Link Download

Minggu, 22 April 2012

Wujud


Untuk dapat mengenal ashalatul wujud dengan baik, kita perlu mengenal ashalatul mahiyah dengan baik. Ashalatul mahiyah itu bukan ada, bukan juga tiada. Mahiyah adalah peneti suatu wujud. Tanpanya, tidak akan ada wujud. Dengan mahiyah kita dapat memberikan aksiden sehingga wujud menjadi ada. Mahiyah adalah ketiadaan, berarti dia tidak mewejud (bukan wujud). Dengannyalah wujud menjadi ada, sehingga dengan adanya wujud, maka mahiyah sendiri menjadi wujud.         Mengenai ashalatul wujud: ada itu ada. Yang mengadakan ada adalah ada, demikian seterusnya. Dalam tertib logika, sebelum menanyakan kualitas (haliyah murattobah) perlu terlehih dahulu menanyakan keberadaannya (haliyah basitfhoh), sebelum bertanya 'bagaimana kondisi buku itu' kita harus terbih dahulu menyelesaikan pertanyaan 'apa buku itu ada'.    
         Menurut para filosof muslim, dalam realias, aslahatul mahiyah dan aslahatul wujud utu timbul bersamaan. Tapi dalam konsep pemahaman aslahatul wujudlah yang terlebih dahulu muncul.
      Kalau mahiyah itu adalah prasyarat menemukan wujud, maka saya kurang sepakat bila dalam pemahaman mahiyah dan wujud timbul bersamaan di realitas eksternal. Saya kira mahiyah harus terlebih dahulu pula supaya wujud dapat di temukan differensinya agar dapat dikenal (alasan saya lebih lanjut dapat dilihat pada pembicaraan tentang Berkeley).
       'Yang Tak Terbatas' dalam realitas memang Tidak Terbatas, tapi dalam konsep Dia telah dibatasi oleh 'Yang Tak Terbatas' itu sendiri. Setiap yang berwujud telah diwijudkan oleh mahiyah. Mahiyah itu sendiri setidaknya telah diwujudkan oleh wujud itu sendiri.
             Menurut Yazdi ('Buku Daras Filsafat Islam' Jakarta: Shadra Press, 2010 h. 202) kita harus pandai membedakan konsep kefilsafatan, kemahiyahan dan kelogikaan. Ini penting bagi kita supaya tidak tumpang tindih dalam melakukan proses berfikir. Misalnya konsep universalitas hanya sebagai kondisi mental tidak bisa digunakan untuk memerikan hal-hal objektif, tetapi konsep kefilsafatan dan kemahiyahan dapat digunakan untuk itu.
    Kerancuan penalaran kita, kata Yazdi adalah karena kita menyamakan antara konsep filsafat dengan penyumbolannya dalam bahasa. Dalam filsafat, kata 'wujud' bukanlah seperti yang dikasudkan dalam logika yakni ''hasil tindakan dari suatu verba''. Demikian pula dengan kata 'maujid' dalam kacamata filsafat dianya bukan sebuah kata pasif. Makna filsafat adalah makna yang ''...universal hakiki, (bukan konvensional) berporos tertentu'' (ibid, h. 31). Dianya melingkupi segenap ilmu. Kekhasan setiap jenis konsep wajib bagi kita untuk memahaminya.
     Yazdi mengingatkan supaya konsep dapat dipahami dengan tepat kita tidak boleh menyamakan aturan gramatika bahasa dengan konsep. Ciri-ciri konsep juga tidak boleh merancukan pengetahuan kita tentang prinsip (h. 215). Menurutnya, diskusi kebahasaan sama sekali tidak layak disamakan dengan konsep filsafat. Insprirasi ini tampaknya diperkenalkan oleh Suhrawardi yang mengajak supaya filsafat dan matetatika tidak digolongkan kedalam filsafat sebab kedua hal tersebut berbicara mengenai hal teknis. Dengan begini, diharapkan kita dapat memahami makna teknis kata tertentu.
         Karena itu, menurut Dr. Muhsin Labib, ('Pemukiran Filsafat Ayatullah M.T. Misbah Yazdi' Jakarta: Shadra Press, 2011, h. 193), untuk lebih jelas mengenal makna wujud, kita membagi 'wujud' kepada pengertian umum dan khusus. Pengertian umum ''yang umum dan aproior yang menjadi dasar perangkaian kata serta menjadi predikat yang diletakkan pada setiap quiditas atau esensi (mahiyyah), misalnya 'manusia itu ada', 'bulan itu ada', 'putih itu ada.''' Kedua dalam pengertian khusus atau terikat, ''...yaitu predikat yang diletakkan atas sesuatu, misalnya 'benda itu putih', yang berarti 'benda yang ada itu bewarna putih'. Dengan demikian, pengertian 'wujud umum' adalah wujud subjek dan 'wujud khusus'  atau 'wujud yang terikat' ''...adalah wujud predikat dalam setiap premis. 
        
   
       
       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar