Link Download

Selasa, 29 Mei 2012

Mereka Semua Keliru (Unfinished)


Mereka berdebat. Teolog dan filosof berdebat. Peripatetik dan Illuminasi berdebat. Idealis dan realis berdebat, rasionalis dan empirisis berdebat. Mereka semua sepakat dalam kekeliruan terbesar: mereka sepakat bahwa materi itu hal yang hina.
      Saya bukan bagian dari empirisis tauapun materialis. Empirisis mengedapankan indera, tapi mereka tidak mau mengakui akal mereka sendiri. Materialis adalah orang yang bunuh diri dengan senjata buatan sendiri. Illuminasi mengesankan materi sebagai hal begatif dalam istilah mereka: zulm (gelap). 
    Filsafat Hikham sudah baik ketika mampu melahirkan ide cemerlang sebelum zamannya, tapi mereka tetap saja menganggap alam ini hina. Bahkan para sufi menganggap alam ini bangkai.
      Saking mulianya alam ini, bunuh diri dianggap dosa terbesar. Jihad adalah perintah meninggalkan dunia bagi sebagian kecil untuk sebagian besar orang yang tinggal di tempat yang mulia ini.
      Perbedaan-perbedaan cara pandang para filosof terletak pada cara mereka memahami epistemologi. Tapi apa sebenarnya epistemologi itu? Apa saja pertanyaan dalam epistemologi? Apa pentinya epistemologi!? Katanya epistemologi itu gunanya untuk mempelajari pengetahuan. Umumnya bagi pemikir Barat. epistemologi itu adalah apa yang dapat dipahami dari realitas yang masuk ke pikiran.
    Apa bedanya 'tahu' dengan 'percaya'? Apa itu 'pembukrian' dan apa 'justifikasi'? Apakah realitas yang ditangkap indera adalah demikian realitas itu adanya? Kalangan empirisme menjawab 'ya'. Rasionalisme menjawab sebaliknya. Dalam menemukan kebenaran biasanya digunakan analisa, yaitu memecah-mecah atau memberikan kategori-kategori persoalan.
    Prof. K.A. Noer mengatakan pengetahuan itu itu hanyalah tahu dan tahu adalah pengalaman. Pengalaman mi'raj Nabi Saw. adalah pengetahuan bagi kita dan tahu bagi Nabi Saw sendiri. Pembuktian tidak bisa bila dengan pengetahuan, tapi bisa dengan tahu. 'Percaya' tidak perlu harus melalui pengetahuan.
    Rasionalis mengatakan indera keliru. Dia tidak nenunjukkan apa yang sebenarnya. Contoh yang diberikan: indera mengkap matahari menglilingi bumi, tapi realitasnya mataharilah yang dikelilingi bumi. Saya sendiri mengatakan keduanya bisa benar dan keduanya bisa keliru tergantung aksiden.
     Yang membuat tidak nyaman selalu mata kuliah Phylosophy Mysticism. Katanya intuisi dalah perangkat yang lebih unggul daripada indera dan intelek. Ini dapat diterima sejauh mereka mengakui intuisi itu berangkat dari indera dan intelek. Tapi ketika contoh yang diambil adalah para Nabi yang memperoleh pengetahuan melalui intuisi tanpa 'perlu'  indera dan intelek, itu keliru. Mereka tidak ingat bahwa semua nabi telah melalui proses pengalaman dan perenungan atas realitas eksternal yang besar.
     Dengan demikian, materi atau realitas eksternal adalah penentu utama dari semua pengalaman. Dianya sekalipun adalah hasil keluarbiasaan intelek. Maksud saya, realitas yang ditangkap pada eksternal adalah suatu hasil pengolahan intelek. Suatu benda yang telah diberi aksiden lalu dimaknai barulah dia dapat dikenal. Jadi pengetahuan yang datang melalui indera adalah yang paling benar. Setelah melihat sebuah batu misalnya, dari sudut manapun anda melihatnya, yang terinderai itulah yang paling benar. Terlepas anda melihatnya pada sisi yang lain dan memiliki makna baru padanya. Katakan Anda punya makna baru setelah menggabungkan beberapa aksiden berbeda atas semua objek, maka hal ini tidak akan pernah berakhir sebab aksiden yang dapat Anda bentuk tidak akan terbatas. Dengan begitu makna baru atas sebuah objek juga tidak akan pernah berakhir. Ketakterbatasan pemaknaan ini idak akan mampu membuat kita melakukan tindakan apapun terhadap suatu peristiwa atau Tidak pula dapat berguna segala pengetahuan itu. Karena itu, sains modern langsung bertindak menurut tingkatan pengetahuan yang terbatas serta terus mengembangkan tindakan baru atas pengetahuan yang membaru itu.
      Air yang tampak di hadapan kafilah di padang pasir adalah air yang sebagai pengetahuan. Menggabungkan pengalaman sebelumnya bahwa itu hanya fatamorgana adalah pengetahuan baru. Kalau suatu kali dilihat air anggap itu fatamorgana yang padahal rupanya adalah air, orang itu akan yakin bahwa itu fatamorgana juga. Di sini kita dapat membedakan mana pengetahuan dengan mana keyakinan. Keyakinan itu belum tentu adalah kenyataan. Tampak di sini bahwa keyakinan adalah limitasi pengetahuan atau keputusan.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar