Pendukung mazhab Globalisasi mengaku mampu memperjuangkan gaji buruh dan pagawai lebih tinggi. Ini saya kira tidak perlu. Bila perdagangan bebas beserta iklan penuh daya pikat tidak ada, maka budaya konsumsi tidak parah. Gaji sedikit akan mencukupi. Dengan itu negara bisa lebih banyak mengeluarkan alokasi pembangunan kesejahteraan publik.
Perjuangan penaikan gaji adalah semata untuk kepentingan organisasi mereka agar masyarakat mampu membeli produk-produk mereka yang sangat banyak dan mahal-mahal.Globalisasi seperti tanaman sawit. Dia menumbangkan ribuan pohon kebudayaan dan kearifan dari masing-masing wilayah yang unik-unik dan menyebabkan beragam "satwa" idealitas terancam dan akhirnya punah. Pada akhirnya yang dituai adalah "banjir bandang" degradasi moral dan hilangnya kesuburan "tanah" jati diri dan identitas.
Tiga tawaran manis globalisasi yaitu: turunnya biaya transportasi; rendahnya biaya kominikasi dan; mengaku mampu menekan pemerintah menurunkan pajak. Padahal ketiga hal ini hanya akan menguntungkan pihak mereka. Biaya transportasi yang murah adalah agar harga barang mereka lebih dapat dijangkau dan lebih mudah disalurkan. Biaya komunikasi yang rendah adalah agar mereka dapat lebih mudah membujuk konsumennya untuk lebih terpengaruh membeli dan agar pemesanan barang-barang mereka lebih cepat dan mudah. Dengan turunnya pajak, konsumen akan lebih tertarik memiliki barang-barang mereka. Padahal pajak, yang dikelola dengan baik, juga diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat.
Perusahaan, terutama perusahaan asing, menyuap pejabat berwewenang untuk menekan harga produk pertanian. Dan sistem "pembunuhan petani" ini hanya bisa diterapkan di negara demokrasi. Demokrasi juga memudahkan banyak pejabat mengkorupsi uang negara sehingga mereka dapat membeli produk-produk asing yang mahal. Sebab itulah negara-negara maju penghasil produk-produk mahal risih bila sistem negaranya otoriter sebab yang mampu nenjangkau produk-produk negara mereka yang mahal itu terbatas sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar