Link Download

Selasa, 27 November 2012

Ta'dib Al-Attas

Degradasi kaum muslim tidak sepenuhnya datang dari faktor eksternal tapi juga dari faktor internal (Al-Attas, 'Aims and Objectives of Islamic Education', [Al-Attas, ed.] Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979, h. 1). Faktor eksternalnya adalah masuknya kebudayaan asing ke dalam sistem kita tanpa bisa disaring dengan baik. Faktor internal, yakni faktor yang lebih berbahaya, yakni
hilangnya adab dari kaum muslim. Hilangnya adab adalah akibat dari keterlupaan kita pada makna hakiki pendidikan. Pendidikan yang kita maknai sekarang sudah sebatas penemuan solusi atau jalan keluar atas masalah-masalah tertentu. Hilangnya adab tentunya adalah hilangnya pendisiplinan jasad. Kehilangan disiplin jasad otomatis menghilangkan pendisiplinan jiwa yang berefek pada misdisiplin ruh dan spiritual. Secara sosial, kehilangan adab dapat menyebabkan hilangnya keadilan. Masalah ini juga berefek pada krisis kepemimpinan sehingga membuat penyakit kehilangan adab semakin kukuh. Karena itu, perlu disadari bahwa satu individu yang kehilangan adab dapat menyebabkan kekacauan pada skala yang luas. Karena itu, peng-adab-an harus difokuskan pada antar tiap individu supaya satu komunitas menjadi baik. Perlu ditegaskan bahwa, satu komunitas dilihat levelnya harus berindikator pada bagaimana adab tiap-tiap individunya.
Kaum muda Muslim zaman ini terlalu dibuai romantisme kejayaan Islam masa lalu tanpa pernah mau melihat proses bagaimana kejayaan itu diraih. Seharusnya mereka belajar banyak dan menerapkan langkah-langkah yang ditempuh para sarjana Islam zaman lalu yang jenius. Malah napak tilas kesuksesan Islam masa lalu ditiru oleh kaum Barat dengan mengelaborasi dengan semangat kekinian mereka. Parahnya, kaum Muslim sendiri malah mengadopsi secara serampangan konsep sekularisme Barat tanpa pernah mau tahu bahwa itu adalah sistem keliru.
Krisis kepemimpinan zaman kita bukanlah sebab, dia adalah akibat dari krisis ilmu yang terjadi pada tiap-tiap individu kaum muslim. Al-Attas dengan ikhlas mengingatkan bahwa kaum Muslim perlu merujuk kembali pada sistem pendidikan cara Nabi Saw. Nabi adalah orang pertama yang mendapatkan pendidikan yang baik dari Allah. Allah mengajarkan Nabi melalui 'ta'dib' dan Allah adalah sebaik-baik 'mu'addib' (pengajar). (ibid)
Ketika Nabi mengatakan: ''Adab di atas ilmu'', makna ini bukan sembarang makna. Makna 'adab' yang dimaksud bukan sebuah implementasi etika baik sebagaimana kita pahami biasanya. Makna 'adab' yang dimaksud adalah orang yang terdidik melalui sistem pendidikan Islam yang benar yakni 'ta'dib'. Ta'dib adalah sistem pendidikan yang melampaui tarbiyah dan ta'lim. Dalam ta'dib, sejauh yang dapat saya pahami melalui sistem kaderisasi organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), telah terkandung di dalamnya tarbiyah, ta'lim dan sistem perkembangan keahlian tertentu dalam kursus-kursus yang tunduk pada ta'dib. Sejauh ini, selain sistem pendidikan ISTAC di Malaysia, PII adalah lembaga yang baik karena telah menjalankan ta'dib (setidaknya sejauh yang para penggagas/penafsir pikiran Al-Attas pahami). Tarbiyah adalah sistem yang melihat manusia sebagai makhluk yang punya hubungan vertikan dengan Allah, sehingga penanaman keimanan (tauhid) yang baik perlu terus-menerus diterapkan. Proses ini bukan sekedar doktrinal tetapi juga melalui argumen rasional dan motivasi kesadaran. Ta'lim adalah latihan pendisiplinan diri untuk membiasakan melakukan amal-amal ibadah wajib dan sunnah serta kesadaran mu'amalah dengan orientasi ilahiyah. Proses ini harus melalui penerapan disiplin yang ketat serta proses penyadaran terus-menerus. Seperti yang diterapkan PII, kursus-kursus keahlian juga perlu dibekali dengan orientasi melihat sasaran dan mengarahkan mereka sesuai bakat dan minat yang dimiliki. Apresiasi dan pengawasan sangat diperlukan untuk ini supaya pengasahan potensi dan orientasi ilahiyah dapat terus terjaga. Kursus keahlian ini bukan didedikasikan untuk menciptakan warga negara yang baik tetapi membentuk individu yang sempurna. (Wan Mohammad Nor Wan Daud, 'Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas', Bandung: Mizan, 2003: h.172-173). Saya melihat gambaran Al-Attas jauh lebih baik daripada konsepsi Hegel (bandingkan dengan: 'Nalar dalam Sejarah': Bandung: Mizan). Maka seorang beradab yang dimaksud adalah orang yang berada dalam proses ini (karena memang proses ta'dib tanpa akhir bagi manusia). Dan orang yang seperti inilah yang dimaksud lebih tinggi daripada orang berilmu.
Dalam hal ini, perlu juga bagi kita untuk memahami bahwa ilmu itu berbeda dengan pengetahuan. Pengetahuan adalah suatu penambahan dan pendalaman bagi pengenalan atas realitas eksternal. Dianya tidak berpengaruh apa-apa bagi manusia bila tidak dilimpahi taufiq dari Allah Swt.. Sebab manusia tidak hanya dilihat dari faktor intelektualitasnya semata namun juga amal dan hatinya. Sementara ilmu adalah suatu capaian yang membuat manusia lebih dekat pada Allah dan termanifestasi melalui cara pandang dan bertindaknya. Dan ta'dib dapat memenuhi ilmu dan pengetahuan.
Problematika kita kini adalah kekeliruan melihat makna adab secara benar. Orang berdab dianggap adalah mereka yang sering senyum dan memberi dengan orientasi supaya dia diberi saat dia memiliki besok. Orang beradab model ini adalah mereka yang berharap menjadi papa esok hari karena memberi dan tersenyum bukan karena dari Ilahi Rabbi.
Perlu diperjelas dan terus diingat oleh kaum Muslim bahwa ilmu (sebagaimana ta'lim dan tarbiyah) adalah wajib sekali (fardhu 'ain) hukumnya bagi orang Islam. Sementara skil atau pengetahuan hukumnya fardhu kifayah. Maka untuk memenuhi hukum fardhu kifayah ini, diperlukan mu'addib (yang paham, mengamalkan dan mampu mengajar model ta'dib) karena mereka mengenal potensi serta mampu mendidik skill. Para mu'addib juga harus dapat melihat kebutuhan ummat secara keseluruhan sehingga dapat memenuhi jumlah kebutuhan.
Dalam menjalankan sistem ta'dib, kita harus mengutamakan sistem pembiasaan dan penyadaran, bukan retorika bebas tanpa arah sebagaimana diterapkan oleh sistem pedagigi Barat. Kita harus ingat bahwa orientasi pengetahuan mereka adalah untuk pikiran semata dan hasil pikiran adalah untuk dikritisi. Tidak punya sebuah hukum pasti. Ini berbeda dengan sistem ta'dib dalam Islam. Islam punya orientasi yakni Ilahi Rabbi. Patron pedomannya adalah Al-Qur'an dan Hadits Sahih. Kedua pedoman ini tidak mungkin lepas dari pikiran yang dididik dengan baik.
Mereka yang layak dididik skillnya untuk memenuhi fardu kifayah tentunya adalah mereka yang juga berada dalam sistem tarbiyah dan ta'lim. Mereka yang punya skill itu adalah seorang pemimpin bagi apapun: seorang buruh adalah pemimpin bagi alat yang dikerjakannya, seorang pedagang adalah pemimpin bagi dagangannya, seorang dokter adalah pemimpin bagi pasiennya. Maka semua individu yang berkarir adalah mereka yang punya ilmu, mereka lebih tinggi derajatnya. Pengingkaran terhadap otoritas keahlian tertentu dari orang-orang adalah pengingkaran terhadap manusia. Seorang majikan yang tidak tunduk pada karya majikannya adalah seperti Iblis. Iblis adalah makhluk pertama yang tidak tunduk pada otoritas skill dan kemampuan makhluk lain. Dalam menjalankan profesinya, seseorang adalah hamba (abd') bagi profesi yang ditekuninya. Penghambaan ini adalah penghambaan kepada Wujud yang memberi ilham sehingga dia dapat berkarya.
Pengakuan tas kelebihan orang lain dan berfokur untuk terus mengasah potensi diri adalah jalan kesejahteraan. Maka kesejahteraan itu harus terus dipelihara. Ini akan membentuk sebuah sistem beradab dan membentuk tamaddun (peradaban) yang aman sentosa. Inilah mimpi kita dan tujuan manusia diciptakan yakni menciptakan bumi yang aman sentosa serta terus-menerus dilihpahi cahaya dan pengampunan Allah (Baldatun thoyyibah wa Rabbul Ghafur).

Skil untuk profesi adalah fardu kifayat hukumnya. Dianya termasuk di dalamnya mengkaji disiplin-disiplin ilmu sosial dan sains tertentu. Karena hukumnya fardhu kifayah, maka kalau telah ada yang menguasai dan mencukupi, maka bolehlah bila ingin digeluti maupun tidak. Tetapi yang penting untuk dicatat adalah, pengkajian pada disiplin tertentu tidak boleh secara parsial sebagaima

na dijalankan Barat. Bagi orang Islam, khazanah apapun memiliki keterkaitan dengan bidang lainnya. Hal ini hanya bisa dipahami dan diterapkan oleh ilmuan yang berada dalam sistem ta'dib.
Sains dikomunikasikan melalui bahasa. Bahasa yang elegan dan mumpuni dalah hal ini adalah bahasa Arab. Bahasa ini memiliki sistem akar kata yang tegas (Al-Attas, 'Konsep Pendidikan dalam Islam', Bandung: Mizan, 1996 [cet. VII], h. 16) sehingga dapat diandalkan untuk menjaga keteraturan dan peneguhan orientasi disiplin pengetahuan. Kita telah paham bahwa segala profesi haruslah berorientasi pada keridhaan Allah. Dengan turunnya Al-Qur'an, maka terjadilah reformasi bahasa Arab secara radikal (lihat: ibid, h. 28), yang tidak dapat dipungkiri mengakibaatkan terjadinya reorientasi. Misalnya akar kata ka ra ma yang awalnya dimaknai sebagai simbol kesucilan ras atau kasta menjadi bermakna suatu kemuliaan dari Yang Maha Agung.
Renesains Barat ternyata bukanlah bangkitnya kembali khazanah keilmuan yang pernah berjaya di abad pertengahan namun ternyata adalah deskriminasi terhadap makna ilmu yang suci. Rasio adalah al yang paling diagungkan dalam pandangan Barat. Penggunaan istilah ini tentu saja menciderai fakultas manusia secara kesehuruhan. Rasio hanya semata sebuah fakultas untuk menerima suatu informasi dari indera. Artinya rasionalitas hanya menerima suatu informasi sebatas kemampuan indera dan otak menerimanya. Padahal yang kita inginkan bukanlah sesuatu itu bagaimana dapat kita tangkap atau terima. Kita perlu mengetahui bagaimana sesuatu itu apa adanya. Untuk itu kita perlu mengaktifkan seluruh daya yang kita (manusia) miliki. makanya kita lebih sepakat menamakannya sebagai intelect karena kata ini lebih dekat dengan 'aql, yakni sebuah fakultas menerima informasi lalu mencernanya sehingga suatu informasi itu tidak lagi menjadi apa adanya tetapi terus ditransformasi dan larut pada seluruh kedirian penerimanya. Sebab, sebagaimana Mulla Shadra melihat, suatu pengetahuan adalah telah ada sebagaimana adanya, tinggal si subjek saja yang harus meluaskan diri dan menjadi lebir bersama yang ia ketahui. Dan ini baru mungkin bila fakultasnya adalah intelek ('aql). Kita tidak seperti orang Barat yang mengembalikan sesuatu yang kita terima melalui indera kepada diri yang diterima itu. Paham ini adalah cara pendang esensialis, yakni menganggap sesuatu memiliki bangunnya sendiri. Kita melihat setiap sesuatu tidak terbangun dengan sendirinya, dia adalah suatu bangun kpnseptual semata yang pada hakikatnya dia adalah eksistensi, dan diri kita juga adalah bagian dari bangun itu dan kita adalah juga dibangun oleh Wijud. Maka tepatlah anggapan Shadra bahwa antara objek yang diketahui dan subjek yang mengetahui dapat lebur. Karena itu, Syihabuddin Suhrawardi menganggap antara subjek pengetahu dan yang ditahu tidak memiliki jarak samasekali. Makanya sistem rasio yang dibangun Barat modern yang mengaku dapat melihat sesuatu sebagaimana adanya, pada tataran tertingginya hanya akan mengantarkan pada kekosongan semata (nihilisme). Nietzsche adalah puncak sistem Barat Modern.
Karena itu kita membutuhkan suatu konsep yang mampu mengantarkan kita untuk menjangkau Eksistensi. Esensi walaubagaimanapun hanyalah konsep di dalam pikiran. Karena itu, yang lebih prima Cashal) adalah Eksistensi, bukan esesnsi, karena esensi adalah tetap bangun dari Eksistensi. Makanya, untuk menjangkau Eksistensi, fakultasnya adalah intelek (aql) karena dia memiliki garis menuju penggerakan pada keseluruhan diri (nafs) yang garisnya adalah pada pengarahan hati (qalb) pada arah yang baik sehingga ruh (ar-ruh) kembali pada Allah dengan selamat.
Al-Attas menolak dengan tegas tarbiyah sebagai sistem pendidikan Islam. Tarbiyah secara mendalam ternyata sifatnya adalah esensialistik. Tarbiyah maknanya sama dengan 'to educate' dalam sistem Barat. Makna tarbiyah mengarah pada penjagaan, pengembangan dan pemeliharaan. Makanya Fir'aun mengaku telah mentarbiyah yakni membesarkan Nabi Musa as. Bahwa tarbiyah itu maknanya rabbi yang berarti pemilikan. Pemilikan itu semuanya adalah konseptualistis-esensialistik. Dalam Al-Qur'an, kaya tarbiyah itu semuanya mengacu pada orang-prang alim Yahudi (lihat Al-Attas, 1996: 64-74). Karena itu tarbiyah bukanlah pendidikan khusus bagi manusia, tetapi bagi semua makhluk. Andalan tarbiyah paling tinggi adalah reasio, bukan intelek. Padahan manusia menjadi khusus adalah karena inteleknya. Maka saya kira tarbiyah atau pemeliharaan dan pengembangan tidak berguna sama sekali bila tidak dilandasi dengan ta'dib.
Manusia harus diposisikan sebagaimana layaknya ia. Maka pendidikan yang benar adalah memposisikan manusia sesuai dengan fitrahnya. Harus ditekankan kembali bahwa pemikiran Barat sama-sekali tidak tepat untuk diadopsi Islam. Jangankan itu, tarbiyah saja sama sekali tidak layak untuk mendidik manusia. Tarbiyah itu, sekali lagi, adalah suatu sifat pemberian dimana di sini ilmu itu bukan sebatas take and given. Model ini sama saja seperti sistem yang juuga tidak kita sepakati, yakni ta'lim. Saya melihat akar peradaban Barat adalah seburuk-buruk sumber. Kalau saja rasisme itu dibolehkan, maka saya ingin mengatakan kebenaran bahwa orang-orang berkulit mereh berambut putih itu adalah kaum terkutuk lahir dan batin, dunia dan akhirat. Adalah lebih bodoh lagi mereka yang mengikuti bangsa paling terkutuk ini. Kalaupun harus rasis, saya tidak akan menjadikan ras sebagai indikator. Kalaupun ada masa di mana rasisme adalah hal yang wajib, dan barang siapa yang tidak rasis akan dihukum, mungkin saya adalah orang pertama yang harus dihukum. Sebab pertimbangan saya bukanlah karena fakror remeh-temeh. Pertimbangan untuk menentukan rujukan adalah dari siapa yang paling ahli di bidang tersebut. Terkait siapa yang paling tepat untuk dijadikan rujukan dalam merumuskan konsep pendidikan, tentunya adalah dia yang paling mengerti tentang manusia secara benar. Dan Barat sama sekali bukan rujukan untuk konsep pendidikan dan apapun terkait manusia.
Al-Attas menulis, manusia bahwa manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani (1979: 23). Dr. Abbaci, guru saya, menanyakan hubungan antara materi dengan jasad. Jawaban kami yang sembarangan adalah bukti kekurangan kami semua. Ibn Sina dalam salahsatu kitabnya menerangkan bahwa agak kurang dapat diterima bahwa jasadlah yang terlebih dahulu. Tetapi kenapa Al-Qur'an menerangkan ruh bari ditiupkan setelah jasad telah ada duluan di dalam rahim? Ibn Sina menerangkan bahwa keduanya berada secara serentak. Namun konsep ini tetap saja tidak dapat menerangkan hubungan jiwa dengan badan sekalipun Ibn Sina mengatakan jiwa adalah fondasi bagi jasad.
Mengikuti konsep Ibn Sina, dalam hukum akal, jiwa tentu saja dianggap sebagai sebab dan jasad sebagai akibat. Akal yang bekerja secara parsial tetntu saja serta merta menghilangkan hubungan antara sebab dengan akibat, dengan itu, hukum kausalitas adalah ambigu sebab dia tidak mampu menerangkan hubungan antara jasad dengan ruh. Tampaknya Mulla Shadra dapat diandalkan untuk menjawab persoalan ini. Bagi Shadra, antara sebab dengan akibat tidak ada parsialitas. Baginya, sebab tetap masih terkandung dalam akibat sekalipun aksiden akibat bisa saja telah berubah. Berarti, bila merujuk pada pandangan Shadra, maka pada jasad ada ruh. Tetapi persoalannya adalah, ruh atau jiwa itu tidak dapat diamati secara inderawi; padahal konseptualisasi pikiran hanya layak bagi hal-hal yang bersifat material. Maka rasionalisasi atau penjelasan terhadap jiwa, termasuk tentang hubungannya dengan jasad tetap saja tidak mungkin.
Saya sendiri berpendapat, bahwa semua hal yang bisa diinderai itu memiliki ruhnya. Satu bagian sub-atom memiliki ruh, kumpulan-kumpulan sub-atom yang berhimpun menjadi satu jiwa yang lain yakni jiwa dan yang dapat diamati adalah atomnya. Antar jiwa atom dan antar atom ketika berhimpun menjadi jiwa yang lain bernama jiwa ovum. Antar jiwa atom dan antar atom yang lain ketika berhimpun menjadi jiwa yang lain bernama jiwa sperma. Ketika jiwa dan jasad sperma dan ovum bertemu, maka jiwa dan jasad ovum dan sperma akan melebur menjadi jiwa dan jasad alaqah. Jiwa dan jasad alaqah adalah sebuah himpunan jiwa-jiwa yang sangat unik karena himpunan jiwa-jiwa ini akan menjadi satu hal lain yang disebut sebagai ruh. Hanya pada konstelasi ini jiwa-jiwa yang berhimpun itu mencapai derajat ruh. Maka saya sendiri kurang sepakatpada pengkategorian Al-Attas (1989:25) bahwa manusia (yakni ruh) masih ada dualitas yakni jiwa nataqah dan jiwa al-hayawaniyah. Sebab, jiwa-jiwa hayawaniyah telah menjadi ruh ketika pada suatu himpunan tertentu. Dan ini artinya manusia sama sekali bukan lagi hewan.
Penjelasan saya di atas saya kira benar-benar telah mengapresiasi konsep kausalitas Mulla Shadra. Dan ternyata analogi yang lebih layak yakni seperti sebab susu pada keju. Ketika menjadi keju, maka susu otomatis berubah, tetapi dia tetap ikut pada akibatnya yakni keju. Lebih indah lagi adalah analogi Hamzah Fansuri: Yogya kau pandang kapas dan kain/ Keduanya wahid asmanya lain. Namun, dalam analogi, tetap saja membuat maksud menjadi kabut. Karena, dalam konsep kita, 'perubahan' adalah hal yang tidak dikenal. Karena perubahan hanya pada kesan pengamat. Dalam dirinya, yang terjadi hanya gerak dan gerak. Perubahan itu hanya pada ketika pengamat memberi batas proses (gerak) itu. Di samping itu, pandangan Ibn Sina sendiri sama sekali tidak terzalimi dan terelaborasi di sini. Namun yang lebih menarik adalah, betapa di sini kita dapat memahami konsep gerak substansi Mulla Shadra.
Tetapi untuk konsep Islamisasi Ilmu menurut Al-Attas, sebagaimana Dr. Abbaci pernah terangkan, cara pandang Shadra sangat berguna. Konsep filsafat Shadra dapat mengajarkan kita bahwa maksud islamisasi sains Al-Attas adalah islamisasi pada tataran jiwa sains, bukan pada tataran aksidennya. Islamisasi saya kira adalah penempatan kembali segala hal pada tempatnya masing-masing. Karena itu, dalam proyek islamisasi sainsnya, Al-Attas bergerak dari bagaimana kita memandang manusia secara benar. Manusia harus dibimbing terus menerus supaya dia sadar dan selalu ingat dengan akan fitrah dirinya. Manusia tidak bisa dipaksakan untuk berorientasi pada loyalitas pada sesuatu yang tidak nyata (esensi) seperti negara. Manusia secara fitrah hanya memiliki loyalitas untuk dirinya. Setiap diri bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Apapun yang dilakukan manusia, maka dia melakukan untuk dirinya. Sesuatu yang kembali kepada esensi sifatnya fana. Maka pemaksaan orientasi pada yang fana adalah nista dan zalim. Yang benarnya adalah segala sesuatu harus dimulai (motivasi) dari diri dan bertuju (orientasi) pada diri. 'Diri' yang dimaksud disini bukan 'aku' sebagai materi tetapi kepada nafs, jiwa, ruh. Sebab ruh itu adalah tajalli maka dia akan kembali pada Wujud (lihat dalam Al-Attas 'The Mysticism of Hamzah Fansury', Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970, h. 476-477). Negara adalah produk konseptual pikiran yang terjadi setelah terjadinya dualitas antara esensi dan eksistensi. Namun secara hakikat, dualitas itu tidak ada. Sebab, bila orientasinya adalah konsep, maka itu adalah ketiadaan. Pemikiran Heideggar sendiri yang mengaku menuju eksistensi, tetap saja sebuah esensi karena eksistensinya adalah eksistensi yang berada dalam konsep.
Dalam disiplin pengetahuan sekalipun, adalah tidak layak kita memberi dualitas. Al-Qur'an sebagai sumber bagi konsep apapun terkait manusia tidak pernah membagi-bagi ilmu. Dalam Al-Qur'an, ilmu itu adalah cahaya dan cahaya itu berasal dari Allah SWT. Sementara segala disiplin yang banyak penggolongan dan kategorinya semuanya hanyalah hal fana. Segala disiplin itu sejatinya adalah satu yaitu untuk membimbing dan menyadarkan individu (self) akan asal, posisi dan kembalinya, artinya menyadarkan kepada Allah. Hal ini terkait konsep wujud yakni dianya tunggal (wahdah) sekaligus plural (katsrah).
Dalam hal ini, Al-Attas menegaskan pemenuhan pendidikan manusia yang benar melalui ta'dib dapat dilakukan di universitas (universe, kulliy ). Universitas adalah sebuah tempat seumpama mesjid di mana dianya seperti masjid yang menjadi pusat segala aktivitas, maka universitas adalah tempat di mana pembekalan segala aktivitas diterapkan. Di Aceh, dayah (yang diambil dari kata zawiyah) adalah tempat sebagaimana universitas yang dikonsepkan Al-Attas. Belakangan pesantren telah banyak dibangun meniru konsep zawiyah atau dayah. Namun sayangnya, sistem yangditerapkan pesantren adalah sistem tarbiyah dan ta'lim semata. disiplin-disiplin eksak yang diajarkan juga bersofat sekularis. Sementara yang diinginkan Al-Attas adalah sebuah konsep universitas yang menerapkan sistem ta'dib. Alhamdulillah beliau telah dapat mewujudkan pemikirannya dengan mendirikan ISTAC di Malaysia. Pemikirannya ini pernah ditawarkan ke Indonesia tetapi ditolak oleh pemerintah karena Indonesia menganut sistem sekuler dan pula Indonesia diatur Amerika Serikat. Dalam hal ini, Malaysia agak lebih beruntung karena diatur oleh Inggris yang sistemnya agak mirip dengan Islam. Dua hal yang tampak dari ini adalah sistem ekonomi dan politiknya.
Indonesia hanya memiliki jami' yang diberi nama IAIN atau UIN, tapi sayangnya sistem pendidikannya lebih parah daripada sistem pendidikan sekuler.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar