi banyak istilah-istilah yang dipakai para filosof. Mungkin kita harus mengaku bahwa segala tuduhan sesat oleh teolog kepada sufi sebelumnya adalah karena istilah-istilah yang dipakai sufi.
Selanjutnya Hamzah mengatakan bahwa sifat Allah harus dimulai dari 'Hayy', sebab bila tidak hidup, Dia mustail Mengetahui, mustahil Mendengar, dan mustahil Segala sifatNya yang lain.
Ilmu Allah itu Kekal, dianya tiada bermula, tidak baharu. Hamzah mengatakan, bagi teolog , Ilmu itu bermula. Dan dia menolak itu. Analoginya seperti pada benih, padanya telah ada pohon. Sementara aktualisasinya saya kira adalah relatif bagi pemngamat. Artinya, dalam dirinya sendiri, pohon dan benih adalah satu. Konsep ini saya kira terkait dengan konsep Kesatuan sekaligus Keragaman Wujud. Dengan a
danya konsep ini, maka menjadi ada konsep gradasi atau Tasykik Wujud. Dalam Ilm Allah, muncullah 'Alim, Ma'lum dan 'Ilmu. 'Alim adalah yang mengetahui, yang diketahui adalah yang Ma'lum dan hubungan keduanya adalah 'Ilm. (Al-Attas, 1970: 244) Karena wujud hanya Satu, maka tentu Allah hanya mengetahui DiriNya. Artinya, ketiga hal ini adalah Satu jua. Tetapi dalam hal inilah unitas dan pluralitas serta tasykik berlaku. Sebab karena yang Wujud hanya Allah, maka yang Dia ketahui hanyalah dirinya. Hal yang tiada ('adam)
*
Allah SWT Berkehendak. Kehendaknya itu pasti. Kita yang 'adam tenti saja tidak dapat mengetahui kehendakNya. Kita tidak tau jadi kita satu detik ke depan. Kita hanya bisa menduga-duga berdasarkan pengalaman sebelumnya. Dengan itu patut kita sadari kelemahan diri. Mengapa pula berani berkata ''saya punya kehendak bebas'' atau ''Tuhan menyerahkan kepada saya putusan hidup ini''. Dila nyawa saja tidak bisa ditentukan sendiri, mengapa pula berbangga diri. Manusia menganggap punya kuasa atas diri (kehendak bebas) karena melihat segala sesuatu selalu adalah karena akibat diri.''Saya selalu dapat menentukan baju apa yang ingin saya pakai hari ini. Maka saya yakin semua keputusan berada pada diri. Bukankah saya memilih dengan sadar?'' Tetapi yang tidak mereka sadari adalah apakah mereka bebas menentukan kesadaran diri. Kalau saja mereka bisa, tentu mereka ingin berkonsenterasi terhadap banyak hal dalam detik yang sama, mereka juga tidak ingin tidur. Karena itu, harus kita yakini bahwa Takdir Allah itu saja yang nyata; karena Sifatnya adalah pliralitas sekaligus unitas Wujud.
Sifat-sifat Allah SWT. adalah kepadaNya sendiri. Karena Wujud hanya Dia. Misalnya Dia Mendengar. Maka yang Dia dengar adalah kepada diriNya juga. Sebab selain Dia, itu tiada. Mustahil mendengar, Berkuasa, Memberi, Mengetahui dan lainnya kepada yang tiada. Maka dengan ini, pahamlah kita akan konsep unity and multiplycity dan gradation (tasykik).
Dalam sebuah syairnya, Hamzah melarang adanya i'tikat dualitas karena selain Wujud adalah fana. Bila mempersepsikan Wujud sebagai analogi selain Dia maka itu adalah ketiadaan. Hamzah mencontohkan aliran Kristen yang menyembah kapada Wujud yang satu melalui Bapa, Anak dan Roh Kudus. Proyeksi trinitas itu sama dengan menyembah berhala.
Bila merujuk pada analogi benih tadi, maka demikianlah dalam Kehendak Allah SWT. Bila dia Hendak akan sesuatu, maka menjadilah HendakNya itu. Sekalipun dalam diri selainNya belum terjadi.
Segenap semesta adalah dari Rahman Allah, ''Surga dan neraka, halal dan haram, baik dan jahat daripada rahmat Rahman beroleh wujud'' (Al-Attas: 1970: 255). Bahwa segala yang dari Allah itu baik adanya. Sebab, dari yang Baik, mustahil muncul yang buruk. Konotasi negatif seperti 'haram', 'buruk' dan 'neraka', hanya berlaku bagi makhluk (manusia) dalam kerja jiwanya meres#on alam eksternal. Konotasi negatif itu menjadi ada karena keternatasan kerja jiwa dalam merespon alam eksternal.
Di sini Hamzah juga mengaku segala alam materi adalah memiliki wujud. Tetapi wujud tidak berada pada bentuk dan warna aneka benda duniawi tetapi pada kedirian alam itu yang basith (simple).

''Tatkala dizahirkan ke tengah Padang
Nyatalah ishq di dalam kandang
di sana hukum pandang memandang
Berahi dan dendam tiada bersedang.''  

Adalah Ruh, Cahaya, Aql dan qalam ciptaan Allah pertama. Ternyata keempat itu satu jua dianya. Karena hidup, disebut ruh; karena karena berpengetahuan disebut cahaya, karena ilmu mencharakan (saya memahaminya sebagai potensi perrluasan diri) kepada segala hal yang dapat diketahui, maka disebutlah dia akal; karena dia dapat disusun dalam ingatan seumpama menulis di atas kertas, maka dia disebut qalam.
Kita telah maklum bahwa pada alam eksternal ini terkandung Wujud yang menghadikan diri Nya. Tetapi bukan pada bentuk dan warnanya. Bentuk dan warna tidak real, dia hanya proyeksi mental. Ini juga diakui teolog-teolog yang sedikit punya pengetahuan filsafat. Oleh karena itu, teolog seperti ini lansung saja mengklaim bahwa alam ini fana dan tidak ada apa-apa selain Tuhan. Tetapi Tuhan sendiripun dalam pandangan mereka tidak di alam ini, tetapi ''jauh di sana''. Sementara itu filosof yang sufi mampu melihat Wujud pada alam ini. Dengan itu mereka dapat melihat Wujud pada alam. Hal ini tentu tidak mampu dimengerti oleh teolog tadi. Anggapan mereka sufi menganggap materi yang berbentuk itulah yang dianggap Wujud oleh sufi.
Penglihatan sufi adalah hampir penglihatan para Khalifah Rasyidin. Sebab mereka juga tidak melihat apapun pada realitas ekstenla. Pada segala hal, Abu Bakar melihat Allah dahulunya, Umar melihat kemudiannya, Usman melihat sertanya dan Ali melihat di dalamnya. Karena mereka memiliki cara pandang eksistensial, bukan esensial. Pandangan esensialis adalah yang terjebak dalam warna dan bentuk. Pandangan eksistensialis adalah yang melihat ayat pada setiap kejadian, mereka adalah ulil albab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar