Link Download

Jumat, 14 Januari 2011

Hidup adalah Bermain Rasa

“Aku harus menulismu agar aku tidak lagi mengingat kamu.”
“Kenapa?”
‘Tapi sayang, aku tidak bisa menulis dirimu. Kenapa?”
Mengangkatkan ia akan kedua bahunya sambil menurunkan kedua sisi bibirnya dan menengadah kedua telapak tangannya hingga perut.
“Aku harus menulismu. Aku harus melupakan kamu”
“Kenapa begitu?”
“Itu yang selalu kulakukan bila timbul sedikit saja rasa dalam perjuangan ini.
Pulang dari Medan Juang, begitu saja aku melupakan dia.
Jadi perjuanganku suci tanpa bermain rasa.
Tidak ada, dan tidak boleh ada rasa sedikitpun.
Perjuangan ini harus suci.
Tapi kamu, kamu tak bisa menghadirkan inspirasiku:
meskipun ada rasa.
Aku takut aku takkan bisa melupakanmu.
Aku takut harus bermain rasa.
Aku tidak mau.
“Baguslah kalau begitu.
Jadi, kamu akan selalu mengingat aku.
Kenapa kawan sendiri ingin dilupakan begitu saja!”
Aku membatin:
Kawan?
Tidak!
Tidak boleh ada kawan perempuan, apa lagi aku memiliki rasa.
Ini berbahaya; akan selalu bermain rasa.
Ini akan sangat menyakitkan.  
Kalau tidak segera ditulis rasa akan membesar.
Rasa-rasa yang dulu-dulu telah kubunuh semua, telah kubunuh dengan penaku.
Tintaku sangat ampuh membubunuh rasa.
Kalau rasa-rasa lalu-lalu coba-coba tumbuh lagi:
kubunuh lagi; hingga bersih dari rasa.
Alangkah indahnya perjuangan ini tanpa rasa.
Tapi rasa ini, rasa padamu, tak melahirkan inspirasi.
Tak ada inspirasi artinya tak ada menulis.
Tak menulis artinya rasa akan semakin membesar.
Aku tidak mau, aku tidak ingin.
Aku tidak boleh bermain rasa.
Awalnya kuduga rasa melahirkan inspirasi.
Kehadiranmu membantah teori ini.
Setiap di medan juang selalu ada rasa.
Selalu kubunuh dengan pena.
Perjuangan adalah bermain rasa.

Aku memutuskan berwudhu’.
Aku telah pulang dari Medan Juang.
Selesai membaca doa wudhu’, seorang gadis yang bukan pasukan perjuangan melintas di hadapanku.
Dia tinggi, langsing, manis, kemayu.
Melamparkan sebiji senyum ke mataku, hatiku bergetar.
Ada rasa.
Aku mengira rasa-rasa hanya bisa ada dalam Medan Juang.
Tapi ini kehidupan biasa.
Ternyata juga ada rasa.
Aku mengira bermain rasa hanya ada pada Medan juang.
Tapi ini kehidupan biasa.
Ternyata di kehidupan biasa juga ada rasa.
Hidup memang bermain rasa.

Mentra 58, 08 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar