n ini?
Seperti pada maujud, kita hanya dapat menemukan satu hal tetapi bila masuk ke dalam pikiran kita, satu maujid di luar bisa menjadi berjumlah-jumlah di dalam konsep. Kita hanya dapat melihat seorang Hasan di luar, tetapi dalam konsep dia bisa menjadi ayahnya Karim, penulis 'Demokrasi untuk Indonesia' pemimpin orang Aceh dan banyak lagi. Bagi diriNya sendiri, 'Ada' adalah sangat sederhana, tidak bercampur dengan hal lain sedikitpun. Baginya hal-hal apapun. Namun bagi kita, dalam konsep kita, dapatlah dibedakan. (Makna 'dapat' disini berbeda dengan 'mampu'.) Benarkah demikian?
Masalah yang melintas adalah: kemungkinan kita memahami 'Ada' sebagai diriNya sendiri yang Murni melalui hosrison kita yang tidak murni (berbatas). Maka Suhrawardi mensolusikannya melalui analogi emanasi. Maka, karena mustahil dari yang Murni Tunggal Sederhana dengan Dirinya sendiri ada hal lain selainNya, tidaklah mungkin ada yang lain-lain kecuali Dia saja. Maka ahli syariah tentu akan menolak model analogi ini karena mereka melihat banyahnya hala-hal lain selain 'Ada'. Dan demikianlah (seperti ahli syariat) yang terbatas memandang yang Ada Murni Sederhana. Terang dan gelap menjadi ada karena yang terbatas mengekstraksi sesuatu sesuai kadar (potensi)nya. (Kadar adalah semacam sudut atau posisi memandang.)
Potensi abstraksi setiap hal di alam eksternal (mawjud) timbul dari wujud konsep yang ada dalam diri kita. Wujud konsep ini teremanasi kedalan setiap kuiditas. Kuidtas-kuiditas ini adalah potensi yang telah ada dalam diri lalu dikonfirmasi pada realitas eksternal. Pada realitas eksternal, kita mengkonfirmasi berbagai benda melalui indera.
Wujud sebagai konsep ini jadinya identik dengan segenap hala-hal di alam semesta. Bahkan dapat dikatakan segenap realitas yang di alam eksternal adalah pewujudan dari Wujud Konsep. Kalangan mutakallimin membenci model logika seperti ini karena bagi mereka Sang Wujud berbeda samasekali dengan hal-hal selainNya.
Serangan-serangan mutakallimin pada para filosof terjadi karena kesalah-pahaman mereka pada konsep filsafat raksasa yang dibangun Ibn Sina. Tidak hanya mutakallimin, Ibn Rusyd sendiri yang dikenal sebagai perintis bagi filsafat Barat Modern juga mengalami kekeliruan yang sama.
Sementara kekeliruan filsafat terus diwariskan ke Barat setidaknya hingga memasuki abad keduapuluh, di Timur Mulla Shadra datang dan meluruskan kekeliruan kita dalam memahami Ibn Sina.
Sebagai mana yang kita temukan berulang-ulang dalam tulisan saya dengan cara yang berbeda-beda, letak kekeliruannya adalah disangka Wujud yang teridentikkan dengan hal-hal adalah Wujud Murni Sederhana. Kekeliruan ini riskan terjadi karena memang Ibn Sina kurang jelas dalam mebedakan Wujud Konsep dan Wujud Realitas. Dalam konsep Tauhid, kita dapat membedakan antara Dzat dengan Sifat. Dzat dengan sendirinya tidak bercampur dengan hal apapun, tidak dapat diidentikkan dengan sesuatu apapun Dia murni dengan diriNya sendiri. Sementara sifat adalah hal yang memanifestasikan banyak hal-hal lain. Segenap Nama dan SifatNya sebenarnya adalah cara bagi kita yang terbatas untuk mengenal RealitasNya yang sebenarnya Tunggal. Seperti manusia misalnya, apa itu 'ruh', 'jiwa', 'akal', 'hatu' dan penyematan-penyematan lainnya? Tampaknya memang semua nama-nama ini adalah satu kedirian tunggal.
Suatu kata memang diakui sebagai perwakilan dari realitas. Namun realitas-realitas adalah sebuah hasil abstraksi oleh setiap pengamat. Dari cara tertentu kita dapat menganggap realitas adalah produk pikiran atau persepsi/cara pandang kita.
Dalam persoalan teologi muncul perdebatan aneh sepanjang sejarah yang selalu menumpahkan darah. Misalnya perdebatan mengenai pendapat apakah Al-Qur'an itu makhluk. Mengenai perdebatan kolot ini, Mulla Shadra mengingatkan bahwa sia-sia memberi penjelasan pada orang yang memang niatnya ingin berdebat. Baginya, penjelasan hanya patut pada yang benar-benar serius ingin menjadi bijak.
Al-Qur'an tentunya adalah kalam Allah. Al-Qur'an bukanlah apa yang tertera dalam mushaf, dia adalah kitab terpelihara di Lauh Mahfudz. Al-Qur'an adalah jiwa Nabi Saw. 'Jiwa' itu sendiri tidak kita tahu realitasnya. Adakah dia adalah ruh juga. Ruh sendiri bukanlah ciptaan tetapi adalah urusan (amr). Maka adakah sebuah ucapan itu adalah ciptaan si pengucap? Shadra menyimpulkan bahwa Al-Qur'an adalah nafas Ar-Rahman. Adakah nafas itu ciptaan kita saat kita berucap sesuatu? Adakah Al-Qur'an adalah ucapan sebagaimana kita berucap. Mungkin ini mengarahkan pikiran kita untuk menentukan bahwa memang Al-Qur'an adalah pengetahuan atau bagian dari pengetahuan Allah. Lantas ini juga melahirkan pikiran lain lagi menganai apakah pengetahuan itu adalah bagian dari yang mengetahui?
Dalam kuliah mengenai Suhrawardi, saya teringat dosen menerangkan bahwa bila antara yang mengetahui dan yang diketahui memiliki perantara, maka perantara itu juga tentu membutuhkan perantara. Demikian seterusnya bila yang diketahui dan yang mengetahui butuh perantara. Karenanya disimpulkan bahwa antara yang mengetahi dan diketahui adalah bersatu.
Kalau begitu, perdebatan tentang pengetahuan Allah tentang hal partikular antara filosof dengan teolog di masa menjadi bahan tertawaan saja. Bahkan, setiap yang mengetahui tentang sesuatu berbeda dengan yang lain. Konsep ketidak-berantaraan antara yang tahu dengan yang diketahui bila didemonstrasikan lebih luas akan menghasilkan pengatahuan bahwa Allah sebagai Maha Mengetahui dengan semua yang Dia ketahui adalah satu.
Seperti pada maujud, kita hanya dapat menemukan satu hal tetapi bila masuk ke dalam pikiran kita, satu maujid di luar bisa menjadi berjumlah-jumlah di dalam konsep. Kita hanya dapat melihat seorang Hasan di luar, tetapi dalam konsep dia bisa menjadi ayahnya Karim, penulis 'Demokrasi untuk Indonesia' pemimpin orang Aceh dan banyak lagi. Bagi diriNya sendiri, 'Ada' adalah sangat sederhana, tidak bercampur dengan hal lain sedikitpun. Baginya hal-hal apapun. Namun bagi kita, dalam konsep kita, dapatlah dibedakan. (Makna 'dapat' disini berbeda dengan 'mampu'.) Benarkah demikian?
Masalah yang melintas adalah: kemungkinan kita memahami 'Ada' sebagai diriNya sendiri yang Murni melalui hosrison kita yang tidak murni (berbatas). Maka Suhrawardi mensolusikannya melalui analogi emanasi. Maka, karena mustahil dari yang Murni Tunggal Sederhana dengan Dirinya sendiri ada hal lain selainNya, tidaklah mungkin ada yang lain-lain kecuali Dia saja. Maka ahli syariah tentu akan menolak model analogi ini karena mereka melihat banyahnya hala-hal lain selain 'Ada'. Dan demikianlah (seperti ahli syariat) yang terbatas memandang yang Ada Murni Sederhana. Terang dan gelap menjadi ada karena yang terbatas mengekstraksi sesuatu sesuai kadar (potensi)nya. (Kadar adalah semacam sudut atau posisi memandang.)
Potensi abstraksi setiap hal di alam eksternal (mawjud) timbul dari wujud konsep yang ada dalam diri kita. Wujud konsep ini teremanasi kedalan setiap kuiditas. Kuidtas-kuiditas ini adalah potensi yang telah ada dalam diri lalu dikonfirmasi pada realitas eksternal. Pada realitas eksternal, kita mengkonfirmasi berbagai benda melalui indera.
Wujud sebagai konsep ini jadinya identik dengan segenap hala-hal di alam semesta. Bahkan dapat dikatakan segenap realitas yang di alam eksternal adalah pewujudan dari Wujud Konsep. Kalangan mutakallimin membenci model logika seperti ini karena bagi mereka Sang Wujud berbeda samasekali dengan hal-hal selainNya.
Serangan-serangan mutakallimin pada para filosof terjadi karena kesalah-pahaman mereka pada konsep filsafat raksasa yang dibangun Ibn Sina. Tidak hanya mutakallimin, Ibn Rusyd sendiri yang dikenal sebagai perintis bagi filsafat Barat Modern juga mengalami kekeliruan yang sama.
Sementara kekeliruan filsafat terus diwariskan ke Barat setidaknya hingga memasuki abad keduapuluh, di Timur Mulla Shadra datang dan meluruskan kekeliruan kita dalam memahami Ibn Sina.
Sebagai mana yang kita temukan berulang-ulang dalam tulisan saya dengan cara yang berbeda-beda, letak kekeliruannya adalah disangka Wujud yang teridentikkan dengan hal-hal adalah Wujud Murni Sederhana. Kekeliruan ini riskan terjadi karena memang Ibn Sina kurang jelas dalam mebedakan Wujud Konsep dan Wujud Realitas. Dalam konsep Tauhid, kita dapat membedakan antara Dzat dengan Sifat. Dzat dengan sendirinya tidak bercampur dengan hal apapun, tidak dapat diidentikkan dengan sesuatu apapun Dia murni dengan diriNya sendiri. Sementara sifat adalah hal yang memanifestasikan banyak hal-hal lain. Segenap Nama dan SifatNya sebenarnya adalah cara bagi kita yang terbatas untuk mengenal RealitasNya yang sebenarnya Tunggal. Seperti manusia misalnya, apa itu 'ruh', 'jiwa', 'akal', 'hatu' dan penyematan-penyematan lainnya? Tampaknya memang semua nama-nama ini adalah satu kedirian tunggal.
Suatu kata memang diakui sebagai perwakilan dari realitas. Namun realitas-realitas adalah sebuah hasil abstraksi oleh setiap pengamat. Dari cara tertentu kita dapat menganggap realitas adalah produk pikiran atau persepsi/cara pandang kita.
Dalam persoalan teologi muncul perdebatan aneh sepanjang sejarah yang selalu menumpahkan darah. Misalnya perdebatan mengenai pendapat apakah Al-Qur'an itu makhluk. Mengenai perdebatan kolot ini, Mulla Shadra mengingatkan bahwa sia-sia memberi penjelasan pada orang yang memang niatnya ingin berdebat. Baginya, penjelasan hanya patut pada yang benar-benar serius ingin menjadi bijak.
Al-Qur'an tentunya adalah kalam Allah. Al-Qur'an bukanlah apa yang tertera dalam mushaf, dia adalah kitab terpelihara di Lauh Mahfudz. Al-Qur'an adalah jiwa Nabi Saw. 'Jiwa' itu sendiri tidak kita tahu realitasnya. Adakah dia adalah ruh juga. Ruh sendiri bukanlah ciptaan tetapi adalah urusan (amr). Maka adakah sebuah ucapan itu adalah ciptaan si pengucap? Shadra menyimpulkan bahwa Al-Qur'an adalah nafas Ar-Rahman. Adakah nafas itu ciptaan kita saat kita berucap sesuatu? Adakah Al-Qur'an adalah ucapan sebagaimana kita berucap. Mungkin ini mengarahkan pikiran kita untuk menentukan bahwa memang Al-Qur'an adalah pengetahuan atau bagian dari pengetahuan Allah. Lantas ini juga melahirkan pikiran lain lagi menganai apakah pengetahuan itu adalah bagian dari yang mengetahui?
Dalam kuliah mengenai Suhrawardi, saya teringat dosen menerangkan bahwa bila antara yang mengetahui dan yang diketahui memiliki perantara, maka perantara itu juga tentu membutuhkan perantara. Demikian seterusnya bila yang diketahui dan yang mengetahui butuh perantara. Karenanya disimpulkan bahwa antara yang mengetahi dan diketahui adalah bersatu.
Kalau begitu, perdebatan tentang pengetahuan Allah tentang hal partikular antara filosof dengan teolog di masa menjadi bahan tertawaan saja. Bahkan, setiap yang mengetahui tentang sesuatu berbeda dengan yang lain. Konsep ketidak-berantaraan antara yang tahu dengan yang diketahui bila didemonstrasikan lebih luas akan menghasilkan pengatahuan bahwa Allah sebagai Maha Mengetahui dengan semua yang Dia ketahui adalah satu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar