Link Download

Minggu, 22 Juli 2012

Leonardo

Siapakah seorang filosof? Pertanyaan ini patut diajukan setelah mengamati ratusan riwayat hidup dan gagasan orang-orang yang disebut sebagai 'filosof'. Apakah syarat seseorang untuk ''digelar'' sebagai filosof harus menguasai konsep-konsep utama filosof terkemuka seperti Thales, Phytagoras, Plato, Aristoteles, Avicenna dan Averroes? Bila syarat-syarat ini harus dipenuhi, saya agak terganggu mengingat banyak profesor filsafat yang menguasai semua konsep filosof secara detail tapi kepala mereka hanya berfungsi seperti bank data , mereka tidak punya gagasan orisinil, fungsi mereka persis seperti radio ketika mereka bicara dan seperti komputer saat mereka menulis, sebatas menguraikan data. Lain dengan Kahlil Gibran yang punya daya magis mempengaruhi luar biasa, bimbingan spiritualnya menghanyutkan, pesan-pesannya begitu mengetuk relung jiwa; bimbingannya penuh makna. Dia layak disebut sebagai filsuf terkemuka. Tapi kalau syarat untuk menjadi filsof adalah menjadi ''bank data'', sayang sekali, Gibran tidak memenuhi syarat itu. Tetapi apa benar Gibran tidak menguasi teori-teori para filosof sebelumnya? Saya yakin dia menguasainya. Kalaupun ada orang bijak yang sama sekali tidak menguasai teori-teori para filosof terkemuka tetapi kebijaksanaannya sangat mendalam, sangat mempengaruhi, apakah dia tidak layak disebut folosof? Tampaknya 'filsafat' sudah lepas dari maknanya sendiri. Filsafat yang maknanya pecinta kebijaksanaan telah Berubah menjadi: penguasaan atas teori-teori para filosof.
Para pecinta kebijaksanaan mula-mula seperti Ibrahim, Gautama, Lao Tse, Konfusius tentunya tidak perlu menguasai banyak teori untuk menyampaikan kebijaksanaan. Mereka cukup berinterasi dengan kepekaan tinggi atas alam lalu mengambil sarinya, dijadikan hikmah, dipakai untuk kehidupan sendiri dan diajarkan pada orang lain. Kaum bijak setelah mereka datang dengan hikmah yang diwariskan dan menambahkakannya dengan penemuan mereka serta memberi penyesuaian dengan kondisi zaman. Kedatangan filosof mutakhir sebenarnya tidak meniscayakan mereka harus terlebih dahulu menjadi bank data biografi dan isi pemikiran para filosof sebelum mereka, tetapi mereka tidak bisa abai terhadap pemikiran cemerlang sebelum mereka, bahkan ada diantara mereka yang mulai bereaksi karena gagasan filsafat sebelumnya. ''Hukum alam'' atas intelektualitas mustahis diabaikan di sini; hukum itu adalah: tidak ada revolusi dalam ilmu, apalagi yang baru,semuanya adalah rekonstruksi. Jadi, seorang filosof, mustahil tidak memahami gagasan filsasat sebelumnya secara baik, dan seorang filosof, adalah mereka yang berhasil merekonstruksi gagasan sebelumnya, bukan malah mendirikan bangunan filsafat mereka sendiri yang sama-sekali tidak berkaitan dengan gagasan-gagasan para filosof sebelumnya. Dalam sanggah-menyanggah pemiliran sebelumnya sekalipun, seorang filsuf mutakhir pastinya telah menguasai pemikiran yang ia sanggah. Dan itu artinya, mereka bereaksi atas gagasan filsafat sebelumnya; walau bagaimanapun, itu adalah rekonstruksi. Yang lebih penting dari itu, seorang filsuf adalah mereka yang terlibat dengan kepekaan yang luarbiasa terhadap alam: alam spiritual, alam intelek dan alam realitas eksternal. Respon atas alam eksternal oleh seorang jenius, disadari atau tidak, diakui maupun tidak, sebelumnya telah melibatkan dua alam sebelumnya (spiritual dan intelek.
Leonardo da Vinci adalah salah seorang anak manusia yang punya kepekaan yang luarbiasa dalam merespon alam eksternal. Kepekaannya terhadap alam dapat dibuktikan secara jelas pada manusia melalui lukisan lukisannya. Tidak ada manusia yang akan membantah, bahwa keahlian melukis adalah bukti begitu kuatnya daya ingat dan imajinasi seseorang. Lucunya, kita mengenal Leo hanya sebagai seorang pelukis, melalui beberapa karya lukisannya yang tekenal seperti 'Monalisa', 'The Last Supper', dan 'Madonna of the Rock'. Tetapi berapa orang diantara kita yang tahu bahwa Leo adalah ilmuan ilmuan segala bidang: biologi, matematika, fisika, kedokteran dan lain sebagainya. Dia juga adalah seorang arsitek, desainer, seniman dan banya lainnya. Singkatnya, Leo menguasai segala disiplin yang kita kenal hari ini, bahkan penemuan-penemuan dan gagasan-gagasannya jauh melampaui zamannya.
Leo adalah seorang filsuf alam. Dia menganalogikan bumi seperti tubuh manusia: aliran darahnya adalah aliran air di perut bumi, jantungnya adalah lautan, tulangnya adalah bebatuan pembentuk gunung (Fritjof Chapra, 'Sains Leonardo', Yogyakarta: Jalasutra, 2010, h.4). Penganalogian ini mengisyarakat pentingnya menghargai alam sebagai sesuatu yang punya segala yang dimiliki manusia seperti jiwa, rasa dan emosi; Leo ingin mengungkapkan bahwa alam tidak bisa diperlakukan seenaknya, bahwa alam juga bisa merasakan sakit, marah dan bersedih. Tujuannya agar kita melakukan pendekatan kepada alam dengan sangat bijak dan hati-hati. Dia sadar sekali bahwa alam punya sejuta rahasia yang akan terungkap pada pemahaman bila kita melakukan pendekatan ini. Bagi Leo segenap alam yang tampak, utamanya tubuh manusia adalah ekspresi dari sesuatu yang tak terinderai bernama jiwa. Semua gerakan yang terekam indera, bagi Leo, sejatinya adalah gerakan jiwa, gerakan spiritual.
Chapra, (h. 13-14) Dalam meneliti sains Leo menulis ''..hakikat gerak itu terletak di dalam jiwa, hakikatnya bukan mekanis melainkan spiritual''. Leo sendiri menulis dengan indah sebagaimana dikutip Chapra (h.14): ''...Engkau melihat bahwa engkau telah terpuruk ke dalam kesalahan yang sama seperti orang yang merampas, dari sebatang pohon, perhiasan berupa dahan-dahan penuh dedaunan, penuh kembang atau bebauan, hanya untuk menunjukkan bahwa pohon itu memang baik untuk dibuat papan''. Sains Leonardo adalah sains yang anti mekanis, alam tidak dilihat secara parsial. Sebagaimana yang disebutkan di atas, alam bagi Leo adalah penampakan dari gerak substansial, bukan gerak pada ranah aksidental semata.
Giorgio Varasi adalah seorang pengagum sekaligus murid Leo secara tidak langsung, dia menjadi orakel bagi pemikir dan seniman jenius itu. Varasi adalah orang pertama yang mengkaji tentang hidup dan karya Leo. Melalui dia, para pengagum Leo setelahnya dapat menemukan jejak-jejak karya Leo yang terserak. Varasi melikiskan sosok Leo adalah seorang pria yang bertubuh kekar dan atletis. Leo juga punya kekuatan fisik yang baik. Dia adalah salah seorang pendaki gunung.
Orang-orang suka menyandingkan Leo dengan Phytagoras, Archimedes dan Plato (h.22). Leo meneliti secara objektif segala bidang sains dan menghimpunnya dalam ribuan lembar Notebook. Notebook itu tidak dipublukasikan hingga akhir hayatnya. Salah satu alasannya mungkin karena penemuan saintifiknya banyak yang berseberangan dengan pemegang otoritas saat itu yakni gereja. Dia tidak ingin penemuan-penemuannya membuat hubungannya retak dengan masyarakat kebanyakan. Melalui Varasi kita tahu bahwa Leo adalah orang punya adab yang Baik, santun, ramah, dermawan dan persuasif (h.25). Kepekaan Leo membuatnya menjadi vegetarian. Dia tidak ingin menyakiti hewan demi alasan makanan. Pernah dia membeli burung dari pasar dan melepaskannya (h. 27 & 347).
Sebagai seorang yang bijaksana, Leo sangat menentang peperangan. Tetapi sebagai seorang insinyur, dia pernah menawarkan diri pada penguasa untuk menjadi arsitek militer. Dia mampu menciptakan alat-alat perang yang luarbiasa sekaligur mendesain situasi medan peperangan. Kontadiksi Leo ini dapat mungkin dapat dijelaskan Hegel melalui konsepnya tentang fungsi manusia sebagai warga negara dan sebagi individu (lihat pembahasan tentang 'Hegel'), namun setidaknya, keterlibatan Leo secara praktik dalam urusan perang begitu banyak meminimalisir resiko perang dan banyak memberi keuntungan pada warga. Kita tahu bahwa sepanjang hidup Leo, perang terus berkecambuk, mulai dari perang antara Pisa dengan Florence maupun antara Prancis dengan Italia. Kontradiksi lain dapat dilihat pada halaman 33 rukujan yang sama. Sekalipun seorang vegetarian, hanya untuk humor, Leo suka melucuti hewan.
Ayah Leo adalah seorang pria ambisius yang suka mengembara. Ia dilahirkan di Vinci, sebuah kawasan di Florence. Sebagai seorang yang kreatif, Leo pernah berpenghasilan tetap dengan keahliannya mementaskan sandiwara. Tidak seperti kebanyakan filosof yang sempat mengenyam pendidikal forman bahkan ada yang menjadi guru besar seperti Aristoteles, Kant, Hegel dan Heideggar, Leo tidak pernah mengenyam pandidikan formal sama sekali. Dia adalah otodidak murni.
Dalam melukis, bagi kita yang awam terhadap seni itu akan tampak aneh. Dia tidak punya jadwal tetap dalam melukis. Sebagaimana menggubah puisi, itu tidak bisa dilakukan dengan jadwal. Dia akan melukis bila inspirasinya muncul. Kadang dia melukis seharian hingga lupa makan, kadang tidak melakukannya selama seminggu, kadang hanya berdiri dihadapan karyanya yang belum jadi hampir setengah hari untuk mengkritisi Pernah pula dia datang dengan terpongah-pongah, mengambil alat, menggores hanya beberapa garis, kemudian berlalu pergi.
Pernah Leo mengikuti seseorang yang menarik perhatianya untuk diamati dengan seksama lalu dilukisnya setiba di rumah. Pernah juga dia menjamu teman temannya, sambil itu dia menceritakan kelakar yang membuat teman-temannya itu tertawa lepas terbahak-bahak, sambil mereka tertawa Leo memperhatikan mereka dengan seksama. Setelah semua pulang dia melukis peristiwa itu dan siapa yang memperhatikan lukisan orang-orang tertawa itu akan ikut terbahak seolah mendengar sendiri humor itu. Ya, untuk urusan humor saya yakin Leo sangat bisa dan mampu, bukankah imajinasinya amat sangat luarbisa.
Karena menguasai segala bidang ilmu, maka Leo mampu menghubungkan antar disiplin itu. Dan itu membuatnya menjadi pemikir sistematis. Keahlian menggambarnya dapat dijadikan laporan dalam studinya tentang anatomi. Keahlian ini juga dijadikan rancangan dalam bidang tekhnik dan arsitektur. ﹑
Ketika saya mengatakan filsafat lebih tinggi dari sains dan puisi lebih tinggi dari filsafat, tiba-tiba Leo mengatakan lukisan jauh lebih tinggi daripada puisi. Entah benar, entah hanya pendapat dia secara subjektif semata, tapi memang sebuah lukisan tertentu dapat menginspirasi beberapa puisi. Leo juga mengatakan puisi lebih tinggi dari musik dan seni patung. Dalam lukisannya, ekspresi wajah benar-benar mampu mencerminkan kondisi jiwa. Inilah yang sangat jarang ditemukan pada karya-karya seniman lain. Keterampilan dan kepiawaiannya sangat sulit ditemukan pembandingannya.
Raja Prancis, Francois I adalah salah seorang yang sangat mengapresiasi bakat Leo. Dia mengundang Leo tinggal di istananya dan jadilah Leo seperti Aristoteles bagi Alexander. Dan ternyata Prancis membuktikan diri sebagai perawat yang baik atas karya-karya Leo terutama lukisan. Di museum Louve hingga kini dapat dilihat karya-karya agung san seniman. Sayangnya, Notebook Leo tidak dapat diselamatkan dengan baik. Lembaran-lembaran berharga itu berpencar-pencar dan diperjual belikan. Di samping itu, banyak juga lukisan Leo yang tidak bisa diselamatkan karena menggunakan alat dengan kualitas yang kurang memadai. Sayang sekali. (selengkapnya lihat h.176-180).
Sebagai seorang ilmuan, Leo tidak ragu merekonstruksi sains sebelumnya dan menyesuaikan dengan hasil penelitiannya. Sains Leonardo bukanlah barang yang dikreasikan dari ketiadaan. Sainsnya adalah rekonstruksi dari sejarah panjang sains dan filsafat sejak Persia, India, Cina, Romawi, Yunani, Timur-tengah lalu Spanyol dan Italia. Para humanis Italia sering melakukan perjalanan ke timur dan banyak membawa pulang manuskrip-manuskrip berharga (h.184).
Dengan sangat jujur Chapra (h.185) menulis: ''Pada abad ke-7, pasukan muslim yang perkasa memperoleh inspirasi dari agama baru, Islam'' Agama baru ini menginspirasi kaum muslim untuk menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, mengkritisi, mengomentari dan mengasimilasi dengan kebudayaan mereka. Maka warisan itelektual Yunani di tangan ummat Islam memperoleh wajahnya yang baru. Warisan intelektual Yunani ke Islam lalu diwariskan ke Eropa terutama Spanyol, Italia dan Prancis. Dibutuhkan kejujuran kaum intelektual Eropa untuk mengakui jasa Islam atas Renesains mereka. Dan sayangnya orang-orang seperti ini sangat langka. Chapra adalah salah seorang yang langka itu.
Chapra melanjutkan ''Para pemimpin agama Islam menekankan kasih sayang, keadilan sosial dan pembagian kesejahteraan yang adil. Spekulasi-spekulasi teologis dianggap kurang penting dan dihalang-halangi. Hasilnya para sarjana Arab bebas membangun teori-teori filsafat dan ilmiah tanpa harus takut disensor oleh otoritas relijius''. Kebebasan inilah yang membuat sains di dunia Islam tumbuh berkembang dengan baik hingga tidak terbatas. Pengalaman ini jauh berbeda dengan dunia Kristen. Di sana, setiap pengembangan sains disensor sedemikian rupa, jangan sampai ada yang bertentangan dengan tafsir aristotelian yang keliru itu atas Injil. Kekonyolan inilah yang menyebabkan sains dunia Kristen begitu terhambat. Banyak pemikir yang harus mengurungkan rencana untuk mempublikasi karya gemilangnya karena tampak berseberangan dengan doktrin gereja.
Di sini kita menemukan sains Leo banyak bertentangan dengan cara pandang sains aristotelian-atomistik yang dianut gereja. Sains yang berkembang di Eropa adalah sains yang berdasarkan kekeliruan Ibn Rusyd (Averroes) dalam memahami kajian metafisika Ibn Sina (Avicenna) (lihat kajian tentang Avicenna dan Tosihiko Isutzu 'Struktur Metefisika Sabzawari', Bandung: Pustaka, 2003, h.31). Dualitas yang dimaksud Avicenna sebenarnya hanya terjadi pada alam konsep. Tetapi oleh Averroes ditafsirkan terjadi di alam eksternal. Kekeliruan ini mewariskan dualisme keliru bagi Barat. Aquinas jadinya merumuskan kerajaan Tuhan dan kerajaan bumi secara parsial. Descartes memberi jurang pemisah antara alam pikiran dengan alam eksternal seolah kedua itu adalah entitas-entitas yang tidak saling berhubungan ataupun berhubungan secara profesional (Chapra, h.331). Kekeliruan Descartes ini tentunya ia wariskan dari Aquinas dan Averroes yang pengaruhnya sangat kental atas renesains. Tak ayal, selularisme juga karena kekeliruan pemahaman Averroes atas Avicenna. Maka jadilah filsafat dan sains modern Barat adalah warisan kekeliruan. Karena kekeliruan ini diamini gereja, maka sistem sains holistik Leo tentunya akan ditentang.
Kesesatan epistemologi Eropa baru disadari pada abad ke-20 oleh Martin Heideggar. Dia menolak mentah sistem epistemologi Barat modern dan membangun eksistensialisme tanpa epistemologi. Tanpa epistemologi saya pikir tentu saja keliru. Sebuah sistem filsafat tanpa epistemologi adalah tidak benar; menggunakan sistem epistemologi keluru juga lebih tidak benar. Setidaknya, melalui pandangan sains modern pasca Einstein kita dapat menemukan sains Leo adalah sains yang sangat sesuai dengan sistem sains mutakhir. Kalau saja Leo ,mempublikasikan sainsnya sejak dia hidup tentu ini akan merubah wajah sains Barat modern warisan Bacon yang melihat alam sebagai mesin atau sebuah entitas yang harus ditaklukkan supaya dapat didominasi dan dikuasai. Selain bertentangan dengan otoritas gereja, sains Leo yang jauh melampaui zamannya akan sulit dipahami pada masa itu juga alasan lain kenapa Tuhan menunda penyebaran sains Leo.
Pandangan Aristoteles adalah warisan dari para filosof alam yang melihat alam sebagai benda mati yang harus ditaklukkan. Filsafat Aristoteles tentu saja sudah mengalami banyak modifikasi ditangan filosof muslim utamanya Al-Kindi dan Avicenna. Leo sendiri menolak pandangan filsafat Aristoteles secara umum. Dia lebih melihat alam sebagai jaringan hidup yang berkaitan satu dengan yang lainnya. Dalam bidang matematika, Leo banyak dipengaruhi matematikawan muslim seperti Al-Khawarizmi, Omar Khayyam, dan Ibn Haytam (Alhazen) (Chapra, h. 199-200). Matematikawan muslim ini cenderung pada pendekatan aljabar sekalipun nantinya Leo lebih tertarik pada sistem geometri dengan mengemukakan beberapa kritiknya terhadap aljabar.
Leo juga adalah seorang peneliti medis termasyhur. Dia banyak merujuk pada karya Claudius Galenus dari Roma yang karyanya itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Tetapi orang yang paling mempengaruhi Leo dalam bidang kesehatan adalah Avicenna melalui ensiklopedinya 'Canon of Medicine' (ibid, h. 204) Sama seperti Avicenna, Leo juga meyakini kunci kesehatan terletak pada emosi pasien.
Seolah ingin mengukuhkan Leo sebagai sorang filsuf, Chapra menegaskan bahwa Leo telah memenuhi salah satu ''kriteria'' menjadi seorang filsuf yakni menguasai teori para filsuf sebelumnya. Dikatakan Chapra (h. 206) bahwa Leo menguasai dengan baik 'Timeus' karya Plato, ''...Ia juga memeliki beberapa karya Aristoteles, terutama Fisika'' . Leo juga memiliki karya-karya filsuf alam seperti Phytagoras, Archimedes dan Euclid. Ia juga mempelajari karya filosof muslim seperti karya Abu Mashar (Albumazar) tentang astronomi. Leo mengkaji ensiklopedi kesehatan Avicenna melalui terjemahan berbahasa italia (h, 207). Semua karya yang dipelajari ia uji secara ilmiah, dikoreksi dan dikritisi.
Apa yang diutarakan Leo disepakati oleh Popper ratusan tahun kemudian. Bahwa sains musti berbasis pengalaman. Chapra (h.214) mengatakan orang memberi penghormatan kepada Galileo Galilei sebagai orang pertama yang menerapkan sistematika sains modern. Tetapi kalau saja Notebook Leo dipublikasikan selagi dia hidup, tentu penghormatan itu diberikan kepadanya. Tampaknya Chapra sendiri melakukan kesilapan. Ilmuan muslim ratusan tahun sebelumnya telah menerapkan sistematika sains sedemikian rupa. Jabir Ibn Hayyan, Rayhan Al-Biruni dan Ibn Khaldun adalah beberapa diantaranya yang menerapkan tertib sains berbasis pengalaman, observasi dan penerapan sistematika pelaporan yang sesuai kaidah-kaidan sains modern dan mutakhir.
Tak ayal lagi, mimpi setiap ilmuan multi disiplin adalah menemukan sebuah alat yang dapat mewujudkan mimpi semua manusia yakni terbang. Chapra mengatakan Leo adalah orang pertama yang benar-banar serius berusaha menemukan alat yang dapat membantu manusia lepas dari hukum sejati alam: gravitasi. Dalam hal ini Chapra keliru lagi. Ilmuan muslim tercatat adalah orang pertama yang serius mencari alat terbang. Bahkan Al-Idrisi pernah berhasil menemukan alat terbang semacam layangan berukuran besar yang dimodivikasi sedemikian rupa. Al-Idrisi pernah berhasil tterbang beberapa kali dengan alatnya ini. Dia terjun dari ketinggian dan melayang dalam waktu yang sangat lama di udara. Sebuah kecelakaan yang Mengakibatkan cidera membuat Al-Idrisi terpaksa meninggalkan penemuannya ini. Sayang sekali sumber Harian Republika yang melaporkan ini tidak mengulas apakah ada yang meneruskan penemuan Al-Idrisi ini. Tetapi dilaporkan, orang Barat banyak mengambil inspirasi untuk belajar terbang darinya. Jadi, termasuk orang Eropa sendiri, Leo tampaknya bukanlah orang pertama yang serius dalam mencari alat terbang. Mengamati alat terbang Leo dan Al-Idrisi, terlihat Leo terlalu berpaku pada bentuk alat terbang berupa sayap menyerupai burung terus-menerus. Leo terlalu yakin bahwa sayaplah yang menjadi penentu utama burung bisa terbang. Berbeda dengan Al-Idrisi yang lebih menyesuaikan bentuk sayap dengan kebutuhan. Leo lupa bahwa yang paling penting dari burung hingga bisa terbang bukan cuma sayap tetapi juga struktur tulangnya yang begitu tidak padat dan ringan. Pada halaman 244 'Sains Leonardo', Chapra mencantumkan gambar rancangan model alat terbang lain karya Leo. Dalam rancangan gambar itu, Leo merencanakan sebuah alat terbang yang pengendaranya memutar sebuah katrol secara terus-menerus untuk terus mengepakkan sayap rancangannya. Sekalipun rancangan ini selamanya sebatas gambar, setidaknya semangat dan usaha Leo untuk menciptakan alat terbang menjadi motivasi manusia setelahnya untuk terus berusaha mengembangkan alat terbang. Kalau mesin waktu benar-benar ada, saya akan menjemput Leo dan Al-Idrisi untuk ikut serta dalam 'Joy Flight' pesawat Sukhi versi komersil dan mengantar mereka kembali ke surga melalui puncak gunung Salak.

Salah satu ekspektasi Leo mempelajari anatomi manusia adalah dia ingin mengetahui rahasia kehidupan. Tepatnya dia ingin mengetahui bagaimana nyawa berhubungan dengan badan. Setelah melakukan studi yang panjang akhirnya Leo menyimpulkan bahwa jiwa terletak di ''rongga yang berada di pusat otak'' (Chapra, h.328). Fungsi jiwa ini dijelaskan untuk ''...mengevaluasi kesan-kesan sensorik dan mentransfernya ke memori, dan jiwa juga merupakan asal-usul gerakan tubuh yang sukarela, yang dihubungkan dengan akal dan penilaian'' (h.329). Lebih jauh Leo mengatakan bahwa gerakan material berasal dari gerakal jiwa. Dia menyebutnya 'gerakan spiritual'. Melihat konsep ini saya teringat konsep gerak substansial Mulla Shadra. Dan memang sejauh yang dapat kita amati, konsep ini mirip karena keduanya menerima gerak tidak sebatas pada level aksiden tapi juga substansial. Jiwa, dalam kajian filsafat merupakan bagian dari kategori substansi.
Pemutusan lokasi jiwa bukan sekedar asumsi yang ditarik setelah dalamnya penelitian. Leo sebelumnya juga mempertimbangkan pemikiran-pemikiran filosof sebelumnya mengenai tahta jiwa. Aristoteles sendiri lebih cendering kepada jantung, Averroes berpendapat jiwa adalah keseluruhan tubuh yang tidak punya posisi spesifik (h. 334).
Leo mengatakan setelah jasad memiliki bentuk yang memadai, barulah ruh menempati tubuh. Padangan ini sejalan dengan Al-Qur'an. Dan saya sendiri ingin mengatakan bahwa terdapat ''jiwa semesta'' yang terus menerus bergerak melakukan perubahan jasad. Jiwa semesta ini tentu saja tidak dapat disamakan dengan ruh itu sendiri.
Tampaknya Leo sendiri tidak dapat membedakan antara ruh dengan jiwa. Dia juga mencampur-aduk 'nyawa' dengan 'jiwa'. Leo mengatakan ruh mengatur kondisi cuaca untuk menciptakan bentuk materi tertentu (h. 335). Saya kira, yang membentuk kondisi ini adalah jiwa atau yang saya sebut 'jiwa semesta'. Gerak 'jiwa semesta' ini yang merupakan gerak substansial mengimplikasikan mewujud dan bergeraknya aksiden materi secara terus-menerus. Dalam studinya tentang hal paling unik dan paling menarik (saya sebut 'yang paling membuat penasaran') yakni tentang rahasia nyawa, alih alih mempelajari tentang cara untuk hidup, ternyata dia sedang mempalajari cara untuk mati. Leo sendiri melukiskan: ''Sementara aku mengira bahwa aku sedang mempelajari bagaimana caranya untuk hidup, ternyata aku tengah mempelajari cara untuk mati''
Salah satu hal paling menarik bagi Chapra tentang Leo adalah dia mampu merumuskan teori tentang proses masuknya pengetahuan dari alam eksternal menuju memori dalam pikiran sekalipun tanpa modal pengetahuan ''tentang sel, molekul, biokimia, elektromagnetisme'' (h.336). Chapra sangat menyesal kenapa hanya karya-karya seni Leo saja yang mempengaruhi Eropa modern tetapi berbagai karya sainsnya ''selama berabad-abad tersembunyi, terputus dari perkembangan sains modern'' (h.337).
Leo adalah orang yang amat rendah hati. Tetapi untungnya dia menyadari keunikan yang diberikan Tuhan padanya. Mari kita simak ungkapan Leo yang dikutip Chapra (h.342):

''Bacalah aku, o, pembaca, jika dalam kata-kataku engkau menemukan kesenangan. Karena di dunia ini akan jarang sekali ditemukan orang seperti aku''.

Bila kutipan Leo ini kita limpahkan pada hukum silogisme, maka premis pertama itu menjadi wajib setelah melihat premis keduanya. Premis pertama menjadi anjuran secara sukarela. Tetapi premis kedua memperingatkan dengan tegas sehingga membuat kita merasa menjadi wajib melaksanakan premis pertama itu. Secara tidak langsung Leo memperingatkan bahwa kita akan menyesal bila tidak mempelajari karya-karyanya. Daya persuasi yang kuat namun magis adalah salah satu kelebihan filsuf kita yang satu ini.

Lampung, 19 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar