Link Download

Rabu, 23 Mei 2012

Mulla Sadra



       Mulyani ''Azzam'' telah menjadi teman yang baik ketika dia mampu memberi penjelasan yang dapat saya pahami mengenai makna 'ashlahatul wujud' dan 'ashlahatul mahiyah'. Kata Azzam, pemikiran ashlahatul wujud lebih rumit dan mendalam daripada ashlahatul mahiyah. Ashlahatul mahiyah sudah berhenti pada ketika sebuah kuiditas terbentuk. Terbentuknya kuiditas dalam sebuah pemahaman adalah kebenaran itu sendiri. Demikian menurut kaum ashlahatul mahiyah, kata Azzam. Tetapi apakah Yang kita pahami itu adalah kebenaran itu sendiri? Menurut kaum ashlahatul wujud, apa yang kita pahami itu bukanlah kebenaran sebagaimana adanya. Apakah lahit biru sebagaimana saya lihat pada siang yang cerah itu benar-benar bewarna biru?
     Sains modern, kata Azzam, benar-benar telah berpihat pada ashlahatul wujud. Sebab, ternyata apa yang kita apa yang kita inderai bukanlah seperi apa adanya. Namun semakin sains mampu membongkar misteri objek pengamatan, semajin tampak kita tidak tidak memahami apapun, semakin kita dibuat bingung. Lagi pula, kacamata sains bukanlah standar kebenaran murni, obserfasi miksoskop subatom juga membuat limitasi dan sudut pandang tertentu sesuai kemampuannya, cara kerja ini juga sama seperti cara kerja manusia. Pengetahuan perspektif saian berarti juga menganut ashlahatul mahiyahnya sendiri.
      Penjelasan Azzam lagi, ashlahatul wujud lebih unggul daripada ashlahatul mahiyah karena dia berada pada fitrah manusia yang lebih dalam. Mengutip penjelasan Musa Kazim, Azzam mencontohkan seorang bayi yang sudah mampu menangkap dan menyimpan bentuk (form) dalam benaknya tetapi belum dapat menangkap makna di dalam benaknya. Argumen ini tampaknya dijadikan alasan bahwa bentuk lebih esensial daripada makna dikandungnya. 
     Menurut kaum ashlahatul wujud, sesuatu yang lebih esensial adalah wujud. Wujud sifatnya ada dengan sendirinya, apriori, lebih dari itu, dia bersifat badhihi. Misalnya seorang bayi, dia mampu membedakan antara ada dan tiada secara langsung. Sebeb, menurut argumen kaum ashlahatul wujud, wujud itu tidak perlu diferivikasi. Banyak hal yang membutuhkan pembuktian, tapi 'ada' itu ada tidak perlu dibuktikan.
     Namun dapatkah kita berpegagng pada argumen seperti ini? Setiap wujud itu pastinya mengandung mahiyah, demikian sebaliknya. Tetapi mengenai mana di antara dua itu yang lebih esensial, itulah yang diperdebatkan kaum filosof. 
     Mulla Shadra sering dituding sebagai plagiator karya filsafat. Alasan mereka karena melihat karya Shadra Adalah nukilan daripada karya para filosof sebelumnya. Sering Shadra tidak menyebut nama tokoh yang dikutipnya. Untuk etika ilmiah hari ini, kata para pengkritiknya, tindakan seperti ini sangat terlarang. Namun para pembelanya, utamanya mereka yang di Hawzah Ilmiyyah, Qumm, Shadra tidaklah menyusun karya filsafat dari kutipan karya filosof sebelumnya semata, tetapi banyak buah pikir orisinilnya di dalamnya. Misalnya, seperti pendapat Murtadha Mutahhari dalam 'Filsafat Hikmah' (Bandung: Mizan, 2002, h. 77-78) mengatakan (1) karena yang dikutip adalah argumen yang sudah tidak baru lagi dan sudah populis, seperti cara Al-Ghazali dalam 'Tahafut al-Fasasifah', (2) lagi pula Shadra mengaku semua isi dalam karyanya bukan argumennya secara keseluruhan, jadi Shadra tidak mengklaim bahwa semua isi adalah argumentasi prinadinya, ini penting sebab umumnya, kerja plagiator adalah berusaha menyembinyikan nukilannya adalah milik pribadinya, dalam hal ini, Shadra tidak begitu, (3) Muthahhari menjelaskan karya Shadra ini adalah karya filsafat, jadi karya filsafat, sama seperti sains, bukanlah dibentuk dari kekosongan atau rintisan melainkan mengkonstruksi argumen-argumen atau penemuan sebelumnya, (4) bebrbeda dengan karya sastra yang dibangun secara personal, subjektif dan terpisah dari selainnya. Muthahhari juga menjelaskan, kata 'Hikmah Muta'aliyah'  yang identik dengan Shadra, bukanlah dicetus oleh Shadra melainkan Ibn Sinalah yang memulainya, dan ini diakui Shadra sendiri.
     Sama seperti Ibn Sina, Shadra adalah filosof beraliran Ashlahatul Wujud. Sebelumnya, Shadra lebih cenderung kepada gurunya, Mir Damad, yang lebih cenderung kepada Ashlahatul mahiyah. Sebagaimana yang pernah kita singgung di atas mengenai eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). Dalam pandangan saya, setiap wujud menjadi wujud (menjadi ada) pastilah telah melalui mahiyah, dan setiap wujud mewujud, pastilah meniscayakan mahiyah kembali untuk mengadakan wujud, demikian seterusnya tanpa berhenti sehingga tampaknya memang sulit bagi kita untuk menentukan manakah yang ashlahatul, wujud atau mahiyah. Karena itu, Mutahhari (h. 82) mengatakan kaum Peripatetik yang percaya pada kehakikatan eksistensi dan kaum Illuminasionis yang percaya pada kehakikatan esensi tidaklah memiliki landasan yang cermat. Dalam karya Mulla Shadra, yang diangap sebagai penengah antara perseteruan Peripatetik dan Illuminasionis, Mutahhari (h. 83) mengaku tidak menemukan hal yang bertolak belakang akan antara kedua aliran ini(?)
      Mengenai kemanunggalan wujud, Muthahhari dibuat bingung dalam hal ini. Dia sulit mengidentifikasi berbagai pendapat mengenai eksistensi sebagai idenya siapa. Dalam satu argumen dikatakan eksistensi adalah penampakan yang tidak sebagaimana adanya. Ada yang menuding ini adalah argumennya Suhrawardi. Ada argumen bahwa eksistensi itu manunggal, tidak majemuk, Muthahhari menduga itu argumen miliknya kaum 'arif. Bahwa eksistensi majemuk itu yang  univokal, sementara secara ekuivokal pastinya manunggal, tampaknya ini argumentasinya Peripatetik. Sementara paham eksistensi itu beragam sekalugus manunggal yang bergradasi itu miliknya Pahlawi, aliran filsafat Persia kuno. Tapi, Muthahhari sendiri mengaku bahwa setiap cara pandang ini tidak bisa digeberalisir milik aliran tertentu saja karena kebercampuran cara pandang oleh masing-masing aliran. Misalnya kaum Peripatetik juga memiliki pemikiran yang hampir sama dengan kaum Pahlawi. Gradasi tampaknya dianut oleh aliran Peripatetik, Illuminasionis dan Ibn Arabi, tetapi perbedaannya cuma pada pemakaian istilah. Benarkah demikian? Jawabannya: tidak sepenuhnya benar dan tidak juga keliru.   
     Ciri khas filsafat Islam adalah begitu memberi peluang pada mental yang mana mental tampaknya memang adalah cara bagi kita untuk memperoleh pengetahuan, baik dengan menginderai, bernalar dan mungkin intuisi juga melibatkan mental.
     Sepanjang sejarah filsafat, penolakan dan pembelaan atas empirisme dan rasionalisme terus saja bergulat. Kaum pembela rasionalis menunjukkan argumennya yang tajamm terhadap kelemahan empirik dan keunggulan rasio, sebaliknya kaum empirisme memberikan penjelasan yang kiat terhadap keunggulan pengalaman daripada rasio, demikian terus berlangsung. Henry Bergson baru-baru ini menawarkan argumentasi baru mengenai keunggulan intuisi. Menurutnya, rasio dan pengalaman keduanya tidak bisa dijadikan landasan karena sama-sama memiliki kelemahan. Karena itu, dia menawarkan bahwa hanya intuisi saja yang tidak bisa diragukan keunggulannya.
    Saya melihat antara empirik, rasio dan intuisi adalah satu proses linear, bukan hal yang harus diperdebatkan. Sebuah pemahaman adalah satu keyakinan yang tidak terbantahkan bagi diri si pemaham. Kondisi seperti inilah yang mungkin dimaksudkan Bergson. Tapi walau bagaimanapun, untuk menuju sebuah pemahaman, mustahil dianya ada dengan sendirinya: (sim salabin atau abrakadabra). Di samping itu, paham Illuminasionis yang mengaku segala cerapan indera cuma penyingkapan dari apa yang sudah dipahami hanyalah asumsi semata. Kalaupun dianya benar, maka dia tidak akan bertentangan dengan apa yang ingin kita sampaikan.
    Bahwa untuk menuju intuisi, awalnya adalah pengalaman indera menangkap realitas. Dalam hal ini kita harus bertumpu pada keyakinan Empirisme. Rasio juga tidak bekerja secara sim salabin atau abrakadabra. Rasio itu baru dikonstruksi setelah adanya pengalaman empirik. Bahkan tidak mungkin saya dapat berfikir ataupun mengakui diri saya ada tanpa pernah saya menginderai apapun. Mustahil. Padahal kita mengaku bahwa yang membuat kita berfikir adalah apa yang kita inderai. Hasil pengolahan hasil pengalaman empirik oleh rasio hingga matang dengan baik itulah yang disebut intuisi.  'Karena itulah Bergson sendiri mengatakan intuisi adalah intelek tingkat tinggi (lihat: Iqbal, Yogyakarta: Jalasutra, 2002, h. 17). Memperdebatkan antara keutamaan empirik, rasionalitas dan intuisi adalah hal konyol.  
    Hal selanjutnya yang akan kita kemukakan yakni mengenai sebab-akibat. Sebab akibat, seperti kaya Yazdi dalam 'Buku Daras Filsafat Islam': sebab itu perlu berhenti pada Sebab Utama yang tidak lagi membutuhkan penyebab. Demikian juga akibat, harus berakhir pada akibat terakhir yang tidak dapat menjadi sebab bagi suatu akibat lagi. Sesuatu dijadikan akibat dari sesuatu sebelumnya adalah cara kerja rasio dalam mengolah data empirik. Jadi, eksistensi sebab-akibat adalah produksi intelek. Sekali lagi, yang memicu intelek berkonstruksi adalah pengelaman empirik juga. Pemikir yang menolak eksistensi sebab-akibat adalah kaum Empirisme seperti Hume. Sebab, mereka tidak mengakui keunggulan rasio.
    Ketika Yazdi (Yazdi, 2010) mengatakan harus ada sebab utama yang memunculkan akibat pertama, berarti akibat pertama ini memberi batas pada sebab pertama sehingga dia diakui sebagai sebab pertama (Iqbal, 2002, h. 65). Bila sang sebab pertama mampu menimbulkan akibat pertama, maka kualitas sebab pertama haruslah sama dengan akibat pertama. Dengan begitu, tidak ada alasan untuk menolak kemampuan akibat pertama juga mampu memunculkan sebab pertama. Demikian pula akibat terakhir yang disebutkan tidak mampu menimbulkan sebab baru tanpa alasan. Sekali lagi, hukum sebab akibat itu semata bentukan pikiran. Bila Sebab Utama itu sering dianggap sebagai Tuhan, maka argumen yang mengatakan Tuhan hanyalah bentukan akal semata.
   Muthahhari (h. 92-93) menjelaskan, yang pertama adalah sebab, yang kedua adalah akibat dan yang ketiga, yang muncul dari keduanya adalah eksistensi atau wujud. Eksistensi dari sebab-akibat itu hanyalah pada benak kita saja, realitasnya tidaklah seperti itu. Benak menjadikan sebab dan akibat adalah hal rang terpisah, tapi menurut Muthahhari, sejadinya akibat yang dimunculkan oleh sebab adalah identik dengan sebab itu sendiri.
   Sebagaimana kita ketahui, intelek itu bekerja dengan mengkonsep hal-hal fisika. Pengkonsepan hal fisika ini disematkan oleh akal sebagai cara mengenal hal-hal metafisik. Karena itu, dalam intelek, hal fisik dan hal metafisik tampak seolah-olah indentik. Akal, dengan segala kelebihan dan kekurangannya menyeret hal-hal metafisik ke dalam hukum kausalitas.   
     Tampaknya memang intuisi adalah hal yang lebih patut diandalkan sebagaimana tawaran Iqbal. Tapi bagaimana menjadikan intuisi itu objektif sebab dianya tidak dimiliki secara umum dan dianya sangat relatif untuk masing-masing yang memiliki? Serta, bagaimana intuisi itu dapat dipercayai secara mutlak, bukankah dianya juga adalah dari indra lalu intelek yang diragukan itu: bagaimana kita dapat meyakini sesuatu yang dianya adalah dari hal-hal yang diragukan.
     Persoalan selanjutnya yang dibahas Shadra adalah mengenai perubana. Iqbal menurut Leaman prinsip utama realitas adalah perubahan terus-menerus ('Pengantar Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2001, h. 36). Bahkan menurut Iqbal di akhirat sekalipun manusia masih terus bergerak untuk bangkit berusaha mengenal siapa dirinya. Saya teringat satu khutbah Iedul Fitri yang mengatakan satu saat penghuni surga akan dapat melihat Wajah Allah secara langsung. Dan inilah kenikmatan puncak. Ini mengisyaratkan penghumi surga terus berproses menuju kenikmatan puncak itu. Demikian pula penghuni surga juga berproses menuju ke sana dengan melalui fase-fase yang disebut siksaan.
       ''Alam materi melakukan gerak substansial, evolusioner'' kata Muthahhari  (h. 99). Pemikiran Iqbal ini serupa dengan Shadra. Sebagaimana dijelaskan Muthahhari (h. 97), bagi Shadra, substansi dan keseluruhan aksidennya mengalami gerak yang terus menerus, tidak ada satupun benda di alam yang bersifat mandek. Ibn Rusyd menurut Leaman (h. 37) mengatakan alam adalah keseluruhan, maka mustahil alam tercipta dalam waktu. 
    Dalam 'Filsafat Shadra' (Bandung: Pustaka, 2000, h. 25), Fazlur Rahman menerangkan bahwa Mulla Sadra menganut konsep Harakah Jauhar. Konsep ini maksudnya gerakan itu berasal dari gerakan nonmaterial yang berimplikasi kepada gerakan materian. Para filosof sebelum Shadra tidak berani melahirkan konsep seperti ini karena mereka berpikir bahwa hal non material tidak dapat dianggap bergerak, karena kalau bergerak maka pasti berubah (sesuai pemahaman merrka tentang pengalaman materi), berubah menurut mereka pastilah menuju kesempurnaan, bila masih menuju berarti belum sempurna; Tuhan juga nonmateri, jadi mustahil non materi berubah karena Tuhan itu telah sempurna adanya.
            Pada kategori substansi dalam makkulatul sani falsafi Suhrawardi hanya menerima body, soul dan intellect. Menurutnya form dan telah terkandung dalam matter dan mattter adalah kandungan daripada body. Penolakan inilah yang membuat teori gerak Suhrawardi henya bersifat Aksidental. Sementara Mulla Shadra menegaskan Form dan Matter adalah ketegori penting yang perlu dibahas secara terpisah dan perlu dijelaskan masing-masingnya sehingga pemikiran ini membuat Suhrawardi adalah pemikir pertama yang menemukateori gerak substansial.:
      Gerak adalah perubahan dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Perubahan itu adalah dari potensi (quwah) ke aktualisasi (fi'li). Perubahan dari potensi ke aktualisasi meniscayakan empat elemen yakni (1) mutaharriq (menggerakkan), (2) mutaharrih (bergerak, (3) musafah (jarak), dan (4) zaman (waktu).   
            Menurut analogi Kerwanto, mengenai perbedaan antara konsep gerak Periptetik dengan Filsafat Hukmah adalah seperti orang yang memakai baju lalu membukanya dan memakai baju lagi untuk Peripatetik dan pakai baju lagi dan lagi tanpa menanggalkan baju yang lama untuk Hikmah. Saya kagum dengan konsep gerak substansial karena sinergi dengan teori kuantum yang dipopulerkan oleh Hessenberg.
    Cara pikir yang sempit para filosof sebelum Shadra boleh juga akibat tekanan para teolog. Tapi mereka juga keliru dengan menganggap Tuhan itu statis. Lagi pula non materi yang bergerak hingga mempengaruhi gerak materi belum tentu adalah Tuhan; non materi bukan Tuhan saja. Padahal sebagaimana diinformasikan Al-Qur'an: Tuhan sendiri selalu dalam kesibukan.    
  Untuk mudah memahami gerak, kata Pak Musa Kazim (penyuting buku-buku Seri Filsafat Islam Mizan), terlebih dahulu kita harus menganalisa elemen-elemen gerak itu. Pertama ada subjek yang bergerak, kedua ada posisi awal (atau potensi), selanjutnya ada fase-fase gerak menuju aksi (bentuk setelah berubah) dan ada bentuk setelah berubah itu sendiri.
    Fase atau durasi itu dalam kacamata si pengamat disebut waktu. Jadi waktu itu sendiri dalam hal ini, relatif bagi si pengamat. Tapi subjek, potensi dan aksi nyatanya adalah satu zat. Lalu karena waktu di sini adalah hal dimensi keempat yang relatif, maka adakah proses gerak itu? Karena proses itu sendiri berlaku dalam waktu. Karena waktu relatif, maka gerak itu relatif pula.
     Artinya gerak itu adalah juga termasuk limitasi oleh akal. Akal meniscayakan kausalitas dan membatasi posisinya untuk mengenal perubahan. Baik wujud potensi maupun wujud aksi juga adalah sama-sama wujud yang artinya adalah pengenalan indera dan akal. Sekali lagi, indera dan akal terhadap alam adalah persepsinya melalui limitasi.
      Untuk membuktikan harakah jauhariyah, bahwa pada alam non materi juga ada gerak yang dibuktikan dengan adanya waktu di sana, kita dapat melihat bahwa di sana juga berlaku durasi. Teks suci kita mengatakan seribu tahun di sina, satu hari di sana. Wallahu alam.

1 komentar:

  1. kategori substansi dalam makkulatul sani falsafi Suhrawardi hanya menerima body, soul dan intellect. Menurutnya form dan telah terkandung dalam matter dan mattter adalah kandungan daripada body. Penolakan inilah yang membuat teori gerak Suhrawardi henya bersifat Aksidental. Sementara Mulla Shadra menegaskan Form dan Matter adalah ketegori penting yang perlu dibahas secara terpisah dan perlu dijelaskan masing-masingnya sehingga pemikiran ini membuat Suhrawardi adalah pemikir pertama yang menemukateori gerak substansial.:

    Gerak adalah perubahan dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Perubahan itu adalah dari potensi (quwah) ke aktualisasi (fi'li). Perubahan dari potensi ke aktualisasi meniscayakan empat elemen yakni (1) mutaharriq (menggerakkan), (2) mutaharrih (bergerak, (3) musafah (jarak), dan (4) zaman (waktu).

    Menurut analogi Kerwanto, mengenai perbedaan antara konsep gerak Periptetik dengan Filsafat Hukmah adalah seperti orang yang memakai baju lalu membukanya dan memakai baju lagi untuk Peripatetik dan pakai baju lagi dan lagi tanpa menanggalkan baju yang lama untuk Hikmah. Saya kagum dengan konsep gerak substansial karena sinergi dengan teori kuantum yang dipopulerkan oleh Hessenberg.

    BalasHapus