David Hume lahir tepat enam ratus tahun setelah meninggalnya
Imam Al-Ghazali, 1711. Dia adalah filsuf yang sangat besar dan pengaruhnya
hampir saja membuat sains Eropa yang sedang gerkembang menjadi redup total. Dia
adalah termasuk kaum emperisme. Dia tidak percaya bahwa manusia terlahir
membawa serta Idea bersamanya. Menurutnya, manusia hanya mengkontruksi
pemahamannya dari pengalama. Setiap partikular dipersepsi indrawi secara
terpisah. Baginya, bila tidak ada persepsi indrawi, maka impresi tidak pernah
ada. Kurang lebih dia menolak total konsep Idea Plato.
Saya melihat Hume
membangun filsafatnya karena menemukan lubang yang sangat menganga pada
filsafat Descartes. Descartes serta-merta menyumpulkan Tuhan adalah Penyebab
Utama bagi kausalitas. Lompatan Descartes ini memang tampak ganjil. Hume
sendiri tidak percaya sama-sekali pada kausalitas. 'Segelas air yang tumpah
bukan karena gelas yang jatuh'. 'Air yang tumpah' dengan 'gelas yang jatuh'
tidak berhubungan sama-sekali.
Bila kausalitas
ditolak, maka sains itu tidak ada sama-sekali, Logika begitu. Semua bangun
intelektual yang pernah dibangun manusia harus runtuh semua. Sains, dibangun
berdasarkan probabilitas yang pastinya harus mengabaikan banyak
kemungkinan-kemungkinan yang boleh jadi yang diabaikan itulah kebenarannya.
Kalaupun tidak, maka dengan mengabaikan sebagian lainnya, tentunya laporan
sains itu keliru juga. Bila menemukan angsa pertama, kedua, ketiga dan
seterusnya hingga sepuluh angsa bewarna putih maka saya simpulkan saja 'angsa
bewarna putih'. Boleh jadi lebih banyak angsa yang belum saya temui tidak
bewarna putih atau ada angsa tidak bewarna putuh. Maka 'sains' saya itu salah
sepenuhnya.
Sains dibangun
lebih cenderung kepada logika karena probabilitas adalah andalannya. Selain
itu, bangun logika itu meniscayakan kausalitas. Dan kausalitas bagi Hume tidak
berlaku. Sebuah kapan yang berangkat dari pelabuhan Balohan Sabang bukanlah
kapal yang sama saat tiba di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya bagi Hume. Kata
dia, kita tidak punya jaminan bahwa kapal yang di Sabang kapal yang telah di
Surabaya adalah sama: bagaimana kalau di tengah perjalanan kapal itu mengganti
semua bahannya secara satu-persatu?
Hume
terinspirasi dari gagasan Berkeley yang mengatakan bahwa materi baru ada bila
pikiran kita mempersepsikannya. Sebatang pohon tidak ada yang bisa menjamin
masih ada bila tidak seorangpun mengamatinya. Bila ada yang mengamati lagi,
pohon itu ada lagi. Berkeley: Ketika tidak seorangpun mengamatinya, maka Tuhan
senantiasa mengamatinya. Tapi Hume sama sekali menolak matafisika. Baginya
hal-hal metafisik itu ilusi. Baginya, tidak ada impresi bila tidak pernah ada
pengamatan empirik. Jadi hal-hal metafisik yang tidak bisa diamati tidak ada. Hume tidak mengingikan gagasan atau
impresi yang dibentuk pikiran menjadi pemahaman menjadi hal yang bersifat
''metafisis''. Dia ingin mejelaskan bahwa semua pemahaman yang memang berasal
dari penggabungan lebih dari satu partikular eksternal menjadi aksiden kembali
sehingga dapat dipakai sebagai partikular yang empirik. Tampaknya dia ingin
membangun sebuah sains yang tidak abstrak seperti puisi atau hasil imajinasi.
Tapi sayang Hume tidak sadar bahwa hal dan partikular juga dibentuk melalui
abstraksi.
Empirisme. Yang tidak diamati tidak ada.
Yang dilihat sepintas lalu tidak berbentuk seperti yang diamati. Akal hanya
sebagai memori penyimpan data. Jadi dia tidak beda dengan alam eksternal. Tapi
bedanya di akal partikular tidak memiliki efek. Kita memberi nama sama pada
gagasan yang bermiripan sebab gagasan yang muncul itu subjektif. Gagasan itu
subjektif dikarenakan kesan itu subjektif. Kesan baru muncul setelah adanya
pengamatan. Sementara kesan itu semacam reaksi setelah munculnya kesan.
Saya melihat empirisme itu tidak benar,
karena 'kursi' pada alam materi juga sama abstraknya dengan Kursi pada tataran
universal. Karena 'kursi' hanyalah abstraksi dari 'berkaki empat', 'terbuat
dari kayu' dan seterusnya. 'kayu' juga abstraksi dari potongan papan dalam
bentuk tertentu, demikian seterusnya. 'Ini bukan soal sombolisasi dalam bahasa
tapi juga dalam pengamatan. Suatu benda yang kita amati adalah abstraksi secara
terus menerus.
Empirisme keliru sebab mereka tidak tahu
bahwa segala persepsi inderawi sejatinya adalah emosi atau merasa. Persepsi
inderawi seluruhnya bersifat mental, tapi intensitasnya berbeda. Semua yang
kita amati berbeda kesannya karena intensitas emosinya berbeda. Sebenarnya kita
tidak lupa atas setiap detik persepsi yang kita alami, tapi karena intensitas
emosinya berbeda maka yang tinggi intensitas emosinya itulah yang sering atu
mudah diingat kembali. Seseorang tidak akan lupa pengalaman ketika seumur
hidupnya hanya sekali pernah disiksa dengan jempol kaki di jepit di bawah salah
satu kaki kursi lalu pengintrogerasi menduduki kursi itu. Tapi orang itu mudah
saja melupakan sebuah apel yang jatuh di di hadapannya kemarin sore. Kesan itu
bukan muncul dari pengalaman eksternal. Kesan itu murni dari si pemersepsi:
begitu banyak orang yang ketiban apel, tapi apel Newton itu berbeda.
Gadis itu telah dan akan dilihat oleh
ribuan pasang mata, tapi hanya satu orang yang cinta mati padanya. Bila
persepsi manusia berdasarkan pengalaman yang sama tidak berbeda maka semua
orang yang melihat apel jatuh atau tidak seorangpun mengucapkan 'eureka'; semua orang atau tidak seorangpun akan jatuh cinta pada gadis
itu. Tapi nyatanya 'eureka' hanya
milik Newton dan yang cinta mati pada gadis itu seorang saja: cinta pada
pandangan pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar