Selasa, 29 Mei 2012
Manusia dan Kebudayaan Iqbal (Unfinisded)
Nabi Basar Saw. menganjurkan supaya dalam bersedakah, jangankan untuk diketahui orang lain. Diri sendiripun, seumpamanya, bila bisa jangan tahu. Kenapa ibadah itu tidak boleh mengandung unsur riya? Manusia adalah individu yang super unik. Setiap individu punya persepsi yang super unik: mampu menggedor pintu Tuhan. Serap emosi satu manusia mampu menghalang suatu amal menuju Tuhan. Pernyataan ini bukan tidak beralasan: Tidak hanya shalat, semua amal baik syaratnya berlandas nama Allah, membaca basmalah, ikhlas dan khusyak.'
Nabi pernah berkata semua amal baik akan ditolak bila tidak dimulai dengan basmalah. Basmalah merupakan pintu masuk bagi sebuah pernyataan bahwa amal baik itu dikerjakan hanya karena Allah saja, bukan kebanggaan dan kepuasan diri, tidak pula untuk dipamerkan pada orang lain. Dengan begini, amal kebaikan itu tidak akan tertahan pada ego diri maupun ego yang lain tapi akan sampai kepada Allah Swt. Ini merupakan penegasan bahwa setiap ego manusia sangat tinggi dan kuat sifatnya sehingga mampu menyerap habis segala amal kebaikan itu. Memahami hal ini, Ahmad Chodjim sampai mengatakan ''fungsi utama politik adalah melindungi minoritas dari mayoritas dan minoritas terkecil adalah individu. ('Membangun Surga', Jakarta: Serambi, 2004 h. 182). Satu individu itu satu ego yang agung itu. Islam sendiri mengatan bila membunuh satu jiwa tanpa alasan yang dibenarkan sama dengan membunuh seluruh jiwa.
Keiklasan merupakan semangat tak terlihat. Ketika iklash, maka energi datang dari Tuhan tanpa dapat dihitung. Tapi apabila tidak, maka apresiasi seorang manusia atau orientasi pribadi saja yang memberi energi. Padahal orang lain, bahkan teman dekat sendiri, seperti kata Aidh Al-Qarni, bila sedang demam saja, tak akan datang saat kamu mati.
Man Orientatiion
Memuji untuk dipuji
Menyanjung untuk disanjung
menghormati untuk dihormati
memberi untuk 'terimakasih'
menyunggingkan senyum untuk meremehkan
Tapi tetaplah tersenyum, sebagai bukti di dunia ini kamu tidak sendiri
Khusyuk merupakan syarat energi Ilahi terus mengiringi. Bila konsenterasi berbuat hanya untuk Allah hilang, maka pekerjaan akan berantakan. Dan dalam kondisi begitulah bisikan setan masuk. Dalam khusyuk sekalipun, setan tidak pernah berhenti membayang-bayangi.
Manusia adalah individu yang unik. Sebagaimana diungkapkan Chodjim di atas, fungsi negara salah satunya adalah melindungi setiap individu untuk mengembangkan potensi, minat dan bakatnya sebagai karya yang berguna bagi dirinya dan kemanusiaan. Karya, adalah pembeda yang mutlak antara manusia dengan hewan dan dengan malaikat.
Kalau manusia kerjanya mencari rezeki saja, lalu menghidupi keluarga maka dia tidak ada beda dia dengan hewan. Bila manusia mencari makan lalu menafkahi yang wajib atasnya dan selanjutnya dia berubadah dengan ketaatan yang penuh, masih juga manusia tidak sama dengan hewan: Kita masih belum lupa tentunya, bahwa semua makhluk Allah, kecuali setan barangkali, beribadah kepadaNya.
Beberapa pemikir mengakui semua yang wujud memiliki jiwanya. Menanggapi mereka, saya kira, tingkatan ruhnya menentukan bentuknya. Dan bila teori evolusi yang sulit dihindari itu dimasukkan, maka jiwa itu berevolusia. Ini niscaya sebab jiwa yang merupakan energi Ilahiyah sifatnya dinamis. Kalangan mengklam evolusi itu mencapai puncaknya ketika terbentuknya jasad homo saphien. Saya kira jiwa homo saphien itu tidak berhenti (mencapai puncak) melainkan terus berevolusi. Dalam upaya mengembangkan dirinya (berevolusi) homo sapien mampu mempersepsi sebuah alam yang sangat istimewa, yang dalam Al-Qur'an disebut surga. Saya kira para malaikat telah lumrah dengan homo sapien ini, atau manusia. Karena mereka melihat homo saphien, sebelum menjadi manusia selalu menimbulkan kerusakan pada bumi. ''Sebelum menjadi Adam saja dia sudah menciptakan kerusakan parah pada alam, apalagi setelah lebih sempurna seperti ini'' kira-kira begitu barangkali pikir malaikat.
Sangat wajar sekali bila makhluk yang paling disayang Allah adalah manusia. Dia adalah cimtaan yang paling sempurna. Manusia mampu menerawang Allah dengan baik bila dia mau.
Dosen Filsafat Isyraqi kami bahkan mengatakan bahwa surga Adam sebelum ke dunia itu berbeda dengan surga setelah kematian nanti. Iqbal dalam 'Rekonstruksi' juga mengatakan demikian. Kata Iqbal, surga Adam itu adalah tempat dimana manusia secara praktis tidak berhubungan dengan alamnya. Saya tidak begitu yakin dengan alasan demikian.
Kata dosen tadi, surga Adam adalah bentuk imajinasi yang imajinasi itu adalah capaian jiwa yang tinggi yang telah berevolusi tadi. Karenanya, katanya, Adam tidak dihukum karena dosanya itu. Tapi bukankah ketelanjangan dan keterlepasan pakaian surga itu merupakan hukuman? Iqbal yang ''bersekongkol'' dengan dosen saya mengatakan Adam yang segera mengambil daun menutupi kemaluannya merupakan 'kenaikan', bukan 'kejatuhan' di mana pada saat itulah Adam baru dapat berinteraksi dengan alamnya.
Sebagai makhluk terbaik, manusia menyanggupi tugas dari Allah di mana tidak ada makhluk yang berani memikul tanggung jawab itu. Ketidak mampuan makhluk lain saya kira lebih kepada ketidakmauan. Umpamakan seorang yang jatuh cinta. Dia pasti menyanggupi apapun permintaan kekasihnya meski dia tidak mampu. Kecintaan, kesetiaan inilah yang menjadi sunnatullah manusia untuk terus berproses, berevolusi tanpa henti hingga nanti, bila beruntung: menatap wajah Allah.
Menuju Manusia
Apakah dengan setamerta Ruh Abadi membentuk entitas-entitas ruh hebat yang disematkan kepada manusia? Tidak. Proses pembentukan entitas-entitar ruh yang tersematkan menjadi manusia-manusia tidak diwujudkan secara serta merta. Dianya perlu melalui banyak proses untuk mematangkan ruh manusia. Proses ini diperlukan supaya ruh atau ego dapat menciptakan sensasi dunia yang benar-benar matang sehingga dapat menemukan suatu getaran dalam persepsinya terhadap Ruh Abadi.
Ketika malaikat mempertanyakan alasan Tuhan menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi, maka pastinya malaikat telah tahu Adam akan selalu menumpahkan darah. Pengetahuan ini karena malaikat telah sering melihat Adam pada setiap generasi selalu menumpahkan darah. Adam era ini, kita, adalah evolusi dari Adam-adam sebelumnya. Tuhan telah menciptakan berkali-kali Adam dan setiap generasinya selalu berproses untuk lebih baik mrespon alam dengan ruh yang terus menerus meningkat. Proses ruh menjadikan proses fisik semakin baik sehingga puncak proses ini adalah kita sekarang.
Era kita, tepatnya pada diri seorang Muhammad (Saw) adalah puncak dari kesempur naan itu. Proses Tuhan menciptakan makhluk supernya ini (kita) berawal dari Ruh Muhammad yang mampu mengesankan atau menciptakan alam materi dan segala makhluk Tuhan lainnya. Ruh Muhammad atau Nur Muhammad adalah penyebab dari keberadaan segenap makhluk Tuhan. Ciptaan atau kesan Ruh Muhammad yang awal terus berproses ini menemukan kembali dirinya, dengan menggunakan ilustrasi kaca pembesar yang mampu menghimpun matahari sehingga dapat membakar. Ilustrasi ini melebihi itu sebab matahari ini secara keseluruhan mampu ditarik ke dalam ''cahaya pantulan'' kaca pembesar. Dengan itu, segenap ciptaan akan kembali kepada Ruh Muhammad itu tidak lama setelah wujud Muhammad mampu menarik dirinya kembali (Ruh Muhammad) dengan kelahirannya di Makkah belum lama ini. Kelahiran Muhammad adalah tanda yang tidak terbantahkan bahwa kiamat akan segera tiba. Bahkan ini tidak layak disebut 'tanda', malah adalah kenyataan itu sendiri.
Saya meyakini bahwa bumi adalah satu-satunya alam yang memiliki tempat untuk berhidup. Ini karena pusat segenap alam raya maha luas adalah bumi. Kehidupan di planet ini menjadi ada dan menggeliat karena sumber segenap ciptaan berada dekat sini: Muhammad.
Berbicara mengenai manusia dan potensinya, maka saya akan lebih sepakat bahwa alam materi ini adalah persepsi daripada ruh kita. Sejatinya alam ini adalah bentukan pikiran kita semata. Kita ambil satu analogi:
Saya tinggal di Tengerang. Saya sangat suka pada Monas. Sebelumnya saya belum pernah melihat Monas secara langsung. Perjalanan saya pertama ke Monas cukup melelahkan, tapi saat tiba dan melihat langsung keindahan benda yang saya kagumi itu, semuah letih, lelah dan penat saya lenyap. Pada perjalanan saya yang kedua, kesulitan yang ditempuh tidak separah pada perjalanan pertama, juga Monas yang saya lihat pada kali kedua tidak semengagumkan dari kali pertama. Selanjutnya semakin sering saya ke Monas, semakin tampak ringan saja perjalanannya, tapi seinging dengan itu keindahan Monas juga semakin luntur.
Dari pengalaman di atas, saya memunculkan sebuah dugaan: apa benar keindahan Monas yang semakin luntur itu telah ''menambal'' rasa letih dan lelah dalam perjalanan? Bula demikian, maka berarti rasa 'lelah' dan 'suka' menempati lokus yang sama? Ini dapat dijadikan pembuktian mula-mula dari kita untuk mengatakan bahwa ruang pada alam eksternal berada dalam pikiran kita.
Nyataan ini sekaligus menunjukkan pada kita bahwa segala partikular di alam ini adalah energi-energi yang bila kita tidak lihai mensiasatinya maka akan mengerus kedirian atau ke'ego'an kita. Salah satu cara yang kita lagukan supaya tidak tergerus adalah mengenalnya. Cara mengenal yang kita lakukan adalah memberi perbeadaan antara satu dengan yang lainnya beserta beberapa perangkat aksiden lainnya.
Ketika mengakui dunia eksternal sebagai persepsi ruh, kita tidak boleh abai pula pada ruh-ruh lain. Selain itu, makhluk-akhluk hidup lain juga perlu diperhatikan. Ringkatan tertinggi memang berada pada potensi manusia. Karena itu, pengenalan paling baik atas alam adalah oleh manusia. Maka pastinya pembedaan terbaik atas segenap partikulasi-pastikulasi adalah oleh manusia.
Bila rasa terhadap ruang yang dipersepsikan berubah, sama dengan rasa kepada suatu objek, maka eksistensinya perlu dipertanyakan kembali: apakah ruang dan materi itu benar-benar mewujud. Tapi pertanyaan itu perlu diimbangi dengan pertanyaa: bila dia tidak benar-benar mewujud, maka kenapa dia bisa berubah? Bahkan mampu ''menciptakan'' timbuhan, hewan dan bahkan (mungkin) manusia.
Saya ingin mencoba menjawabnya dengan cara begini: alam ini adalah energi atau ruh yang punya potensi mengembangkan diri hingga tahap kemampuan menciptakan hewan bernama manusia. Evolusi alam ini akan berakhir ketika alam berhas mewujudkan manusia paling sempurna. Analoginya mungkin begini: seseorang yang menciptakan sebuah kapal untuk sekali berlayar. Prosesnya sangat lama, setelah kapal itu digunakan guna satu tujuan (yang memang tujuannya cuma satu) maka kapal itu akan dilenyapkan. Setelah Baginda Nabi Besar Saw datang dan pesannya telah disampaikan, maka kapal bernama alam semesta sedang berproses menuju kehancuran. Kehancurannya jauh leh singkat daripada proses terjadinya. Karena itu saya tidak percaya akan ada manusia lagi di alam ini setelah manusia. ''Bumi digantikan bumi yang lain'' yang dimaksudkan Al-Qur'an bukanlah bumi seperti ini tapi alam akhirat.
Antara energi alam dengan energi manusia adalah satu kesatuan sekalipun energi manusia jauh lebih kuat dan mampu mendominasi. Kesan atau rasa pada realitas alam dapat berubah-ubah karena lokus pikiran lebih lebar dan luas daripada alam.
Bila meninjau ''ke bawah'' maka akal menemukkjkan alam. Ketika menerawang ''ke atas'' akal menjumpai suatu lokus intelektual. Semakin tinggi dan jernih penerawangan itu, semakin nyata pula hikmah yang ditemukan itu.
Alasannya adalah suatu Objek yang dikenal indera melalui pengamatan dimasukkan dalam memori, kemudian objek yang sama dengan aksiden berbeda akan dikombinasi akal. Setiap pengamatan pada suatu objek selalu melahirkan pemahaman baru karena objek yang sama itu selalu direkonstruksi setiap kali diamati. Tetapi kepastian objek itu tidak pernah ada karena setiap objek secara keseluruhannya atau apa adanya punya dua kemungkinan, pertama karena memang setiap objek itu cuma bentukan mental yang sebenarnya tidak ada, kedua karena memang setiap objek itu tidak terbatas.
Kalau memang menganggap objek materi itu cuma bentukan akal, maka lantas tidak boleh kita menyepelekannya karena itulah yang paling nyata yang dapat kita pedomani, maksudnya, karena itulah hasil olah intelek yang paling mapan, sebuah objek jadi dikenali karena telah melalui proses intelek yang membentuk aksiden. Jadi pengamatan berulang-ulang yang membentuk pemahaman baru akan objek tidak bisa dipegang karena terus berubah tanpa henti, tak terbatas.
Kalau alam ini cuma bentukan intelek (kesimpulan tasawuf dan filsafat sepanjang sejarahnya memang demikian) maka intelek pula harus ada yang membentuk. Ini persoalan kausalitas dan akal tidak boleh mengingkari ''sunnah''nya sendiri. Jadi dari cara pandang ini akal sendiri adalah ketiadaan pula. Satuhal yang membuktikan kita ada hanya diri kita sendiri, sebagaimana Descartes. Kalau demikian, maka alam itu sendiri dapat memastikan dirinya ada dan pembuktiannya hanya pada alam itu sendiri. Apakah karena kita tidak dapat membuktikan alam lantas kita mengakuinya tidak ada? Atau alam ini relatif, artinya bagi kita dia tiada dan bagi dirinya sendiri dia tiada? Dalam hal ini secara terang maupun kiasan filosof dan kaum sufi mengakui intelek itu adalah bagian dari peran Ruh dan Ruh ini adalah Allah. Diantara mereka, hanya Al-Hallaj yang berani berkata dengan jelas.
Iqbal melalui penjelasannya akan QS. Al-Isra': 85 mengatakan kata 'amar' sebagai kretaivitas Tuhan yang bersifat memimpin akan jiwa manusia. Katanya jiwa setiap individu memiliki kapasitas dan potensi yang berbeda-beda. Di sini kita dapat menemukan antara alam dengan jiwa manusia. Untuk manusia sendiri yang telah meruang dan mewaktu sebagaimana alam tetap disebut sebagai 'khalaq'-Nya, tapi jiwa atau ruh disebut 'amar' memiliki maksud yang lain. 'Pimpinan' (direct) yang dimaknai Iqbal untuk kata 'amar' Tampak sebagai ketidak beranian menyatakan secara terbuka bahwa memang Ruh manusia ini adalah memnga kreativitas atau gerak daripada Tuhan itu sendiri.
Banyak pemikir selalu ragu mengatakan Tuhan itu bergerak. Ini karena gerak selalu ditandai sebagai makna dari kesempurnaan. Yang bergerak selalu diidentikkan dengan proses dari suatu keadaan ke keadaan lain atau lebih jelasnya dari ketidaksempurnaan menuju kesempurnaa. Dan Tuhan sendiri adalah sempurna. Bahwasanya gerak itu adalah kerja jiwa sebagai intelek untuk memaknai realitas. Dengan demikian akan terbuka penerangan bahwa pemaknaan setiap aksiden (yang tentunya di ruang eksternal)
Bersambung...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar