Kalau benar Averroes (Ibn Rusyd) salah paham terhadap Avicenna (Ibn Sina) bahwa sebenarnya aksiden itu didasari oleh eksistensi, bukan baru mengada pada level quiditas, maka teori kebenaran ganda Averroes itu tidaklah dapat diterima. Parahnya kesalah pahaman ini diwarisi oleh seorang santo besar, Thomas Aquinas (lihat: Toshihiko Isutzu, 'Struktur Metafisika Sabzawari', Bandung: Pustaka, 2003, h. 77). Maka kesalahan ini telah menghancurkan agama Kristen yang puncaknya pada kehadiran agama Protestan. Dalam ruang pengetahuan, materialisme adalah buah daripada kekeliruan ini. Pada agama, utamanya Kristen, sekularisme terjadi akibat perjuangan pemikir yang menyangka antara eksistensi dan aksiden adalah dua hal terpisah.
Saya tidak menemukan adanya komentar Aquinas pada Ibn Rusyd terkait kesalahpahaman filosof muslim Spanyol itu pada Avicenna. Yang saya tahu Aquinas mengkritik Averroes tentang kesalah pahamannya pada Aristoteles. Mengenai apakah Santo Aquinas pernah membaca Ibn Sina, saya juga kurang tahu. Setidaknya kita perlum memahami bahwa Ontologi Aristoteles telah diberi perbedaan oleh Al-Farabi tentang perbedaan signifikan antara eksistensi dan quiditas yang tampak buram oleh Aristoteles. Pernyataan ini memang tampak kembali kepada Plato, tapi saya kira kita perlu menyelidiki perbedaannya secara cermat. Di samping itu, aroma yang dibangun Ibnu Sina telah menempuh satu perbedaan signifikan dari segala model pemikiran sebelumnya. Terkait kepentingan kita pada pembahasan pada kesempatan ini, orisniitas Ibnu Sina harus kita penjelas sejauh kemampuan kita guna menemukan kekeliruan mendasar para pemikir setelah Ibn Sina. Salah satu kepentingannya bagi pemikir modern adalah tidak terlalu bergembira dengan sekularisme dan pemuda Kristen dapat melihat kembali agama mereka secara jernih tanpa pula dijebak oleh sains modern yang saya lihat terlalu menyepelekan agama sebelum Muhammad Saw. Itu.
Kesalahpahaman itu bermula ketika mereka mengira quidutas yang dibentuk dari wujud adalah pada ruang eksternal. Padahal yang dimaksud oleh Ibn Sina adalah pada konsep saja. Mereka menyamakan penyematan substansi pada aksiden terhadap penyusunan quiditas dari wujud. Pada dasarnya yang ada hanyalah wujud, kemudian wujud itu diberi mahiyah sehingga terciptalah maujud-maujud. Setiap mawjud memiliki quiditasnya masing-masing. Selain mahiyah, semuanya adalah wujud. Pembedaan sehingga memungkinkan adanya beragam mawjud terjadi pada intelek (dzihni), bukan pada realitas eksternal (khariji). Mereka mengira pembedaan itu adanya pada realitas eksternal. Sebenarnya pada realitas eksternal yang ada hanya 'satu', 'wujud', 'ada'.
Dengan menganggap pluralitas itu adalah real, maka dimungkinkanlah menyusun teori yang mengakui realitas ini mengada dan membentuk diri dengan sendirinya. Realitas eksternal menjadi diakui punya posisi yang lebih dari yang seharusnya karena telah di duga mampu menciptakan pembedaan dan pergerakan oleh dirinya sendiri. Hal ini bertentangan denga konsep para pembela Ibn Sina seperti Mulla Shadra yang mengatakan gerak itu bukan oleh aksiden melainkan oleh substansi.
Penting untuk kita jelaskan konsep gerak supaya kita menemukan akar persoalan dari perdebatan kemendasaran wujud dan kemendasaran esensi (quiditas). Kemendasaran esensi tampaknya memang menyeret kepada materialisme. Dalam paham kemendasaran esensi, yang utama bukanlah ada itu, tapi quiditasnya. Dalam gerak sekalipun, yang diakui adalah perpindahan materi dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Keberadaan unsur di belakang materi(maksudnya substansi), yang sebenarnya sebagai penggerak materi (aksiden), diabaikan. Rasionalisme yang dibangun Avicenna memang sangat berorientasi pada akal. Akal, karakternya memang memberikan pemilahan. Oleh sebab itu peripatetik hanya mengakomodir unsur yang dapat dikenali akal. Dalam kaitannya dengan gerak, peripatetik hanya mengakomodir aksiden yang dalam hal ini, motif gerak itu memang tidak perlu (atau lebih tepatnya tidak terakomodir oleh) akal. Illuminasionalisme yang coba mengkritik peripatetik karena menemukan keganjilan itu mencoba menerangkan bahwa cara pandang yang rasionalistik itu tidak dapat menemukan hakikat kebenaran. Illuminasi mengaku ada unsur dibalik materi yang tak terakomodir akal. Ilmu bagi peripatetik hanya pada level hushuli, katanya, tidak menjangkau hudhuri. Karena itu Suhrawardi menawarkan konsep Cahaya sebagai analogi keilmuan. Sabagaimana karakternya, cahaya mampu menembus segala aspek terkecil daripada realitas sehingga mampu menyibak kebenaran hingga ke dasarnya.
Tapi ternyata model Suhrawardi segera ditemulan kelemahannya oleh Mulla Shadra, pendiri Filsafat Hikmah. Dia banyak mengkritik Illuminasi dan banyak meluruskan Peripatetik. Secara tegas Shadra melawan mitos sebelumnya dengan mengatakan gerak itu terjadi pada level substansi. Illuminasi benar ketika berargumen bahwa ilmu bila dengan intelek semata atau secara hushuli saja tidak akan mampu menjangkau kebenaran mutlak, tetapi konsep epistemologi cahayanya tidak mapan untuk mengusut kebenaran yang memang konsekwensinya harus melalui akal (intelek). Dalam mebagi kategori substansi, Suhrawardi mendestingsi matter ke dalamform dan form ke dalam body sehingga gerak yang tampak hanya pada level body . Dengan begini, pergerakan menjadi tidak terdeteksi, yang tampak hanya pergantian bentuk dari satu bentu ke bentuk yang lain. Konsep ini sama dengan pandangan peripatetik di satu sisi. Tapi Peripatetik tetap menerima form dan mattter sebagai syarat perubahan body. Namun body ini adalah hal yang terdeteksi, dianya adalah aksiden. Namun cara pandang Peripatetik tetap tidak memuaskan karena gerak atau perubahan suatu benda menjadi tidak ada, yang ada hanya pergantian satu benda dengan benda yang lain. Benda yang awal musnah dan berganti dengan benda yang lain (genaration and corruption).
Adalah Mulla Shadra yang memperjelas bahwa potensi gerak itu adalah pada level form dan matter. Kedua hal ini tidak dapat dideteksi kedua hal ini jangan dianggap sebagai 'bentuk' dan 'materi' yang kita asumsikan pada materi di ruang eksternal. Kedua hal ini disebut sebagai gerak potensial atau intelek aktif yang terus-menerus bergerak pergerakan inilah yang terus merubah body. Dalam konsep ini, yang bergerak bukanlah cuma pada level aksiden tetapi pada level substansi. Dalam cara pandang ini, materi terus berubah memperbaharui diri tanpa menghancurkan materi sebelumnya.
Perbedaan cara pandang tentang gerak ini adalah bagian dari perdebatan kemendasaran wujud dan kemendasaran mahiyah. Tapi yang inin kita kaitkan dengan pembahasan kita ini adalah bahwa penganut kemendasaran wujud dan penganut kemendasaran mahiyah mempengaruhi cara pandang dunia. Yang mengakui kemendasaran mahiyah mengasumsikan wujud melekat pada mahiyah pada ruang eksternal, sementara penganut kemendasaran wujud memaksudkan pembedaan mawjud adalah pada level akal, bukan realitas ekstenal. Mari kita lihat dasar persoalan ini ini sehingga kita dapat menemukan perbedaannya. Implikasinya, tentu saja diharapkan kita menemukan alasan pendewaan terhadap materi dan diakuinya dualitas yang berimpilasi pada sekularisme. Sebuah pertanyaan untuk sebuah benda di realitas eksternal (mis, kursi) 'apa itu?' akan dijawab 'itu adalah kursi'. Sebuah kursi yang ditunjuk itu adalah sebuah mahiyah atau 'esensi' atau quiditas. Mahiyah dibagi menjadi tiga. Pertama mahiyah murni (mujarradh) yang bersyarat negatif atau bisyarti la, kedua adalah mahiyah mutlak (mutlaqah) yaitu tak bersyarat atau la bisyart dan mahiyah campuran (makhluthah) atau bersyarat karena sesuatu atau bisyarti syai'i (bandingkan: Isutzi, h. 110).
Mahiyah ketiga adalah seperi 'kursi', 'putih', 'tembok' dan benda-benda lain yang dapat kita inderai. Dianya telah mengandung predikat tertentu atau spesifikasi sedemikian rupa sehingga dapat dikenali, dianya telah bersangkut dengan aksiden. Atau kalau boleh dianalogikan dengan konsep makkulatul, dia adalah makkulatul awaal. Misal 'putih', dianya tidak dapat berdiri sendiri kecuali disematkan pada suatu mahiyah lain. Mahiyah ini berada pada tataran materi atau ruang eksternal. Mahiyah kedua adalah mahiyah yang independen namun memberi kemungkinan untuk disemat dengan mahiyah yang lain. Dia sudah berada pada pada level konsep, di dalam pikiran. Mis, manusia adalah . Dia memberi kemungkinan untuk disebut sebagai hewan rasional, atau hewan tertawa. Tapi pada mahiyah kedua ini, Hanya sebagai 'manusia' di dalam konsep. Mahiyah ketiga sangat murni, sangat simpel. Dia tidak berada pada level mental ataupun aksiden. 'Putih', misalnya, bukan Yang disemat pada sesuatu: 'mobil itu putih' (eksternal), bukan pula yang memberi kemungkinan disemat pada sesuatu: 'putih' universal yang memungkinkan disemat pada mahiyah lainnya apapun. 'Putih' pada level ini adalah 'putih' dengan sendirinya.
Hukum-hukum mahiyah ini oleh sebagian pemikir dimodifikasi pula sebagai hukum wujud atau eksistensi. Maka menjadilah eksistensi kepada tiga level. Pertama adalah wujud sebagai bersyarat negatif (wujud bisyarth la), kedua eksistensi sebagai tak bersyarat (wujud la bi syarth) dan ketiga adalah eksistensi bersyarat karena sesuatu (wujud bi syarth syay'i).
Wujud pertama adalah wujud yang paling mutlak. Dalam kacamata teologis dia disebut sebagai Tuhan. Dia adalah mutlak, transeden, terlepas dari segala mawjud. Wujud kedua adalah wujud mutlah yang telah mentajalli kan diri sebagai potensi yang dapat membanjiri segala mawjud. Dan ketiga adalah wujud yang telah mewujudkan diri menjadi wujud-wujud partikulas yang beragam. Wujud ini disebut wujud khasshah.
Hukum-hukum ini mengingatkan saya pada kuliah mengenai makkulatul. Di mana hukum pertama identik dengan makkulatul awwal, hukum kedua adalah makkulatul stani falsafi dan hukum ketiga adalah makkkulatul stani mantiqi. Yang penting terkait pembahasan kita adalah, terjadinya perselisihan antara yang menganut paham kemendasaran wujud KW) dan kemendasaran mahiyah (KM) adalah menyangkut hukum-hukum ini.
KM mengiran KW memberi mahitah pada tingkatan ketiga, ternyata, sebagaimana yang telah ita bahas, KW memberi mahiyah itu pada level kedua (dhihni). Dugaan lainnya adalah KM menuduh sesat KW karena mengasumsikan Yang Mutlah itu sama dengan atau terterapkan pada level aksidental (material). Lagi-lagi kita hurus memahami bahwa Yang Mutlak itu dibedakan antara Dzat dengan Nama dan Sifat, bi dzaatihi dan asma' wasifat). Yang Mutlak dari segi sitatnya tidak dapat digambarka, tidak terdefenisikan, tidak teridentifikasi, Dia tidak sama dengan sesuatu apapun. Dari segi Nama dan Sifat Dia membuang ruang untuk diberi sifat yang identik dengan DiriNya. Pembahasan serius dan sensitif ini adalah pembahasan yang paling digemari sehingga habis seluruh energi cerdik pandai Islam dalam membahas ini.
Dia adalah keseluruhan ini pada satu sisi. Dia, adalah DiriNya yang Absolut pada sisi yang lain. Al-Hallaj ketika mengatakan ''Akulah yang Absolut'' mengaku bukan suaranya sendiri tapi suara Dia Yang Absolut.
Tentu saja antara KW dan KM memiliki banyak persamaan pada sisi tertentu, misalnya seperti yang dikatakan murih Mulla Shadra, Sabzawari, bahwa wujud bagi KM adalah Cayaha itu sendiri. Namun Averroes sendiri hanya banyak memungut berfokus aspek semantik Avicenna dan tampak tidak mendalami ontologinya. Maka lahirlah cara pandang dualitas yang menyesatkan.
Perlu kita sadar dan ingat bahwa bila muncul pertanyaan ''apa ini?'' harus kita balik tanya atau pastikan terlebih awal ''adakah ini''. Sebab, sesuatu yang diberi posisi setelah dia mengada terlebih dahulu, dan pembagian-pembagian itu adalah oleh pikiran sehingga menjadilah dia mahiyah-mahiyah yang beragam dan jelaslah mahiyah adalah ''produksi'' pikiran.
Adalah Marntin Hieddegar orang pertama dari Barat yang mampu mempertanyakan hakikat ada (being) yang dibicarakan filosof Barat selama ini. Menurutnya, 'ada' yang dibahas sepandang filsafat Barat hanya berkutat pada 'ada' yang diambil dari eksistensi materi oleh pikiran dengan mengabaikan status 'ada' secara independen. Ada yang dibicarakan Barat katanya adalah ada secara eksistensi nateri dan sebagai konsep tetapi tidak memiliki status ontologis yang jelas. 'Ada', hanya sebagai kajian epistemologis, sebuah debat yang hanya berbatas pada persoalan ekuivokal.
Tentu saja kekeliruan mereka menyebabkan pendewaan terhadap materi dan menjadikan materi sebagai hakikat terbaik dengan kelebihan-kelebihan yang disangka ada itu. Di samping itu, hal-hal yang melampaui materi itu telah disangka tidak punya peran dan pengaruh yang signifikan. Mereka tidak tahu bahwa yang menciptakan mahiyah itu adalah akal sendiri. Kesalah pemahaman ini lebih jauh mengakibatkan kegagalan mengetahui kedadiran sang ada yang metafisik itu di realitas eksternal. Sang ada yang sejatinya adalah dialah yang ada di alam ini menjadi terabaikan mereka.
Maka terseretlah mereka kepada keyakinan dualitas, yaitu yang metafisik atau yang gaib yang entah dimana dengan realitas materi yang (sidangka) punya posisi yang agung ini di hadapan. Sekularisme yang lahir kemudian adalah berangkat dari kekeliruan ini.
Pada era modern ini sekularisme agama dianggap sebagai strategi jitu untuk dapat menggerakkan keduniaan (materi) dan agama (mistik) secara bersamaan. Pembagian blok ini dapat dirujuk pada Nurchalish Madjid 'Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan'. Tekhliknya memang cerdas. Kebudayaan yang bergerak, pendapat sekularisme itu, tidak boleh dicampur-baur dengan agama tang absolut sifatnya. Bila dikaitkan denga konsep gerak dalam filsafat Islam, maka jelas gerak kebudayaan yang dimaksud sekularisme adalah paham gerak aksiden. Padahal, seperti yang telah kita rujuk di atas, gerak itu tidak pada tataran aksiden tetapi adalah substansi. Maka mereka yang menolak sekularisme benar ketika mengatakan sekularisme membuat agama menjadi kering, tetapi para pengkritik sekularisme sekarang tampak kurang mampu memberi argumentasi yang mengarah kepada jantung lahirnya sekularisme itu.
Madjid terlalu banyak mengambir argumen rasional Fazlur Rahman. Di samping itu dia terpengaruh oleh Ibn Taymiyah yang memang pengkritik filosof. Rahman sendiri tampaknya telah menyeret filsafat Avicenna kepada nasionalisme kering. Sehingga nasionalisme Rahman identik dengan Averroes.
Alhamdulillah. Selesai pkl. 12-20, Senin, 04 Juni 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar