Perdebatan Sunni Syiah juga adalah metamarfosis daripada
perdabatan teolog dan filsuf. Bagi masyarakat Indonesia, karakter keberagamaan
teologis memang lebih disukai sebab tradisi masyarakat kita adalah perbudakan
dan pentaklidan. Karakter masyarakat Indonesia sejak dulu memang sukanya pada
hal-hal yang bersifat praktis. Oleh sebab itu, gaya filosofis memang cenderung
ditinggalkan. Penolakan terhadap syiah oleh masyarakat Indonesia secara empiris
berangkat dari pencitraan-pencitraan yang buruk atas syiah melalui berbagai
media. Tetapi secara apriori, masyarakat kita memang tidak menyukai hal-hal
yang bersifat rasional seperti tradisi filsafat yang berkembang di dalam
masyarakat syiah.
Saya ingin
menegaskan kembali bahwa syiah yang berkembang di Nusantara oleh pribumi yang
semakin menggeliat ini tidaklah sama dengan syiah yang kita kenal buruk
citranya. Masyarakat Indonesia bisa mengadopsi tradisi intelektual dan rasional
yang memang menjadi ciri syiah. Aceh dapat dijadikan contoh daripada jejak
waris daripada Muslim Persia yang memang gaya beragama dan kebudayaan nya
bercirikan ''Syaiah''. Tapi istilah 'Syiah' barulah belakangan dipopulerkan.
Bila ditinjau dari
kesukuan, syiah memang mudah diterima masyarakat Iran yang memang sudah punya
karakter rasional-intelektual sejak zaman kuno. Zarathusta yang sangat terkenal
itu dapat dijadikan perwakilan dari sejarah ini.
Karakter Persian
ini berbeda jauh dengan karakter masyarakat Arab yang cenderung menyukai hal
praktis dan pragmatis. Karakter bawaan seperti ini yang membuat mereka gemar
menjadi pedagang. karakter demikian juga secara bawah sadar membentuk cara
masyarakat Arab dalam beragama. Kita dapat mengambil contoh kecil perbandingan
antara Umar dengan Salman. Untuk menemukan agama Islam, Umar cukup dengan satu
irama nyanyian, sementara Salman harus melalui proses petualangan, kontemplasi
serta pengorbanan. Pengorbanan ini dia lakukan supaya dia dapat membuktikan
sendiri Kebenaran itu tanpa melalui estimasi tetapi melalui rasionalitas dan
empiris. Karakter orang Persia memang tidak begitu saja menerima sesuatu
kecuali rasional dan dapat diuji.
Pribumi Nusantara
yang menganut karakter lembut dan praktis tidak suka dengan hal-hal yang
memeras energi untuk banyak berfikir. Taklid dan dogmatik memang sudah lumrah
di sini. Sikap seperti ini menjadikan Nusantara kita menjadi komunitas paling
unik di seluruh dunia.
Hal-hal yang
menjadi pertentangan, perdebatan dan bahkan pertentangan yang sampai
menimbulkan pertumpahan darah bagi bangsa lain, menjadi hal biasa, dan bahkan
dipersandingkan bersama di sini. Bayangkan, ketegangan antara filsuf dan
mutakallim yang melahirkan dendam kesumat di negeri orang, di negeri kita tidak
dianggap hal besar. Kitab 'Bidayatul
Mujtahid' dan 'Ihya' Ulumuddin' dijadikan pedoman secara persama di lembaga
pendidikan kita, dikaji dan dipelajari secara bersamaan. Padahal di negeri
orang sana, pecinta Al-Ghazali membakar kitab-kitab karya filsuf dan
sebaliknya.
Pengalaman serupa
pernah juga terjadi di Nusantara kita. Kitab-kitab Hamzah Fansury banyak
dibakar atau dimusnahkan. Tetapi hal ini lebih diakibatkan karena hasrat
kekuasaan seorang provokator asing bernama Nuruddin Arraniry. Padahal, di
tengah masyarakat saat itu, iklim filosofis jauh lebih mengakar dan berkembang.
Salah satu alasannya karena di Aceh Darussalam, spirit Persia masih tetap ada,
bahkan hingga kini.
Saya kira kita
tidak perlu terlalu reaksioner terhadap Syiah dan Wahabi atau aliran-aliran
lain yang berkembang di tengah masyarakat kita. Semua mazhab, semua aliran
pastinya akan berproses, berasimilasi dengan Kebudayaan kita sehingga secara
perlahan semua aliran itu dapat bersanding, bersama saling menguatkan sebagai
Rumah Indonesia Raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar