Untuk dapat mengenal ashalatul
wujud dengan baik, kita perlu mengenal ashalatul mahiyah dengan baik. Ashalatul
mahiyah itu bukan ada, bukan juga tiada. Mahiyah adalah peneti suatu wujud.
Tanpanya, tidak akan ada wujud. Dengan mahiyah kita dapat memberikan aksiden
sehingga wujud menjadi ada. Mahiyah adalah ketiadaan, berarti dia tidak mewejud
(bukan wujud). Dengannyalah wujud menjadi ada, sehingga dengan adanya wujud,
maka mahiyah sendiri menjadi wujud.
Mengenai ashalatul wujud: ada itu ada. Yang mengadakan ada adalah ada,
demikian seterusnya. Dalam tertib logika, sebelum menanyakan kualitas (haliyah
murattobah) perlu terlehih dahulu menanyakan keberadaannya (haliyah basitfhoh),
sebelum bertanya 'bagaimana kondisi buku itu' kita harus terbih dahulu
menyelesaikan pertanyaan 'apa buku itu ada'.
Menurut para filosof muslim, dalam
realias, aslahatul mahiyah dan aslahatul wujud utu timbul bersamaan. Tapi dalam
konsep pemahaman aslahatul wujudlah yang terlebih dahulu muncul.
Kalau mahiyah itu adalah prasyarat
menemukan wujud, maka saya kurang sepakat bila dalam pemahaman mahiyah dan
wujud timbul bersamaan di realitas eksternal. Saya kira mahiyah harus terlebih
dahulu pula supaya wujud dapat di temukan differensinya agar dapat dikenal
(alasan saya lebih lanjut dapat dilihat pada pembicaraan tentang Berkeley).
'Yang Tak Terbatas' dalam realitas
memang Tidak Terbatas, tapi dalam konsep Dia telah dibatasi oleh 'Yang Tak
Terbatas' itu sendiri. Setiap yang berwujud telah diwijudkan oleh mahiyah.
Mahiyah itu sendiri setidaknya telah diwujudkan oleh wujud itu sendiri.
Menurut Yazdi ('Buku Daras Filsafat Islam' Jakarta:
Shadra Press, 2010 h. 202) kita harus
pandai membedakan konsep kefilsafatan, kemahiyahan dan kelogikaan. Ini penting
bagi kita supaya tidak tumpang tindih dalam melakukan proses berfikir. Misalnya
konsep universalitas hanya sebagai kondisi mental tidak bisa digunakan untuk
memerikan hal-hal objektif, tetapi konsep kefilsafatan dan kemahiyahan dapat
digunakan untuk itu.
Kerancuan penalaran kita, kata Yazdi adalah karena kita menyamakan
antara konsep filsafat dengan penyumbolannya dalam bahasa. Dalam filsafat, kata
'wujud' bukanlah seperti yang dikasudkan dalam logika yakni ''hasil tindakan
dari suatu verba''. Demikian pula dengan kata 'maujid' dalam kacamata filsafat
dianya bukan sebuah kata pasif. Makna filsafat adalah makna yang ''...universal
hakiki, (bukan konvensional) berporos tertentu'' (ibid, h. 31). Dianya melingkupi segenap ilmu. Kekhasan setiap jenis
konsep wajib bagi kita untuk memahaminya.
Yazdi mengingatkan supaya konsep dapat dipahami dengan tepat kita tidak
boleh menyamakan aturan gramatika bahasa dengan konsep. Ciri-ciri konsep juga
tidak boleh merancukan pengetahuan kita tentang prinsip (h. 215). Menurutnya,
diskusi kebahasaan sama sekali tidak layak disamakan dengan konsep filsafat.
Insprirasi ini tampaknya diperkenalkan oleh Suhrawardi yang mengajak supaya
filsafat dan matetatika tidak digolongkan kedalam filsafat sebab kedua hal tersebut
berbicara mengenai hal teknis. Dengan begini, diharapkan kita dapat memahami
makna teknis kata tertentu.
Karena itu, menurut Dr. Muhsin Labib, ('Pemukiran Filsafat Ayatullah M.T. Misbah Yazdi' Jakarta: Shadra Press, 2011, h. 193), untuk lebih jelas mengenal makna wujud, kita membagi 'wujud' kepada pengertian umum dan khusus. Pengertian umum ''yang umum dan aproior yang menjadi dasar perangkaian kata serta menjadi predikat yang diletakkan pada setiap quiditas atau esensi (mahiyyah), misalnya 'manusia itu ada', 'bulan itu ada', 'putih itu ada.''' Kedua dalam pengertian khusus atau terikat, ''...yaitu predikat yang diletakkan atas sesuatu, misalnya 'benda itu putih', yang berarti 'benda yang ada itu bewarna putih'. Dengan demikian, pengertian 'wujud umum' adalah wujud subjek dan 'wujud khusus' atau 'wujud yang terikat' ''...adalah wujud predikat dalam setiap premis.
Karena itu, menurut Dr. Muhsin Labib, ('Pemukiran Filsafat Ayatullah M.T. Misbah Yazdi' Jakarta: Shadra Press, 2011, h. 193), untuk lebih jelas mengenal makna wujud, kita membagi 'wujud' kepada pengertian umum dan khusus. Pengertian umum ''yang umum dan aproior yang menjadi dasar perangkaian kata serta menjadi predikat yang diletakkan pada setiap quiditas atau esensi (mahiyyah), misalnya 'manusia itu ada', 'bulan itu ada', 'putih itu ada.''' Kedua dalam pengertian khusus atau terikat, ''...yaitu predikat yang diletakkan atas sesuatu, misalnya 'benda itu putih', yang berarti 'benda yang ada itu bewarna putih'. Dengan demikian, pengertian 'wujud umum' adalah wujud subjek dan 'wujud khusus' atau 'wujud yang terikat' ''...adalah wujud predikat dalam setiap premis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar