Link Download

Jumat, 25 Mei 2012

O, Suhrawardi


Saya kutib saja tulisan Dr. Amroeni Drajat dalam 'Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik' ( Yogyakarta: LKIS, 2005, hal.29): ''Nama lengkap Suhrawardi ialah Abu al-Futuh Yahya bin Habasy bin Amirak as-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H./1153 M., di Suhraward, sebuah kampung dekat kawasan Jibal, Iran Barat Laut dekat Zanjam.''
    Suhrawardi dikenal dengan 'Al-maqtul' atau yang dibunuh karena proses kematiannya dieksekusi oleh penguasa di Syiria, tempat terakhir sia mengambara, karena hasutan beberapa orang yang tidak senang kepadanya sebab dia telalu disukai oleh khalifah di sana. Ia juga dikenal dengan sebutan 'Syaikhul Isyraq' karena teori filsafat cahayanya. Suhrawardi adalah satu dari tiga pemikir Islam terbesar (lainnya Ibn Sina dan Mulla Sadra) zaman kejayaan Islam.
    Sebagaimana kita ketahui Suhrawardi adalah penentang Ibn Sina. Menurut Suhrawardi, sistem filsafat peripatetik Ibn Sina tidak mampu mengungkapkan kebenaran karenan mengedepankan ilmu hushuli, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pencerapan indera dan penalaran. menurut Suhrawardi, pengetahuan hushuli sifatnya sangat subjektif sehingga tidak layak dijadikan sebagai instrumen mendapatkan kebenaran hakiki. Karena itu, Suhrawardi mengatakan, ilmu hudhuri  dapat memberi jawaban secara langsung, meyakinkan dan sifatnya datang secara langsung dari Sumber Kebenaran. Dianya masuk ke dalam pemahaman kita secara terang sangat seperti cahaya langsung dari Sumber Cahaya (Isyraq).     
Toshihiko Isutzu (2003: 51-52) menyatakan bahwa Suhrawardi salah paham terhadap pemikiran Ibn Sina. Sejauh yang dapat saya pahami melalui Isutzu, Suhrawardi menganggap partikular eksternal dicerap oleh ondera dan membentuk konsep quiditas. Suhrawardi menganggap quiditas adalah murni dari mawjud partikular. Tapi sebenarnya Ibn Sina tidak bermaksud demikian. Menurut Ibn Sina, quiditas adalah sesuatu yang telah mengada dalam diri kita, sementara mawjud eksternal hanyalah partikular yang oleh akal dikonfirmasikan dengan quiditas. Karena itu mahiyah yang dimaksudkan Ibn Sina bukanlah konsep equivokal atau bukan pula gambar-gambar memori sebagaimana quditas yang dipahami filsafat Barat. Posisi mahiyah bagi Ibn Sina hampir menyerupai wujud.
   Ambil contoh ''Buku itu ada''. Ini adalah pernyataan haliyah basithah, pertanyaan mendasar. Sebab, sebelum menanyakan apapun tentang buku, kita harus dapat memastikan buku itu ada. Pertanyaan selanjutnya misalnya ''apakah buku itu bewarna putih, pertanyaan ini adalah haliyah murakkabah. Perlu kita pahami bahwa dalam buku itu pasti mengandung 'ada'. Suhrawardi mengira, mawjud yang dimaksud Ibn Sina adalah haliyah murakkabah. Tetapi sebenarnya mawjud yang dimaksudkan Ibn Sina adalah haliyah basithah.            
     Karena itu, quiditas Ibn Sina adalah sesuatu yang tidak dari penyematan dari mawjud, tetapi adalah quiditas yang justru memberi sifat 'ada' kepada setiap partikularitas. Dengan demikian, wuiditasnya tetap objektif sebab siapapun tidak dapat menyangkal bahwa 'ada' itu ada. Maka setiap pengetahuan dalam ekuivokalnya boleh jadi subjektif dan relatif tetapi andungan pemahamannya adalah objektif. Kalau memahami Ibn Sina dengan benar, maka epistemologi ilmunya tidak dapat diklam hushuli.
      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar