Kalau ada organisasi yang mengusung tema "kesempurnaan" maka itu patut diapresiasi. Ini artinya mereka mengerti "kesempurnaan adalah sesuatu yang mustahil dicapai bagi kapasitas kemanusiaan dan semua yang termasuk makhluk. Tema ini dapat terus memotifasi mereka untuk terus berusaha dan berjuang kerena tidak memiliki indikator pasti dan pencapaian konkrit yang dapat menjadi alasan organisasi ini harus bubar karena capaian telah sampai.Visi seperti ini sejalan pula dengan amanah yang diemban manusia selaku abdi Allah.
Allah SWT memerintahkan manusia untuk berjuang dan berusaha, sementara ganjaran bagi kita tidak dihitung berdasarkan pencapaian, melainkan dinilai dari proses dan usaha. Sejalan pula makna "filsafat" ditinjau dari segi asal katanya atau etimologi. Kata "filsafat" besasal dari gabungan dua kata dalam bahasa yunani: "pliho" dan "sophia". "Philo" bermakna "cinta" dan "sophia" berarti "kebijaksanaan". Jadi "filsafat" berarti "cinta kebijaksanan". Menurut saya, kata "cinta" yang dimaksudkan disini tidak identik dengan makna cinta yang sering digunakan sebagai hubungan kasih antara dua belah pihak. Tapi makna "cinta" dalam hal ini berarti sebuah hasrat, sebuah keinginan. Sebuah cita. Jadi "cinta kebijaksanaan" dalam makna "filsafat" berarti sebuah hasrat terus-menurus untuk menemukan kebijaksanaan.Makna ini sejalan dengan makna "kebijaksanaan" itu sendiri yang dianya tidak memiliki indikator maupun ciri-ciri yang pasti. Menjadi orang yang bijaksana adalah proses terus menerus yang tiada henti. Mencari kebijaksanaan itu sendiri juga sebuah upaya yang tiada kata berhenti. Jadi seorang filsuf adalah orang yang senantiasa menjacari kebijaksanaan tiada henti.Apapun daripada objek pengkajian disebut Ontologi.
Pada awal mula, objek utama kalian filsafat adalah alam semesta. Mengamati alam manusia melahirkan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dicari jawabannya dari alam juga. Bila manusia menemukan jawaban atas pertanyaannya, maka jawaban yang ditemukan itu malah melahirkan beberapa pertanyaan lagi.
Sering pertanyaan pertanyaan awal tak sempat dicari lagi jawabannya karena kesibukannya berfokus pada pencarian jawaban yang datang dari jawaban yang telah ditemukan.Lama manusia dibuat bingung oleh persoalan ini. Hingga ada yang mencoba merumuskan secara teratur pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban yang ditemukan. Dari itu pula lahir yang namanya Ilmu Logika.
Jawaban yang ditemukan itu dikodifikasi. Kodifikasi itu termasuk Ontologi. Kodigikasi itu diuji kembali keabsahannya. Jawaban-jawaban itu diuji melalui Epistimologi. Hasil dari kodifikasi yang telah diuji disebut ilmu. Ilmu itu adalah sesuatu yang tidak pernah sekaligus tidak boleh pasti. Setiap ilmu harus dapat diuji keabsahannya kapan saja dan meggunakan metodologi apapun atau disebut: bebas nilai. Karl Popper (2008) bahkan menekankan diuji saja tidak cukup, dianya haris dapat dibuktikan.
Lima belas abad sebelum Popper melahirkan gagasannya, Al-Qur'an telah menyadarkan manusia untuk menguji keabsahannya dengan berkonspirasi dan mengunakan berbagai strategi. Menyangkut ilmu itu bebas nilai, Al-Qur'an menganjuran kepada manusia untuk tidak salah ambil sikap bila menemukan pertentangan antara ilmu dengan Al-Qur'an. Al-Qur'an memerintahkan agar ilmu itu sendiri yang perlu diuji kembali. Makna adri perinta ini adalah tantanga n dari Al-Qur'an dan menyatakan dirinya sangat absah. Contohnya, pada awal mula Teori Evolusi ditemukan. Terdapat pertentangan antara Al-Qur'an dengan teori yang digagas oleh Charles Darwin ini. Namun setelah teori itu diuji kembali belakangan ini, terbukti teori Evolusi itu memang keliru. (Harun Yahya, 2001) Bila yang diuji itu Kitab Suci sebagaimana yang dilakukan Yunani beberapa generasi setelah Al-Masih, maka Kitab Suci itu akan menuai pertentangan yang sangat mencolok untuk setiap generasi karena penemuan dan pemikiran manusia itu sifanya terus berubah.
Sepanjang sejarah perkembangan pemikiran Islam, saya menemukan tiga aktor yang berhasil menggerakkan muslim untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan dinamika zaman. Yusuf Al-Kindi berhasil menyadarkan ummat akan pentingnya "naturalisasi" filsafat Yunani kedalam wilayah keilmuan Islam sehingga dengan itu keilmuan Islam memiliki Epistemologi yang tajam sehingga melahirkan konsep keilmuan yang tangguh.
Saat itu kaum muslim punya daya analisa yang tajam terhadap segala persoalan sehingga setiap problem yang dihadapi mudah saja didapat solusi. Namun seiring waktu, masyarakat menjadi terlalu larut dalam budaya berfikir filosofis sehingga lama-kelamaan jadi banyak diantara mereka yang setiap menuai persoalan, mereka mencari solusia dari konsep filosofis. Padahal awalnya, mereka menggunakan filsafat sebagai metodologi dalam mengkaji Al-Qur'an dan Sunnah untuk mencari jawaban atas setiap soalan kehidupan.Karenanya, waktu itu, masyarakat dilanda krisis identitas dan karakter. Mereka telah jauh dari jalan Islam yang murni. Pada masa genting itulah Hamid Al- Ghazali muncul dan mengajak kaum muslim masa itu untuk kembali pada Islam yang murni dan menghidupkan kembali pembelajaran agama Islam.Akibat dari pengaruh Al-Ghazali sangat terasa. Setelahnya, secara perlahan-lahan masyarakat meninggalkan semua kajian-kajian filosofis. Mereka semua mulai disibukkan denga proses penyucian diri dan menolak untuk meningkatkan progresifitas pemikiran. Sehingga, imperialisme dari luar negara Islam tidak dapat dibendung oleh kaum muslim kerena mereka tidak peduli dengan persoalan dunia dan sibuk mempersiapkan diri menghadapi mati.
Ketika Imperialisme sudah menguasai seluruh bagian bumi yang dihuni kaum muslim dan pengaruh cara pandang imperialis telah berhasil ditanamkan kedalam jiwa kaum muslim, seorang yang sadar akan kondisi kaum muslim dan mengetahui bahwa akar keterpurukannya adalah karena pemikirannya telah berhenti, oleh karena itu dia, Sir Muhammad Iqbal berusaha menghidupkan kembali pemikiran agama dalam Islam yang telah lama ditinggalkan sehingga membuat kaum muslim tidur lelap selama sepuluh abad.
Dari Al-Kindi hingga Al-Ghazali adalah masa-masa dimana kaum muslim berada dalam puncak kejayaan dan kegemilangan. Sebab dari kegemilangan ini adalah karena ketika itu kaum Muslim menyatu dengan Al-Qur'an dan Hadits. Selain itu, filsafat mereka dicurahkan untuk mengkaji ilmu-ilmu sesuai petunjuk Al-Qur'an dan Hadits.
Dari Al-Ghazali hingga Iqbal, meskipun masyarakat muslim trlalu peduli dengan alam akhirat dan selalu sibuk berzikir, mereka terpuruk dan bahkan dijajah lebih lima abad oleh kafir karena mereka melupakan sebagian kandungan Al-Qur'an dan Hadits serta mengabaikan amanah Allah untuk manusia yakni akal pikiran.
Pasca Iqbal, perkembangan pemikiran sudah mulai tumbuh di kalangan kaum Muslim. Saya perkerakan di masa depan perkembangan ini akan semakin pesat. Namun saya yakin perkembangan pemikiran ini tidak akan mampu mengulang kembali kejayaan dunia Islam. Karena, kaum muslim di masa depan hanya akan sibuk denga perkembangan dan pengembangan pemikiran sementara mereka jauh dari agamanya.
Perkembangan pemikiran dan ilmu yang jauh dari agama hanya akan membuat kaum muslim tidak jauh beda dari Barat masa kini. Seperti di Barat saat ini, perkembangan ilmu-ilmu sosial hanya akan membuat manusia berpedoman pada gaya hidup yang sesat lagi rapuh: komunisme, materrialisme, hedonisme, pragmatisme, kapitalisme dan banyak lagi, adalah bukti dimana sebenarnya produk-produk pemikiran manusia tidak boleh dijadikan sebagai pedoman hidup. Hal ini sama-saja seperti menyembah berhala yang juga merupakan karya manusia.
Teknologi Barat yang kelihatannya memudahkan kehidupan manusia nyatanya hanya menghancurkan segenap ekosistem dan mempercepat kematian dengan asupan bahan kimia melalui makanan dan radiasi.
Islam melihat segala objek kajian filsafat berbeda dengan cara pandang agama dan aliran filsafat manapun.
Tuhan, manusia dan alam, yang menjadi objek utama kajian filsafat, dilihat dari bagaimana Al-Qur'an dan Hadits memposisikannya. Lalu dari sanalah segala sesuatunya dimulai.
Mengenai Filsafat Ilmu, melalui Al-Qur'an, Allah memerintahkan pada kaum muslim untuk meneliti segala berita yang datang dari sumber yang diragukan. Bertaitan ini, kita wajib menguji segala teori ilmu. Kita tidak boleh serta merta percaya pada segala teori, apalagi menjadikannya sebaga pedoman dan pandangan hidup.
Manjadikan segala teori hasil ciptaan manusia sebagai pedoman hidup seperti pancasila, demokrasi, libralisme, sosialisme dan sebagainya adalah sama seperti menyembah berhala. Berhala dan teori-teori itu adalah sama-sama hasil produksi manusia, bedanya, kalau teori-teori itu adalah karya manusia melalui kreatifitas teori; berhala adalah kreatifitas melalui seni ukiran.Karena kedua hal itu adalah karya manusia, maka menyembah atau menjadikannya sebagai pedoman hidup, lebih hina dari menyembah manusia.
Dr. Muhsin Labib dari The Islamic College Jakarta mengatakan, filsafat adalah upaya mencari kebenaran secara murni dan transparan. Oleh karena itu, dia menyepakati tidak ada yang namanya filsafat Islam. Sebab, tidak ada seorang filsuf muslim-pun yang berangkat dari ontologi murni. Semua mereka berangkat dari keyakinan atas objek-objek kajian filsafat berdasarkan informasi teks (Al-Qur'an dan Hadits).
Pada sisi yang lain, jalan yang ditempuh filsuf muslim dapat diterima bila digolongkan dalam Filsafat Ilmu. Sebab, bila mau merujuk pada makna asli filsafat, maka Aristoteles sendiri boleh jadi seorang Nabi yang diberi wahyu dan dia berangkat dari informasi Tuhan. Dan itu, bukan kajian murni.
Bahkan, para filosof modern selalu berangkat dari analisa mereka atas teks-teks yang ditinggalkan para pendahuli mereka. Dalam hal ini, Albert Einstein lebih layak disebut filsuf sebab dia menemukan teori-teorinya berdasarkan analisa murni.
Tapi saya kira pendapat Dr. Labib tidak sepenuhnya benar, sebab, Ontologi, yang menjadi basis analisa filsafat tidak mengklaim objeknya harus murni diluar teks.
Dr. Umar Shahab, mengatakan, setidaknya ada dua basis Ontologi yakni Matefisika dan Teologi. Teologi merupakan teori ketuhanan yang telah dikodifikasi kedalam teks.
Jadi saya kira, objek kajian para filsuf tidak serta-merta dari realitas. Namun, saya kira, yang paling penting dalam filsafat adalah kebaruan teori yang dihasilkan. Terlepas darimana dan bagaimana-pun basis ontoligisnya.
Belakangan timbul gagasan dari kalangan tertentu untuk membatasi pengistilahan gagasan filosofis yang dihasilkan oleh para filosof. Gagasan ini muncul karena mereka "gerah" melihat para filosof yang selalu menggunakan istilah sangat private dan sangat subjektif. Gagasan ini mereka beri nama Filsafat Analitik.
Saya kira para penggagas Filsafat Analitik benar-benar bukan filsuf; meskipun boleh jadi mereka ahli Filsafat. Pembatasan pengistilahan-pengistilahan subjektif hanya akan menghambat lahirnya pemikiran-pemikiran cemerlang. Jadi, saya kira ini tidak diperlukan. Saya kira tugas pengenalan istilah yang subjektif dari filsuf agar dipahami awan berikan saja pada para ahli Filsafat Analitik.
Kalau saja basis Ontilogi Filsafat hanya dibatasi pada ruang realitas, maka filsafat diharamkan dalam Islam. Sebab, Al-Qur'an dan Hadits yang menjadi pedoman utama kaum muslim diabaikan. Bukankah segala aktivitas Muslim, termasuk berfikir, harus berlandaskan dua teks itu.
Kata Machael Hart (2004), keberhasilan seorang filosof itu bukan karena kebenaran argumentasinya. Tapi sejauh mana gagasan itu mampu mempengaruhi orang.
Perbedaan substansial antara filsafat Islam dengan filsafat Barat adalah: filsafat Barat menolak Matafisika sebagai basis ontologisnya. Sebab, Barat menganut aliran pemikiran Materialisme. Segala hal dalam Filsafat Barat harus dapat dikaji dan diamati oleh indra.
"Tuhan" dalam kacamata "filsafat murni" harus yang benar-benar berasal dari akal murni. Karena Tuhan dalam Kitab Suci tidak dapat ditinjau melalui pengamatan indra, maka Teologi juga tidak sesuai bagi Ontologi filsafat murni.
Epistemologi Islam haruslah berangkat dari penggunaaan Ontologi dari tema-tema yang dikandung Al-Qur'an dan Hadits. Pengkajian atas Tuhan, manusia, alam dan tema-tema lain harus berangkat dari bagaimana kedua teks Islam tadi mengkesankannya.
Yang memberikan perbedaan radikal antara Filsafat dan Filsafat Ilmu Islam dengan Filsafat Barat dan Filsafat Ilmu Barat adalah pada basis ontologisnya.
Filsafat Barat berangkat dari keraguan sementara Filsafat Islam berangkat dari keyakinan.
Pertanyaan Muhammad Ridha, Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) sangat layak dipertimbangkan:
Kita beriman makanya kita bertanya. Atau kita bertanya makanya kita beriman?
Daftar Pustaka:
Hart, Michael, Seratus Tokoh Paling Berpengaruh, Bandung: Mizan, 2004
Popper, Karl R, Logika Penemuan Ilmiah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
Yahya, Harun, Keruntuhan Teori Evolusi, Bandung: Dzikra, 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar