"Man arafa nafsahu faqad arafa
Rabbahu".
Umumnya, kita
memahami hadits ini: siapa yang mengenal dirinya, dia akan mengenal Tuhannya.
Namun, penafsiran secara ontologis, setidaknya sebagaimana Dr. Muhsin Labib
menjelaskan, maknanya harus dibalik; setidaknya, supaya tidak bertentangan
dengan prinsip logika. Maka yang benar adalah: siapa yang telah mengenal
dirinya, maka tentunya terlebih dahulu dia telah mengenal Tuhannya. Artinya,
siapa yang telah mengenal Tuhannya, maka baru dia dapat mengenal dirinya.
Analoginya adalah: bila ada asap, maka tentu telah ada api. Api adalah penyebab
dari asap, bukan sebaliknya. Demikian juga Tuhan adalah penyebab manusia, bukan
manusia adalah penyebab Tuhan.
Prinsip logika
demikian tentu ditolak oleh mayoritas folosof Barat karena mereka meganut
prinsip manusia sebagai sentral, bukan Tuhan. Bahkan sebagian mereka mengangap
Tuhan hanyalah ciptaan benak manusia. Padahal, bila dilihat secara objktif,
keyakinan Barat itu keliru sama sekali karena Tuhan sebagai representasi dari
genus dan manusia sebagai bagian dari sejumlah spesies tentunya tidak dapat
dijadikan sebagai sentral. Mustahil speses menjadi sebab bagi genus: yang benar
adalah sebaliknya.
Dalam prinsip
filsafat Barat hal apa saja yang telah dapat dikenali adalah bukan Tuhan.
Prinsip ini benar karena memang hal apa saja yang telah dapat dibatasi atau
ditemukan perbedaannya dengan hal lain berarti adalah berbatas dan memang Tuhan
itu tidak terbatas. Namun, mereka keliru dengan mengatakan hal-hal yang telah
menjadi differensia itu lepas sama sekali dari genus. Ini keliru secara logika.
Dalam prinsip
filsafat Islam, segala maujud tidak lepas dari wujud. Setiap maujud tentu
mengandung wujud. Dan ini benar secara logis setiap spesiesa, tidak boleh lepas
dari genus. Dalam kacamata ontologisnya, pengetahuan itu bukanlah suatu
konfirmasi antara yang mengetahui dengan yang diketahui. Pengetahuan adalah
perubahan menjadi meluas bagi yang mengetahui. Meluas bukan bermakna secara
bentuk tetapi secara batiniah (dzihn). Pengetahuan diambil dari 'wujida' yang
berarti 'ditemukan'. Maka, pengetahuan itu bukanlah tiada sebelumnya tetapi
telah ada.
Kekeliruan
epistemologi Barat karena mereka menganggap 'berfikir' terlebih dahulu barulah
muncul 'ada'. Prinsip ini tentu saja menimbulkan makna keliru yakni 'ada'
adalah akibat dari 'aku yang berfikir'. Dari sini muncul prinsip 'aku'
(manusia) sebagai sental, sebagai penyebab utama. Padahal secara sederhana saja
prinsip ini keliru karena mana mungkin ada 'aku' bila 'ada' tidak ada terlebih
dahulu.
Bisa saja kita
berdalih makna prinsip Descartes ini adalah: aku yang berfikir, tentunnya aku
telah mengada terlebih dahulu. Namun prinsip ini bukan persoalan semantik, ini
adalah persoalan epistemologis, bahkan metafisik. Dari penjelasan Descartes
sendiri maupun kaum rasionalis kita dapat menemukan buktinya: bahwa yang
dimaksudkan memang hal keliru itu yakni: aku berfikir yang memunculkan ada.
Karena menjadikan
manusia yang dianya adalah differensia sebagai sentral maka struktur logikanya
harus berkutat terus menerus pada sesama differensia lagi. Konsekwensi
ontologis dari epistemologi semacam ini akan melahirkan konsep berjalan di
tempat. Misalnya konsep waktu Nietzsche yang spiral.
Dari sini jelas
kita menemukan perbedaan epistemologis dan perbedaan paradigma antara Islam
dengan Barat. Awalnya kita mengira logika pemaknaan atas hadits di atas adalah
pemutarbalikan logika murni, tetapi telah terbukti itu justru pengembalian
kepada sistem logika murni.
Filsafat Islam
menekankan pembedaan antara emosi dengan pengetahuan. Emosi itu sifatnya
beubah. Emosi berasal dari kata 'motion'. Oleh karenanya, emosi tidak dapat
djadikan sebagai rujukan pengetahuan, apalagi sebagai referensi untuk
bertindak. Pengetahuan sifatnya tetap karena memang mengetahui itu bukan
perubahan tetapi penemuan. Maka, filsafat Islam tentu tidak mengabaikan bahwa
tempat berangkat kita memang harus dari diri manusia dahulu, dari dfferensia
ini. Makanya setiap kajian filsafat tentu dimulai dengan epistemologi.
Meski tidak
menjadikan manusia sebagai sentral, namun epistemologi Islam, atau epistemologi
manapun harus beranjak dari epistemologi. Dan, perlu dicatat bahwa epistemologi
itu bukan murni filsafat. Epistemologi adalah instrumen untuk mengobjektifkan
hal-hal subjektif di ranah metafisik.
Modal melakukan
kajian epistemoligis adalah rasio dan empirik. Keduanya harus saling
mengoreksi, melengkapi dan mengkonfirmasi. Keduanya punya masing-masing
kelebihan dan kekurangan. Penelitian ilmiah mustahil dilakukan tanpa
mengandalkan kedua instrumen ini secara seimbang. Penelitian memang adalah sebuah
"pengguaan rasionalitas yang ketat serta fakta empiris yang jelas"
sebagaimana diungkapkan Dr. Akhyar Lubis.
Lebih jauh, Dr.
Lubis mengatakan, Comte adalah orang pertama yang menerapkan aturan ketat untuk
riset ilmiah. Kita perlu menentukan memlih sebuah tema atau tentang tokoh.
Metodenya juga harus jelas: kualitatif atau kuantitatif. Untuk memutuskan
menggunakan metode yang mana, harus dibaca dan dipahami dahulu hal yang ingin
diteliti, barulah digunakan metode yang sesuai.
Sejak Comte,
epistemologi filsafat melepaskan diri dari filsafat dan menjadi instrumen untuk
masing-masing bidang tertentu, sosial, sains dan sebagainya. Aliran positivisme
menjadi semakin diminati. Ilmu yang bertugas mengkaji esensi setiap disiplin
disebut fisafat ilmu. Misalnya fisafat sosial, filsafat ekonomi dan sebagainya.
Dr. Lubis
memperkenalkan empat metode yakni dedukti, induktif, dialektika dan abduktif.
Dari Dr. Haidar Bagir, kami mengenal metode pragmatis, yakni sebuah teori yang
dipercaya sebagai benar bila dianya berguna. Dediktif adalah pernyatan sesuatu
dari yang umum: "semua angsa putih". Pernyataan deduktif itu perlu
dikonfirmasi dengan mengumpulkan sejumlah angsa dan bila sejumlah angsa yang
dikumpulkan itu semuanya putih, maka pernyaaan umum tadi dianggap sah, dan bila
ada satu saja angsa bukan bewarna putih, maka pernyataan tadi tertolak.
Sebaliknya sistem
induksi mengumpulkan satu persatu angsa dan bila semua angsa terkumpul putih,
maka barulah disusun pernyataan "semua angsa putih" dan bila
seseorang memperlihatkan angsa hitam, maka pernyataan itu salah.
Sistem dialektika
tidak hitam putih, dianya adalah perbandingan antara dua buah pernyataan, lalu
ditarik sebuah pernyataan baru. Pernyataan pertama disebut thesis, kedua adalah
antithesis dan pernyataan ketiganya sintesis.
Perbedaan
signifikan kita dengan Barat adalah mengenai paradima. Paradigma Barat adalah
differensia yang terjebak, disorientasi. Karena itu, Islam perlu menganut
prinsip paradigma pengetahuannya sendirian bukan merujuk pada Barat.
Sementara metode
abduktif adalah menguji coba sesuatu dan menolaknya setelah ditemukan
kekeliruan antara pernyataan dengan ujicoba.
Dalam melakukan
proses penelitan, peneliti dituntut seobjektif mungkin. Tetapi karena mereka
adalah manusia, inspirarasi, rasa dan orientasi tentunya tidak bisa mereka
lepaskan. Ketiga hal tersebut tidak penting secara objektif. Seperti yang
diterangkan Dr. Bagir, dengan bersama Abdul Salam dengan Hesseinber menemkan
sebuah teori fisika dan meraih nobel. Silahkan saja Salam mengaku diinspirasi
oleh Al-Qur'an sementara Hesseinberg sendiri adalah athes, yang penting teori
mereka dapat dibuktikan secara objektif.
Dalam kritik
ketiga Kant (Critique of Practical Reason) dijelaskan bahwa sekalipun rasio dan
empiris itu adalah instrumen untuk diobjektifkan, namun citarasa dalam setiap
tindak rasio dan indera tetap ada. Dalam karya-karya sufi, kita meemukan
citarasa yang kental sekalipun pembahasannya rasional.
Setiap manusia
punya ekspektasi dalam setiap karyanya. Lihatlah Einstein yang mencoba membuktikan
kepada manusia tentang kebesaran Tuhan melalui teorinya. Lagi-lagi karena sains
itu adalah alat dan alat bergantung pada penggunanya, maka Einstein terpaksa
kecewa karena ternyata karyanya malah dipakai untuk membantai manusia.
Semua metode yang
disebutkan di atas mungkin saja benar dan diterima semua kalangan secara
epistemologis. Namun secara paradigmatik, dianya bisa jadi ditolak oleh
filsafat Islam. Semua ilmu pasti punya orientasi. Orientasi adalah mengenai
persoalan nilai. Orang Barat biasanya mengorientasikan penemuan-penemuan ilmiah
untuk kepentingan kapitalismenya. Orang muslim, senantiasa mengorientasikan
penemuan-peemuan untuk kesejaheraan manusia dan segenap alam.
Adalah Mulla
Shadra yang memperkenalkan pengembalian logika secara tepat dan peran ini
adalah salah satu dari sekian kontribusinya dalam dunia filsafat. Dr. Abdulaziz
Abbaci menerangkan, Shadra merubah "al-insanun maujudun' (human being is
exist) menjadi ''al-maujudun insanun" (being is human being).
Penjelasannya tentu dapat dirujuk pada beberapa paragraf-paragraf sebelumya.
Dengan memperjelas
antara genus dan spesies, Shadra memperjelas antara wujud dengan maujud.
Kontribusi logika ini berimplikasi pada persoalan ontologis. Melalui penerangan
ini, kita dapat masuk dan mengeksplorasi cara pandang teologis muridnya Mir
Damad ini. Mungkin salah satu faktor yang meyebabkan filsuf muslim, utamanya
aliran irfan, dapat menjangkau Realitas Puncak karena mereka menerapkan sistem
logika yang tepat sebagaimana dijelaskan di atas.
Shadra adalah top
leader dalam aliran filsafat Islam karena dia mampu mensintesiskan antara
filsafat gnosis Ibn Arabi dengan peripatetik Ibn Sina. Dia juga dapat
meluruskan kritik kaum teolog atas peripatetik dan kritik para penganut
kemendasaran esensi. Bahkan sejauh yang saya ketahui belum ada pegkritik Mulla
Shadra. Malah, penemuan-penemuan saintifk modern semakin meneguhkan
eksistensinya.
Dalam kajian inti
filsafat Islam yakni megenai mana yang mendasar antara wujud dan mahiyah,
Shadra awalnya mendukung mahiyah sebagai yang lebih mendasar sebagaimana
prinsip yang dianut gurunya, Mir Damad dan Syhabuddin Suhrawardi. Namun setelah
melalui penyucian diri, dia mengaku mendapatkan ilham dari Allah dan mengganti
prinsipnya dengan mengakui wujud lebih mendasar (ashal) dan mahiyah hanya
sebagai proyeksi mental (i'tibari).
Sebagaimana sering
kita ulang, bila melihat sesuatu, kita terlebih dahulu memunculkan pertanyaan
"apa itu". Sesuatu yang kita lihat itu lalu kita bentuk konsepnya di
dalam pikiran kita. Maka disebutlah ada dua eksistensi yakni yang di realitas
eksternal dan yang di dalam konsep. Pembentukan konsep ini disebut quiditas.
Maka dalam pandangan penganut mazhab kemendasaran eksistensi (ashalatul wujud),
keapaan sesuatu itu tidak mendasar, yang lebih mendasar adalah ke'ada'annya.
Penganut mazhab kemendasaran esensi (ashalatul mahiyah) mengkritik penganut
kemendasaran eksistensi. Kata mereka, tidak ada dualitas eksistensi (eksternal
dan konsep). Sebenarnya memang tidak ada dualitas di alam eksternal, tetapi
karena yang kita adalkan adalah intelek, maka dia bekerja memberi bentuk dan
memilah-milah tiap sesuatu dengan menemukan konfimasinya di ruang eksternal
supaya dia dapat menyimpan semua kosep dengan baik sesuai karakeristiknya.
Al-Farabi, dalam
kutipan oleh Tosihiko Isutzu dalam 'Strutur Metafisika Sabzawari' (Bandung:
Pustaka, 2003, h.29-30), mengatakan proposisi "manusia ada" tidak
mempunyai predikat dalam cara pandang eksternal semata namun dalam pandangan
logika proposisi itu mempunyai predikat. Dalam istilah pengikut setia Mulla
Shadra, Haji Sabzawari, 'zawj takbiri': setiap hal yang dtemukan pada realitas
eksernal disebut 'mawjud', pada mawjud terkandung dua unsua sekaligus yakni
'quiditas' dan 'wujud'. Quiditas adalah pembeda antara satu hal dengan hal lain
sementara wujud adalah hal fundamental yang dikandung setiap mawjud.
Dalam dunia Islam,
Al-Farabi adalah orang pertama yang yang memperkenalkan perbedaan antara
quiditas dengan eksistensi. Gagasan ini awalnya telah dimulai Aristoteles dalam
mengkritik idealisme Plato. Namun Arstoteles belum menarik dikotomi antara
quiditas dan eksistensi. Adalah Al-Farabi pemikir pertama yang memberi
penjelasan tentang dikotomi ini. Selanjutnya, Ibn Sina memberi perhatian lebih
tentang perbedaan antara quiditas dan eksistensi.
Setelahnya, Ibn
Sina banyak dikritik karena sulitnya para pemikir memahami thesisnya. Para
pemikir muslim dibagi menjadi dua kelompok yakni yang mendukung wujud sebagai
ashil (lebih utama) sementara mahiyah sebagai I'tibar dan yang mendukung
mahiyah sebagai ashil sementara wujud hanya I'tibar. Sebenarnya ada juga yang
mendukug keutamaan keduanya yakni Syaikh Ahmad Ahsa'i. Namun gagasannya kurang
populer dan tidak terlalu dipertimbangkan.
Memang terlalu
mudah bagi kita untuk mangakui bahwa sesuatu yang kita kenal di alam realitas
adalah pemberi makna pada pikiran bahkan pembentuk pikiran. Namun bila kita mau
merenung secara mendalam, saya kira kita akan menemukan bahwa ternyata justru
realitas eksternal adalah bentukan mental bawah sadar kita meski sering tidak
kita sadari. Saya kira orang sufi baru meyakini pernyataan saya ini setelah
mereka dikaruniai pandangan tentang hakikat segala sesuatu.
Dalam pandangan
ini, semua realitas akan tampak sama semata semuanya. Pembedaan antara satu hal
dengan hal lain barulah terjadi ketika menggunakan pandangan melalui intelek.
Ketika intelek diandalkan, maka dia akan mengkonfirmasi konsep murni di dalam
diri dengan realitas eksternal. Dalam perngkonfirmasian ini, maka
dikonstruksikanlah sesuatu hal ke dalam pemahaman intelektual. Ketika sesuatu
telah dipahami, barulah dia dapat dibedakan dengan sesuatu hal hain yang telah
dipahami juga. Di sinlah muncul pemahaman atas realitas eksternal.
Maka muncul
pertanyaan inti filsafat Islam: pada suatu hal di realitas eksternal, manakah
yang lebih ashal, ke-ada-annyakah, atau ke'sesuatu'annyakah?
Maka kutipan
singkat Isutzu (ibid, 59-60) atas pernyataan Mulla Shadra telah cukup bagi kita
untuk mendapat penjasan bahwa merujuk pada peryataan saya di atas akan tampak
bahwa pada realitas eksternal sebenarnya yang asasi itu adalah eksistensi
sementara quiditas hanyalah semacam cermin yang membentuk mawjud.
Tidak ada cara
mangungapkan Realitas Eksistensi yang penampakannya melampui intelek. Makanya
kaum sufi lebih memiih pendeatan metaforirik. "When in love no body is
smart" kata Mario Teguh. Makanya para fiosof postmodern meninggalkan
epistemologi (Barat Klasik dan Modern) untuk menjangkau Realitas Eksistensi.
Saya (Leonardo Avicenna) bertanya pada Mario (dengan bahasa yang sudah saya
modifikasi di sini: bila rasio tidak berlaku, apa yang kita jadika pegangan
saat berada dalam cinta". Mario menjawab adalah kualitas diri. Katanya
juga, kita harus membiasakan mensuggestikan cinta melalui perkataan dan perbuatan,
saran Mario. (lihat: Youtobe_Mario_Teguh_when_in_love_no_body_is_smart part 5).
Saran Mario
identik dengan ajaran Islam yang mengajarkan zikir dan ibadah (syariat) sebagai
satu-satunya jalan menjangkau Realitas Eksistensi. Dalam pandangan Realitas Eksistensi,
semua mawjud hanyalah (sebagaimana analogi Prof. Carlo yang dipaparkan Isutzu,
ibid, h. 89) Seperti potongan-potongan balok es: semuanya air, pembedaan antara
satu balok dengan balok lain hanya tangkapan intelek. Pembedaan itu cuma
sebatas I'tibar dan realitas itulah yang ashal .
Capaian para
flosof postmodern menurut saya diragukan karena mereka tidak dapat membuktikan
teorinya menurut sistem logika. Sekalipun pemikiran para filosof pahlawi diakui
pencapaianya melalui intuisi namun mereka mampu mensampaikan pembuktiannya
melalui sistem epistemologis. Sebagaimana saya kemukakan di awal tulisan ini,
Mulla Shadra terlebih dahulu meluruskan sistem logika supaya capaian
metafisikanya dapat dibuktikan. Koreksi Shadra atas logika tentunya untuk
meluruskan bagan logika itu sendiri, bukan sebagai alasan mencari perangkat
pembenaran teori metafisikanya.
Analogi gradasi
adalah sesuai dengan logika murni. Setiap eksistensi umum tentunya dikadung
oleh eksistensi partikular. Matahari bercahaya, lampu bercahaya: keduanya
bercahaya; yang mebedaknnya adalah tingkatannya. Analogi gradasi ini tampaknya
diambil Mulla Shadra dari Ibn Arabi atau Suhrawardi. Tetapi tanpa kedua orag
terakhir inipun, sistem rasio akan membentuk analogi semacam itu. Makanya Mulla
Shadra meluruskan proposisi "manusia ada" menjadi "ada
manusia". 'Munusia' itu differensia dan 'ada' adalah genus; mustahil
differensis mendahului genus. Genus adalah penyebab dan spesies adalah akibat,
tentunya sebablah yang mendahului akibat. Makanya Karl Popper menolak sistem
induksi. Katanya yang absah hanya sistem deduksi.
Menurut Mulla
Shadra dan pengikut setianya, Haji Sabzawari, tingkatan wujud itu dibagi
menjadi wujud bersyarat negatif (bi syarrtil la), wujud tak bersyarat (la bi
syart) dan wujud bersyarat karena sesuau (la bi syart). Semua tinkatan ini
sesuai dengan baga sistem logika murni: kausalitas: genus, spesies, dfferensia.
Untuk mengobjektifkan pengalaman yang murni sujektif ini memang diperlukan
instrumen dan instrumenya adalah rasio. Namun untuk mejangkaunya, rasio tidak
mampu. Menurutkan, yang mampu adalah etika. Dalam Islam, etika yang dimaksud
adalah: semua amal syariat yang sunat dan wajib serta amar makruf nahi mugkar.
"Orang yang sefaham dengan Anda tidak memerlukan penjelasan Anda, sementara orang yang berseberangan tak akan percaya pada penjelasan Anda." (Komaruddin Hidayat)
Tampaknya memang itipan diatas berlaku secara horizontal (manusia-manusia) tapi tidak vertikal (manusia-Allah). Buktinya, masih banyak manusia yang belajar filsafat. Kalau manusia percaya begtu saja tanpa syara pada Allah, tentu mereka tidak perlu belajar filsafat untuk membuktikan Allah secara rasional, cukup saja percaya Allah sebagaimana Dia memperkenalkan diriNya melui wahyu. Dan tampaknya memang informasi terbaik enang sesuatu adalah bagaimana sesuatu itu megemukakan dirinya. Tetapi, jalan yang baik adalah menerima sesuatu itu menginformasikan dirinya dn tetap melakukan analisis. Dan itulah filosof muslim.
Bila fisafat Barat modern punya masalah tentang mana yag lebih prima antara rasio dan empiris, filsafat Islam punya masalah tentang mana lebih prima atara wujud dengan mahiyah.
Pada relitas esernal, apakah yang mendasar adalah wujud atau mahiyah? Aliran perpatetik menjawab "wujud" dan aliran isyraqi mejawab "mahiyah".
Sejauh ini saya dapat meyimpulkan bahwa penganut ashalatul mahiyah meyakni bahwa yang mendaras dari realitas eksternal adalah mahiah karena tanpa mahiyah, tidak ada hal apapun yang dapat dikenal pada realitas eksternal. Sementara penganut kemendasaran wujud menyatakan wujudlah yang mendasar karena tanpa wujud, tidak ada yang dapat diiris-iris untuk dikenali, yng diiris itu adalah wujud.
Yang membuat banyak pembelajar bingung adalah alasan kenapa pada realitas eksternal hanya ada satu quiditas (mahiyah pada realitas eksternal) tapi dalam konsep menjadi dua entitas. Ini adalah karakter esensi (mahiyah dalam konsep).
Kebingungan lain adalah terletak pada apakah quiditas yang membetuk esensi, atau sebaliknya. Bila jawabannya adalah yang pertama maka akan diingungkan dengan alasan: kenapa kita bereaksi pada quiditas. Bila jawabannya adalah sebaliknya, akan tertolak ketika ada perubahan tiba-tiba dari satu quiditas menjadiquiditas yang lain (inkilab). Maka saya melihat bahwa antara quiditas dan esensi adalah setara. Namun kesdaran kita melalui esensi menciptakan suatu sensasi berupa quiditas. Maka inkilab itu sebenarnya adalah terjadi pada esensi dan quiditas sekaligus.
Para pembelajar terlalu kagum dengan teori emanasi atau gradasi. Padahal teori-teori itu hanya simbol logis. Hubungan Eksistensi dengan esensi juga dianalogikan demikian.
Para filosof Hikmah mengakui hubungan esensi dengan eksstensi adalah melalui gradasi. Inspirasinya adalah Ibn Arabi. Padahal gradasi adalah cuma sebuah analagi. Kita hanya bisa menginformasikan sesuatu melalui benda dan sifat yang bisa dikenali pada realitas eksternal. Maka pastinya hubugan wujud dengan mahiyah bukan demikian sebenarnya.
Teori cahaya Suhrawardi menganggap mahiyah adalah manifestasi eksistensi. Sama dengan gradasi juga. Bahkan 'cahaya' itu sendiri adalah analogi. Suhrwardi sendiri mengatakan bila antara sesuatu dengan yang lain berjarak maka perlu perantara. Yang memperantarai juga harus dipeantarai, maka akan terjadi perantaraan yang tak usai. Suhrawardi ingin menegaskan sesuatu dengan yang lain adalah satu jua. Maka antara eksistensi dengan esensi dalam pandangan Suhrwardi adalah tunggal. Jadinya mawjud-maujud dengan esensi juga tunggal. Dengan itu maujud-maujud dengan Wujud adalah tunggal. Maka kesimpulan ini akan diklaim sebagai syirik. Secara teks agama, diklaim syirik karena menamakan Tuhan dengan ciptaan. Padahal tidak ada yang serupa Dia sesuatu apapun.
Filosof Hikmah meluruskan dengan mengatakan mahiyah bukan eksistensi. Eksistensi berbeda dengan Esensi. Eensi, sebagaimana kata Mulla Shadra "adalah arketip teta (ayn tsabithah) yang tidak pernah mencum wangi eksistensi" Isutzu (h.60). Berarti, dapat disimpulkan bahwa filosof Hikmah menerima adanya perantara antara esistesi dengan esensi. Namun kenyataannya analogi yang mereka buat untuk menjelaskan hubungan eksistensi dengan esensi adalah gradasi. Padahal gradasi itu adalah lompatan dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain.
Tidak ada ruang kosong dari satu tingkat ke tingkat lain yang tak terjelaskan. Dengan mengenyampingkan teori gerak substansial, terlepas dari kemungkinan klaim sesat dalam cara pandang mitakallim, argumentasi suhrawardi jauh lebih unggul daripada Mula Shadra.
''Ali'' sapa Nabi Saw. ''bila mereka mendekati
Allah dengan perbuatan mereka, maka kamu mendekatiNya dengan pengetahuanmu.
Niscaya kamu mendahului mereka beberapa langkah''. Kata Immanuel Kant, akal
tidak bisa menjangkau Dia, tetapi melalui riwayat itu, tampaknya bisa. Untuk
memperjelas hal ini, ada beberapa hal yang patut kita bahas.
Dr. Muhsin Labib menegaskan serikat Tuhan
mustahil ada. Se
suatu yang setara dengan Tuhan saat hendak dipikirkan,
serta-merta tertolak. Hukum murni pikiran, bila menemukan sesuatu yang setara,
maka secara pasti dia akan mengetahui ada yang lebih besar dari itu. Bila ada
yang setara, maka secara pasti diakui keduanya bukan Tuhan. Karena itu, bahasa
Arab memakai kata 'Akbar' untuk Allah. 'Akbar' artinnya 'lebih besar'. Allah
lebih besar dari apapun yang mampu kita inderai dan lebih besar dari yang dapat
kita bayangkan. Dia lebih besar dari apa yang ada di realitas maupun di alam
konsep.
Bahasa Indonesia yang mengalihkan kata 'Akbar' menjadi 'maha
besar' merurut Pak Labib, salah besar. Alasannya, dalam bahasa Indonesia,
sesuatu yang di sebut 'maha' pasti punya yang sama dengan dia yang lebih kecil.
Ada mahasiswa, ada siswa; ada maha karya, ada karya biasa. Maka kalau ada tuhan
maha besar, harus ada tuhan biasa-biasa saja. Dengan itu, kata Pak Labib, 'maha
besar' tidak patut disematkan pada Tuhan karena bila ada tuhan maha, ada tuhan
yang maha, artinya keduanya bukan Tuhan. Namun saya kira 'maha besar' itu patut
disematkan untuk kata 'Tuhan' dalam terminologi bahasa Indonesia, tapi tidak
untuk 'Allah'.
'Tuhan' dalam terminologi Indonesia adalah merujuh pada pemahaman
pagan tentang satu dewa yang maha besar dan bersamanya diakui juga tuhan-tuhan
lain. Bila kata 'Tuhan' ingin disamakan dengan 'Allah' dalam pemahaman Islam,
maka sungguh-sungguh dianya tidak mapan. Allah sama sekali tidak punya sekutu.
Tidak ada yang menyerupaui Dia sesuatu apapun. Logika murni sama-sekali tidak
dapat menerima sekutu bagi Allah. Namun walau bagaimanapun, yang lebih utama
dari bahasa adalah dia disepakati bersama (konvensional).
Al-Kindi adalah intelektual pertama dalam sejarah dunia Islam
yang menjelaskan Tuhan secara rasional. Usahanya ini tentu saja ditentang oleh
mutakallimin. Gagasan utama Al-Kindi adalah tentang dua teori tentang Tuhan
yakni Tuhan sebagai pengemanasi dan pencipta. Emanasi sifatnya langsung dan
tidak memiliki hubungan dengan teori kausalitas. Sementara sebagai pencipta,
Tuhan adalah sebab utama dari segala kejadian yang semuanya tunduk pada hukum
kausalitas. Yang pertama dapat disebut sebagai hubungan vertikal dan yang kedua
adalah hubungan horizontal.
Sejauh yang dilihat Comte, Tuhan bagi manusia adalah kebutuhan
bagi mereka yang bodoh. Bila manusia tidak dapat menjawab apa penyebab dari
segala sesuatu, maka itulah Tuhan. Namun ketika manusia telah dapat menemukan
jawabannya, Tuhan tidak dibutuhkan lagi. Tapi saya lihat karena manusia tidak
pernah dapat menjawab semua pertanyaan dan lagi pertanyaan manusia semakin
banyak dan tidak terjawab, maka Tuhan semakin hadir.
Tidak jauh dari cara Comte melihat, Freud juga melihat Tuhan
bagi manusia hadir bagi mereka yang mengalami kepincangan psikologis. Kalau
saja manusia mampu mengatasi dirinya, semua masalah psikisnya, maka Tuhan tidak
diperlukan. Tapi sayang, manusia semakin tidak mampu mengatasi dirinya, masalah
psikologis mereka semakin banyak. Maka Tuhan semakin dibutuhkan, Tuhan semakin
mengisi kepala setiap manusia.
Dari sejarah kita melihat Tuhan sering dimanfaatkan untuk
kepantingan-kepentingan subjektif. Lihat saja sejarah Eropa yang begitu kelam
sejak Masehi hingga kini. Agama dijadikan alasan untuk menindas, membantai dan
menista manusia. Kristen adalah kutukan bagi Eropa. Di dunia Islam juga sering
kita temukan, ternyata perdebatan teologis hz)anyalah alat yang digunakan untuk
orientasi utama sekelompok orang yakni kepentingan politik yang ujung-ujungnya
adalah harta dan kepetingan duniawi lainnya.
Sejarah kemanusiaan di mana-mana dulunya adalah sejarah
pembodohan atas nama Tuhan. Kaum pemodal atau tuan tanah didukung oleh raja
atau raja itu sendiri beserta keluarganya sebagai pemodal memanfaatkan
orang-orang terpercaya atau yang dianggap tokoh agama untuk terus menyegarkan
ingatan buruh atau pekerja untuk menerima nasib sebagai orang bawah karena itu
takdir dari Tuhan yang harus diterima dan memelihara imajinasi akan adanya
kehidupan yang berbahagia setelah mati supaya orang-orang bawah menerima
diperlakukan sezalim-zalimnya dan tidak pernah terfikir untuk melawan.
Ya Allah, saya tidak ingin Engkau cintai sebagaimana Kau
mencintai mereka. Saya juga tidak layak Kau cintai sebagaimana Kau cintai Dia.
Allah Pengasih tetap memberi RahmanNya pada hamba-hambaNya yang menipu manusia
tentang Dia. Mereka yang menipu begitu tidak layak mendapatkan cahaya Pengasih.
Mereka akan lepas dari RahimNya.
Mereka yang menyembunyikan, apalagi menyampaikan kabar bohong
tentan Allah Sang Wujud, adalah mereka yang sama sekali tidak pernah tersentuh
cahaya Wujud. Marilah kita memohon pada Allah supaya Dia diselamatkan dari
mereka. Mari tegaskan bahwa kita tidak akan mengikuti apa yang mereka bawa.
Mereka takkan meyakini yang kita yakini. Tegas bahwa kita dan mereka
bersebarangan.
Wujud tidak bisa dijelaskan. Dia lebih jelas daripada bahan
appapun yang ingin dijadikan sebagai penjelas. Kalau memaksa, maka justru
semakin mengaburkan, bukan menjelaskan. Wujud tidak bisa didefenisikan karena
defenisi adalah limitasi, padahal wujud adalan unlimited. Limit atau batas
wujud adalah ketiadaan, yang tiada tidak bisa dijelaskan. Manamungkin ketiadaan
menjelaskan yang ada. Untuk mendefenisikan sesuatu kita harus kembali kepada
genusnya. Karena Wujud adalah genus itu sendiri, bagaimana kita menjelaskannya.
Defenisi untuk menjawab pertanyaan 'apa'. Wujud tidak berada di bawah 'apa'.
Setidaknya ada empat negasi untuk Wujud: tidak jamak, tidak
terulang, tidak terbatas dan tidak terbagi. Andai ada sekutu bagi wujud, maka
berarti adalah 'adam yakni ketiadaan, berarti bukan Wujud, maka wujud adalah
satu. Andai Wujud berulang, maka pernah ada masa ketiadaan, maka pada masa
ketiadaan itu tidak ada, maka Wujud tidaak berulang. Bila wujud memiliki batas,
maka batasnya adalah ketiadaan, tetiadaan itu tiada, maka batasnya itu tiada,
maka Wujud tidak punya batas. Bila Wujud itu terbagi, maka bagiannya adalah
ketiadaan, maka bagian itu adalah tiada, berarti Wujud tidak punya bagian,
tidak terbagi.
Pandangan tentang Wujud seringkali menyeret pembelajarnya atau
pengikut yang kurang paham menjadi pantheis atau pseudo sufi. Bagaimana tidak,
segala benda, hewan dan tumbuhan di alam akan dianggap sebagai wujud. Dan Wujud
itu dalam maksud para filosof tidak lain dan tidak bukan adalah Allah SWT.
Filsafat Suhrawardi dapat menyeret kita pada paham nihilisme.
Segala hal di alam eksternal dianggap sebagai ketiadaan karena dia hanya
proyeksi pikiran. Sementara pandangan Ibn Arabi sangat sensitif sehingga
sedikit saja keliru memahaminya, kita dapat menjadi orang yang pantheis.
Potensi-potensi perbedaan cara pandang yang secara teori tampaknya identik,
namun punya implikasi teologis yang bertolak belakang adalah mengenai konsep
wujud yang dikemukakan masing-masing filosof.
Mulla Shadra yang merupakan filosof mutakhir diantara semua
pemikir muslim klasik berhasil mensintesakan semua konsep tentang wujud dari
semua pemikir besar sebelumnya.
Dalam cara pandang Ibn Sina, jarak antara pengamat dengan wujud
yang diamati punya jarak yang signifikan sehingga wujud-wujud eksternal menjadi
entitas objektif yang tunduk pada rasio. Sekalipun mayoritas pemikir setelahnya
mengakui Ibn Sina menganut paham keutamaan eksistensi, namun wujud eksternal
Ibn Sina tampak sebagai wujud yang tunduk pada karakteristik esensi. Hal inilah
yang diluruskan oleh Mulla Shadra. Sekalipun Shadra dan Ibn Sina menganut
prinsip keutamaan eksistensi, namun konsep pemikiran Ibn Sina dengan Mulla
Shadra sangat berbeda. Untuk dapat menemukan perbedaan dua konsep ini, patut
kita analisa secara seksama konsep wujud menurut Mulla Shadra. Bahan kajiannya
adalah tulisan Seyyed Hossein Nasr dalam 'Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam'
yang diedit oleh Nasr dan Oliver Leaman (Bandung: Mizan, 2003).
Wujud dalam pandangan Shadra adalah ''...realitas melalui
inspirasi yang di dalamnya segala sesuatu itu tampak sebagai tindakan-tindakan
eksistensi (wujud) dan bukan objek-objek yang ada (maujud)'' (Nasr [eds],
h915). Konsep eksistensi Shadra hanya bisa dipahami melalui perenungan yang
mendalam dan dengan izin Allah kita dapat melihat eksistensi dengan kacamata
spriritual. Dengan itu kita menemukan bahwa segala realitas eksternal adalah
manifestasi Wujud yang tampak beragam dengan adanya esensi. Pandangan ini
dengan izin Allah membebaskan kita dari pantheisme dan nihilisme. Sebagaimana
penggalan kutipan dari pengikut Shadra, Sanzawari yang mengatakan bahwa konsep
wujud memang mudah dipahami tetapi reakitas terdalamnya berada dalam
ketersembunyian (h.916). Hanya melalui intuisi atau pandangan spiritual kita
dapat melihat ketersingkapan eksistensi. Namun argumen Shadra sangat rasional
mengenai pandangannya ini.
Analogi wujud dalam konsep Shadra mirip argumen Ibn Arabi yang
menganalogikan wujud bagaikan cahaya matahari, cahaya matahari bukanlah
matahari tetapi pada saat yang sama cahaya itu adalah matahari. Artinya,
matahari yang tanpa cahaya bukanlah matahari, namun cahaya matahari bukanlah
matahari. Jalaluddin Rumi dalam 'Fihi Ma Fihi' mengomentari konsep wujud
seperti ini dengan menganalogokan cairan besi yang panas. Besi itu mengatakan
dirinya adalah api. Itu memang benar, namun sekaligus besi bukanlah api.
Shadra mengemukakan tiga argumen inti tentang wujud yang menjadi
fondasi ,metefisikanya: kesatuan wujud (wahdah al-wujud), lilin dan matahari
masing-masing punya cahaya, yang menyatukan cahaya lilin dan vahaya matahari
adalah cahaya; gradasi wujud (tasykik al- wujud), setiap wujud punya tingkatan;
dan kemendasaran wujud (ashalah al-wujud) yakni kepastian bahwa keberagaman
eksistensi muncul dari keterbatasan yang Bernama quiditas dan tentunya bukan
quiditas yang membentuh hal-hal yang beragam, quiditas hanya membentuk keberagaman.
Menurut yang saya pahami, keberagaman justru muncul karena keterbatasan
quiditas. Teori ini memberikan pemahaman pada pengkaji Shadra bahwa quiditas
itu berada diantara ada (wujud) dengan tiada ('adam). Kalau dia wujud, maka
takkan beragam, kalau dia tiada, maka takkan ada realitas eksternal. Namun
ternyata, sebagaimana kita alami, realitas eksternal itu ada dan saling beraksi
dan bereaksi dengan kita. Saya sendiri kurang sepakat dengan pernyataan Nasr
(h.918) bahwa wujud ''memberikan realitas pada semua quiditas''. Karena wujud
dalam pemahaman Shadra, wujud ada sekalipun quiditas tiada. Argumen itu
mengasankan seolah-olah wujud adalah tambahan (i'tibar) bagi quiditas.
Bersama Dr. Abdelaziz Abbaci, kami menerima penerangan tentang
makna ''itibar' lebih jelas meski kami kesulitan memahami istilah-istilah
filsafat Islam dalam bahasa Inggris. Dr. Abbaci setidaknya memaknai 'tibar
dengan tiga istilah yakni 'respectival', ialah sesuatu yang datang dari sebab
yang lain sebelumnya, atau dia yang menempel pada sesuatu yang primer atau dia
tang mengikuti yang lain; 'conventional' yaitu sesuatu yang tidak nyata namun
dia disepakati bersama, misalnya warna-warna lampu lalulintas pada persimpangan
jalan, orang Papua sepakat dengan esensi pohon dengan orang Indian sekalipun
mereka tidak pernah berintaraksi; 'not real' atau sebagai majas atau
perumpamaan, misalnya 'berlari' yang diatribusikan pada air sungai yang
mengalir deras, padahal kata itu miliknya kaki yang bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar