Kita, muslim, jangan bertindak dengan mengatakan ''yang kulakukan ini Islam'', tapi senantiasa menunjukkan bahwa ''aku yang sedang berbuat ini adalah dalam proses mendekati juga. Aku, sebagai mana dia, kamu dan kita semua adalan dalam proses, belajar, mendekati: menuju yang sempurna itu''. Harapnnya: supaya mereka punya rasa memiliki juga, karena ini juga bukan milik kita semata, tapi milik semua ummat manusia. Jangan karena kita, mereka jadi enggan mengambil yang sebenarnya adalah bagian mereka.
Berbagai pola pikir semakin membuat kolektivitas semakin semraut. Saya melihat semakin banyak yang kita ketahui, semakin dalam peyakinan kita akan ketidakbergunaan melihat dan merespon realitas sebagaimana adanya. Di satu pihak, mereka yang sibuk bergelut dengan teks semakin tenggelam dengan ketakinan: ''materi, alam ini tidak berguna; dia fana semata''. Sebagian lagi yang terlalu disibukkan dengan pengalaman hidup sehari hari tampak melupakan realitas ini sebagaimana dia adanya; sebagaimana seharusnya dia kita perlakukan. Pihak pertama abai bahwa pewujudan alam ini oleh pikiran adalah potensi maha luar biasa. Sekalipun dia adalah bentukan pikiran, namun dia adalah wahana satu-satunya untuk mengaktualisasi segala potensi (fitrah) yang kita miliki. Pihak kedua selayaknya melihat realitas ini sebagai bentukan pikiran yang tidak seharusnya kita larut ke dalam esensi yang kita bentuk dan beri posisi sendiri. Disposisi ini menyebabkan kita menjadi disorientasi. Kalau pihat pertama pesimis, maka pihak kedua gamang. Keduanya perlu merefleksi diri secara mendalam dan berkala intens. Apa yang kita alami sebagai realitas harus kita sadari sejatinya, yakni sebagai pemaknaan oleh diri kita masing-masing. Dalam ha ini, maka tidak perlulah klaim dan fanatik buta itu.
'Kebebesan' kini menjadi ambigu. Bebas yang kita hirup kini adalah bebas dari rahim materialisme: tidak ada kekebasan dalam materi. Indikasi 'bebas' yang sebenarnya adalah ketika segera kita mampu menyelami diri dan membuat aturan-aturan untuk pribadi. Kemudian setiap individu yang telah punya aturan untuk diri yang dibuat oleh diri, saat bertemu individu yang lain secara tidak terkata perlahan memperhihatkan satu kepada yang lain ''ini aturanku untuk diriku, mohon dihargai''. Dari hal ini, lahirlah aturan bersama untuk bersama. Maka mustahil salah satu orang ini akan melanggar aturan bersama itu karena dia sendiri pula yang menyusunnya.
Kebebasan itu adalah untuk memberi kesempatan kepada diri untuk menyelam ke dalam diri guna menemukan fitrah umum diri sebagai manusia serta potensi-potensi diri yang dimiliki. Semakin kondisi lingkungan memungkinkan diri untuk bebas, semakin kita dapat menemukan kedirian kita dengan jelas. Inilah makna kebebasan kita.
Dunia kita saat ini memungkinkan bagi lingkungan bebas. Tapi bebas yang kita alami saat ini berbeda jauh dengan bebas yang kita maksud dan butuhkan: dapat menuntun kita pada pemaknaan diri ini. Ketika kita diberi tahu: ''kamu bebas'' maka kita telah digiring pada bebas yang menutup ruang pada pemaknaan diri. Ketika kita diberi asumsi bebas, ternyata yang kita alami justru bertolak belakang. Ternyata yang kita alami adalah kondisi sempit yang membuat panik dan realitas yang bahkan menutup sama sekali pintu pilihan. Kita hidup dengan ''ritualitas'' bukan pilihan kita. Jalan yang kita pilih nyatanya sebuah ekspresi keputusasaan. Kepanikan ini membuat kita linglung, gamang, hilang arah. ''Zaman membuat manusia menjadi individu yang terpisah. Orang akhirnya gentar berdiri di atas kaki sendiri. Ia pun masuk ke dalam kelompok, berpegang pada satu ajaran bersama, berlindung.'' (Goenawan Mohamad)
Untuk Barat, Martin Heidegger (Hei) adalah orang pertama yang mengajak manusia-manusia ''Maghrib '' untuk sadar akan realitas. Hei adalah filsuf terkemuka abad ke-20. Dia hidup dengan sederhana, suka bekerja sebagai petani, tinggal di sebuah gubuk kawasan pertanian dekat pegunungan meski menjabat segaia Guru Besar universitas. Hei adalah sosok filsuf tampak cocok dengan sosok seorang filosof yang ada dalam imanijasi anak muda yang telah berada di tepi gerbang masuk filsafat. Hei sangat gemar menyaksikan pertandingan sepakbola: mengidolakan Franz Beckenbauer dan menjadi supporter tim SV Hamburg.
Hei sangat relijius, tapi dia menjaga jarak dengan komunal agama. Baginya orang relijius bukanlah mereka yang suka membuat kelompok atau komunitas mengatasnamakan agama. ''Orang harus berpikir historis. Dan di manapun orang banyak berdoa, di sana yang ilahi dekat dengan cara yang sangat khusus'' demikian ungkapan Hei sebagaimana dialih bahasakan oleh F. Budi Hardiman ('Heidegger dan Mistik Keseharian', Jakarta: KPG, 2003, h. 19).
Dalam mukaddimah 'Isyarat Wattanbihat' Allama Thabattaba'i merinci dengan detail realitas di sekitar kita: udara yang kita hirup, matahari yang menyinari, langit yang menaungi, tanah yang memberi landasan, segala realitas ini kita yang kita yakini pasti keberadaannya sebab kita bisa saling berinteraksi dengannya, sama mungkinnya bahwa dia tiada atau hanya sekedar ilusi kita. Segala realitas ini, ditawarkan oleh Husserl untuk kita lihat sebagaimana kita melihatnya untuk pertama kali. 'Lihat' di sini adalah dengan mengerahkan segenap indera, intelek bahkan intuisi dan segenap potensi lain untuk memberi makna bagi segala yang di'lihat'. Bukan hanya realitas terindera, tetapi segala macam yang memiliki nama dan segala hal yang bisa dimaknai. Tapi merunut pada fenomena tentang Ada, kita tidak boleh terburu memberi makna apalagi nilai terhadap segala yang ada. Saran Hei, biarkan sang ada sendiri memperlihatkan dirinya dengan ke-Ada-annya, biarkan sang Ada menyingkap dirinya.
Kebebasan yang kita perlukan bukanlah waktu luang yang banyak, bukan pula banyaknya pilihan yang ada di depan mata. Kebebasan itu adalah pembebasan diri kepada segala hal yang ada, segala peristiwa: pekerjaan, orang, dan sebagainya dibebaskan untuk membuka dirinya kepada kita. Supaya sang ada itu dapat tersingkap, kita perlu melihatnya dengan khusyuk, mengosongkan diri, tidak keburu menjustifikasi. Dengan membiarkan ada memperlihatkan diri, sembari diri melepaskan segala kecenderungan emosi, maka semakin terbuka kemungkinan Ada memperlihatkan diri pada kita. Menyelami diri juga adalah melepaskan segala kecenderungan emosi. Husserl mengatakan diri berperan membentuk makna pada sang Ada, dengan begitu, maka sang Ada telah tereduksi oleh diri, semakin emosi bertensi, semakin sang ada tereduksi. Karena itu, semakin kita menyami diri, sang Ada semakin tampak.
Pemikiran Barat modern yang bermula dari Descartes mengandalkan 'aku' sebagai pencipta 'ada'. Descartes mengingkari 'Ada' yang sejati, 'ada' nya Descartes adalah 'ada' dalam taraf dibawah kendali intelek dan indera, bukan 'Ada' sebagaimanya Ada-nya.
Proyek 'Ada' atau 'Being' di Barat di mulai oleh Kierkegaard, lalu Nietzsche, lalu Husserl dan disempurnakan oleh Hei. 'Ada'nya Sartre menurut Hei adalah humanisme. Proyek 'Ada' di Timur telah di mulai oleh Al-Farabi dan disempurnakan oleh Ibn Sina (Avicenna). Namun untuk Timur, 'Ada' telah lama di mulai dan tampaknya telah berusia umur manusia itu sendiri. Tradisi kearifan Timur hampir tidak pernah melihat Ada yang berada di bawah cengjeraman intelek. Untuk tradisi filsafat dalam Islam, Ada yang dimaksud Hei adalah ada yang tidak bersyarat. Istilah Islam menamainya sebagai 'wujud'.
Filsafat Islam membagi wujud kepada tiga bagian. Pertama Wujud murni yang bersyarat negatif atau bisyarti la, kedua adalah wujud mutlak yaitu tak bersyarat dan wujud campuran atau bersyarat karena sesuatu. Yang ketiga gambarannya adalah 'Ada' sebagai materi-materi dan kejadian-kejadian di alam eksternal, kedua adalah betukan pikiran dan yang ketiga adalah wujud yang sama sekali melampaui indera dan akal. 'Ada' yang ketiga ini tidak dalam konsidi untuk dikaitkan dengan akal ataupun indera. Dia adalah 'Ada' Mutlak. Ada ini sangat sederhana, saking sederhananya, dia tidak dapat didefenisikan. Sederhana ini diistilahkan dengan 'basith' (lihat Yazdi, 2010:205).
Filsafat Avicenna (Ibn Sina) bila tidak dilihat secara keseluruhan akan melahirkan kekacauan yang serius. Inilah yang dilakukan Averroes (Ibn Rusyd) yang mengambil filsafat Avicenna dari sisi epistemologinya saja dengan berbagai kekeliruan pula. Filsafat Averroes Inilah yang menjadi janin bagi filsafat Barat. Maka kalaupun filosof Barat hendak menerawang pada ranah metafisik, mereka membayangkan hal yang tinggi dan mengawang. Dalam posisi ini, dimensi alam kita ini menjadi tampak rendah. Selanjutnya 'rendah' ini dimaknai sebagai kehinaan, kesepelean.
Adalah Hei filsuf Barat pertama yang memberi penghargaan yang tinggi atas alam kita yang sebenarnya menurut saya adalah paling ''tinggi'' ini. Melalui dimensi yang hanya kita saja yang mampu menciptakan dan berinteraksi dengannya ini Hei meyakini sang Ada akan memperlihatkan diri dengan sempurna: sang Ada, malah akan tampak paling utuh melalui ada yang kita berinteraksi dengannya ini, alamm eksternal.
Hei adalah orang pertama yang mampu melampaui dimensi epistemologis menuju ontologis. Pada ruang ini, tidak lagi berkutat pada hal-hal yang masih terkait dengan ekuivokal dan teknik-teknik logika yang sempit tetapi menuju realitas Eksistensi Murni. Masalah yang dialami pengaji Hei adalah mengenai kata-kata. Pada dimensi ontologis itu, kata-kata yang telah ada, dianggap mapan dan diakui tidak mampu memenuhi apa yang apa yang ingin diwakilkan dari realitas itu. Bahkan Hardiman mengatakan telah dibuat Kamus Hei karena filsuf berpenampilan sederhana itu banyak memakai kata-kata yang belum dikenal masyarakat saat hendak menginformasikan apa yang ia temui dalam realitas tertinggi itu, realitas ontologis.
Hei benar membuat saya terkejut. Saya mengenanya melalui Toshihiko Isutzu yang menyinggungnya dalam 'Struktur Metafisika Sabzawari'. Awalnya saya sama sekali tidak percaya kalau ada pemikir Barat yang membicawakan 'Ada' secara ontologis. Saya hanya menduga ''ah, paling-paling Isutzu yang berlebihan''. Saya segera ke perpustakaan dan menemukan 'Being and Time' Hei. Saya bolak-balik halamannya. Saya cari bagian yang membicarakan inti persoalan. Bahasanya memang berat, sulit dipahami. Tapi gambarannya memang membenarkan Isutzu. 'Ada' yang begitu murni itu, sangat simple, 'basith' , adalah hal yang meng-'ada' pada segala yang ada yang majemuk dalam alam materi.
Sebelumnya, Hei memperingatkan kita akan pentingnya membedakan Ada dengan segala materi beraneka ragam. Bahasa Arab yang dipakai filsafat Islam lebih beruntung sebab mereka dengan jelas dapat membedakan antara 'ada' pada realitas eksternal dengan istilah 'mawjud' dengan 'Ada' yang murni itu dengan istilah 'Wujud. Melalui Hei semua sadar bahwa tema yang dibicarakan filsafat Islam jauh lebih mendalam daripada yang dibacarakan Barat modern dan Yunani klasik sekalipun. Awalnya juga saya tidak percaya, saya kira hanya klaim senior dan dosen saja karena mereka ahli dan praktisi filsafat Islam sehingga mendiskreditkan filsafat Barat. Tapi ternyata saya menemukan bahwa yang dibicarakan Barat adalah hal-hal tidak substansial. Bahkan tema filsafat mereka hanya sekulit bawang lebih tinggi daripada disiplin-disiplin ilmu umumnya. Kemendalaman sebuah bahasan filsafat tidak dilihat dari rumit tidaknya seorang filsuf mengemukakan pemikirannya, tetapi tema apa yang dia usung. Anehnya, pemikir Barat pula yang mempertanyakan orisinalitas filsafat Islam. Memang, mereka berusaha merebut pencitraan, sebab bila seseorang berhasil melihat kedua aliran filsafat ini secara objektif, maka mereka tidak akan lagi menghargai filsafat Barat, bahkan berpotensi besar untuk tidak dianggap sebagai 'filsafat'.
Hei masih saya pertimbangkan sebagai pengecualian. Dia menggatakan tidak semua mawjud menanyakan tentang Ada, yang mempertanyakan ada hanya manusia. Tapi bahkan sebelumnya tidak hanya Hei sendiri yang menanyakan ada, jangankan semua manusia, bahkan para fillosof Barat sebelum dia, tidak mempertanyakan Ada. Pula, mana bisa kita pastikan bahwa selain manusia tidak mempertanyakan Ada. Keyakinan Hei ini menjadi alasan baginya untuk menolak istilah 'manusia'. Baginya kata itu tidak bisa direfer pada realitas eksternal. Dieksternal hanya ada partikular Joko, Ahmad, Sulaiman. Baginya, antar individu itu punya horison dan cara pandang yang sangat berbeda. Pernyataannya ini menunjukkan dia meyakini setiap ada selain manusia, dalam setiap spesiesnya pasri punya karakter sama. Ini menunjukkan 'Ada' bagi Hei hanya terbagi pada dua kategori: ada sebagai partikular eksternal dan Ada sebagai realitas murni.
Hei secara langsung menggeneralkan kesamaan antar partikular. Antara satu monyet dengan monyet yang lain baginya sama sama sekali. Ini bernahaya bagi epistemologi filsafat. Kalau begini, maka antara satu kursi dengan kursi yang lain mesti sama. Secara partikular, herder gila dengan puddle haruslah sama. Ini keliru. Sebenarnya antar partikular tidak ada yang sama. Setiap satu dengan yang lain, selagi dia masih dapat ditunjuk secara terpisah tidaklah sama. Dua ekor anak ayam meski tampak sangat mirip hingga bila tidak dapat dibedakan bila salah satu diantara keduanya saja yang dilihat sejatinya tidaklah sama pada realitas eksternal. Kesamaan antar genus hanya ada dalam konsep atau dalam akal. Ketika ingin memperlihatkan Ada di realitas eksternal dengan cara terserah Hei, ia mengabaikan hal yang disebut 'esensi' atau 'mahiyah' yaitu pembeda antar partikular yang se-jenus.Tampaknya Ada bagi Hei adalah Ada yang dipaksakan. Alasannya? Selain seperti yang disebutkan di atas, Hei juga memaksakan Ada dengan tanpa memberi peluang pada akal untuk membentuk kategori-kategori. Saat ditanya sesuatu 'apa itu?' orang akan mengatakan 'itu kursi'. Bagi Hei, itu diabaikan, yang penting bagi Hei adalah 'adakah itu?' Pola Hei ini sama dengan menutup kemungkinan bagi akal untuk membentuk kategori. 'Adakah ini?' memang idealnya harus mendahului, setidaknya ini bagi penganut kemendasaran eksistensi, tetapi kalangan ini sendiri tetap menerima 'apakah ini?'. 'Adakah ini' merupakan prasyarat bagi akal untuk membentuk kategori. Hei memang menerima realitas partikular (eksistensiil) atau mawjud yang berarti dia telah menerima prasyarat akal, tetapi tampaknya dia mengabaikan status universalia partikular. Hei langsung menuju Ada murni setelah ada partikular. Universalia partikular ini pernting karena tidak semua 'ada' bisa berdiri sendiri. Banyak ada yang tidak memiliki wujud luaran. Sebelumnya kita telah mengetahui ada menurut Hei tidak hanya hal terinderai saja tetapi segala hal yang bisa disebut. 'Putih', 'Cantik', 'tinggi', dan banyak ada lainnya membutuhkan partikel aksidental atau hal yang dapat dikonfirmasi di ruang eksternal. Jadi, kalau ada partikular saja yang diterima tanpa menerima Ada spesies, konsekwensinya adalah Hei membatasi Ada pada mawjud dan mengingkari Ada sebagai konsep. Argumennya ini memang bersesuaian dengan cara filsafatnya tentang Ada yakni membiarkan sang Ada muncul melalui realitas eksternal tanpa memberi ruang pada akal untuk membentuk atau memberi peran.
Ditinjau dari satu sisi, memang ketika akal sudah mampu mengenal realitas partikular, itu artinya akal telah menjalankan perannya. Tetapi akal, setidaknya menurut kaum Empirisme, tetap perlu mengolah kembali produknya itu (realitas eksternal yang dusah dikenal sehingga terinderai), setidaknya untuk: menyusun kategori-kategori yang dengannya hal-hal yang tidak terinderai (seperti warna, sifat) dapat disebut sebagai 'ada' juga dan untuk menyimpan memori yang di sana juga terbentuk universalia spesies. Bila meminggakari ini, berarti Hei mengabaikan hukum alamiah akal. Lebih parah lagi bila tidak memerima ini, bagaimana sang Ada bisa tampak sebab kemunculan sang Ada adalah semacam intuisi juga. Intuisi itu sendiri muncul melalui intelek. ''Intuisi adalah intelek yang lebih tinggi'' kata Bergsorn sebagaimana diuraikan Iqbal (2003:27). Munculnya intuisi ini adalah melalui hukum-hukum akal setelah indera merespon realitas eksternal. Namun karena kemunculannya begitu cepat, menjadilah dia dianggap seolah-olah bukan melalui akal yang biasanya bekerja secara perlahan.
Hei memang punya cara berfilsafat sendiri. Dia tidak menerima sistem epistemologi sebagaimana diterapkan rasionalis sebelumnya. Bahkan dia mengkritik habis-habisan sistem filsafat bapak rasionalisme modern, Rene Descartes. Sistem berfikir yang punya aturan logika yang telah ditentukan alir dan jalannya memang menutup pintu perkembangan pemikiran itu sendiri. Sistem itu menutup kemungkinan untuk banyak hal termasuk hadirnya sang Ada. Hei sendiri mengatakan penyingkapan kebenaran itu bukan melalui akal tapi hati. Tampaknya memang sistem epistemologi Barat malah semakin menggiring kita menjauh dari realitas. Sistem yang dibangun Hei melihat manusia sebagai kejatuhan. Kejatihan yang dia maksudkan adalah kemeng-ada-an manusia manusia dengan peristiwa. Segala pengalaman dan ekspektasi manusia adalah kemeng-ada-annya. Kejatuhannya itu adalah dalam pengalaman dan ekspektasi tersebut. Mungkin kalau Descarters mengatakan ''Aku berfikir maka aku ada'', maka Hei berkata ''Aku mengada maka aku ada'', sekalipun Hei sendiri sepakat bahwa 'aku' itu adalah 'ada' dan 'aku' itu memerlukan syarat yakni kejatuhan yang berarti dengannya terjadi peristiwa dan peristiwa itu memiliki syarat yakni ada yang ekspektasi adalah juga 'ada' sebagai harapan, sekalipun 'mengada' itu sendiri adalah juga ada yang meniscayakan pelibatan 'aku', yang 'aku' ini butuh syarat untuk mengada yakni peristiwa. Demikian tampaknya Hei melihat suatu: Ada. Rumusan pemikiran Hei tentang Ada memang tidak terakomodir bila ia menggunakan sistem logika dan epistemologi.
Hei tidak sepenuhnya menolak rasio. Ketika dia mengadakan manusia menjadi mengada dengan adanya pengalaman dan ekspektasi, maka pengalan ini adalah murni konstruksi rasio, dan ekspektasi adalah gambaran yang dimunculan oleh pengalaman ini. Bila diterawang, pengalaman-ekspektasi itu mengada hadir bersamaan dengan 'aku' sebagai ada. Hei tampaknya memang menolak sistem logika umum. Karena Ada bagi Hei adalah semacam cahaya yang memenuhi diri, maka memang tidak mungkin jalurnya adalah logika yang tampak memang semakin membuat diri terarah kepada lorong sempit yang gelap.
Hei banyak berkonsenterasi untuk menagaskan manusia adalah makhluk meng-ada. Tapi ini memberi stigma bahwa hanya manusia saja yang mengada. Mengadanya salah satunya adalah dengan menggunakan benda sebagai alat-alat dan benda sebagai apa adanya, tidak dipergunakan sebagai alat meski tetap direspon. Pada tataran ini, dari mana Hei dapat memastikan bahwa benda-benda, baik yang dipergunakan maupun tidak, tidak meng-ada. Boleh jadi benda-benda itu juga mengada, baik saat diabaikan, maupun dipergunakan. Ketika sebuah stik golf oleh seseorang dipergukakan sebagai alat, maka yang mengada itu tidak hanya orang itu, tetapi stik itu juga, sekalipun mengadanya tidak sama seperti manusia. Semua yang dapat disebut 'ada' saya kira itu mengada dan oelh setiap makhluk, punya cara mengada masing-masing. Saya memperkirakan pemikiran Hei adalah empirisme juga, walaupun dengan wajah yang berbeda? Kecemasan, kepedulian dan segala rasa yang dialami adalah prasyarat bagi Hei bagi manusia untuk mengada. Maka dengan ini diatidak boleh mengklaim ini hanya dimiliki manusia saja. Hewan juga punya perasaan. Yang dapat teridentifikasi mungkin takutnya, inginnya, dan sebagainya. Kita tidak pernah tahu bagaimana sejatinya rasa milih hewan karena kita belum pernah mengada seperti mengadanya hewan. Tiap hewan dalam spesies yang sama pasti punya rasa berbeda. Berarti Hei keliru ketika dia mengatakan yang mengada secara berbeda hanya manusia. Tumbuhan juga tidak boleh diklaim tidak memiliki rasa.
Artinya, Hei memberikan syarat untuk mengada melalui rasa. Bila begini, maka tidak ada 'ada' sebelum adanya rasa, padahal rasa itu muncul melalui ada. Berarti ada terlebih dahulu berada sebelum adanya rasa. Ini artinya, rasa bukanlah syarat untuk me-ada manusia. Dan seharusnya Hei menerima semua mauwjud itu telah meng-ada sebab dia mampu memancing manusia untuk memiliki rasa yang rasa itulah syarat manusia mengada. Bila rasa adalah syarat meng-ada manusia, maka semakin benarlah dugaan kita bahwa aliran Hei ini empirisme. Bahkan kita tahu bahwa empirisme itu kelak melahirkan romantisme yang juga mengedepankan rasa.
Mungkin banyak yang tidak akan sepakan dengan dugaan Hei adalah seorang empirism. Sanggahannya mungkin adalah: Hei tidak mengabaikan rasionalitas sebagai syarat mengadanya. Ya, kita paham itu, empirisme juga tidak menolak rasio. Apa yang dapat kita inderai dan menentukan kita 'paham' tidak mungkin lepas dari rasio. Semua manusia tidak bisa menolak rasio. Empirisme juga menerima rasio, kalau tidak ada rasio, mastahil mereka punya pengetahuan empiris. Tetapi beda kedua aliran ini adalah apresiasi yang diberikan: kepada rasio atau pengalaman: Dan tampaknya 'apresiasi lebih ideal digantikan dengan kata 'pengakuan' sebab, misalnya boleh jadi rasionalis lebih mengutamakan empirik dalam berfilsafat, tetapi tidak mengakui atau tidak mengetahinya, demikian sebaliknya.
Hei memang sangat menolak Descartes. Perbedaan antara mereka berdua yang sangat kental adalah mengenai kata 'berfikir'nya Descartes. Bagi Hei, emosi kita atau rasa yang dibentuk oleh pengalaman masa lalu dan kemungkinan masa depan tampak sebagai penjamin bahwa kita ada. Kalau Descartes mengatakan syarat untuk mengada adalah berfikir, maka Hei memberi syarat berbeda yaitu dengan membiarkan Ada itu sendiri yang memunculkan dirinya.
Antara pengalaman masa lalu dan estimasi masa depan hadir cacara bersamaan menjadi meng-ada manusia. Tentang kemungkinan masa depan, utamanya kematian, dibahas dengan serius oleh Hei. ''Begitu seorang manusia lahir, dia sudah terlalu tua untuk mati'' ia mengatakan. Hei tidak mengakui adanya kehidupan roh sebelum mengada di dunia ini, di sini dia berseberangan dengan Plato.
Hei mengatakan eksistensi manusia tidaklah sempurna. Orang baik hari ini bisa buruk di masa depan. Berarti mengada manusia adalah mengada yang terbatas. Eksistensi kita yang merupakan satu-satunya andalan untuk mengharapkan Ada tersingkap adalah eksistensi yang terbatas menurut Hei. Katanya, hanya setelah manusia mati barulah eksistensinya sempurna. Seharusnya ber-ada manusia bisa senpurna setelah dia mati. Tapi Hei menolak manusia bisa ber-ada setelah mati. Tampak lagi inkonsistensi di sini. Lagi pula, mustahil tampaknya Ada absolut bisa tersingkap saat ber-ada manusia masih ganjil. Lagi pula, kenapa Hei langsung memastikan bahwa meng-ada tidak bisa lagi dilakukan manusia setelah mati? Hei belum mengalami kematian saat mengatakan itu. Ini murni asumsi. Yang pasti adalah manusia tidak bisa beinteraksi dengan orang mati. Di sini, merujuk Hei sendiri: Kalau manusia masih bisa meng-ada setelah mati, maka pasti meng-adanya adalah sempurna dan kenungkinan penglihatan Ada absolut lebih mungkin.
Pasca Hegel, belum ada epistemologi yang mapan untuk membangun sebuah konsep pemikiran. Hei sendiri termasuk di dalamnya. Nietzsche sendiri sebagai wakil eksistensialisme mengkritik habis sistem-sistem filsafat yang terlalu merunut pada epistemologi. Kalau di lihat dari sudut pandang yang agak berbeda, kita akan menemukan mwmang sejak Plato, sistem pencarian kebenaran manusia terlalu bergantung pada intelek. Hei adalah termasuk orang yang tidak suka gaya model Plato. Dari kaca mata ini, kita dapat menemukan alasan kenapa Hei tidak menyingging wilayah universalia partikular atau quiditas. Secara perlahan, tampaknya memang kita akan kembali kepada sistem filsafat yang tidak membosankan seperti era Plato hingga Hegel.
Dalam karya besarnya 'Being and Time', Hei mengatakan waktu adalah manusia itu sendiri. Dia percaya bahwa waktu itu relatif sama seperti yang dikatakan Einstein. Masa lalu, masa depan, berkumpul untuk membentuk manusia di masa kini.
Memang, Hei adalah sosok romantis, walau akan ada yang membantah, aliran filsafat dan bahkan praktik kehidupannya yang menyendiri ke gunung adalah bagian dari bukti itu. Untuk manusia modern sekarang ini, filsafatnyat idak akan laku keras. Orang-orang butuh perangkat, setiap filsuf perlu punya pegangan, yakni epistemologinya. Hei akan ditinggalkan, orang yang sealiran dengannya sepeti Paul Feyerabend juga akan dilupakan. Tapi manusia punya banyak alasan untuk terus mengenang Karl Popper. Seseorang, untuk diingat dan dikenang, hatus punya jasa. Dan Popper punya. Popper punya sistem logika yang sangat dibutuhkan manusia kini dan akan datang. Tapi Hei, kalau memang harus dikenang, adalah bagian kecil dari cerita seorang eksistensialis pernuh paradoks.
Paradoks? Ya. Mengatakan melalui pengalaman sehari-hari Ada akan muncul dengan mengheningkan diri. Ini adalah norma relijius. Orang berpegang pada relijiusitas agama karena punya keyakinan, pula orang pernah punya bukti bahwa spiritualitas agama memberi manfaat untuk kehidupan mereka. Tapi resep Hei hanyalah nihilisme saja. 'Ada' yang dia maksudkan itu apa? Siapa? Sama saja seperti Nietzsche.
Hardiman mengharapkan Hei bisa menjadi solusi bagi manusia modernuntuk menemukan keheningan dalam kesibukannya yang luar biasa setiap hari. Tapi sayang, Hei tidak punya alat untuk menyapa masyarakat modern yang sedang nestapa itu. Kalaupun ada beberapa di antara mereka yang sempat membaca bukunya, maka segera mereka akan meninggalkannya sebab orang tidak punya jaminan atas apa yang dia maksudkan. Legalitas perlu bagi manusia modern. Dia harus punya sistematika yang jekas, Ada yang ia maksudkan harus dapat dijamin. Kedua hal itu luput dari Hei. Orang-orang masih akan lebih prcaya pada Hindu yang punya gerak dan ritual tertentu untuk menuju Ada. Ada nya orang hindu juga punya legalitas dan jaminan 'Nirwana' mananya.
Dalam teori Hei, orang diajak untuk menyelami dirinya dengan meninggalkan rutinitas melalui rutinitas itu sendiri. Ini dalah jalan lain untuk pelarian. Pada hakikatnya ini tetap lari. Yang dibutuhlan manusia sebebnarnya adalah bagaimana menikmati rutinitas yang memang tidak bisa dihindari itu. Rutinitas berlu dimaknai seindah mungkin supaya kita menikmatinya. Bila mampu menikmatinya, maka makna tertinggi akan hadir dalam setiap detik gerak ativitas. Makna dari setiap aktivitas itu adalah kenikmatan, bukan kecemasan. Bila ekspektasi Hei adalah kecemasan, maka tentu dia menginginkan manusia membenci rutinitasnya.
Yang diinginkan Hei supaya manusia merangkul masa lalu dan masa depannya dan membiarkan kedua itu melingkupinya dan itulah yang ia sebut Ada. Ini adalah cara ampuh membunuh gairah dan semangat manusia. Cara ini akan membutakan semua mata yang manusia miliki. Dia menginginkan manusia hidup dalam keburaman dan kecemasan tidak menentu. Inilah harapan pemikiran Hei. Masa lalu dan masa depan memang membekas dalam kekinian kita, tapi kita harus memposisikan kedua itu seperti spion, hanya ditatap sebentar, sejenak saja. Setelah itu pandangan kita lurus ke depan. 'Ke depan' yang dimaksud adalah masa kini, kekininian. Seorang yang baru saja dipecat pasti memiliki gambaran penyesalan atas kecerobohannya, begitu juga ekspektasi untuk mencari kenja kembali. Tapi penyesalan masa lalu dan harapan masa depan harus meningkir segera. Orang itu perlu berfokus pada kekiniannya dalam merancang strategi menemukan kerja kembali. Memori masa lalu dan gambar masa depan adalah hal alami yang muncul dalam benak kita, tepi fokus kita adalah untuk masa kini, detik ini.
Hei mendakwahkan ketakutan dan kecemasan. Sekalipun Hardiman, seorang penafsir ulung Hei membantah Hei mendakwahkan ketakutan tapi kecemasan. Memakai kata cemas pun tidak apa. Sebuah teror lebih menghasilkan 'cemas' daripada 'takut'. Efek yang lebih berbahaya adalah rasa cemas, bukan rasa takut. Hei menginginkan manusia untuk senantiasa cemas. Filsafat Hei adalah teror. Dalam cemas mustahil manusia mampu menciptakan kondisi bebas untuk dirinya. Padahal, sebagaimana kita sebutkan di awal, kebebasan adalah syarat mutlak untuk: memberi kesempatan kepada diri untuk menyelam ke dalam diri guna menemukan fitrah umum diri sebagai manusia serta potensi-potensi diri yang dimiliki.
Hei adalah penghalang manusia menemukan kondisi fitrahnya. Bila fitrah itu tidak terselami, maka manusia mustahil mengenal diri dan potensinya. Bila potensi tidak di kenal, bagaimana mungkin dapat mengasah diri. Kalau manusia adalah ada, tanpa menemukan diri, mustahil Ada dapat tersingkap.
Bila kita sendiri memelihara kecemasan untuk diri, maka pulakita memeliharanyauntuk orang lain. Sebaliknya bila memupuk dan menyemai kebahagiaan, buahnya dapat dinikmati bersama insan lain. Pemikiran Hei tidak layak untuk dirinya sendiri, apalagi orang lain.
Kita tahu bahwa pemikiran Hei sangat banyak pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat dodern. Di masa modern ini pula kekebasan semakin didengungkan. Kombinasi ini melahirkan kebebasan yang tidak mendasar dan malah menjadikan manusia semakin bimbang.
Kecuali filsafat Islam, semua filsafat dimana dan kapanpun adalah pedoman utama hidup. Kenapa? Karena masyarakatnya tidak memiliki pegangan yang kukuh dapan menjalani hidupnya. Ditinjau sepanjang sejarah, manusia berpegang pada simpul- simpul yang longgar; longgal dalam masa, longgar dalam pondasi. Padahal manusia, sejak semula jadi hinggak akhir masa punya hakikat fitri yang sama.
'Kebebesan' kini menjadi ambigu. Bebas yang kita hirup kini adalah bebas dari rahim materialisme: tidak ada kekebasan dalam materi. Indikasi 'bebas' yang sebenarnya adalah ketika segera kita mampu menyelami diri dan membuat aturan-aturan untuk pribadi. Kemudian setiap individu yang telah punya aturan untuk diri yang dibuat oleh diri, saat bertemu individu yang lain secara tidak terkata perlahan memperhihatkan satu kepada yang lain ''ini aturanku untuk diriku, mohon dihargai''. Dari hal ini, lahirlah aturan bersama untuk bersama. Maka mustahil salah satu orang ini akan melanggar aturan bersama itu karena dia sendiri pula yang menyusunnya.
Kebebasan itu adalah untuk memberi kesempatan kepada diri untuk menyelam ke dalam diri guna menemukan fitrah umum diri sebagai manusia serta potensi-potensi diri yang dimiliki. Semakin kondisi lingkungan memungkinkan diri untuk bebas, semakin kita dapat menemukan kedirian kita dengan jelas. Inilah makna kebebasan kita.
Dunia kita saat ini memungkinkan bagi lingkungan bebas. Tapi bebas yang kita alami saat ini berbeda jauh dengan bebas yang kita maksud dan butuhkan: dapat menuntun kita pada pemaknaan diri ini. Ketika kita diberi tahu: ''kamu bebas'' maka kita telah digiring pada bebas yang menutup ruang pada pemaknaan diri. Ketika kita diberi asumsi bebas, ternyata yang kita alami justru bertolak belakang. Ternyata yang kita alami adalah kondisi sempit yang membuat panik dan realitas yang bahkan menutup sama sekali pintu pilihan. Kita hidup dengan ''ritualitas'' bukan pilihan kita. Jalan yang kita pilih nyatanya sebuah ekspresi keputusasaan. Kepanikan ini membuat kita linglung, gamang, hilang arah. ''Zaman membuat manusia menjadi individu yang terpisah. Orang akhirnya gentar berdiri di atas kaki sendiri. Ia pun masuk ke dalam kelompok, berpegang pada satu ajaran bersama, berlindung.'' (Goenawan Mohamad)
Untuk Barat, Martin Heidegger (Hei) adalah orang pertama yang mengajak manusia-manusia ''Maghrib '' untuk sadar akan realitas. Hei adalah filsuf terkemuka abad ke-20. Dia hidup dengan sederhana, suka bekerja sebagai petani, tinggal di sebuah gubuk kawasan pertanian dekat pegunungan meski menjabat segaia Guru Besar universitas. Hei adalah sosok filsuf tampak cocok dengan sosok seorang filosof yang ada dalam imanijasi anak muda yang telah berada di tepi gerbang masuk filsafat. Hei sangat gemar menyaksikan pertandingan sepakbola: mengidolakan Franz Beckenbauer dan menjadi supporter tim SV Hamburg.
Hei sangat relijius, tapi dia menjaga jarak dengan komunal agama. Baginya orang relijius bukanlah mereka yang suka membuat kelompok atau komunitas mengatasnamakan agama. ''Orang harus berpikir historis. Dan di manapun orang banyak berdoa, di sana yang ilahi dekat dengan cara yang sangat khusus'' demikian ungkapan Hei sebagaimana dialih bahasakan oleh F. Budi Hardiman ('Heidegger dan Mistik Keseharian', Jakarta: KPG, 2003, h. 19).
Dalam mukaddimah 'Isyarat Wattanbihat' Allama Thabattaba'i merinci dengan detail realitas di sekitar kita: udara yang kita hirup, matahari yang menyinari, langit yang menaungi, tanah yang memberi landasan, segala realitas ini kita yang kita yakini pasti keberadaannya sebab kita bisa saling berinteraksi dengannya, sama mungkinnya bahwa dia tiada atau hanya sekedar ilusi kita. Segala realitas ini, ditawarkan oleh Husserl untuk kita lihat sebagaimana kita melihatnya untuk pertama kali. 'Lihat' di sini adalah dengan mengerahkan segenap indera, intelek bahkan intuisi dan segenap potensi lain untuk memberi makna bagi segala yang di'lihat'. Bukan hanya realitas terindera, tetapi segala macam yang memiliki nama dan segala hal yang bisa dimaknai. Tapi merunut pada fenomena tentang Ada, kita tidak boleh terburu memberi makna apalagi nilai terhadap segala yang ada. Saran Hei, biarkan sang ada sendiri memperlihatkan dirinya dengan ke-Ada-annya, biarkan sang Ada menyingkap dirinya.
Kebebasan yang kita perlukan bukanlah waktu luang yang banyak, bukan pula banyaknya pilihan yang ada di depan mata. Kebebasan itu adalah pembebasan diri kepada segala hal yang ada, segala peristiwa: pekerjaan, orang, dan sebagainya dibebaskan untuk membuka dirinya kepada kita. Supaya sang ada itu dapat tersingkap, kita perlu melihatnya dengan khusyuk, mengosongkan diri, tidak keburu menjustifikasi. Dengan membiarkan ada memperlihatkan diri, sembari diri melepaskan segala kecenderungan emosi, maka semakin terbuka kemungkinan Ada memperlihatkan diri pada kita. Menyelami diri juga adalah melepaskan segala kecenderungan emosi. Husserl mengatakan diri berperan membentuk makna pada sang Ada, dengan begitu, maka sang Ada telah tereduksi oleh diri, semakin emosi bertensi, semakin sang ada tereduksi. Karena itu, semakin kita menyami diri, sang Ada semakin tampak.
Pemikiran Barat modern yang bermula dari Descartes mengandalkan 'aku' sebagai pencipta 'ada'. Descartes mengingkari 'Ada' yang sejati, 'ada' nya Descartes adalah 'ada' dalam taraf dibawah kendali intelek dan indera, bukan 'Ada' sebagaimanya Ada-nya.
Proyek 'Ada' atau 'Being' di Barat di mulai oleh Kierkegaard, lalu Nietzsche, lalu Husserl dan disempurnakan oleh Hei. 'Ada'nya Sartre menurut Hei adalah humanisme. Proyek 'Ada' di Timur telah di mulai oleh Al-Farabi dan disempurnakan oleh Ibn Sina (Avicenna). Namun untuk Timur, 'Ada' telah lama di mulai dan tampaknya telah berusia umur manusia itu sendiri. Tradisi kearifan Timur hampir tidak pernah melihat Ada yang berada di bawah cengjeraman intelek. Untuk tradisi filsafat dalam Islam, Ada yang dimaksud Hei adalah ada yang tidak bersyarat. Istilah Islam menamainya sebagai 'wujud'.
Filsafat Islam membagi wujud kepada tiga bagian. Pertama Wujud murni yang bersyarat negatif atau bisyarti la, kedua adalah wujud mutlak yaitu tak bersyarat dan wujud campuran atau bersyarat karena sesuatu. Yang ketiga gambarannya adalah 'Ada' sebagai materi-materi dan kejadian-kejadian di alam eksternal, kedua adalah betukan pikiran dan yang ketiga adalah wujud yang sama sekali melampaui indera dan akal. 'Ada' yang ketiga ini tidak dalam konsidi untuk dikaitkan dengan akal ataupun indera. Dia adalah 'Ada' Mutlak. Ada ini sangat sederhana, saking sederhananya, dia tidak dapat didefenisikan. Sederhana ini diistilahkan dengan 'basith' (lihat Yazdi, 2010:205).
Filsafat Avicenna (Ibn Sina) bila tidak dilihat secara keseluruhan akan melahirkan kekacauan yang serius. Inilah yang dilakukan Averroes (Ibn Rusyd) yang mengambil filsafat Avicenna dari sisi epistemologinya saja dengan berbagai kekeliruan pula. Filsafat Averroes Inilah yang menjadi janin bagi filsafat Barat. Maka kalaupun filosof Barat hendak menerawang pada ranah metafisik, mereka membayangkan hal yang tinggi dan mengawang. Dalam posisi ini, dimensi alam kita ini menjadi tampak rendah. Selanjutnya 'rendah' ini dimaknai sebagai kehinaan, kesepelean.
Adalah Hei filsuf Barat pertama yang memberi penghargaan yang tinggi atas alam kita yang sebenarnya menurut saya adalah paling ''tinggi'' ini. Melalui dimensi yang hanya kita saja yang mampu menciptakan dan berinteraksi dengannya ini Hei meyakini sang Ada akan memperlihatkan diri dengan sempurna: sang Ada, malah akan tampak paling utuh melalui ada yang kita berinteraksi dengannya ini, alamm eksternal.
Hei adalah orang pertama yang mampu melampaui dimensi epistemologis menuju ontologis. Pada ruang ini, tidak lagi berkutat pada hal-hal yang masih terkait dengan ekuivokal dan teknik-teknik logika yang sempit tetapi menuju realitas Eksistensi Murni. Masalah yang dialami pengaji Hei adalah mengenai kata-kata. Pada dimensi ontologis itu, kata-kata yang telah ada, dianggap mapan dan diakui tidak mampu memenuhi apa yang apa yang ingin diwakilkan dari realitas itu. Bahkan Hardiman mengatakan telah dibuat Kamus Hei karena filsuf berpenampilan sederhana itu banyak memakai kata-kata yang belum dikenal masyarakat saat hendak menginformasikan apa yang ia temui dalam realitas tertinggi itu, realitas ontologis.
Hei benar membuat saya terkejut. Saya mengenanya melalui Toshihiko Isutzu yang menyinggungnya dalam 'Struktur Metafisika Sabzawari'. Awalnya saya sama sekali tidak percaya kalau ada pemikir Barat yang membicawakan 'Ada' secara ontologis. Saya hanya menduga ''ah, paling-paling Isutzu yang berlebihan''. Saya segera ke perpustakaan dan menemukan 'Being and Time' Hei. Saya bolak-balik halamannya. Saya cari bagian yang membicarakan inti persoalan. Bahasanya memang berat, sulit dipahami. Tapi gambarannya memang membenarkan Isutzu. 'Ada' yang begitu murni itu, sangat simple, 'basith' , adalah hal yang meng-'ada' pada segala yang ada yang majemuk dalam alam materi.
Sebelumnya, Hei memperingatkan kita akan pentingnya membedakan Ada dengan segala materi beraneka ragam. Bahasa Arab yang dipakai filsafat Islam lebih beruntung sebab mereka dengan jelas dapat membedakan antara 'ada' pada realitas eksternal dengan istilah 'mawjud' dengan 'Ada' yang murni itu dengan istilah 'Wujud. Melalui Hei semua sadar bahwa tema yang dibicarakan filsafat Islam jauh lebih mendalam daripada yang dibacarakan Barat modern dan Yunani klasik sekalipun. Awalnya juga saya tidak percaya, saya kira hanya klaim senior dan dosen saja karena mereka ahli dan praktisi filsafat Islam sehingga mendiskreditkan filsafat Barat. Tapi ternyata saya menemukan bahwa yang dibicarakan Barat adalah hal-hal tidak substansial. Bahkan tema filsafat mereka hanya sekulit bawang lebih tinggi daripada disiplin-disiplin ilmu umumnya. Kemendalaman sebuah bahasan filsafat tidak dilihat dari rumit tidaknya seorang filsuf mengemukakan pemikirannya, tetapi tema apa yang dia usung. Anehnya, pemikir Barat pula yang mempertanyakan orisinalitas filsafat Islam. Memang, mereka berusaha merebut pencitraan, sebab bila seseorang berhasil melihat kedua aliran filsafat ini secara objektif, maka mereka tidak akan lagi menghargai filsafat Barat, bahkan berpotensi besar untuk tidak dianggap sebagai 'filsafat'.
Hei masih saya pertimbangkan sebagai pengecualian. Dia menggatakan tidak semua mawjud menanyakan tentang Ada, yang mempertanyakan ada hanya manusia. Tapi bahkan sebelumnya tidak hanya Hei sendiri yang menanyakan ada, jangankan semua manusia, bahkan para fillosof Barat sebelum dia, tidak mempertanyakan Ada. Pula, mana bisa kita pastikan bahwa selain manusia tidak mempertanyakan Ada. Keyakinan Hei ini menjadi alasan baginya untuk menolak istilah 'manusia'. Baginya kata itu tidak bisa direfer pada realitas eksternal. Dieksternal hanya ada partikular Joko, Ahmad, Sulaiman. Baginya, antar individu itu punya horison dan cara pandang yang sangat berbeda. Pernyataannya ini menunjukkan dia meyakini setiap ada selain manusia, dalam setiap spesiesnya pasri punya karakter sama. Ini menunjukkan 'Ada' bagi Hei hanya terbagi pada dua kategori: ada sebagai partikular eksternal dan Ada sebagai realitas murni.
Hei secara langsung menggeneralkan kesamaan antar partikular. Antara satu monyet dengan monyet yang lain baginya sama sama sekali. Ini bernahaya bagi epistemologi filsafat. Kalau begini, maka antara satu kursi dengan kursi yang lain mesti sama. Secara partikular, herder gila dengan puddle haruslah sama. Ini keliru. Sebenarnya antar partikular tidak ada yang sama. Setiap satu dengan yang lain, selagi dia masih dapat ditunjuk secara terpisah tidaklah sama. Dua ekor anak ayam meski tampak sangat mirip hingga bila tidak dapat dibedakan bila salah satu diantara keduanya saja yang dilihat sejatinya tidaklah sama pada realitas eksternal. Kesamaan antar genus hanya ada dalam konsep atau dalam akal. Ketika ingin memperlihatkan Ada di realitas eksternal dengan cara terserah Hei, ia mengabaikan hal yang disebut 'esensi' atau 'mahiyah' yaitu pembeda antar partikular yang se-jenus.Tampaknya Ada bagi Hei adalah Ada yang dipaksakan. Alasannya? Selain seperti yang disebutkan di atas, Hei juga memaksakan Ada dengan tanpa memberi peluang pada akal untuk membentuk kategori-kategori. Saat ditanya sesuatu 'apa itu?' orang akan mengatakan 'itu kursi'. Bagi Hei, itu diabaikan, yang penting bagi Hei adalah 'adakah itu?' Pola Hei ini sama dengan menutup kemungkinan bagi akal untuk membentuk kategori. 'Adakah ini?' memang idealnya harus mendahului, setidaknya ini bagi penganut kemendasaran eksistensi, tetapi kalangan ini sendiri tetap menerima 'apakah ini?'. 'Adakah ini' merupakan prasyarat bagi akal untuk membentuk kategori. Hei memang menerima realitas partikular (eksistensiil) atau mawjud yang berarti dia telah menerima prasyarat akal, tetapi tampaknya dia mengabaikan status universalia partikular. Hei langsung menuju Ada murni setelah ada partikular. Universalia partikular ini pernting karena tidak semua 'ada' bisa berdiri sendiri. Banyak ada yang tidak memiliki wujud luaran. Sebelumnya kita telah mengetahui ada menurut Hei tidak hanya hal terinderai saja tetapi segala hal yang bisa disebut. 'Putih', 'Cantik', 'tinggi', dan banyak ada lainnya membutuhkan partikel aksidental atau hal yang dapat dikonfirmasi di ruang eksternal. Jadi, kalau ada partikular saja yang diterima tanpa menerima Ada spesies, konsekwensinya adalah Hei membatasi Ada pada mawjud dan mengingkari Ada sebagai konsep. Argumennya ini memang bersesuaian dengan cara filsafatnya tentang Ada yakni membiarkan sang Ada muncul melalui realitas eksternal tanpa memberi ruang pada akal untuk membentuk atau memberi peran.
Ditinjau dari satu sisi, memang ketika akal sudah mampu mengenal realitas partikular, itu artinya akal telah menjalankan perannya. Tetapi akal, setidaknya menurut kaum Empirisme, tetap perlu mengolah kembali produknya itu (realitas eksternal yang dusah dikenal sehingga terinderai), setidaknya untuk: menyusun kategori-kategori yang dengannya hal-hal yang tidak terinderai (seperti warna, sifat) dapat disebut sebagai 'ada' juga dan untuk menyimpan memori yang di sana juga terbentuk universalia spesies. Bila meminggakari ini, berarti Hei mengabaikan hukum alamiah akal. Lebih parah lagi bila tidak memerima ini, bagaimana sang Ada bisa tampak sebab kemunculan sang Ada adalah semacam intuisi juga. Intuisi itu sendiri muncul melalui intelek. ''Intuisi adalah intelek yang lebih tinggi'' kata Bergsorn sebagaimana diuraikan Iqbal (2003:27). Munculnya intuisi ini adalah melalui hukum-hukum akal setelah indera merespon realitas eksternal. Namun karena kemunculannya begitu cepat, menjadilah dia dianggap seolah-olah bukan melalui akal yang biasanya bekerja secara perlahan.
Hei memang punya cara berfilsafat sendiri. Dia tidak menerima sistem epistemologi sebagaimana diterapkan rasionalis sebelumnya. Bahkan dia mengkritik habis-habisan sistem filsafat bapak rasionalisme modern, Rene Descartes. Sistem berfikir yang punya aturan logika yang telah ditentukan alir dan jalannya memang menutup pintu perkembangan pemikiran itu sendiri. Sistem itu menutup kemungkinan untuk banyak hal termasuk hadirnya sang Ada. Hei sendiri mengatakan penyingkapan kebenaran itu bukan melalui akal tapi hati. Tampaknya memang sistem epistemologi Barat malah semakin menggiring kita menjauh dari realitas. Sistem yang dibangun Hei melihat manusia sebagai kejatuhan. Kejatihan yang dia maksudkan adalah kemeng-ada-an manusia manusia dengan peristiwa. Segala pengalaman dan ekspektasi manusia adalah kemeng-ada-annya. Kejatuhannya itu adalah dalam pengalaman dan ekspektasi tersebut. Mungkin kalau Descarters mengatakan ''Aku berfikir maka aku ada'', maka Hei berkata ''Aku mengada maka aku ada'', sekalipun Hei sendiri sepakat bahwa 'aku' itu adalah 'ada' dan 'aku' itu memerlukan syarat yakni kejatuhan yang berarti dengannya terjadi peristiwa dan peristiwa itu memiliki syarat yakni ada yang ekspektasi adalah juga 'ada' sebagai harapan, sekalipun 'mengada' itu sendiri adalah juga ada yang meniscayakan pelibatan 'aku', yang 'aku' ini butuh syarat untuk mengada yakni peristiwa. Demikian tampaknya Hei melihat suatu: Ada. Rumusan pemikiran Hei tentang Ada memang tidak terakomodir bila ia menggunakan sistem logika dan epistemologi.
Hei tidak sepenuhnya menolak rasio. Ketika dia mengadakan manusia menjadi mengada dengan adanya pengalaman dan ekspektasi, maka pengalan ini adalah murni konstruksi rasio, dan ekspektasi adalah gambaran yang dimunculan oleh pengalaman ini. Bila diterawang, pengalaman-ekspektasi itu mengada hadir bersamaan dengan 'aku' sebagai ada. Hei tampaknya memang menolak sistem logika umum. Karena Ada bagi Hei adalah semacam cahaya yang memenuhi diri, maka memang tidak mungkin jalurnya adalah logika yang tampak memang semakin membuat diri terarah kepada lorong sempit yang gelap.
Hei banyak berkonsenterasi untuk menagaskan manusia adalah makhluk meng-ada. Tapi ini memberi stigma bahwa hanya manusia saja yang mengada. Mengadanya salah satunya adalah dengan menggunakan benda sebagai alat-alat dan benda sebagai apa adanya, tidak dipergunakan sebagai alat meski tetap direspon. Pada tataran ini, dari mana Hei dapat memastikan bahwa benda-benda, baik yang dipergunakan maupun tidak, tidak meng-ada. Boleh jadi benda-benda itu juga mengada, baik saat diabaikan, maupun dipergunakan. Ketika sebuah stik golf oleh seseorang dipergukakan sebagai alat, maka yang mengada itu tidak hanya orang itu, tetapi stik itu juga, sekalipun mengadanya tidak sama seperti manusia. Semua yang dapat disebut 'ada' saya kira itu mengada dan oelh setiap makhluk, punya cara mengada masing-masing. Saya memperkirakan pemikiran Hei adalah empirisme juga, walaupun dengan wajah yang berbeda? Kecemasan, kepedulian dan segala rasa yang dialami adalah prasyarat bagi Hei bagi manusia untuk mengada. Maka dengan ini diatidak boleh mengklaim ini hanya dimiliki manusia saja. Hewan juga punya perasaan. Yang dapat teridentifikasi mungkin takutnya, inginnya, dan sebagainya. Kita tidak pernah tahu bagaimana sejatinya rasa milih hewan karena kita belum pernah mengada seperti mengadanya hewan. Tiap hewan dalam spesies yang sama pasti punya rasa berbeda. Berarti Hei keliru ketika dia mengatakan yang mengada secara berbeda hanya manusia. Tumbuhan juga tidak boleh diklaim tidak memiliki rasa.
Artinya, Hei memberikan syarat untuk mengada melalui rasa. Bila begini, maka tidak ada 'ada' sebelum adanya rasa, padahal rasa itu muncul melalui ada. Berarti ada terlebih dahulu berada sebelum adanya rasa. Ini artinya, rasa bukanlah syarat untuk me-ada manusia. Dan seharusnya Hei menerima semua mauwjud itu telah meng-ada sebab dia mampu memancing manusia untuk memiliki rasa yang rasa itulah syarat manusia mengada. Bila rasa adalah syarat meng-ada manusia, maka semakin benarlah dugaan kita bahwa aliran Hei ini empirisme. Bahkan kita tahu bahwa empirisme itu kelak melahirkan romantisme yang juga mengedepankan rasa.
Mungkin banyak yang tidak akan sepakan dengan dugaan Hei adalah seorang empirism. Sanggahannya mungkin adalah: Hei tidak mengabaikan rasionalitas sebagai syarat mengadanya. Ya, kita paham itu, empirisme juga tidak menolak rasio. Apa yang dapat kita inderai dan menentukan kita 'paham' tidak mungkin lepas dari rasio. Semua manusia tidak bisa menolak rasio. Empirisme juga menerima rasio, kalau tidak ada rasio, mastahil mereka punya pengetahuan empiris. Tetapi beda kedua aliran ini adalah apresiasi yang diberikan: kepada rasio atau pengalaman: Dan tampaknya 'apresiasi lebih ideal digantikan dengan kata 'pengakuan' sebab, misalnya boleh jadi rasionalis lebih mengutamakan empirik dalam berfilsafat, tetapi tidak mengakui atau tidak mengetahinya, demikian sebaliknya.
Hei memang sangat menolak Descartes. Perbedaan antara mereka berdua yang sangat kental adalah mengenai kata 'berfikir'nya Descartes. Bagi Hei, emosi kita atau rasa yang dibentuk oleh pengalaman masa lalu dan kemungkinan masa depan tampak sebagai penjamin bahwa kita ada. Kalau Descartes mengatakan syarat untuk mengada adalah berfikir, maka Hei memberi syarat berbeda yaitu dengan membiarkan Ada itu sendiri yang memunculkan dirinya.
Antara pengalaman masa lalu dan estimasi masa depan hadir cacara bersamaan menjadi meng-ada manusia. Tentang kemungkinan masa depan, utamanya kematian, dibahas dengan serius oleh Hei. ''Begitu seorang manusia lahir, dia sudah terlalu tua untuk mati'' ia mengatakan. Hei tidak mengakui adanya kehidupan roh sebelum mengada di dunia ini, di sini dia berseberangan dengan Plato.
Hei mengatakan eksistensi manusia tidaklah sempurna. Orang baik hari ini bisa buruk di masa depan. Berarti mengada manusia adalah mengada yang terbatas. Eksistensi kita yang merupakan satu-satunya andalan untuk mengharapkan Ada tersingkap adalah eksistensi yang terbatas menurut Hei. Katanya, hanya setelah manusia mati barulah eksistensinya sempurna. Seharusnya ber-ada manusia bisa senpurna setelah dia mati. Tapi Hei menolak manusia bisa ber-ada setelah mati. Tampak lagi inkonsistensi di sini. Lagi pula, mustahil tampaknya Ada absolut bisa tersingkap saat ber-ada manusia masih ganjil. Lagi pula, kenapa Hei langsung memastikan bahwa meng-ada tidak bisa lagi dilakukan manusia setelah mati? Hei belum mengalami kematian saat mengatakan itu. Ini murni asumsi. Yang pasti adalah manusia tidak bisa beinteraksi dengan orang mati. Di sini, merujuk Hei sendiri: Kalau manusia masih bisa meng-ada setelah mati, maka pasti meng-adanya adalah sempurna dan kenungkinan penglihatan Ada absolut lebih mungkin.
Pasca Hegel, belum ada epistemologi yang mapan untuk membangun sebuah konsep pemikiran. Hei sendiri termasuk di dalamnya. Nietzsche sendiri sebagai wakil eksistensialisme mengkritik habis sistem-sistem filsafat yang terlalu merunut pada epistemologi. Kalau di lihat dari sudut pandang yang agak berbeda, kita akan menemukan mwmang sejak Plato, sistem pencarian kebenaran manusia terlalu bergantung pada intelek. Hei adalah termasuk orang yang tidak suka gaya model Plato. Dari kaca mata ini, kita dapat menemukan alasan kenapa Hei tidak menyingging wilayah universalia partikular atau quiditas. Secara perlahan, tampaknya memang kita akan kembali kepada sistem filsafat yang tidak membosankan seperti era Plato hingga Hegel.
Dalam karya besarnya 'Being and Time', Hei mengatakan waktu adalah manusia itu sendiri. Dia percaya bahwa waktu itu relatif sama seperti yang dikatakan Einstein. Masa lalu, masa depan, berkumpul untuk membentuk manusia di masa kini.
Memang, Hei adalah sosok romantis, walau akan ada yang membantah, aliran filsafat dan bahkan praktik kehidupannya yang menyendiri ke gunung adalah bagian dari bukti itu. Untuk manusia modern sekarang ini, filsafatnyat idak akan laku keras. Orang-orang butuh perangkat, setiap filsuf perlu punya pegangan, yakni epistemologinya. Hei akan ditinggalkan, orang yang sealiran dengannya sepeti Paul Feyerabend juga akan dilupakan. Tapi manusia punya banyak alasan untuk terus mengenang Karl Popper. Seseorang, untuk diingat dan dikenang, hatus punya jasa. Dan Popper punya. Popper punya sistem logika yang sangat dibutuhkan manusia kini dan akan datang. Tapi Hei, kalau memang harus dikenang, adalah bagian kecil dari cerita seorang eksistensialis pernuh paradoks.
Paradoks? Ya. Mengatakan melalui pengalaman sehari-hari Ada akan muncul dengan mengheningkan diri. Ini adalah norma relijius. Orang berpegang pada relijiusitas agama karena punya keyakinan, pula orang pernah punya bukti bahwa spiritualitas agama memberi manfaat untuk kehidupan mereka. Tapi resep Hei hanyalah nihilisme saja. 'Ada' yang dia maksudkan itu apa? Siapa? Sama saja seperti Nietzsche.
Hardiman mengharapkan Hei bisa menjadi solusi bagi manusia modernuntuk menemukan keheningan dalam kesibukannya yang luar biasa setiap hari. Tapi sayang, Hei tidak punya alat untuk menyapa masyarakat modern yang sedang nestapa itu. Kalaupun ada beberapa di antara mereka yang sempat membaca bukunya, maka segera mereka akan meninggalkannya sebab orang tidak punya jaminan atas apa yang dia maksudkan. Legalitas perlu bagi manusia modern. Dia harus punya sistematika yang jekas, Ada yang ia maksudkan harus dapat dijamin. Kedua hal itu luput dari Hei. Orang-orang masih akan lebih prcaya pada Hindu yang punya gerak dan ritual tertentu untuk menuju Ada. Ada nya orang hindu juga punya legalitas dan jaminan 'Nirwana' mananya.
Dalam teori Hei, orang diajak untuk menyelami dirinya dengan meninggalkan rutinitas melalui rutinitas itu sendiri. Ini dalah jalan lain untuk pelarian. Pada hakikatnya ini tetap lari. Yang dibutuhlan manusia sebebnarnya adalah bagaimana menikmati rutinitas yang memang tidak bisa dihindari itu. Rutinitas berlu dimaknai seindah mungkin supaya kita menikmatinya. Bila mampu menikmatinya, maka makna tertinggi akan hadir dalam setiap detik gerak ativitas. Makna dari setiap aktivitas itu adalah kenikmatan, bukan kecemasan. Bila ekspektasi Hei adalah kecemasan, maka tentu dia menginginkan manusia membenci rutinitasnya.
Yang diinginkan Hei supaya manusia merangkul masa lalu dan masa depannya dan membiarkan kedua itu melingkupinya dan itulah yang ia sebut Ada. Ini adalah cara ampuh membunuh gairah dan semangat manusia. Cara ini akan membutakan semua mata yang manusia miliki. Dia menginginkan manusia hidup dalam keburaman dan kecemasan tidak menentu. Inilah harapan pemikiran Hei. Masa lalu dan masa depan memang membekas dalam kekinian kita, tapi kita harus memposisikan kedua itu seperti spion, hanya ditatap sebentar, sejenak saja. Setelah itu pandangan kita lurus ke depan. 'Ke depan' yang dimaksud adalah masa kini, kekininian. Seorang yang baru saja dipecat pasti memiliki gambaran penyesalan atas kecerobohannya, begitu juga ekspektasi untuk mencari kenja kembali. Tapi penyesalan masa lalu dan harapan masa depan harus meningkir segera. Orang itu perlu berfokus pada kekiniannya dalam merancang strategi menemukan kerja kembali. Memori masa lalu dan gambar masa depan adalah hal alami yang muncul dalam benak kita, tepi fokus kita adalah untuk masa kini, detik ini.
Hei mendakwahkan ketakutan dan kecemasan. Sekalipun Hardiman, seorang penafsir ulung Hei membantah Hei mendakwahkan ketakutan tapi kecemasan. Memakai kata cemas pun tidak apa. Sebuah teror lebih menghasilkan 'cemas' daripada 'takut'. Efek yang lebih berbahaya adalah rasa cemas, bukan rasa takut. Hei menginginkan manusia untuk senantiasa cemas. Filsafat Hei adalah teror. Dalam cemas mustahil manusia mampu menciptakan kondisi bebas untuk dirinya. Padahal, sebagaimana kita sebutkan di awal, kebebasan adalah syarat mutlak untuk: memberi kesempatan kepada diri untuk menyelam ke dalam diri guna menemukan fitrah umum diri sebagai manusia serta potensi-potensi diri yang dimiliki.
Hei adalah penghalang manusia menemukan kondisi fitrahnya. Bila fitrah itu tidak terselami, maka manusia mustahil mengenal diri dan potensinya. Bila potensi tidak di kenal, bagaimana mungkin dapat mengasah diri. Kalau manusia adalah ada, tanpa menemukan diri, mustahil Ada dapat tersingkap.
Bila kita sendiri memelihara kecemasan untuk diri, maka pulakita memeliharanyauntuk orang lain. Sebaliknya bila memupuk dan menyemai kebahagiaan, buahnya dapat dinikmati bersama insan lain. Pemikiran Hei tidak layak untuk dirinya sendiri, apalagi orang lain.
Kita tahu bahwa pemikiran Hei sangat banyak pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat dodern. Di masa modern ini pula kekebasan semakin didengungkan. Kombinasi ini melahirkan kebebasan yang tidak mendasar dan malah menjadikan manusia semakin bimbang.
Kecuali filsafat Islam, semua filsafat dimana dan kapanpun adalah pedoman utama hidup. Kenapa? Karena masyarakatnya tidak memiliki pegangan yang kukuh dapan menjalani hidupnya. Ditinjau sepanjang sejarah, manusia berpegang pada simpul- simpul yang longgar; longgal dalam masa, longgar dalam pondasi. Padahal manusia, sejak semula jadi hinggak akhir masa punya hakikat fitri yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar