Nalar memang begitu terbatas dalam mencari kebenaran. Hal
ini adalah berdasarkan pengakuan oleh mereka yang benar-benar memahami filsafat
dan telah menghasilkan karya agung di bidang logika dan filsafat. Salah satu
yang paling besar di antaranya adalah Ibn Sina. Sebagai filsuf muslim Ibn Sina
berada di persimpangan ketika harus mengakomodir tek suci Islam dan tetap
konsisten dengan kaidal logika filsafat.
teks Suci agama menyuguhkan
konsep-konsep yang sangat sulit ditemukan rasionalisasinya. Bila ingin
konsisten pada teks, saya kira semua bagan yang telaj dibangun tentang logika
harus diruntuhkan. Ketika harus dikontruksi kembali, maka kita hanya akan mampu
membangun sebuah bagan yang rapuh dan temporar sifatnya sebab niscaya harus
mengikuti teks. Konsekwensi berada dalam dilema mempertahankan logika dan
menerima teks suci secara sekaligus adalah harus mereduksi makna teks suci yang
senyatanya sangat universal menjadi partikular. Lahirnya sekularism Eropa punya
banyak kaitan dengan pemikiran Ibn Rusyd (Averroes) yang memilih jalan Ibn
Sina. ,lp
Syihabuddin
Suhrawardi datang dan menawarkan solusi dengan menyadarkan kita bahwa nalar
bukanlah instrumen tinggal dalam menemukan kebenaran. Suhrawardi juga
mengakomodir persoalan ini dengan memberikan definisi baru terhadap
istilah-istilah yang dikandung dalam logika sehingga wahyu maupun intuisi dapat
terasionalisasikan.
Suhrawardi
mempertanyakan posisi logika sebagai bagian dari filsafat. Logika adalah kajian
teknis.Menurutnya logika tidak patut digolongkan ke dalam bagian filsafat
karena filsafat itu mengurus tentang wujud, hal-hal yang relatif berada di luar
alam materi. Filsafat bukanlah grammer yang urusannya tentang kata-kata.
Filsafat mengurus konsep. Konsep itu adalah penyematan atas realitas. Adam
adalah satu-satunya makhluk yang paling unggul karena mampu menyematkan konsep
untuk mewakili realitas. Bila konsep tidak ada, maka ketika ingin
menginformasikan 'kursi' kita harus menghadirkan benda berkaki empat tempat punggung
disandarkan.
Konsep bukan
saja tentang hal yang dapat diinderai tapi juga tentang hal-hal yang tak
terinderai. Misalnya seseorang mengetuk meja. Bila yang diandalkan cuma indera,
kita hanya mampu mengetahui seseorang mengetuk meja. Tapi motif dia mengetuk
dan kesan yang diterima pengamat itu tidak terjawab. Padahal, yang lebih
penting adalah makna seseorang mengetuk meja. Oleh sebab itu kalangan
rasionalis menolak argumen kaum empiris. Kaum empiris hanya mau menerima apa
yang mampu diinderai saja. Sejatinya, sebuah makna itu tidak terkandung dalam
realitas empiris. Jadi kalangan rasionalisme mengatakan bahwa justru makna itu
berada rasionalitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar