Beberapa para peneliti Islam sampai menuding Al-Ghazali adalah orang yang keras hati dan tega hanya duduk merenung dan menulis, tidak mau ikut berperang membela ummat Islam saat perang salib sedang berkecambuk hebat. Secara lahiriah tampak memang tudingan ini benar, tetapi bila menelisik kedalam batin menggunakan kacamata intuisi, maka situasinya berbanding terbalik. Ternyata beliau sangat didesak oleh sesuatu dari dalam dirinya untuk berpartisipasi aktif dalam perang, tetapi karena iman dan keteguhan hatinya, maka dia sanggup juga menahan keinginan berangkat berperang. Dia sangat menderita melihat perjuangan ummat Islam yang terlibat dan menjadi koban perang, tetapi dia punya pandangan berbeda. Dia harus teguh dengan amanah Allah untuk menyelamatkan Islam melalui keilmuan. Bila dia tidak menyelesaikan amanah Allah maka dikhawatirkan bala yang lebih besar dan berkepanjangan akan menimpa ummat Islam. Pemikiran filsafat dan mantiq lambat laun akan membuat ummat Islam sesat dan hati mereka akan kering sekiranya dia tidak menyadarkan Ummat akan beberapa bahaya Aristotelian. Alhamdulillah dia berhasil sehingga ummat masih dapat mempelajari filsafat dan mantiq tanpa melupakan ajaran agama.
Apa yang sanggup dilakukan Al-Ghazali tidak dapat dilakukan umumnya kaum Muslim. Umumnya kaum Muslim gagal mengendalikan diri (nafsu)nya. Kalau menyayangi orang maka porsi sayangnya tidak sanggup dikendalikan. Demikian juga kalau membenci maka juga tidak dapat mengatur komposisi. Kedua hal ini adalah sumber mala petaka. Menyayangi seseorang secara berlebihan, bagi saya, susah dibedakan dengan menyembah berhala. Sayang yang dimiliki adalah dari Allah secara mutlak, ketika sayang itu diterapkan kepada seseorang secara buta maka itu mirip dengan mensekutukan Dia. Ini artinya mereduksi Zat Mutlak, melilitasi yang Unlimited.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar