Link Download

Selasa, 22 Maret 2011

Penyair dan Nabi Kita

Penyair adalah mereka yang paling peka terhadap realita persoalan kemanusiaan. Tidak hanya itu mereka juga peka pada kejadian alam. Realitas yang terganggu sedikit saja keseimbangannya akan memenuhi seluruh pikiran penyair, menyesakkan dadanya, berdebar hebat jantungnya: gelisahnya tiada terkira. Karena punya pena dan ada sehelai kertas, dia-dia menumpah-ruahkan seluruh isi pikiran, beban dalam hati. Dengan itu, terobati sesaknya, normal kembali detakan jantungnya.

Tapi bagaimana bila ada seorang manusia: punya jiwa yang terlalu peka terhadap realita, tapi tidak punya pena? Ditambah pula realita sekitarnnya itu adalah paling parah ketidakseimbangannya. Betapa malangnya dia. Tapi Tuhan punya rencana!

Rasa itulah yang dialami Nabi kita. Ketika dia diberi hati yang sici, pikiran yang jernih, maka dia menemukan masyarakatnya yang bejatnya luar biasa.

Kalau saja dia bisa menulis, dia akan mengikuti aktivitas kebanyakan manusia pada masanya: menggubah syair-syair, lalu memperdagangkannya. Tapi dia tidak bisa. Dia semakin tertekan.

Ini sangat membuatnya sesak, benar-benar mengganggu tidurnya. Pikirannya memuncak, tapi tak tersalurkan. Dia gelisah, sangat gelisah. Dia menyendiri untuk menyelamatkan jiwanya yang resah. Dia benar-benar-benar susah. Hingga Tuhan menyelamatkannya di gua hira melalui sesosok perantara.

Ternyata Yang Maha Kuasa benar-benar punya rencana. Dia tidak ingin Nabi kita menjadi penyair yang hanya mampu meratap melalui bait-baitnya. Tuhan kita ingin Nabi-Nya menjadi pelaksana utama dalam upaya menghapus segala tindak bejat masyarakat dan mengembalikannya pada sebuah pola yang serasi dan seimbang.

Sebagaimana terhadap Nabinya, Tuhan menginginkan kita semua bergerak menciptakan tatanan masyarakat yang serasi dan ideal. Sementara Al-Qur'an yang diturunkan-Nya melalui Nabi kita adalah petunjuk teknis pelaksanaannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar