Seorang ibu rumah tangga di dapur memasak kacang polong. Di atas penggorengan kacang-kacang melompat-lompat girang, berkata: “Cepatlah, ramu aku sesuai cita rasa selaramu. Lalu sisipkan aku ke dalam tenggerokanmu. Aku akan menjadi bagian dari daging dan darahmu. Zikirku akan menjadi zikirmu, zikirmu adalah zikirku. Ketika kelak dibangkitkan, bersama kita akan bertemu yang dirindui oleh aku dan kamu.”
Seekor kelinci telah dibaringkan oleh seorang anak perempuan. Perempuan itu ragu dan menatap wajah sang kelinci. Matanya berbinar, basah dan bening. Melalui mata itu sang gadis membaca sebuah pesan. “Mantapkan hatimu. Kehidupanku dimulai saat mata pisau masuk ke dalam bulu-bulu di leherku. Bersegeralah. Kenyangkan mereka yang lapar dengan potongan dagingku. Hanya dengan mereka aku akan bisa shalat. Hanya dengan menjadi bagian dari darah dan daging mereka aku bisa ikut berjuang melanjutkan perjuangan junjungan alam, nabi Besar. Mohon hargailah kerja-kerjaku seumur hidup memakan rumpu-rumputan dan sayur-saturan yang dipersembahkan tanah. Hanya dengan menjadi bagian dari mereka yang kelaparan aku akan bisa ikut berbangkit dan menyapa Kekasih Abadiku. Kumohon, bila tidak tanah akan mencengkramku dan hilang tak berharya aku besamanya.” Maka perempuan itu hilanglah keraguannya.
Seorang pemuda menyembelih seekor anak sapi. Setelah beberapa jam kemudian daging dan tulang anak sapi itu pun disajikan dalam sebuah jamuan makan. Setelah jamuan usai, pemuda mendekati induk sapi, ia membisikkan sesuatu: “Bagaimana perasaanmu setelah anakmu dicerna perut-perut kami?” Melalui mata dan wajahnya, induk sapi menitipkan pesan: “Kau telah meranpas cinta sementara menuju cinta sejati. Dia anakku, aku mencintainya. Namun hanya dengan menjadi bagian dari tubuh kalian, buah hati cahaya mataku akan menemui kekasih abadi sepanjang masa. Kelak, titipkan salamku pada kekasih kita, yang kita rindui sepanjang waktu, yang kita dambakan siang dan malam.”
Bagi sapi, kelinci dan kacang polong, kehidupan bermula saat maut menjemput. Hakikatnya ditemukan dengan menjadi bagiandari yang lebih tinggi darinya. Demikian pula kita manusia, kehidupan yang sebenarnya dimulai setelah dngan gagah berani menyerahkan diri bagi yang Lebih Tinggi daripada kita.
Mentra 58, 17 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar