Link Download

Minggu, 05 Juni 2011

Al-Ghazali: Menginjak Pada Tanah yang Sama, Bernafas pada Udara yang Sama

Kekasih Puteri Retno Gumilah mengemukakan cita-cita tertingginya kepadanya ingin menetap di puncak gunung Ledang. Puteri Majapahit itupun menyusul kekasihnya ke Tanah Malaka dan menantinya di puncak gunung itu karena ingin  "Menginjak pada tanah yang sama. Bernafas pada udara yang sama" dengan kekasih hatinya.

Dalam literatur tasawuf, gunung adalah simbol jerajat tertinggi makam sufi. Barman dalam kisah "Khotbah di Atas Bukit" karya Kuntowijoyo katika sampai di puncak gunung menyampaikan khutbahnya dengan mengajarkan murid-muridnya bahwa bunuh diri adalah jalan satu-satunya mencapai makam tertinggi. Bunuh diri dalam pemaknaan sufi adalah membunuh nafsu amarah yang ada dalam diri. Tokoh imajiner Plato, Socrates membuktikan kebenaran pada masyarakat bahwa bunuh diri adalah jalan satu-satunya memperoleh kearifan dan kebijaksanaan. Kita tahu bahwa bila nafsu amarah masih mengental dalam diri, cahaya ilmu dari Tuhan susah dicerap.

Abu Hamid Al-Ghazali menyerah dan mengaku melalui akal manusia tidak dapat mengetahui apapun tentang Tuhan. Sehingga dia memutuskan untuk meninggalkan segala jabatannya menuju pengasingan untuk mencari cara lain mengenal Tuhan. Yang dilakukan Al-Ghazali persis seperti yang dilakukan Putri Retno Gumilah dalam film "Misteri Gunung Ledang".  Puteri itu meninggalkan istana yang mewah menuju gunung Ledang untuk menanti kekasih hatinya.

Al-Ghazali meninggalkan jabatan terhormat sebagai rektor Universitas Nizamiyah menuju Syiria untuk menemukan kebenaran sejati. Puteri Gunung Ledang dan Al-Ghazali sadar bahwa kebenaran dan cinta sejati hanya akan ditemui bila segala urusan nafsu keduniaan telah dilepaskan.

Immanuel Kant kemudian menjalaskan apa yang dialami Al-Ghazali bahwa Tuhan memang tidak mampu ditemukan melalui akal murni.

Menurut Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, Al-Ghazali adalah aset terbaik yang pernah dimiliki dunia Islam. Dia menulis 400 karya segala macam bidang ilmu. Dia menulis tentang Etika, Tasawuf, Filsafat, Teologi dan tema-tema lainnya. Sebab itulah dia patut disebut sebagai seorang sufi, fuqaha, teolog dan filsuf.

Anehnya, para pemikir pasca Al-Ghazali menuduhnya memukul KO budaya pemikiran dalam Islam. Padahal yang dilakukan Al-Ghazali adalah mengkritik karya-karya filosof sebelumnya, suatu hal yang lumrah dilakukan seorang filsuf. Bahkan semakin mampu dia mengkritik karya pendahulunya, semakin layak dia disebut seorang filsuf. Dari sini kita dapat mengakui kedalaman pemahanan filsafat Al-Ghazali dibanding para filosof sebelumnya seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi. Bahkan kalau Al-Ghazali masih hidup ketika Ibnu Rusyd membantah kritiknya, maka akan sangat mudah bagi Al-Ghazali menyanggahnya kembali. Salah satu bukti dari indikasi ini adalah para pemikir pasca Al-Ghazali dan juga Ibnu Rusyd lebih memilih jalan tasawuf falsafi dalam ranah berfikir, bukan filsafat murni. Al-Ghazali memberi contoh cara mengkritik yang sangat beradab.

Suhrawardi, seorang pemikir tasawuf, merumuskan teori cahaya diinspirasikan pemikiran Al-Ghazali dalam "Myskat Anwar". Muhammad Iqbal dan Naquib Al-Attas pemikir muslim abad ke-20, juga mengagumi pemikiran Al-Ghazali. Di dunia Islam, hampir tidak ada pembelajar yang tidak mengenal Al-Ghazali.

Karena dunia syiah tidak terlalu terpengaruhi oleh pemikiran Al-Ghazali, maka nasib pemikiran di dunia syiah tidak separah di dunia sunni. Syiah masih mampu melahirkan banyak filosof pasca Al-Ghazali seperti Narshruddi Thusi dan Mulla Sadra. Namun pemikiran murni non falsafi dunia sunni baru mulai desegarkan oleh Iqbal awal abad ke-20. Sunni masih menunggu lahirnya banyak pemikir guna menggencarkan kembali dunia intelektual untuk menyeimbangi pemikiran syiah yang jauh di depan. Keseimbangan ini meniscayakan perkembangan yang terus menerus dalam dunia pemikiran Islam.

Ada tudingan lain pada Al-Ghazali saat dia mengasingkan diri di Syiria. Dia suka duduk menyendiri di menara masjid Damaskus. Sementara masyarakat komplain karena dia tidak ikut serta bersama masyarakat dalam perang salib. Namun kalangan cendikiawan setelahnya banyak membelanya dengan mengemukakan hadits yang menyatakan tinta ulama lebih mulia dari darah syuhada. Tapi tentunya tidak sembarang ulama. Namun hadits ini layak untuk karya Al-Ghazali yang monumental terutama "Ihya Ulumuddin" yang masih dan akan terus dibutuhkan kaum muslim. "Hanya yang rasinal saja yang masuk akal" kata Hegel dan berarti hampir semua karya Al-Ghazali rasional.

Para filosof muslim sebelum Al-Ghazali merumuskan teori tentang keabadian alam. Mereka mengemukakan alam ini sifatnya tidak memiliki awal. Al-Ghazali membantah bahwa alam ini memiliki permulaan, bila tidak, berarti Tuhan bukan Maha Awal. Pemikir setelah Al-Ghazali menengahi dengan mengemukakan bahwa yang telah ada sebelum alam ada hanyalah potensi akan keberadaan alam. Potensi itu ada bersama Tuhan yang Maha Awal. Sebab, menurut teori Logika, segala yang ada itu memiliki konsep 'ada' baik dianya sebelum maupun setelah keberadaannya.

Filosof sebelumnya mengemukakan bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang detail dari alam. Al-Ghazali membantah bahwa bila Allah tidak mengetahui hal-hal detail maka Allah bukanlah Maha Mengetahui. Filsuf sesudahnya mencoba membantah kritik Al-Ghazali dengan mengemukakan bahwa cara Tuhan melihat sesuatu tidak boleh disamakan dengan manusia. Misalnya warna yang dikenal manusia sebenarnya adalah kesan yang dilahirkan mata manusia. Namun Tuhan tidak melihat dengan instrumen mata sebagaimana milik manusia. Artinya Tuhan tidak melihat sesuatu sebagaimana manusia, jadi, menurut pembela, Tuhan hanya mengetahui hal-hal yang universal dari alam, tidak yang detail. Namun bila diteliti lebih jauh, meski Tuhan tidak melihat sebagaimana manusia, namun Dia tahu kesan yang akan diterima mata dan indera manusia lainnya. Mustahil Tuhan Maha Pencipta tidak memahami potensi indra manusia yang merupakan ciptaan-Nya. Misalnya dalam Al-Qur'an Allah mengatakan bahwa kayu yang mengeluarkan minyak bewarna hijau.

Para filosof mengemukakan pada hari kebangkitan yang dibangkitkan kelak hari kiamat bukanlah jasad manusia yang ada saat ini. Al-Ghazali membantah bahwa yang dibangkitkan itu adalah jasad yang disandang saat ini. Al-Ghazali beralasan dalam Al-Qur'an Allah mengatakan dialah yang membangkitkan jasad yang telah menjadi tanah dan dia kuasa mengumpulkan jari-jari manusia yang artinya tidak mungkin jari-jari ini akan bertukar karena setiap manusia memiliki sidik jari yang berbeda. Pengkritik Al-Ghazali mengatakan bahwa alam yang ada saat ini tidak sama dengan alam akhirat, jadi yang dibangkitkan kelak bukanlah materi jasad manusia yang berasal dari alam ini.

Bila merujuk pada teori "Hakikat Di Balik Materi" Harun Yahya, kita akan menemukan bahwa alam tempat kita ini hanyalah kesan yang ditimbulkan otak, segala materi yang kita lihat, dengar, kecup dan rasakan ini hanyalah kesan yang dimunculkan otak. Segalanya hanya ada pada persepsi yang ditimbulkan otak kita. Dan artinya alam ini tidak ada, sekedar kesan. Dengan cara ini pula nanti di hari kiamat kita memepersepsikan alam akhirat. Jadi bila teori ini diterima, maka perdebatan Al-Ghazali dengan para filosof tidak perlu diributkan.

Awalnya Al-Ghazali ragu untuk memilih jalan spritual sebagai jalan menemukan Tuhan. Putri Retno Gumilah juga awalnya ragu bahwa keputusannya menetap di puncak gunung. Akhirnya mereka sadar bahwa hanya dengan kesadaran suci yang oleh pemikir modern disebut intuisi, sang kekasih baru dapat ditemukan. Kant mengatakan kesadaran ini dengan akal murni.

Di pucak tertinggi mereka baru dapat merasakan kehadiran sang kekasih. Meski tiada dapat menyentuh rupa kekasih, namun mereka senantiasa tahu akan kehadiran dan selalu merasakan kehadiran kekasih. Mereka puas karena dapat bersama kekasih menginjak pada tanah yang sama, bernafas pada udara yang sama.

Mentra 58, 02/06/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar