Eksistensi atau wujud disebut univokal karena dia menjadi pemersatu bagi
tiap realitas. Setiap hal (thingness) ketika diabstraksikan kedalam
pikiran selalu menimbukan eksistensi disamping quiditasnya. Eksistensi
selalu ada pada setiap kuiditas. Dia menjadi pemersatu dari pluralitas
konseptual.
Wujud adalah apa yang dipredikatkan pada maujud-maujud Sehingga makna
univokalnya tunggal. Dalam hal ini, wujud dianggap sebagai sekedar
makna secara bahasa untuk memberi nama pada realitas eksternal yang
beragam dalam satu nama. Alasannya adalah, beragam hal pada realitas
eksternal yang sekalipun memiliki bentuk atau properti masing-masing,
tetapi memiliki satu hal yang dikandung bersama yakni ke'ada'annya atau
it's existence. Secara konseptual, dia adalah pemersatu setiap quiditas.
Kita perlu membedakan wujud ke dalam kategori Wujud Wajib atau
Necessary Being (Wajibul Wujud) dan wujud yang bergantung/mungkin atau
contigent being (mumkinul wujud). Wijud wayang wajib keberadaannya tidak
bergantung pada apapn dan malah dia menjadi penyebab bagi wujud-wujud
lainnya yang beragam. sementara wujud mumkin adalah keberadaannnya yang
bergantung pada wujud wajib. Disebut mungkin karena dia mungkin ada dan
juga mungkin tiada. mungkin ada karena dia berasan dari Wujud, dikatakan
tiada karena dia tidak memiliki wujudnya sendiri.
Wujud yang
mungkin memiliki substansi dan aksiden. Substansi dan aksiden memiliki
beberapa elemennya masing-masing. Pada aksiden ('aradh), yang dimiliki
maujud, membuatnya menjadi plural karena dapat dibedakan dengan maujud
yang lain karena yang lain juga memiliki aksidennya
masing-masing.demikian wujuga setiap maujud memiliki substansinya
masing-masing.
Persoalan penting di sini adalah kemampuan
membedakan wujud yang beragam dengan Wujud Tunggal. Perbedaan antara
keduanya bukan sekedar makna secara semantik atau univokal tetapi
masing-masing memiliki status ontologis berbeda. Pentingnya menjelaskan
konsep wujud utamanya adalah membedakan kedua wujud yang dimaksud.
Setelah dapat membedakannya, maka kita perlu menemukan diantara
keduanya, manakah yang lebih prinsipil. Yang lebih prinsipil adalah yang
lebih utama dan yang utama itulah pemberi eksistensi pada yang tidak
utama. Tentunya wajib wujudlah yang lebih utama dan dia sebagai pemberi
wujud. Wujud mumkin mendapat wujud dari wujud utama. Wujud mumkin tidak
memiliki wujudnya sendiri. Sejatinya dia adalah 'adam atau ketiadaan.
Lalu selanjutnya dia diberi eksistensi oleh wajib wujud sehingga menjadi
wajib wujud.
Maujud atau wujud mungkin sifatnya pasif sebab
dia adalah objek dari wajib wujud. Maujud adalah predikasi kepada wujud
wajib. Predikasi ini penting karena dengan itulah objek dapat
dijelaskan. Dalam membicarakan masalah subjek dan predikat, kita
dianjurkan untuk tidak terjebak pada diskusi kebahasaan secara logis.
Hal penting bagi kita adalah diskusi kefilsafatan sebab hanya dalam
filsafat kita dapat menentukan status setiap eksistensi.
Pada
realitas eksternal, memang kita hanya bisa menemukan satu hal yakni
wujud. Namun ketika diabstraksikan ke dalam pikiran, akan menumbulkan
dia entitas yakni mahiyah yang merupakan himpunan konsep subjek karena
dia dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan 'apa itu' dan konsep
predikat karena dia menjadi pembukti bagi keberadaan sesuatu itu.
(Misbah Yazdi, Buku Daras filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2003, h. 178)
Tindakan akal yang mengabstraksikan wujud selain quiditas (mahiyah)
sering luput dari perhatian. Padahal wujud lebih mendasar daripada
mahiyah. Buktinya bayi yang baru lahir belum punya properti quiditas
apapun tetapi sang bagi mampu menyadari akan wujud (eksistensi),
selanjutnya susu yang dia minum barulah membentuk quiditas.
Non
eksistensi sejatinya hanya univokal.(Thabattaba'i, The Elements of
Metaphysics, London: ICAS Press, 2003, h. 4) Dia adalah quiditas yang
hanya bentukan konsep pikiran, sebab pada realitas eksternal ditemukan
wujud. Fakultas pirirannya yang menciptakan eksistensi baginya. Quiditas
adalah abstraksi pikiran dari maujud tertentu atas realitas. Sementara
eksistensi hakiki dan pengenalas atasnya tanpa perlu melalui pembuktian
inderawi. Kesadaran manusia secara fitrah langsung dapat menyadari
eksistensi. Karena itulah dia disebut self-evidence.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar