Saya kutib saja tulisan Dr. Amroeni Drajat dalam 'Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik'
( Yogyakarta: LKIS, 2005, hal.29): ''Nama lengkap Suhrawardi ialah Abu al-Futuh
Yahya bin Habasy bin Amirak as-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549
H./1153 M., di Suhraward, sebuah kampung dekat kawasan Jibal, Iran Barat Laut
dekat Zanjam.''
Suhrawardi dikenal
dengan 'Al-maqtul' atau yang dibunuh karena proses kematiannya dieksekusi oleh
penguasa di Syiria, tempat terakhir sia mengambara, karena hasutan beberapa
orang yang tidak senang kepadanya sebab dia telalu disukai oleh khalifah di
sana. Ia juga dikenal dengan sebutan 'Syaikhul
Isyraq' karena teori filsafat cahayanya. Suhrawardi adalah satu dari tiga
pemikir Islam terbesar (lainnya Ibn Sina dan Mulla Sadra) zaman kejayaan Islam.
Sebagaimana kita
ketahui Suhrawardi adalah penentang Ibn Sina. Menurut Suhrawardi, sistem
filsafat peripatetik Ibn Sina tidak mampu mengungkapkan kebenaran karenan
mengedepankan ilmu hushuli, yaitu pengetahuan
yang diperoleh melalui pencerapan indera dan penalaran. menurut Suhrawardi,
pengetahuan hushuli sifatnya sangat
subjektif sehingga tidak layak dijadikan sebagai instrumen mendapatkan
kebenaran hakiki. Karena itu, Suhrawardi mengatakan, ilmu hudhuri dapat memberi
jawaban secara langsung, meyakinkan dan sifatnya datang secara langsung dari
Sumber Kebenaran. Dianya masuk ke dalam pemahaman kita secara terang sangat
seperti cahaya langsung dari Sumber Cahaya (Isyraq).
Toshihiko Isutzu (2003: 51-52)
menyatakan bahwa Suhrawardi salah paham terhadap pemikiran Ibn Sina. Sejauh
yang dapat saya pahami melalui Isutzu, Suhrawardi menganggap partikular
eksternal dicerap oleh ondera dan membentuk konsep quiditas. Suhrawardi
menganggap quiditas adalah murni dari mawjud partikular. Tapi sebenarnya Ibn
Sina tidak bermaksud demikian. Menurut Ibn Sina, quiditas adalah sesuatu yang
telah mengada dalam diri kita, sementara mawjud eksternal hanyalah partikular
yang oleh akal dikonfirmasikan dengan quiditas. Karena itu mahiyah yang dimaksudkan Ibn Sina bukanlah konsep equivokal atau
bukan pula gambar-gambar memori sebagaimana quditas yang dipahami filsafat
Barat. Posisi mahiyah bagi Ibn Sina hampir menyerupai wujud.
Ambil contoh ''Buku
itu ada''. Ini adalah pernyataan haliyah
basithah, pertanyaan mendasar. Sebab, sebelum menanyakan apapun tentang
buku, kita harus dapat memastikan buku itu ada. Pertanyaan selanjutnya misalnya
''apakah buku itu bewarna putih, pertanyaan ini adalah haliyah murakkabah. Perlu kita pahami bahwa dalam buku itu pasti
mengandung 'ada'. Suhrawardi mengira, mawjud yang dimaksud Ibn Sina adalah haliyah murakkabah. Tetapi sebenarnya
mawjud yang dimaksudkan Ibn Sina adalah haliyah
basithah.
Karena itu,
quiditas Ibn Sina adalah sesuatu yang tidak dari penyematan dari mawjud, tetapi
adalah quiditas yang justru memberi sifat 'ada' kepada setiap partikularitas.
Dengan demikian, wuiditasnya tetap objektif sebab siapapun tidak dapat
menyangkal bahwa 'ada' itu ada. Maka setiap pengetahuan dalam ekuivokalnya
boleh jadi subjektif dan relatif tetapi andungan pemahamannya adalah objektif.
Kalau memahami Ibn Sina dengan benar, maka epistemologi ilmunya tidak dapat
diklam hushuli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar