Link Download

Minggu, 04 November 2012

Metafisika Wujud Shadra

Mulla Shadra mengkritik Suhrawardi dengan argumen Suhrawardi sendiri. Suhrawardi mengatakan Tuhan sebagai Wujud Murni dan manusia juga adalah wujud murni dengan tingkat intensitas berbeda. Inkonsistensi Suhrawardi adalah pernyataannya yang mengatakan realitas eksternal semuanya cuma citra mental yang dibentuk oleh esensi. Saya melihat esensi adalah alat untuk melihat eksis
ten (maujud). Tanpa esensi, eksisten tidak dapat dikenal. Instrumen esensi diperlukan karena kita (manusia) adalah eksisten di antara eksisten lainnya. Eksisntensi lebih mendasar daripada esensi karena tanta esensi sekalipun eksisten juga tetap ada karena eksisten adalah sebab dari eksistensi, bukan sebab dari esensi. Shadra menyebut eksisten sebagai gradasi dari Eksistensi. Gradasi ini identik dengan kausalitas yang merupakan hukum mutlak pikiran. Berarti, gradasi itu juga adalah citra dari esensi. Maka, apakah kausalitas itu adalah apa nyata adanya sekalipun esensi tidak terlibat? Melalui Shadra kita akan punya cara pandang baru mengenai kausalitas. 

Bahwa tasykik atau gradasi itu bukanlah seperti umumnya kita memahaminya seperti hukum kausalitas. Bayangan umum mengenai kausalitas adalah terjadinya suatu akibat dari sebab. Maka akibat itu sama sekali lepas dari sebabnya. Demikian sebab juga melepaskan diri dari sebab. Hal ini dipahami demikian karena hukum pikiran bekerja secara parsial. Melalui konsep gerak substansi Shadra, kita dapat memahami bahwa sebab itu tidak melepaskan diri dari akibat yang dimunculkannya. Akibat tidak dilepaskan oleh sebab. Sebelum akibat dapat dipersepsikan, sebenarnya dia telah terkandung dalam sebab sekalipn dalam pandangan pengamat dia masih sebuah potensi. Pengamat yang selanjutnya dapat mengamati akibat sebagai realitas mungkin sebenarnya adalah sebuah kondisi pengamat yang juga bergerak tanpa henti. Selanjutnya bila pengamat mengamati sebuat akibat menjadi lenyap atau berubah menjadi sebab dan menimbulkan akibat lainnya, maka itu juga adalah bukti bahwa pengamatlah yang bergerak. Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa sebenarnya Sang Sebab tidaklah berubah, Dia adalah sebagaimana adanya sebelum akibat itu dipersepsi oleh kita. Teori ini menjawab pertanyaan apakah Sang Wujud berubah dengan adanya akibat atau adanya gerak. Maka ditemukanlah bawa yang berubah bersama gerak itu adalah pengamat. Dan ternyata pengamat itu sendiri adalah akibat (juga).
Pengamat dan yang diamatati sama-sama bergerak secara substansial. Keduanya bertemu pada momen kekinian dengan durasi lebih cepat dari seper satu juta detik. Pengamat dan yang diamati sama-sama berposesi. Saya jadi teringat dengan sebait kata yang saya ukir di diding kamar sebuah rumah ''Kita datang masing-masing/ berkasih-kasih bersama/ dan pergi masing-masing''. Izinkan saya memaknai berkasih-kasih bersama itu adalah sebuah momen yang lebih dari sepersekian juta detik itu dan saling menyadari kesadaran satu sama lain.
Orang-orang mempermasalahkan perubahan sebagai suatu gerak dari ketidaksempurnaan menuju kesempurnaan. Tetapi lagi-lagi kita harus takluk pada kenyataan bahwa gerak itu tidak mesti harus sebuah perubahan dari suatu kondisi menjadi kondisi yang lain. 'Kondisi-kondisi itu sangat-sangat relatif bagi pengamat.
*
Ketika pikiran mengabstraksi realitas, maka pikiran menemukan dua unsur yakni eksistensi dan esensi. Karena yang mengabstraksi adalah esensi, maka diyakinilah oleh pikiran esensi itulah yang primer dan eksistensi hanya mengada ketika esensi muncul.
*
Dalam pandangan Shadra, mawjud berada di antara wujud dan 'adam. Saya menyimpulkan ketiadaan itu sebenarnya adalah esensi. Karena wujud telah bercampur dengan esensi, maka menjadilah dia quidutas.
*
Suhrawardi: pada maujud tidak ada wujud, karena wujud adalah sesuatu yang ditambahkan pada esensi. Sementara quiditas adalah sesuatu yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Tetapi argumen ini ditolak Shadra dan kaum peripatetik karena mereka melihat hanya wujud saja yang riil. Sementara Shadra mengatakan wujud hanya dapat ditangkap melalui intuisi dan dengan itu kita dapat menemukan wujud pada semua realitas. Dalam pandangan biasa, memang kita cuma menemukan quiditas yang dibentuk oleh esensi setelah menganstraksi wujud.
*
Argumentasi tanpa ujung Suhrawardi tentang hubungan wujud dengan esensi hanya ada dalam pikiran. Maka penurunannya sebenarnya dapat dihentikan pada tingkat tertinggi sebab dia hanya ada dalam pikiran.
*
Suhrawardi menganggap wujud sebagai konsepsi umum memiliki hakikat yang sama dengan hakikat esensi. Karena anggapannya yang keliru Ushrawardi menuduh wujud sebagai realitas eksternal tidak nyata. Memang benar wujud hanya konsepsi pikiran yang wujud sebagai sebagai kata benda abstrak. Tetapi wujud sebenarnya yang tidak dapat dianalisa indera itu tidak akan pernah bisa menjadi konsep. Wujud menyinari esensi. Maka tampaklah quiditas. Maka seolah yang utama dari quiditas adalah esensi. Shadra mengkritik Suhrawardi dengan argumen Suhrawardi sendiri. Suhrawardi mengatakan yang nyata hanyalah cahaya. Maka Shadra mengganti analogi cahaya dengan wujud. Maka yang nyata hanyalah wujud. Sementara selebihnya adalah kegelapan, termasuk esensi.
Yang kita bisa raih pada realitas eksternalnya adalah quiditas. Sementara wujud tidak dapat diraih sebab modal meraih itu adalah esensi. Esensi itu sendiri cuma citra mental, tidak real.
*
Polemik terletak pada pemahaman terhadap tesis Ibn Sina. Apakah Ibn Sina mengemukakan dualitas (esensi dan wujud) hanya pada: realitas eksternal saja; atau: pada realitas eksternal dan konsep. Mulla Shadra menyatakan dualitas hanya ada pada konsep dan memperkuat argumennya dengan mengutip Ibn Sina. Berikut argumen Ibn Sina yang dipakai Shadra: ''Itulah yang wujudnya menjadi pasti melalui yang lain sebagai wujud abadi. Ia tidak dapat memiliki wujud tunggal, karena apa yang ia miliki per se berbeda dari apa yang ia miliki melalui yang lain. Karena itu adanya dalam kenyataannya tersusun dari kedua faktor tersebut.'' (Rahman, h.45). Rahman menilai argumen Ibn Sina itu adalah pernyataan: dualitas berada pada realitas eksternal dan konsep. Karenanya dia menilai Shadra keliru karena menjadikan kutipan itu sebagai penguat argumennya. Kalau makna kutipan itu adalah pernyataan: dualitas ada pada konsep dan realitas eksternal, maka Shadra keliru. Bila maknanya adalah: dualitas hanya pada konsep, maka Rahman yang keliru. Mari kita coba analisa.
Kalimat pertama: Itulah yang wujudnya menjadi pasti melalui yang lain sebagai wujud abadi, maksudnya: wujudnya, yakni wujud eksternal, menjadi dapat dianggap pasti, riil, benar benar ada, bukan sebatas asumsi yang dimunculkan oleh quiditas, tapi benar benar nyata dan pembuktiannya tidak dapat diindrai tetapi hanya dengan melalui intuisi atas yang lain sebagai wujud abadi, yakni wujud yang tanpa dicampurkan dengan esensi. Ia, yakni wujud murni yang tidak bercampur esensi tidak dapat memiliki wujud tunggal karena ketunggalan itu sendiri adalah wujud yang telah bercampur dengan esensi. Ini sama dengan pernyataan: ''Wujud bukan sesuatu yang memiliki realitas karena realitas, wujud adalah realitas itu sendiri.'' (Rahman, h. 44) karena itu apa yang ia yakni wujud , miliki per se, yakni wujud yang telah bercampur esensi berbeda dari apa yang ia, yakni wujud miliki melalui yang lain, yakni wujud yang murni, yang tidak bercampur esensi. Karena itu adanya wujud, benar-benar ada, bukan sebatas bentukan quiditas dalam kenyataannya, yakni kenyataan percampuran wujud dengan esensi, tersusun dari kedua faktor tersebut, yakni wujud yang ditambahi esensi.
Rahman, Suhrawardi, Ibn Rusyd saya kira menyalah artikan tesis Ibn Sina tersebut terutama kalimat terakhir kutipan tadi. Mereka mengklaim 'kenyataan' yang dimaksud adalah realitars eksternal. Padahal maksudnya adalah kenyrataan percampuran wujud dengan esensi yang tempatnya adalah hanya dalam konsep. Dan Sabzawari yang diklaim komentator Shadra juga tidak mampu memahami cara pandang Shadra yang cerdas atas Ibn Sina.
*
Rahman tampaknya adalah termasuk kaum esensialis karena dia menyatakan materi sebenarnya tidak ada dan hanya merupakan konsepsi dari esensi. Rahman juga mengemukakan bahwa wujud adalah baik dan esensi adalah buruk. Dan keburukan itu relatif. Ini dapat menyebabkan kesalah pahaman besar, terutama pembaca yang kurang akrab denga kajian filsafat. Padahal secara syariat relatif ini maksudnya bergantung pada motif pelaksanaannya. Misalnya membunuh itu dilarang, tetapi membunuh kafir harbi dan qisash itu dibenarkan. Secara filosofis, relatifitas esensi adalah pada kapasitas abstraksi dan posisi maujud yang berposesi. Sebab saya kira, tidak hanya manusia saja yang memiliki esensi dan membentuk pengenalan atas realitas tetapi tiap makhluk. Bahkan atom sekalipun punya. Maka setiap yang punya esensi lebih tipis, dia lebih dapat melihat wujud. Yang semakin dapat melihat wujud, semakin dapat memahami quiditas dibawahnya. Manusia adalah makhluk yang paling punya potensi paling mengenal wujud sehingga manusia paling punya potensi memahami quiditas. Karena itu manusia disebut kutub semesta.
*
Dalam masalah gradasi (tasykik) wujud, persolannya adalah wujud itu tunggal sekaligus beragam (unity dan multiply). Sebuah maujud yang menjadi dua dalam pikiran, maka yang masuk ke dalam pikiran itu adalah quiditas (kekursian, misalnya) sementara wujud hanya disadari keberadaannya oleh pikiran. Sebab yang diabstraksi dari maujud itu bukan wujud tetapi esensi. Sementara wujud itu kembali kepada wujud murni tanpa esensi. Maka wajarlah esensialis meyakini esensi itu lebih primer (sekalipun kenyataannya tidak begitu). Shadra menolak agumen sufi yang mengatakan adalah wujud tunggal yang ada di realitas eksternal.
*
Tuhan sebagai wujud mutlak negasinya adalah non wujud. Maka tentunya esensi itu non wujud, jadi esensi adalah tidak ada. Dia hanya sebuah kesadaran oleh wujud yang lebih rendah. Karena itu realitas yang ditangkap pada realitas eksternal bukan yang sebenarnya tetapi cuma quiditas, suatu wujud yang telah dipengaruhi oleh keterbatasan si pengamat. Karena kekurangan wujud maka pengamat maha dapat menangkap wujud yang telah dibalut esensi.
*
Prinsip tasykik wujud tidak bisa disamakan dengan prinsip kausalitas yang umumnya dipahami. Secara umum, kita memang keliru memahami kausalitas. Sebenarnya sebab tidak sama sekali lepas dari akibat. Sebuah akibat sebenarnya mengandung sebab bersamanya. Demikian juga sebab telah mengandung akibat dalam diri sebab itu sendiri. Suatu akibat sebenarnya telah ada bersama sebab, namun pengamat belum melihatnya. Demikian juga pengamat tidak mampu melihat lagi sebab di dalam akibat ketika dia telah mampu melihat akibat. Dan saya kira sebab akibat atau kausalitas hanya berada pada subjektivitas pengamat.
*
Maka pada realitas eksternal kita hanya dapat melihat gejala-gejala wujud melalui kegelapan esensi. Bukan wujud itu sendiri yang kita lihat. Ketika kita hendak mengatakan sesuatu adalah wujud, maka dia bukan lagi wujud: pikiran hanya dapat mengenal quiditas karena pikiran adalah kegelapan, hijab bagi wujud.
*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar