Link Download

Senin, 22 Oktober 2012

Konsep Pendidikan Iqbal

Karya Iqbal sepenuhnya mendidik. Saiyidain mengemukakan karya pemikir besar ini mendidik; dengan cacatan kita tidak memaknai pendidikan degan bayangan-bayagan mengenai gedung sekolah, ruang belajar, meja-kursi, murid yang berserÁgam yang datang pada pagi dan pulang sore hari, dewan guru, kepala sekolah, silabus dan kurikulum. Maka saya lebih sepakat apa yang ingin diteliti Saiyidain mengenai Iabal ini adalah 'filsafat pendidkan', bukan 'pendidikan', yang kita bisa terlalu nakal mengelak dari bayang-bayang yang telah saya sebutkan tadi. Maka tepatlah judul karya K.G. Saiyidain, M.Ed. yakni "Iqbal's Educational Phylosophy", yang dalam edisi bahasa Indonesianya dialah bahasakan oleh M.I. Soelaeman menjadi judul 'Percian Filsafat Iqbal mengenai Pendidikan', yang diterbitkan oleh 'CV Diponogero' Bandung tahun 1981. Edisi terahir inilah yang akan kita jadikan sumber inspirasi tulisan ini. Sebelumnya, perlu kita pahami draf buku telah diperiksa sendiri oleh Allama Iqbal dan mengatakan si penulis telah melakukan penelita yang baik terhadap pemikiranny da tidak perlu memberi tambahan. Saiyidain memang sarjana yang benar-benar serius dalam mengamati dan mekaji pemikiran, malah perkembangan pemikiran Filsuf Islam modern terbesar ini. Belakangan dia didaulat sebagai pemilik otoritas tentang pemikiran. Iqbal. Mulyani "Azzam" megatakan "Saiyidan bagi Iqbal seperti Wan Muhammad Noor bagi Al-Attas".
           Badan atau lembaga yang hendak menyelenggarakan pendidikan tentunya harus punya ''...anggapan dasar berupa konsep tertentu tentang hakikat seorang anak'' Saiyidain (1981:23). Berangkat dari anggapan tentang teori tentang manusia serta interaksinya dengan lingkungan yang dinamis itulah visi pendidikan ditentukan. Menciptakan manusia yang unggul tidak dapat menghasilkan apa yang d
iharapkan karena penyiapan manusia melalui pendidikan hanya setengah usaha bila tidak memperhatikan faktor lingkungan. Lingkungan dan pendidikan adalah dua entitas yang berperan seimbang dalam membentuk manusia.
Keunikan pemikiran Iqbal adalah memfokuskan pada pembentukan jiwa individu. Inilah perbedaannya di antara banyak pemikir berarah pantheistik yang mengatakan diri dan lingkungan adalah sesuatu yang tidak real, bayangan atau ilusi. Baginya ego yang tidak mantap dan kokoh tidak akan berarti di hadapan Ego Mutlak. Hanya ego yang kokohlah yang akan dilimpahi cahaya dari Ego Mutlak. Ego yang tidak kokoh juga dapat larut dan tenggelam dalam kemajemukan sehingga kehilangan identitas diri. Larut dan hilang dalam kemajemukan, hilang di antara ego-ego yang lain, pastinya tidak dapat memberi kontribusi ataupun merubah ego-ego yang lain. Padahal, ego yang ingin dibentuk dalam pendidikan adalah ego yang mampu menjadi penggerak sosial.
Hukum alamiah sosial adalah saling mempengaruhi antar ego. Secara universal, saling mempengaruhi ini berlaku untuk konstelasi manusia seluruh dunia. Iqbal menolak penjiplakan visi dan orientasi dari Barat namun mengapresiasi dan bahkan menyerukan untuk menuru semangat dan intelektualisme mereka yang berapi-api.
Barat punya konsep yang pincang dalam memandang manusia. Mereka melihat manusia sebatas apa yang dapat dipantau secara empirik. Konsep ini tentu keliru dan mengebiri manusia. Karena itu, menjadikan Barat sebagai kiblat dan pedoman penyelenggaraan pendidikan adalah salah besar. Menurut saya, adalah orang bodoh yang mengikuti sistem pendidikan dan lainnya yang dari Barat. Bila kita mempelajari akar intelektualitas dan peradaban Barat, maka akan kita temukan bahwa dianya berangkat dari konsep-konsep konyol dari para filosof Barat Modern.
Menurut Iqbal, kebebasan adalah sistem yang baik dalam menyelenggarakan pendidikan, kepakaan sosial dan lingkungan adalah hal yang sangat diperlukan dalam mengasah potensi seorang anak. Tetapi bagi saya, penempahan pribadi yang berdasarkan pada dokrin-doktin agama serta pengaturan ketat untuk membiasakan mereka beribadah adalah hal yang lebih primer.
Iqbal menginginkan penyeimbangan antara pengembangan intelektual dan moral, lebih dari itu, bagi Iqbal antara kedua hal itu bukanlah dua hal yang patut dipisahkan, keduanya adalah seiring sejalan. Di atas kedua hal itu, Iqbal menekankan pentingnya pengorientasian diri manusia. Dengan jelasnya tujuan, maka moral dan intelektualitas dapat dijadikan sebagai kendaraan mencapai tujuan itu.
Tujuan yang hendak dicapai itu adalah hal yang tidak memiliki batas. Karena ego manusia terus bergerak tanpa henti, dengan ini, istirahat itu tiada: berhenti berari mati. maka seperti prinsip Modern yang punya ambisi tinggi, namun tidak memiliki tujuan, mereka persis seperti menari: bergerak lincah tapi tidak bergerak kecuali ditempat itu saja. Lingkungan masyarakat adalah konstelasi gerak yang tak berkesudahan. Pergerakan ini berasal dari gerak ego-ego. Selanjutnya sejarah adalah gerak yang tidak pernah berhenti dan dia punya tujuan adalah ketidakberakhiran. Maka anak didik tidak boleh dipisahkan dari lingkungannya. Lingkungan adalah media efektif anak untuk belajar. Tetapi syaratnya adalah pemodalan prinsip dan panduan.
Dalam mengarungi kehidupan hendaknya pribadi itulah yang harus terus digali karena di dalam diri terdapat khazanah yang tidak habis. Materi adalah kendaraan bagi ruhani untuk menempa diri, bukan sebaliknya dirilah yang terlarut dalam materi. Karena itu, bagi saya, omong-kosong mengkonsepkan dan menyelenggarakan pendidikan secanggih dan sebaik apapun bila tidak menciptakan lingkungan yang baik sesuai dengan arah pendidikan yang dikonsepkan. Negara hanya basa-basi bila teguh dalam tujuan penyelenggaraan pendidikan tetapi membiarkan masyarakat seperti Indonesia. seharusnya negara mengatur warga menjadi baik karena masyarakat adalah media belajar.
Dalam pandangan Iqbal, individu barulah dapat diakui keberadaannya bila dia berada bersama masyarakat. Menurut saya, agama Islam adalah agama masyarakat. Tidak akan ada agama Islam kalau tujuannya bukan untuk sebagai gerakan sosial. Sekalipun ada orang yang dianggap atau menganggap diri sangat mulia tetapi tidak bersosialisasi. Nabi menganjurkan supaya orang yang beribadah dengan baik tapi malas berinteraksi dibunuh. Agama ini bukan saja untuk pribadi. Kelima rukun Islam sisinya adalah pribadi dan sosial. Kesempurnaan berislam adalah dengan memperbaiki diri dan bermasyarakat. Agama-agama untuk perbaikan individu telah selesai sebelum Islam. Islam datang untuk sosial.
Melatih pikiran supaya dapat jadi alat mendapat pengetahuan adalah sangat penting. Namun Iqbal menegaskan bahwa hanya intuisi yang dapat menangkap makna dari berbagai kesan dan dengan itulah pribadi terbentuk. Intuisi hanya akan mampu membentuk diri sejauh mana pikiran atau intelek diasah. Intuisi hanya akan bekerja dengan baik bila intelek telah difungsikan dengan maksimal.
Nilai manusia adalah pengetahuannya, siapa yang paling tinggi pengetahuannya dialah yang akan menjadi kiblat di antara sekian ramai. Dia yang sedikit pengetahuan akan rendah dan hanya menjadi serpihan besi malang yang tidak punya daya melawan tarikan magnet. Hanya dia yang punya pengetahuan tinggi yang dapat memiliki tiga modal penting untuk menjadi kutub bagi lingkungannya yakni keberanian, kepekaan dan toleransi. Penyelenggara pendidikan harus dapat menghasilkan manusia yang punya ketiga hal tersebut.
Takut adalah milik pengecut. Pengecut selamanya mengikut. Rasa takut itu muncul karena kurangnya pengetahuan. Penakut punya masalah besar pada dirinya sendiri sehingga tidak dapat melihat dengan baik lingkungan sekitarnya. Kekurangan itu menyebabkannya tidak pernah dapat memiliki kepekaan. Padahal hanya dengan kepekaan yang tinggi saja kita dapat bertolesansi dengan iklash dan hati yang jernih. Banyak sufi sesat yang enggan bermasyarakat karena tidak memiliki penyetahuan yang benar sehingga mereka menyimpan rasa takut hingga kiamat dan dengan itu jadilah mereka seperti pencuri yang selalu menyimpan rasa resah di dalam diri.
Sufi-sufi sesat itu adalah mereka yang gagal menyelah hakikat Realitas sehingga realitas eksternal menjadi tidak berharga bagi mereka. Mereka gagal mendapatkan hikmah. Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan mengaku jalan hikmah para sufi yang benar adalah jalan terbaik untuk dirujuk dalam menyelenggarakan pandidikan. Namun dia menawarka supaya khasanah-khasanah mulia itu perlu ditawarkan secara objektif dan dapat dipertahankan secara ilmiah supaya tidak menjadi sebuah Yrhtdokumen historis semata dan dapat diperdrtebatkan dengan rasio modernitas (dalam 'Begawan Muhammadiyah' Jakarta: PSAP, 2005, h.163, Tanthowi-ed).
Dalam pidato pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar Pendidikan Islam, Mulkhan menawarkan konsep pendidikan berdasarkan cara pandang kesatuan wujud seluruh alam Realitas (wahdah Al-Wujud) dengan hubungan secara hirarkis (Tasykik Al-Wujud) yang dengan pemahaman itu akan melahirkan kesadara (Ashalat al-Wujud), bahwa realitas eksternal dan yang tak terjangkau indera dan bahkan menyadari bahwa kesadaran kita akan realias eksternal menjadi terbatas karena keterbatasan kita sebagai manusia.
Konsep Mulkhan yang ia beri nama Kesadaran Makrifat (Ma'rifat Quotioent) saya lihat sepenuhnya diinspirasikan oleh kinsep matafisika Mulla Shadra. Mulkhan mengejawantah konsep ini ke dalam konsep pendidikan. Konsep Shadra sama sekali berbeda dengan cara pandang Ibn Sina yang tampak mekanistik yang ratio aproach itu, sekalipun Shadra dan Ibn Sina sama-sama mengadut prinsi Ashalat al-Wujud.
Konsep Shadra malah lebih mirip dengan teori Iqbal. Keduanya meyakini prinsip gerak aksiden yang tak pernah henti karena diakibatkan oleh substansi yang terus bergerak. Bahkan Iqbal mengatakan ego terus bergerak sekalipun diri manusia telah meninggal. Jasad merupakan aksiden, kalau Iqbal meyakini gerak terus berlanjut sekalipun aksiden punah, maka tentu paham ini sama dengan paham harakah jawhariyah Shadra. Tapi saya tidak menemukan Iqbal menyinggung Shadra dalam karyanya menyangkup gerak ego. Dalam kara Rekonstruksi, tampaknya Iqbal dipengaruhi sufi-sufi lain seperti Iraqi, Rumi dan Bayazid. Ini mengindikasikan teori ini bukan didahului oleh Shadra. Tetapi, secara pasti Shadralah yang dapat merumuskan konsep luar biasa ini secara objektif dan rasional. Yang terakhir ini adalah modal kita untuk mengungguli konsep tawaran Mulkhan menjadi pedoman pendidikan modern karena, rumusan Shadra memiliki prinsip epistemologis dan ontologis yang jauh lebih masuk akal, baik dan benar daripada epistemologi sesat filsafat Barat Modern. Tidak ada lagi yang patut dipertahankan dari konsep Barat kecuali keangkuhan dan kesombongan. Bila sedikir saja mereka mahu jujur, maka mereka pasti dapat menerima konsep-konseo sufi lurus itu.
Hanya dengan mengikuti prinspi logika dan epistemilogi yang telah diluruskan Shadralah pengetahuan makrifat atau hudhuri, atau intuisi atau irfan dapat dicapai. Konsep ma'rifat quotient gagasan Mulkhan diakuinya adalah kelanjutan dari kecerdasan intelek (IQ), lalu emoso (EQ) dan Spiritual (SQ) rumusan pemikir-pemikir mutakhir Barat. Saya kira ini penyimpangan. Pertama karena ketiga konsep itu masing-masingnya parsial, tanpa hubungan baik logis maupun epistemologis. Kedua epistemologinya tetap milik Barat modern yang logosentris. Dan karena basis epistemologisnya keliru pasti--ketiga--tidak memiliki status ontologis (karena ontologi itu mustahil memiliki dualitas). Mustahil epistemologi sesat dapat menghantarkan pada makrifat. Mustahil.
Bila ingin menawarkan konsep kecerdasan makrifat agar objektif, saya kira karanya bukan dengan mengkebirinya (dengan mengkait-kaitkan dengan konsep berbasis logo sentris itu) tetapi kita harus membuktikan kekeliruan logika dan epistemologi Barat dan membuktikan epistemologi kaum irfan itu adalah yang benar. Kita juga tidak perlu menduga-duga bahwa pandangan kaum postmodern memiliki keidentikan dengan kaum irfan: sama sekali tidak. Kaum postmodern memang menolak logosentrisme, tetapi eksistensialisme mereka tidak punya landasan rasional karena tidak punya epistemologi. Dilema kami para pelajar Filsafat Islam adalah harus memakai metodologi kaum postmodern itu untuk melakukan penelitian tentang khasanah irfan untuk menyelesaikan tugas akhir akademik.
'Etis' dan 'objektif' (Begawan, h.179) adalah dua kata yang mengganggu. Etis yang dimaksud adalah jalan yang ditempuh untuk menawarkan (lebih jujurnya: 'dimohonkan') supaya kecerdasan makrif supaya dapat ''dipertimbangkan'' (tertulis: 'berdialog') dengan sistem populer milik Barat. Perodesasi Sejarah gagasan Kuntowijoyo sebagaimana dikutip sebagai penguat argumen Mulkhan tidak serta merta sebuah evolusi, bahkan teori Kunto lebih mirip sebuah revolusi. Namun, lagi-lagi argumen ilmiah harus terus bersembunyi di balik bunker bernama 'etis'. Sejarah ilmu pengetahuan dapat disebut evolusi hanya dalam konsep, namun secara praktis dia adalah sebuah revolusi. Dan 'objektif' itu praktis, bukan teoritis.
Mulla Shadra memperoleh ilham merumuskan epistemologi yang benar-benar sesuai dengan akal murni manusia karena dia hanya mengambil inspirasi dan khasanah-khasanah sufi-sufi yang lurus sebelum dirinya. Bila tetap menjadikan logosentisme dan pestmodern sebagai bagian referensi maupun inspirasi, apalagi mengakui sebagai evilolusi, maka gagasan kecerdasan makrifat yang Mulkhan rumuskan termasuk kurang masuk akal.
'Sintesis hierarkis' dikatakan Mulkhan bukan 'pertentangan' tetapi perlu adanya pendidikan 'kritis'. Kritik atau kritisme hanya dapat diterapkan pada sesuatu yang punya akar yang sama. Sayangnya antara sufi dengan filsafat Barat Modern dan posrmodernis tidak punya hubungan sama sekali, keduanya bertolak belakang.Persis seperti ada (wujud) dan ketiadaan ('adam) tidaklah yang satu memiliki kandungan dengan yang lain, demikian sebaliknya. Makanya tidak mungkin satu mengkritik yang lain. Dengan begitu tawaran 'evolusi-kontinu' sama sekali tidak berlaku.
Saya tawarkan. Bila tujuannya supaya 'objektif', kecerdasan makrifat itu, maka buktikan kekekeliruan dan kesesatan epistemologi Barat secara epistemologis. Dan bila ingin menawarkan makrifah, kemukakan epistemologi milik Mulla Shadra secara baik dan sistematis. Dan siapapun yang masih berorientasi pada materi dan hal lain selan Hakikat, maka takkan mau memahami dan menolak konsep mulia ini.
Antara teori evolusi Hegel dengan harakah Shadra beda sama sekali. Tidak punya hubungan apapun. Status ontologisnya beda. Tetapi untuk kepuasan intelektual ataupun orientasi pangkat atau materi dianya bisa disiasati. Dan hanya akan dilakukan oleh orang yang tidak mengerti dan pedagang ma'rifah. Tetapi usaha Mulkhan patut diapresiasi karena mampu memperkenalkan Shadra kepada khalayak (sekalipun dengan kekeliruan pemahaman). Kontribusi Mulkhan ini mengingatak saya pada peran Ibn Rusyd memperkenalkan Ibn Sina kepada Barat. Namun implikasinya masih terasa hingga kini dan bahkan menjadi akar sekularisme.
Pada negara sekuler yang berbasis epistemologi sesat itu, pendidikan Islam tidak akan pernah mendapatkan tempat yang baik. Padahal tempat yang baik itu adalah kunci utama dalam mencapai konsep manusia sesuai pandangan Islam. Menciptakan manusia-manusia muslim dalam negara sekuler hanya akan melahirkan para pemberontak atau mereka yang sering disebut teroris. Jalan tengahnya adalah menciptakan manusia setengah Islam. Ingat, Islam agama sosial. Manusia yang tercipta dengan menempuh lajan tengah adalah manusia sebelum Islam dan itu adalah jahiliyah, bukan Islam. Dengan itu, berarti manusia jalan tengah yang diciptakan adalah bukan muslim (tetapi boleh saja beragama Islam).
Mukmin dan munafik dapat dilihat dari siapa yang berbuat tanpa pamrih dan yang sesat adalah dia yang hanya berbuat semata melihat keuntungan secara profit. Salah satu kebodohan orang adalah yang berbuat kebaikan pada seseorang yang ditimpa kemalangan dengan harapan akan dibantu bila dia sendiri kelak dapat kemalangan. Pola pikir seperti ini adalah kebodohan karena berarti orang itu mengharap dirinya memperoleh kemalangan kelak.
Nasionalisme adalah fanatisme. Islam tidak membedakan warna kulit , pangkat ataupun strata sosial. Semuanya punya hak untuk dididik sesuai arahan Islam. Kita mencintai tanah air hanya sebatas kenangan yang tidak mungkin dilupakan manusia. Nabi Saw. juga merasakan cintanya pada Makkah. Tetapi pengkhususan pada hal bersifat pribadi adalah dilarang. Nabi Muhammad Saw. diutus untuk semua manusia adalah tanda berakhirnya individualisme dan fanatisme.
Pendidik yang baik bukanlah mereka yang dapat menceramahi dan meremot siswa. Pendidik yang benar adalah mereka yang mampu memancing, memotifasi atau memprofokasi siswa untuk terus belajar tanpa henti. Hidup adalah gerak kreatif tanpa henti, karena itu penting menumbuhkan kesadaran bahwa semuanya adalah gerak supaya anak sadar bahwa bila berdiam maka akan tertinggal jauh dan mensia-siakan waktu adalah kerugian super besar.
Iqbal melarang diri itu terlalu terlibat dalam banyak kegiatan yang nantinya malah merusak batin. Dia juga melarang sikap berpangku tangan acuh tidak peduli dengan persoalan lingkunyan. Tawaran Iqbal adalah keselarasan antara tindakan ego efisien dan ego apresiatif. Ego efesien adalah melibatkan diri dalam ruang eksternal dan berinteraksi, sementara ego apresiatif adalah sebuah kondisi dimana kita meninggalkan ruang eksternal dan menuju sebuah refleksi, sebuah kegiatan melihat ke dalam diri (Saiyidain, h.176). Di akui, sumber kebahagiaan sejati adalah saat ego apresiatif bekerja. Juga, pada saat itu, kita dapat menginstrospeksi diri pada saat tindak efisien. Apresiatif juga adalah optimalisasi efesien kembali.
Misi kita adalah terciptanya dunia yang sempurna sesuai inmajinasi murni kita, seperti yang dituliskan dalam Kitab Suci Al-Qur'an, seperti apa yang dipandu oleh Nabi Besar Saw.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar