Link Download

Selasa, 17 April 2012

Filsafat Islam: Aslahatul


Nalar memang begitu terbatas dalam mencari kebenaran. Hal ini adalah berdasarkan pengakuan oleh mereka yang benar-benar memahami filsafat dan telah menghasilkan karya agung di bidang logika dan filsafat. Salah satu yang paling besar di antaranya adalah Ibn Sina. Sebagai filsuf muslim Ibn Sina berada di persimpangan ketika harus mengakomodir tek suci Islam dan tetap konsisten dengan kaidal logika filsafat.
      teks Suci agama menyuguhkan konsep-konsep yang sangat sulit ditemukan rasionalisasinya. Bila ingin konsisten pada teks, saya kira semua bagan yang telaj dibangun tentang logika harus diruntuhkan. Ketika harus dikontruksi kembali, maka kita hanya akan mampu membangun sebuah bagan yang rapuh dan temporar sifatnya sebab niscaya harus mengikuti teks. Konsekwensi berada dalam dilema mempertahankan logika dan menerima teks suci secara sekaligus adalah harus mereduksi makna teks suci yang senyatanya sangat universal menjadi partikular. Lahirnya sekularism Eropa punya banyak kaitan dengan pemikiran Ibn Rusyd (Averroes) yang memilih jalan Ibn Sina. ,lp
       Syihabuddin Suhrawardi datang dan menawarkan solusi dengan menyadarkan kita bahwa nalar bukanlah instrumen tinggal dalam menemukan kebenaran. Suhrawardi juga mengakomodir persoalan ini dengan memberikan definisi baru terhadap istilah-istilah yang dikandung dalam logika sehingga wahyu maupun intuisi dapat terasionalisasikan.
    Suhrawardi mempertanyakan posisi logika sebagai bagian dari filsafat. Logika adalah kajian teknis.Menurutnya logika tidak patut digolongkan ke dalam bagian filsafat karena filsafat itu mengurus tentang wujud, hal-hal yang relatif berada di luar alam materi. Filsafat bukanlah grammer yang urusannya tentang kata-kata. Filsafat mengurus konsep. Konsep itu adalah penyematan atas realitas. Adam adalah satu-satunya makhluk yang paling unggul karena mampu menyematkan konsep untuk mewakili realitas. Bila konsep tidak ada, maka ketika ingin menginformasikan 'kursi' kita harus menghadirkan benda berkaki empat tempat punggung disandarkan.    
         Konsep bukan saja tentang hal yang dapat diinderai tapi juga tentang hal-hal yang tak terinderai. Misalnya seseorang mengetuk meja. Bila yang diandalkan cuma indera, kita hanya mampu mengetahui seseorang mengetuk meja. Tapi motif dia mengetuk dan kesan yang diterima pengamat itu tidak terjawab. Padahal, yang lebih penting adalah makna seseorang mengetuk meja. Oleh sebab itu kalangan rasionalis menolak argumen kaum empiris. Kaum empiris hanya mau menerima apa yang mampu diinderai saja. Sejatinya, sebuah makna itu tidak terkandung dalam realitas empiris. Jadi kalangan rasionalisme mengatakan bahwa justru makna itu berada rasionalitas.
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar