Mulyani
''Azzam'' telah menjadi teman yang baik ketika dia mampu memberi penjelasan
yang dapat saya pahami mengenai makna 'ashlahatul wujud' dan 'ashlahatul
mahiyah'. Kata Azzam, pemikiran ashlahatul wujud lebih rumit dan mendalam
daripada ashlahatul mahiyah. Ashlahatul mahiyah sudah berhenti pada ketika
sebuah kuiditas terbentuk. Terbentuknya kuiditas dalam sebuah pemahaman adalah
kebenaran itu sendiri. Demikian menurut kaum ashlahatul mahiyah, kata Azzam.
Tetapi apakah Yang kita pahami itu adalah kebenaran itu sendiri? Menurut kaum
ashlahatul wujud, apa yang kita pahami itu bukanlah kebenaran sebagaimana
adanya. Apakah lahit biru sebagaimana saya lihat pada siang yang cerah itu
benar-benar bewarna biru?
Sains modern,
kata Azzam, benar-benar telah berpihat pada ashlahatul wujud. Sebab, ternyata
apa yang kita apa yang kita inderai bukanlah seperi apa adanya. Namun semakin
sains mampu membongkar misteri objek pengamatan, semajin tampak kita tidak
tidak memahami apapun, semakin kita dibuat bingung. Lagi pula, kacamata sains
bukanlah standar kebenaran murni, obserfasi miksoskop subatom juga membuat
limitasi dan sudut pandang tertentu sesuai kemampuannya, cara kerja ini juga
sama seperti cara kerja manusia. Pengetahuan perspektif saian berarti juga
menganut ashlahatul mahiyahnya sendiri.
Penjelasan Azzam
lagi, ashlahatul wujud lebih unggul daripada ashlahatul mahiyah karena dia
berada pada fitrah manusia yang lebih dalam. Mengutip penjelasan Musa Kazim,
Azzam mencontohkan seorang bayi yang sudah mampu menangkap dan menyimpan bentuk
(form) dalam benaknya tetapi belum dapat menangkap makna di dalam benaknya.
Argumen ini tampaknya dijadikan alasan bahwa bentuk lebih esensial daripada
makna dikandungnya.
Menurut kaum
ashlahatul wujud, sesuatu yang lebih esensial adalah wujud. Wujud sifatnya ada
dengan sendirinya, apriori, lebih dari itu, dia bersifat badhihi. Misalnya
seorang bayi, dia mampu membedakan antara ada dan tiada secara langsung. Sebeb,
menurut argumen kaum ashlahatul wujud, wujud itu tidak perlu diferivikasi.
Banyak hal yang membutuhkan pembuktian, tapi 'ada' itu ada tidak perlu
dibuktikan.
Namun dapatkah
kita berpegagng pada argumen seperti ini? Setiap wujud itu pastinya mengandung
mahiyah, demikian sebaliknya. Tetapi mengenai mana di antara dua itu yang lebih
esensial, itulah yang diperdebatkan kaum filosof.
Mulla Shadra
sering dituding sebagai plagiator karya filsafat. Alasan mereka karena melihat
karya Shadra Adalah nukilan daripada karya para filosof sebelumnya. Sering
Shadra tidak menyebut nama tokoh yang dikutipnya. Untuk etika ilmiah hari ini,
kata para pengkritiknya, tindakan seperti ini sangat terlarang. Namun para
pembelanya, utamanya mereka yang di Hawzah Ilmiyyah, Qumm, Shadra tidaklah
menyusun karya filsafat dari kutipan karya filosof sebelumnya semata, tetapi
banyak buah pikir orisinilnya di dalamnya. Misalnya, seperti pendapat Murtadha
Mutahhari dalam 'Filsafat Hikmah'
(Bandung: Mizan, 2002, h. 77-78) mengatakan (1) karena yang dikutip adalah
argumen yang sudah tidak baru lagi dan sudah populis, seperti cara Al-Ghazali
dalam 'Tahafut al-Fasasifah', (2)
lagi pula Shadra mengaku semua isi dalam karyanya bukan argumennya secara
keseluruhan, jadi Shadra tidak mengklaim bahwa semua isi adalah argumentasi
prinadinya, ini penting sebab umumnya, kerja plagiator adalah berusaha
menyembinyikan nukilannya adalah milik pribadinya, dalam hal ini, Shadra tidak
begitu, (3) Muthahhari menjelaskan karya Shadra ini adalah karya filsafat, jadi
karya filsafat, sama seperti sains, bukanlah dibentuk dari kekosongan atau
rintisan melainkan mengkonstruksi argumen-argumen atau penemuan sebelumnya, (4)
bebrbeda dengan karya sastra yang dibangun secara personal, subjektif dan
terpisah dari selainnya. Muthahhari juga menjelaskan, kata 'Hikmah
Muta'aliyah' yang identik dengan Shadra,
bukanlah dicetus oleh Shadra melainkan Ibn Sinalah yang memulainya, dan ini diakui
Shadra sendiri.
Sama seperti Ibn
Sina, Shadra adalah filosof beraliran Ashlahatul Wujud. Sebelumnya, Shadra
lebih cenderung kepada gurunya, Mir Damad, yang lebih cenderung kepada
Ashlahatul mahiyah. Sebagaimana yang pernah kita singgung di atas mengenai
eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). Dalam pandangan saya, setiap wujud
menjadi wujud (menjadi ada) pastilah telah melalui mahiyah, dan setiap wujud
mewujud, pastilah meniscayakan mahiyah kembali untuk mengadakan wujud, demikian
seterusnya tanpa berhenti sehingga tampaknya memang sulit bagi kita untuk
menentukan manakah yang ashlahatul, wujud atau mahiyah. Karena itu, Mutahhari
(h. 82) mengatakan kaum Peripatetik yang percaya pada kehakikatan eksistensi
dan kaum Illuminasionis yang percaya pada kehakikatan esensi tidaklah memiliki
landasan yang cermat. Dalam karya Mulla Shadra, yang diangap sebagai penengah
antara perseteruan Peripatetik dan Illuminasionis, Mutahhari (h. 83) mengaku
tidak menemukan hal yang bertolak belakang akan antara kedua aliran ini(?)
Mengenai
kemanunggalan wujud, Muthahhari dibuat bingung dalam hal ini. Dia sulit
mengidentifikasi berbagai pendapat mengenai eksistensi sebagai idenya siapa.
Dalam satu argumen dikatakan eksistensi adalah penampakan yang tidak
sebagaimana adanya. Ada yang menuding ini adalah argumennya Suhrawardi. Ada
argumen bahwa eksistensi itu manunggal, tidak majemuk, Muthahhari menduga itu
argumen miliknya kaum 'arif. Bahwa eksistensi majemuk itu yang univokal, sementara secara ekuivokal pastinya
manunggal, tampaknya ini argumentasinya Peripatetik. Sementara paham eksistensi
itu beragam sekalugus manunggal yang bergradasi itu miliknya Pahlawi, aliran
filsafat Persia kuno. Tapi, Muthahhari sendiri mengaku bahwa setiap cara
pandang ini tidak bisa digeberalisir milik aliran tertentu saja karena
kebercampuran cara pandang oleh masing-masing aliran. Misalnya kaum Peripatetik
juga memiliki pemikiran yang hampir sama dengan kaum Pahlawi. Gradasi tampaknya
dianut oleh aliran Peripatetik, Illuminasionis dan Ibn Arabi, tetapi
perbedaannya cuma pada pemakaian istilah. Benarkah demikian? Jawabannya: tidak
sepenuhnya benar dan tidak juga keliru.
Ciri khas
filsafat Islam adalah begitu memberi peluang pada mental yang mana mental
tampaknya memang adalah cara bagi kita untuk memperoleh pengetahuan, baik
dengan menginderai, bernalar dan mungkin intuisi juga melibatkan mental.
Sepanjang sejarah
filsafat, penolakan dan pembelaan atas empirisme dan rasionalisme terus saja
bergulat. Kaum pembela rasionalis menunjukkan argumennya yang tajamm terhadap
kelemahan empirik dan keunggulan rasio, sebaliknya kaum empirisme memberikan
penjelasan yang kiat terhadap keunggulan pengalaman daripada rasio, demikian
terus berlangsung. Henry Bergson baru-baru ini menawarkan argumentasi baru
mengenai keunggulan intuisi. Menurutnya, rasio dan pengalaman keduanya tidak
bisa dijadikan landasan karena sama-sama memiliki kelemahan. Karena itu, dia
menawarkan bahwa hanya intuisi saja yang tidak bisa diragukan keunggulannya.
Saya melihat
antara empirik, rasio dan intuisi adalah satu proses linear, bukan hal yang
harus diperdebatkan. Sebuah pemahaman adalah satu keyakinan yang tidak
terbantahkan bagi diri si pemaham. Kondisi seperti inilah yang mungkin
dimaksudkan Bergson. Tapi walau bagaimanapun, untuk menuju sebuah pemahaman,
mustahil dianya ada dengan sendirinya: (sim
salabin atau abrakadabra). Di samping itu, paham Illuminasionis yang
mengaku segala cerapan indera cuma penyingkapan dari apa yang sudah dipahami
hanyalah asumsi semata. Kalaupun dianya benar, maka dia tidak akan bertentangan
dengan apa yang ingin kita sampaikan.
Bahwa untuk menuju
intuisi, awalnya adalah pengalaman indera menangkap realitas. Dalam hal ini
kita harus bertumpu pada keyakinan Empirisme. Rasio juga tidak bekerja secara sim salabin atau abrakadabra. Rasio itu
baru dikonstruksi setelah adanya pengalaman empirik. Bahkan tidak mungkin saya
dapat berfikir ataupun mengakui diri saya ada tanpa pernah saya menginderai
apapun. Mustahil. Padahal kita mengaku bahwa yang membuat kita berfikir adalah
apa yang kita inderai. Hasil pengolahan hasil pengalaman empirik oleh rasio
hingga matang dengan baik itulah yang disebut intuisi. 'Karena itulah Bergson sendiri mengatakan
intuisi adalah intelek tingkat tinggi (lihat: Iqbal, Yogyakarta: Jalasutra,
2002, h. 17). Memperdebatkan antara keutamaan empirik, rasionalitas dan intuisi
adalah hal konyol.
Hal selanjutnya
yang akan kita kemukakan yakni mengenai sebab-akibat. Sebab akibat, seperti
kaya Yazdi dalam 'Buku Daras Filsafat
Islam': sebab itu perlu berhenti pada Sebab Utama yang tidak lagi
membutuhkan penyebab. Demikian juga akibat, harus berakhir pada akibat terakhir
yang tidak dapat menjadi sebab bagi suatu akibat lagi. Sesuatu dijadikan akibat
dari sesuatu sebelumnya adalah cara kerja rasio dalam mengolah data empirik.
Jadi, eksistensi sebab-akibat adalah produksi intelek. Sekali lagi, yang memicu
intelek berkonstruksi adalah pengelaman empirik juga. Pemikir yang menolak
eksistensi sebab-akibat adalah kaum Empirisme seperti Hume. Sebab, mereka tidak
mengakui keunggulan rasio.
Ketika Yazdi
(Yazdi, 2010) mengatakan harus ada sebab utama yang memunculkan akibat pertama,
berarti akibat pertama ini memberi batas pada sebab pertama sehingga dia diakui
sebagai sebab pertama (Iqbal, 2002, h. 65). Bila sang sebab pertama mampu
menimbulkan akibat pertama, maka kualitas sebab pertama haruslah sama dengan
akibat pertama. Dengan begitu, tidak ada alasan untuk menolak kemampuan akibat
pertama juga mampu memunculkan sebab pertama. Demikian pula akibat terakhir
yang disebutkan tidak mampu menimbulkan sebab baru tanpa alasan. Sekali lagi,
hukum sebab akibat itu semata bentukan pikiran. Bila Sebab Utama itu sering
dianggap sebagai Tuhan, maka argumen yang mengatakan Tuhan hanyalah bentukan
akal semata.
Muthahhari (h.
92-93) menjelaskan, yang pertama adalah sebab, yang kedua adalah akibat dan
yang ketiga, yang muncul dari keduanya adalah eksistensi atau wujud. Eksistensi
dari sebab-akibat itu hanyalah pada benak kita saja, realitasnya tidaklah
seperti itu. Benak menjadikan sebab dan akibat adalah hal rang terpisah, tapi
menurut Muthahhari, sejadinya akibat yang dimunculkan oleh sebab adalah identik
dengan sebab itu sendiri.
Sebagaimana kita
ketahui, intelek itu bekerja dengan mengkonsep hal-hal fisika. Pengkonsepan hal
fisika ini disematkan oleh akal sebagai cara mengenal hal-hal metafisik. Karena
itu, dalam intelek, hal fisik dan hal metafisik tampak seolah-olah indentik.
Akal, dengan segala kelebihan dan kekurangannya menyeret hal-hal metafisik ke
dalam hukum kausalitas.
Tampaknya memang
intuisi adalah hal yang lebih patut diandalkan sebagaimana tawaran Iqbal. Tapi
bagaimana menjadikan intuisi itu objektif sebab dianya tidak dimiliki secara
umum dan dianya sangat relatif untuk masing-masing yang memiliki? Serta,
bagaimana intuisi itu dapat dipercayai secara mutlak, bukankah dianya juga
adalah dari indra lalu intelek yang diragukan itu: bagaimana kita dapat
meyakini sesuatu yang dianya adalah dari hal-hal yang diragukan.
Persoalan
selanjutnya yang dibahas Shadra adalah mengenai perubana. Iqbal menurut Leaman
prinsip utama realitas adalah perubahan terus-menerus ('Pengantar Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2001, h. 36). Bahkan
menurut Iqbal di akhirat sekalipun manusia masih terus bergerak untuk bangkit
berusaha mengenal siapa dirinya. Saya teringat satu khutbah Iedul Fitri yang
mengatakan satu saat penghuni surga akan dapat melihat Wajah Allah secara
langsung. Dan inilah kenikmatan puncak. Ini mengisyaratkan penghumi surga terus
berproses menuju kenikmatan puncak itu. Demikian pula penghuni surga juga
berproses menuju ke sana dengan melalui fase-fase yang disebut siksaan.
''Alam materi melakukan gerak
substansial, evolusioner'' kata Muthahhari
(h. 99). Pemikiran Iqbal ini serupa dengan Shadra. Sebagaimana
dijelaskan Muthahhari (h. 97), bagi Shadra, substansi dan keseluruhan
aksidennya mengalami gerak yang terus menerus, tidak ada satupun benda di alam
yang bersifat mandek. Ibn Rusyd menurut Leaman (h. 37) mengatakan alam adalah
keseluruhan, maka mustahil alam tercipta dalam waktu.
Dalam 'Filsafat
Shadra' (Bandung: Pustaka, 2000, h. 25), Fazlur Rahman menerangkan bahwa
Mulla Sadra menganut konsep Harakah
Jauhar. Konsep ini maksudnya gerakan itu berasal dari gerakan nonmaterial
yang berimplikasi kepada gerakan materian. Para filosof sebelum Shadra tidak
berani melahirkan konsep seperti ini karena mereka berpikir bahwa hal non
material tidak dapat dianggap bergerak, karena kalau bergerak maka pasti
berubah (sesuai pemahaman merrka tentang pengalaman materi), berubah menurut
mereka pastilah menuju kesempurnaan, bila masih menuju berarti belum sempurna;
Tuhan juga nonmateri, jadi mustahil non materi berubah karena Tuhan itu telah
sempurna adanya.
Pada
kategori substansi dalam makkulatul sani
falsafi Suhrawardi hanya menerima body, soul dan intellect. Menurutnya form
dan telah terkandung dalam matter dan mattter adalah kandungan daripada body.
Penolakan inilah yang membuat teori gerak Suhrawardi henya bersifat Aksidental.
Sementara Mulla Shadra menegaskan Form dan Matter adalah ketegori penting yang
perlu dibahas secara terpisah dan perlu dijelaskan masing-masingnya sehingga
pemikiran ini membuat Suhrawardi adalah pemikir pertama yang menemukateori
gerak substansial.:
Gerak adalah
perubahan dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Perubahan itu adalah dari
potensi (quwah) ke aktualisasi (fi'li). Perubahan dari potensi ke
aktualisasi meniscayakan empat elemen yakni (1) mutaharriq (menggerakkan), (2) mutaharrih
(bergerak, (3) musafah (jarak), dan
(4) zaman (waktu).
Menurut
analogi Kerwanto, mengenai perbedaan antara konsep gerak Periptetik dengan
Filsafat Hukmah adalah seperti orang yang memakai baju lalu membukanya dan
memakai baju lagi untuk Peripatetik dan pakai baju lagi dan lagi tanpa
menanggalkan baju yang lama untuk Hikmah. Saya kagum dengan konsep gerak
substansial karena sinergi dengan teori kuantum yang dipopulerkan oleh
Hessenberg.
Cara pikir yang sempit para filosof sebelum
Shadra boleh juga akibat tekanan para teolog. Tapi mereka juga keliru dengan
menganggap Tuhan itu statis. Lagi pula non materi yang bergerak hingga
mempengaruhi gerak materi belum tentu adalah Tuhan; non materi bukan Tuhan saja.
Padahal sebagaimana diinformasikan Al-Qur'an: Tuhan sendiri selalu dalam
kesibukan.
Untuk mudah memahami
gerak, kata Pak Musa Kazim (penyuting buku-buku Seri Filsafat Islam Mizan),
terlebih dahulu kita harus menganalisa elemen-elemen gerak itu. Pertama ada
subjek yang bergerak, kedua ada posisi awal (atau potensi), selanjutnya ada
fase-fase gerak menuju aksi (bentuk setelah berubah) dan ada bentuk setelah
berubah itu sendiri.
Fase atau durasi
itu dalam kacamata si pengamat disebut waktu. Jadi waktu itu sendiri dalam hal
ini, relatif bagi si pengamat. Tapi subjek, potensi dan aksi nyatanya adalah
satu zat. Lalu karena waktu di sini adalah hal dimensi keempat yang relatif,
maka adakah proses gerak itu? Karena proses itu sendiri berlaku dalam waktu.
Karena waktu relatif, maka gerak itu relatif pula.
Artinya gerak itu
adalah juga termasuk limitasi oleh akal. Akal meniscayakan kausalitas dan
membatasi posisinya untuk mengenal perubahan. Baik wujud potensi maupun wujud
aksi juga adalah sama-sama wujud yang artinya adalah pengenalan indera dan
akal. Sekali lagi, indera dan akal terhadap alam adalah persepsinya melalui
limitasi.
Untuk
membuktikan harakah jauhariyah, bahwa
pada alam non materi juga ada gerak yang dibuktikan dengan adanya waktu di
sana, kita dapat melihat bahwa di sana juga berlaku durasi. Teks suci kita
mengatakan seribu tahun di sina, satu hari di sana. Wallahu alam.
kategori substansi dalam makkulatul sani falsafi Suhrawardi hanya menerima body, soul dan intellect. Menurutnya form dan telah terkandung dalam matter dan mattter adalah kandungan daripada body. Penolakan inilah yang membuat teori gerak Suhrawardi henya bersifat Aksidental. Sementara Mulla Shadra menegaskan Form dan Matter adalah ketegori penting yang perlu dibahas secara terpisah dan perlu dijelaskan masing-masingnya sehingga pemikiran ini membuat Suhrawardi adalah pemikir pertama yang menemukateori gerak substansial.:
BalasHapusGerak adalah perubahan dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Perubahan itu adalah dari potensi (quwah) ke aktualisasi (fi'li). Perubahan dari potensi ke aktualisasi meniscayakan empat elemen yakni (1) mutaharriq (menggerakkan), (2) mutaharrih (bergerak, (3) musafah (jarak), dan (4) zaman (waktu).
Menurut analogi Kerwanto, mengenai perbedaan antara konsep gerak Periptetik dengan Filsafat Hukmah adalah seperti orang yang memakai baju lalu membukanya dan memakai baju lagi untuk Peripatetik dan pakai baju lagi dan lagi tanpa menanggalkan baju yang lama untuk Hikmah. Saya kagum dengan konsep gerak substansial karena sinergi dengan teori kuantum yang dipopulerkan oleh Hessenberg.