Link Download

Sabtu, 21 April 2012

David Hume


David Hume lahir tepat enam ratus tahun setelah meninggalnya Imam Al-Ghazali, 1711. Dia adalah filsuf yang sangat besar dan pengaruhnya hampir saja membuat sains Eropa yang sedang gerkembang menjadi redup total. Dia adalah termasuk kaum emperisme. Dia tidak percaya bahwa manusia terlahir membawa serta Idea bersamanya. Menurutnya, manusia hanya mengkontruksi pemahamannya dari pengalama. Setiap partikular dipersepsi indrawi secara terpisah. Baginya, bila tidak ada persepsi indrawi, maka impresi tidak pernah ada. Kurang lebih dia menolak total konsep Idea Plato.
     Saya melihat Hume membangun filsafatnya karena menemukan lubang yang sangat menganga pada filsafat Descartes. Descartes serta-merta menyumpulkan Tuhan adalah Penyebab Utama bagi kausalitas. Lompatan Descartes ini memang tampak ganjil. Hume sendiri tidak percaya sama-sekali pada kausalitas. 'Segelas air yang tumpah bukan karena gelas yang jatuh'. 'Air yang tumpah' dengan 'gelas yang jatuh' tidak berhubungan sama-sekali.
    Bila kausalitas ditolak, maka sains itu tidak ada sama-sekali, Logika begitu. Semua bangun intelektual yang pernah dibangun manusia harus runtuh semua. Sains, dibangun berdasarkan probabilitas yang pastinya harus mengabaikan banyak kemungkinan-kemungkinan yang boleh jadi yang diabaikan itulah kebenarannya. Kalaupun tidak, maka dengan mengabaikan sebagian lainnya, tentunya laporan sains itu keliru juga. Bila menemukan angsa pertama, kedua, ketiga dan seterusnya hingga sepuluh angsa bewarna putih maka saya simpulkan saja 'angsa bewarna putih'. Boleh jadi lebih banyak angsa yang belum saya temui tidak bewarna putih atau ada angsa tidak bewarna putuh. Maka 'sains' saya itu salah sepenuhnya.
     Sains dibangun lebih cenderung kepada logika karena probabilitas adalah andalannya. Selain itu, bangun logika itu meniscayakan kausalitas. Dan kausalitas bagi Hume tidak berlaku. Sebuah kapan yang berangkat dari pelabuhan Balohan Sabang bukanlah kapal yang sama saat tiba di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya bagi Hume. Kata dia, kita tidak punya jaminan bahwa kapal yang di Sabang kapal yang telah di Surabaya adalah sama: bagaimana kalau di tengah perjalanan kapal itu mengganti semua bahannya secara satu-persatu?  
          Hume terinspirasi dari gagasan Berkeley yang mengatakan bahwa materi baru ada bila pikiran kita mempersepsikannya. Sebatang pohon tidak ada yang bisa menjamin masih ada bila tidak seorangpun mengamatinya. Bila ada yang mengamati lagi, pohon itu ada lagi. Berkeley: Ketika tidak seorangpun mengamatinya, maka Tuhan senantiasa mengamatinya. Tapi Hume sama sekali menolak matafisika. Baginya hal-hal metafisik itu ilusi. Baginya, tidak ada impresi bila tidak pernah ada pengamatan empirik. Jadi hal-hal metafisik yang tidak bisa diamati tidak ada.         Hume tidak mengingikan gagasan atau impresi yang dibentuk pikiran menjadi pemahaman menjadi hal yang bersifat ''metafisis''. Dia ingin mejelaskan bahwa semua pemahaman yang memang berasal dari penggabungan lebih dari satu partikular eksternal menjadi aksiden kembali sehingga dapat dipakai sebagai partikular yang empirik. Tampaknya dia ingin membangun sebuah sains yang tidak abstrak seperti puisi atau hasil imajinasi. Tapi sayang Hume tidak sadar bahwa hal dan partikular juga dibentuk melalui abstraksi.
    Empirisme. Yang tidak diamati tidak ada. Yang dilihat sepintas lalu tidak berbentuk seperti yang diamati. Akal hanya sebagai memori penyimpan data. Jadi dia tidak beda dengan alam eksternal. Tapi bedanya di akal partikular tidak memiliki efek. Kita memberi nama sama pada gagasan yang bermiripan sebab gagasan yang muncul itu subjektif. Gagasan itu subjektif dikarenakan kesan itu subjektif. Kesan baru muncul setelah adanya pengamatan. Sementara kesan itu semacam reaksi setelah munculnya kesan.
     Saya melihat empirisme itu tidak benar, karena 'kursi' pada alam materi juga sama abstraknya dengan Kursi pada tataran universal. Karena 'kursi' hanyalah abstraksi dari 'berkaki empat', 'terbuat dari kayu' dan seterusnya. 'kayu' juga abstraksi dari potongan papan dalam bentuk tertentu, demikian seterusnya. 'Ini bukan soal sombolisasi dalam bahasa tapi juga dalam pengamatan. Suatu benda yang kita amati adalah abstraksi secara terus menerus. 
    Empirisme keliru sebab mereka tidak tahu bahwa segala persepsi inderawi sejatinya adalah emosi atau merasa. Persepsi inderawi seluruhnya bersifat mental, tapi intensitasnya berbeda. Semua yang kita amati berbeda kesannya karena intensitas emosinya berbeda. Sebenarnya kita tidak lupa atas setiap detik persepsi yang kita alami, tapi karena intensitas emosinya berbeda maka yang tinggi intensitas emosinya itulah yang sering atu mudah diingat kembali. Seseorang tidak akan lupa pengalaman ketika seumur hidupnya hanya sekali pernah disiksa dengan jempol kaki di jepit di bawah salah satu kaki kursi lalu pengintrogerasi menduduki kursi itu. Tapi orang itu mudah saja melupakan sebuah apel yang jatuh di di hadapannya kemarin sore. Kesan itu bukan muncul dari pengalaman eksternal. Kesan itu murni dari si pemersepsi: begitu banyak orang yang ketiban apel, tapi apel Newton itu berbeda.
     Gadis itu telah dan akan dilihat oleh ribuan pasang mata, tapi hanya satu orang yang cinta mati padanya. Bila persepsi manusia berdasarkan pengalaman yang sama tidak berbeda maka semua orang yang melihat apel jatuh atau tidak seorangpun mengucapkan 'eureka'; semua orang atau tidak seorangpun akan jatuh cinta pada gadis itu. Tapi nyatanya 'eureka' hanya milik Newton dan yang cinta mati pada gadis itu seorang saja: cinta pada pandangan pertama.
          
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar