Siapakah seorang filosof? Pertanyaan ini patut
diajukan setelah mengamati ratusan riwayat hidup dan gagasan orang-orang
yang disebut sebagai 'filosof'. Apakah syarat seseorang untuk
''digelar'' sebagai filosof harus menguasai konsep-konsep utama filosof
terkemuka seperti Thales, Phytagoras, Plato, Aristoteles, Avicenna dan
Averroes? Bila syarat-syarat ini harus dipenuhi, saya agak terganggu
mengingat banyak profesor filsafat yang menguasai semua konsep filosof
secara detail tapi kepala mereka hanya berfungsi seperti bank data ,
mereka tidak punya gagasan orisinil, fungsi mereka persis seperti radio
ketika mereka bicara dan seperti komputer saat mereka menulis, sebatas
menguraikan data. Lain dengan Kahlil Gibran yang punya daya magis
mempengaruhi luar biasa, bimbingan spiritualnya menghanyutkan,
pesan-pesannya begitu mengetuk relung jiwa; bimbingannya penuh makna.
Dia layak disebut sebagai filsuf terkemuka. Tapi kalau syarat untuk
menjadi filsof adalah menjadi ''bank data'', sayang sekali, Gibran tidak
memenuhi syarat itu. Tetapi apa benar Gibran tidak menguasi teori-teori
para filosof sebelumnya? Saya yakin dia menguasainya. Kalaupun ada
orang bijak yang sama sekali tidak menguasai teori-teori para filosof
terkemuka tetapi kebijaksanaannya sangat mendalam, sangat mempengaruhi,
apakah dia tidak layak disebut folosof? Tampaknya 'filsafat' sudah lepas
dari maknanya sendiri. Filsafat yang maknanya pecinta kebijaksanaan
telah Berubah menjadi: penguasaan atas teori-teori para filosof.
Para pecinta kebijaksanaan mula-mula seperti Ibrahim, Gautama, Lao
Tse, Konfusius tentunya tidak perlu menguasai banyak teori untuk
menyampaikan kebijaksanaan. Mereka cukup berinterasi dengan kepekaan
tinggi atas alam lalu mengambil sarinya, dijadikan hikmah, dipakai untuk
kehidupan sendiri dan diajarkan pada orang lain. Kaum bijak setelah
mereka datang dengan hikmah yang diwariskan dan menambahkakannya dengan
penemuan mereka serta memberi penyesuaian dengan kondisi zaman.
Kedatangan filosof mutakhir sebenarnya tidak meniscayakan mereka harus
terlebih dahulu menjadi bank data biografi dan isi pemikiran para
filosof sebelum mereka, tetapi mereka tidak bisa abai terhadap pemikiran
cemerlang sebelum mereka, bahkan ada diantara mereka yang mulai
bereaksi karena gagasan filsafat sebelumnya. ''Hukum alam'' atas
intelektualitas mustahis diabaikan di sini; hukum itu adalah: tidak ada
revolusi dalam ilmu, apalagi yang baru,semuanya adalah rekonstruksi.
Jadi, seorang filosof, mustahil tidak memahami gagasan filsasat
sebelumnya secara baik, dan seorang filosof, adalah mereka yang berhasil
merekonstruksi gagasan sebelumnya, bukan malah mendirikan bangunan
filsafat mereka sendiri yang sama-sekali tidak berkaitan dengan
gagasan-gagasan para filosof sebelumnya. Dalam sanggah-menyanggah
pemiliran sebelumnya sekalipun, seorang filsuf mutakhir pastinya telah
menguasai pemikiran yang ia sanggah. Dan itu artinya, mereka bereaksi
atas gagasan filsafat sebelumnya; walau bagaimanapun, itu adalah
rekonstruksi. Yang lebih penting dari itu, seorang filsuf adalah mereka
yang terlibat dengan kepekaan yang luarbiasa terhadap alam: alam
spiritual, alam intelek dan alam realitas eksternal. Respon atas alam
eksternal oleh seorang jenius, disadari atau tidak, diakui maupun tidak,
sebelumnya telah melibatkan dua alam sebelumnya (spiritual dan intelek.
Leonardo da Vinci adalah salah seorang anak manusia
yang punya kepekaan yang luarbiasa dalam merespon alam eksternal.
Kepekaannya terhadap alam dapat dibuktikan secara jelas pada manusia
melalui lukisan lukisannya. Tidak ada manusia yang akan membantah, bahwa
keahlian melukis adalah bukti begitu kuatnya daya ingat dan imajinasi
seseorang. Lucunya, kita mengenal Leo hanya sebagai seorang pelukis,
melalui beberapa karya lukisannya yang tekenal seperti 'Monalisa', 'The
Last Supper', dan 'Madonna of the Rock'. Tetapi berapa orang diantara
kita yang tahu bahwa Leo adalah ilmuan ilmuan segala bidang: biologi,
matematika, fisika, kedokteran dan lain sebagainya. Dia juga adalah
seorang arsitek, desainer, seniman dan banya lainnya. Singkatnya, Leo
menguasai segala disiplin yang kita kenal hari ini, bahkan
penemuan-penemuan dan gagasan-gagasannya jauh melampaui zamannya.
Leo adalah seorang filsuf alam. Dia menganalogikan bumi seperti
tubuh manusia: aliran darahnya adalah aliran air di perut bumi,
jantungnya adalah lautan, tulangnya adalah bebatuan pembentuk gunung
(Fritjof Chapra, 'Sains Leonardo', Yogyakarta: Jalasutra, 2010, h.4).
Penganalogian ini mengisyarakat pentingnya menghargai alam sebagai
sesuatu yang punya segala yang dimiliki manusia seperti jiwa, rasa dan
emosi; Leo ingin mengungkapkan bahwa alam tidak bisa diperlakukan
seenaknya, bahwa alam juga bisa merasakan sakit, marah dan bersedih.
Tujuannya agar kita melakukan pendekatan kepada alam dengan sangat bijak
dan hati-hati. Dia sadar sekali bahwa alam punya sejuta rahasia yang
akan terungkap pada pemahaman bila kita melakukan pendekatan ini. Bagi
Leo segenap alam yang tampak, utamanya tubuh manusia adalah ekspresi
dari sesuatu yang tak terinderai bernama jiwa. Semua gerakan yang
terekam indera, bagi Leo, sejatinya adalah gerakan jiwa, gerakan
spiritual.
Chapra, (h. 13-14) Dalam meneliti sains Leo menulis
''..hakikat gerak itu terletak di dalam jiwa, hakikatnya bukan mekanis
melainkan spiritual''. Leo sendiri menulis dengan indah sebagaimana
dikutip Chapra (h.14): ''...Engkau melihat bahwa engkau telah terpuruk
ke dalam kesalahan yang sama seperti orang yang merampas, dari sebatang
pohon, perhiasan berupa dahan-dahan penuh dedaunan, penuh kembang atau
bebauan, hanya untuk menunjukkan bahwa pohon itu memang baik untuk
dibuat papan''. Sains Leonardo adalah sains yang anti mekanis, alam
tidak dilihat secara parsial. Sebagaimana yang disebutkan di atas, alam
bagi Leo adalah penampakan dari gerak substansial, bukan gerak pada
ranah aksidental semata.
Giorgio Varasi adalah seorang pengagum
sekaligus murid Leo secara tidak langsung, dia menjadi orakel bagi
pemikir dan seniman jenius itu. Varasi adalah orang pertama yang
mengkaji tentang hidup dan karya Leo. Melalui dia, para pengagum Leo
setelahnya dapat menemukan jejak-jejak karya Leo yang terserak. Varasi
melikiskan sosok Leo adalah seorang pria yang bertubuh kekar dan
atletis. Leo juga punya kekuatan fisik yang baik. Dia adalah salah
seorang pendaki gunung.
Orang-orang suka menyandingkan Leo
dengan Phytagoras, Archimedes dan Plato (h.22). Leo meneliti secara
objektif segala bidang sains dan menghimpunnya dalam ribuan lembar
Notebook. Notebook itu tidak dipublukasikan hingga akhir hayatnya. Salah
satu alasannya mungkin karena penemuan saintifiknya banyak yang
berseberangan dengan pemegang otoritas saat itu yakni gereja. Dia tidak
ingin penemuan-penemuannya membuat hubungannya retak dengan masyarakat
kebanyakan. Melalui Varasi kita tahu bahwa Leo adalah orang punya adab
yang Baik, santun, ramah, dermawan dan persuasif (h.25). Kepekaan Leo
membuatnya menjadi vegetarian. Dia tidak ingin menyakiti hewan demi
alasan makanan. Pernah dia membeli burung dari pasar dan melepaskannya
(h. 27 & 347).
Sebagai seorang yang bijaksana, Leo sangat
menentang peperangan. Tetapi sebagai seorang insinyur, dia pernah
menawarkan diri pada penguasa untuk menjadi arsitek militer. Dia mampu
menciptakan alat-alat perang yang luarbiasa sekaligur mendesain situasi
medan peperangan. Kontadiksi Leo ini dapat mungkin dapat dijelaskan
Hegel melalui konsepnya tentang fungsi manusia sebagai warga negara dan
sebagi individu (lihat pembahasan tentang 'Hegel'), namun setidaknya,
keterlibatan Leo secara praktik dalam urusan perang begitu banyak
meminimalisir resiko perang dan banyak memberi keuntungan pada warga.
Kita tahu bahwa sepanjang hidup Leo, perang terus berkecambuk, mulai
dari perang antara Pisa dengan Florence maupun antara Prancis dengan
Italia. Kontradiksi lain dapat dilihat pada halaman 33 rukujan yang
sama. Sekalipun seorang vegetarian, hanya untuk humor, Leo suka melucuti
hewan.
Ayah Leo adalah seorang pria ambisius yang suka
mengembara. Ia dilahirkan di Vinci, sebuah kawasan di Florence. Sebagai
seorang yang kreatif, Leo pernah berpenghasilan tetap dengan keahliannya
mementaskan sandiwara. Tidak seperti kebanyakan filosof yang sempat
mengenyam pendidikal forman bahkan ada yang menjadi guru besar seperti
Aristoteles, Kant, Hegel dan Heideggar, Leo tidak pernah mengenyam
pandidikan formal sama sekali. Dia adalah otodidak murni.
Dalam
melukis, bagi kita yang awam terhadap seni itu akan tampak aneh. Dia
tidak punya jadwal tetap dalam melukis. Sebagaimana menggubah puisi, itu
tidak bisa dilakukan dengan jadwal. Dia akan melukis bila inspirasinya
muncul. Kadang dia melukis seharian hingga lupa makan, kadang tidak
melakukannya selama seminggu, kadang hanya berdiri dihadapan karyanya
yang belum jadi hampir setengah hari untuk mengkritisi Pernah pula dia
datang dengan terpongah-pongah, mengambil alat, menggores hanya beberapa
garis, kemudian berlalu pergi.
Pernah Leo mengikuti
seseorang yang menarik perhatianya untuk diamati dengan seksama lalu
dilukisnya setiba di rumah. Pernah juga dia menjamu teman temannya,
sambil itu dia menceritakan kelakar yang membuat teman-temannya itu
tertawa lepas terbahak-bahak, sambil mereka tertawa Leo memperhatikan
mereka dengan seksama. Setelah semua pulang dia melukis peristiwa itu
dan siapa yang memperhatikan lukisan orang-orang tertawa itu akan ikut
terbahak seolah mendengar sendiri humor itu. Ya, untuk urusan humor saya
yakin Leo sangat bisa dan mampu, bukankah imajinasinya amat sangat
luarbisa.
Karena menguasai segala bidang ilmu, maka Leo mampu
menghubungkan antar disiplin itu. Dan itu membuatnya menjadi pemikir
sistematis. Keahlian menggambarnya dapat dijadikan laporan dalam
studinya tentang anatomi. Keahlian ini juga dijadikan rancangan dalam
bidang tekhnik dan arsitektur. ﹑
Ketika saya mengatakan
filsafat lebih tinggi dari sains dan puisi lebih tinggi dari filsafat,
tiba-tiba Leo mengatakan lukisan jauh lebih tinggi daripada puisi. Entah
benar, entah hanya pendapat dia secara subjektif semata, tapi memang
sebuah lukisan tertentu dapat menginspirasi beberapa puisi. Leo juga
mengatakan puisi lebih tinggi dari musik dan seni patung. Dalam
lukisannya, ekspresi wajah benar-benar mampu mencerminkan kondisi jiwa.
Inilah yang sangat jarang ditemukan pada karya-karya seniman lain.
Keterampilan dan kepiawaiannya sangat sulit ditemukan pembandingannya.
Raja Prancis, Francois I adalah salah seorang yang sangat
mengapresiasi bakat Leo. Dia mengundang Leo tinggal di istananya dan
jadilah Leo seperti Aristoteles bagi Alexander. Dan ternyata Prancis
membuktikan diri sebagai perawat yang baik atas karya-karya Leo terutama
lukisan. Di museum Louve hingga kini dapat dilihat karya-karya agung
san seniman. Sayangnya, Notebook Leo tidak dapat diselamatkan dengan
baik. Lembaran-lembaran berharga itu berpencar-pencar dan diperjual
belikan. Di samping itu, banyak juga lukisan Leo yang tidak bisa
diselamatkan karena menggunakan alat dengan kualitas yang kurang
memadai. Sayang sekali. (selengkapnya lihat h.176-180).
Sebagai
seorang ilmuan, Leo tidak ragu merekonstruksi sains sebelumnya dan
menyesuaikan dengan hasil penelitiannya. Sains Leonardo bukanlah barang
yang dikreasikan dari ketiadaan. Sainsnya adalah rekonstruksi dari
sejarah panjang sains dan filsafat sejak Persia, India, Cina, Romawi,
Yunani, Timur-tengah lalu Spanyol dan Italia. Para humanis Italia sering
melakukan perjalanan ke timur dan banyak membawa pulang
manuskrip-manuskrip berharga (h.184).
Dengan sangat jujur Chapra
(h.185) menulis: ''Pada abad ke-7, pasukan muslim yang perkasa
memperoleh inspirasi dari agama baru, Islam'' Agama baru ini
menginspirasi kaum muslim untuk menerjemahkan karya-karya filsafat
Yunani, mengkritisi, mengomentari dan mengasimilasi dengan kebudayaan
mereka. Maka warisan itelektual Yunani di tangan ummat Islam memperoleh
wajahnya yang baru. Warisan intelektual Yunani ke Islam lalu diwariskan
ke Eropa terutama Spanyol, Italia dan Prancis. Dibutuhkan kejujuran kaum
intelektual Eropa untuk mengakui jasa Islam atas Renesains mereka. Dan
sayangnya orang-orang seperti ini sangat langka. Chapra adalah salah
seorang yang langka itu.
Chapra melanjutkan ''Para pemimpin
agama Islam menekankan kasih sayang, keadilan sosial dan pembagian
kesejahteraan yang adil. Spekulasi-spekulasi teologis dianggap kurang
penting dan dihalang-halangi. Hasilnya para sarjana Arab bebas membangun
teori-teori filsafat dan ilmiah tanpa harus takut disensor oleh
otoritas relijius''. Kebebasan inilah yang membuat sains di dunia Islam
tumbuh berkembang dengan baik hingga tidak terbatas. Pengalaman ini jauh
berbeda dengan dunia Kristen. Di sana, setiap pengembangan sains
disensor sedemikian rupa, jangan sampai ada yang bertentangan dengan
tafsir aristotelian yang keliru itu atas Injil. Kekonyolan inilah yang
menyebabkan sains dunia Kristen begitu terhambat. Banyak pemikir yang
harus mengurungkan rencana untuk mempublikasi karya gemilangnya karena
tampak berseberangan dengan doktrin gereja.
Di sini kita
menemukan sains Leo banyak bertentangan dengan cara pandang sains
aristotelian-atomistik yang dianut gereja. Sains yang berkembang di
Eropa adalah sains yang berdasarkan kekeliruan Ibn Rusyd (Averroes)
dalam memahami kajian metafisika Ibn Sina (Avicenna) (lihat kajian
tentang Avicenna dan Tosihiko Isutzu 'Struktur Metefisika Sabzawari',
Bandung: Pustaka, 2003, h.31). Dualitas yang dimaksud Avicenna
sebenarnya hanya terjadi pada alam konsep. Tetapi oleh Averroes
ditafsirkan terjadi di alam eksternal. Kekeliruan ini mewariskan
dualisme keliru bagi Barat. Aquinas jadinya merumuskan kerajaan Tuhan
dan kerajaan bumi secara parsial. Descartes memberi jurang pemisah
antara alam pikiran dengan alam eksternal seolah kedua itu adalah
entitas-entitas yang tidak saling berhubungan ataupun berhubungan secara
profesional (Chapra, h.331). Kekeliruan Descartes ini tentunya ia
wariskan dari Aquinas dan Averroes yang pengaruhnya sangat kental atas
renesains. Tak ayal, selularisme juga karena kekeliruan pemahaman
Averroes atas Avicenna. Maka jadilah filsafat dan sains modern Barat
adalah warisan kekeliruan. Karena kekeliruan ini diamini gereja, maka
sistem sains holistik Leo tentunya akan ditentang.
Kesesatan
epistemologi Eropa baru disadari pada abad ke-20 oleh Martin Heideggar.
Dia menolak mentah sistem epistemologi Barat modern dan membangun
eksistensialisme tanpa epistemologi. Tanpa epistemologi saya pikir tentu
saja keliru. Sebuah sistem filsafat tanpa epistemologi adalah tidak
benar; menggunakan sistem epistemologi keluru juga lebih tidak benar.
Setidaknya, melalui pandangan sains modern pasca Einstein kita dapat
menemukan sains Leo adalah sains yang sangat sesuai dengan sistem sains
mutakhir. Kalau saja Leo ,mempublikasikan sainsnya sejak dia hidup tentu
ini akan merubah wajah sains Barat modern warisan Bacon yang melihat
alam sebagai mesin atau sebuah entitas yang harus ditaklukkan supaya
dapat didominasi dan dikuasai. Selain bertentangan dengan otoritas
gereja, sains Leo yang jauh melampaui zamannya akan sulit dipahami pada
masa itu juga alasan lain kenapa Tuhan menunda penyebaran sains Leo.
Pandangan Aristoteles adalah warisan dari para filosof alam
yang melihat alam sebagai benda mati yang harus ditaklukkan. Filsafat
Aristoteles tentu saja sudah mengalami banyak modifikasi ditangan
filosof muslim utamanya Al-Kindi dan Avicenna. Leo sendiri menolak
pandangan filsafat Aristoteles secara umum. Dia lebih melihat alam
sebagai jaringan hidup yang berkaitan satu dengan yang lainnya. Dalam
bidang matematika, Leo banyak dipengaruhi matematikawan muslim seperti
Al-Khawarizmi, Omar Khayyam, dan Ibn Haytam (Alhazen) (Chapra, h.
199-200). Matematikawan muslim ini cenderung pada pendekatan aljabar
sekalipun nantinya Leo lebih tertarik pada sistem geometri dengan
mengemukakan beberapa kritiknya terhadap aljabar.
Leo juga
adalah seorang peneliti medis termasyhur. Dia banyak merujuk pada karya
Claudius Galenus dari Roma yang karyanya itu telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab. Tetapi orang yang paling mempengaruhi Leo dalam
bidang kesehatan adalah Avicenna melalui ensiklopedinya 'Canon of
Medicine' (ibid, h. 204) Sama seperti Avicenna, Leo juga meyakini kunci
kesehatan terletak pada emosi pasien.
Seolah ingin
mengukuhkan Leo sebagai sorang filsuf, Chapra menegaskan bahwa Leo telah
memenuhi salah satu ''kriteria'' menjadi seorang filsuf yakni menguasai
teori para filsuf sebelumnya. Dikatakan Chapra (h. 206) bahwa Leo
menguasai dengan baik 'Timeus' karya Plato, ''...Ia juga memeliki
beberapa karya Aristoteles, terutama Fisika'' . Leo juga memiliki
karya-karya filsuf alam seperti Phytagoras, Archimedes dan Euclid. Ia
juga mempelajari karya filosof muslim seperti karya Abu Mashar
(Albumazar) tentang astronomi. Leo mengkaji ensiklopedi kesehatan
Avicenna melalui terjemahan berbahasa italia (h, 207). Semua karya yang
dipelajari ia uji secara ilmiah, dikoreksi dan dikritisi.
Apa
yang diutarakan Leo disepakati oleh Popper ratusan tahun kemudian. Bahwa
sains musti berbasis pengalaman. Chapra (h.214) mengatakan orang
memberi penghormatan kepada Galileo Galilei sebagai orang pertama yang
menerapkan sistematika sains modern. Tetapi kalau saja Notebook Leo
dipublikasikan selagi dia hidup, tentu penghormatan itu diberikan
kepadanya. Tampaknya Chapra sendiri melakukan kesilapan. Ilmuan muslim
ratusan tahun sebelumnya telah menerapkan sistematika sains sedemikian
rupa. Jabir Ibn Hayyan, Rayhan Al-Biruni dan Ibn Khaldun adalah beberapa
diantaranya yang menerapkan tertib sains berbasis pengalaman, observasi
dan penerapan sistematika pelaporan yang sesuai kaidah-kaidan sains
modern dan mutakhir.
Tak ayal lagi, mimpi setiap ilmuan multi
disiplin adalah menemukan sebuah alat yang dapat mewujudkan mimpi semua
manusia yakni terbang. Chapra mengatakan Leo adalah orang pertama yang
benar-banar serius berusaha menemukan alat yang dapat membantu manusia
lepas dari hukum sejati alam: gravitasi. Dalam hal ini Chapra keliru
lagi. Ilmuan muslim tercatat adalah orang pertama yang serius mencari
alat terbang. Bahkan Al-Idrisi pernah berhasil menemukan alat terbang
semacam layangan berukuran besar yang dimodivikasi sedemikian rupa.
Al-Idrisi pernah berhasil tterbang beberapa kali dengan alatnya ini. Dia
terjun dari ketinggian dan melayang dalam waktu yang sangat lama di
udara. Sebuah kecelakaan yang Mengakibatkan cidera membuat Al-Idrisi
terpaksa meninggalkan penemuannya ini. Sayang sekali sumber Harian
Republika yang melaporkan ini tidak mengulas apakah ada yang meneruskan
penemuan Al-Idrisi ini. Tetapi dilaporkan, orang Barat banyak mengambil
inspirasi untuk belajar terbang darinya. Jadi, termasuk orang Eropa
sendiri, Leo tampaknya bukanlah orang pertama yang serius dalam mencari
alat terbang. Mengamati alat terbang Leo dan Al-Idrisi, terlihat Leo
terlalu berpaku pada bentuk alat terbang berupa sayap menyerupai burung
terus-menerus. Leo terlalu yakin bahwa sayaplah yang menjadi penentu
utama burung bisa terbang. Berbeda dengan Al-Idrisi yang lebih
menyesuaikan bentuk sayap dengan kebutuhan. Leo lupa bahwa yang paling
penting dari burung hingga bisa terbang bukan cuma sayap tetapi juga
struktur tulangnya yang begitu tidak padat dan ringan. Pada halaman 244
'Sains Leonardo', Chapra mencantumkan gambar rancangan model alat
terbang lain karya Leo. Dalam rancangan gambar itu, Leo merencanakan
sebuah alat terbang yang pengendaranya memutar sebuah katrol secara
terus-menerus untuk terus mengepakkan sayap rancangannya. Sekalipun
rancangan ini selamanya sebatas gambar, setidaknya semangat dan usaha
Leo untuk menciptakan alat terbang menjadi motivasi manusia setelahnya
untuk terus berusaha mengembangkan alat terbang. Kalau mesin waktu
benar-benar ada, saya akan menjemput Leo dan Al-Idrisi untuk ikut serta
dalam 'Joy Flight' pesawat Sukhi versi komersil dan mengantar mereka
kembali ke surga melalui puncak gunung Salak.
Salah
satu ekspektasi Leo mempelajari anatomi manusia adalah dia ingin
mengetahui rahasia kehidupan. Tepatnya dia ingin mengetahui bagaimana
nyawa berhubungan dengan badan. Setelah melakukan studi yang panjang
akhirnya Leo menyimpulkan bahwa jiwa terletak di ''rongga yang berada di
pusat otak'' (Chapra, h.328). Fungsi jiwa ini dijelaskan untuk
''...mengevaluasi kesan-kesan sensorik dan mentransfernya ke memori, dan
jiwa juga merupakan asal-usul gerakan tubuh yang sukarela, yang
dihubungkan dengan akal dan penilaian'' (h.329). Lebih jauh Leo
mengatakan bahwa gerakan material berasal dari gerakal jiwa. Dia
menyebutnya 'gerakan spiritual'. Melihat konsep ini saya teringat konsep
gerak substansial Mulla Shadra. Dan memang sejauh yang dapat kita
amati, konsep ini mirip karena keduanya menerima gerak tidak sebatas
pada level aksiden tapi juga substansial. Jiwa, dalam kajian filsafat
merupakan bagian dari kategori substansi.
Pemutusan lokasi
jiwa bukan sekedar asumsi yang ditarik setelah dalamnya penelitian. Leo
sebelumnya juga mempertimbangkan pemikiran-pemikiran filosof sebelumnya
mengenai tahta jiwa. Aristoteles sendiri lebih cendering kepada jantung,
Averroes berpendapat jiwa adalah keseluruhan tubuh yang tidak punya
posisi spesifik (h. 334).
Leo mengatakan setelah jasad
memiliki bentuk yang memadai, barulah ruh menempati tubuh. Padangan ini
sejalan dengan Al-Qur'an. Dan saya sendiri ingin mengatakan bahwa
terdapat ''jiwa semesta'' yang terus menerus bergerak melakukan
perubahan jasad. Jiwa semesta ini tentu saja tidak dapat disamakan
dengan ruh itu sendiri.
Tampaknya Leo sendiri tidak dapat
membedakan antara ruh dengan jiwa. Dia juga mencampur-aduk 'nyawa'
dengan 'jiwa'. Leo mengatakan ruh mengatur kondisi cuaca untuk
menciptakan bentuk materi tertentu (h. 335). Saya kira, yang membentuk
kondisi ini adalah jiwa atau yang saya sebut 'jiwa semesta'. Gerak 'jiwa
semesta' ini yang merupakan gerak substansial mengimplikasikan mewujud
dan bergeraknya aksiden materi secara terus-menerus. Dalam studinya
tentang hal paling unik dan paling menarik (saya sebut 'yang paling
membuat penasaran') yakni tentang rahasia nyawa, alih alih mempelajari
tentang cara untuk hidup, ternyata dia sedang mempalajari cara untuk
mati. Leo sendiri melukiskan: ''Sementara aku mengira bahwa aku sedang
mempelajari bagaimana caranya untuk hidup, ternyata aku tengah
mempelajari cara untuk mati''
Salah satu hal paling menarik
bagi Chapra tentang Leo adalah dia mampu merumuskan teori tentang proses
masuknya pengetahuan dari alam eksternal menuju memori dalam pikiran
sekalipun tanpa modal pengetahuan ''tentang sel, molekul, biokimia,
elektromagnetisme'' (h.336). Chapra sangat menyesal kenapa hanya
karya-karya seni Leo saja yang mempengaruhi Eropa modern tetapi berbagai
karya sainsnya ''selama berabad-abad tersembunyi, terputus dari
perkembangan sains modern'' (h.337).
Leo adalah orang yang amat
rendah hati. Tetapi untungnya dia menyadari keunikan yang diberikan
Tuhan padanya. Mari kita simak ungkapan Leo yang dikutip Chapra (h.342):
''Bacalah aku, o, pembaca, jika dalam kata-kataku engkau menemukan
kesenangan. Karena di dunia ini akan jarang sekali ditemukan orang
seperti aku''.
Bila kutipan Leo ini kita limpahkan
pada hukum silogisme, maka premis pertama itu menjadi wajib setelah
melihat premis keduanya. Premis pertama menjadi anjuran secara sukarela.
Tetapi premis kedua memperingatkan dengan tegas sehingga membuat kita
merasa menjadi wajib melaksanakan premis pertama itu. Secara tidak
langsung Leo memperingatkan bahwa kita akan menyesal bila tidak
mempelajari karya-karyanya. Daya persuasi yang kuat namun magis adalah
salah satu kelebihan filsuf kita yang satu ini.
Lampung, 19 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar