Link Download

Jumat, 07 Januari 2011

Pribumisasi dan Sekularisasi: Islam Mulai Dari Kamar Mandi hingga Politik Laur Negeri


Kaum muda pemikir Islam kabanyakan terlalu berlebihan dalam merespon konsep pembaharuan Islam sehingga banyak diantaranya keluar dari jalur Islam (Al-Qur'an dan Hadits). Diantaranya adalah konsep Pribumisasi Islam yang digagas Abdurrahman Wahid dan Sekularisasi Islam yang diperkenalkan Nurchalish Madjid.

Pribumisasi Islam bermaksud merumuskan Islam Nusantara yang bebas dari pengaruh budaya asal Islam lahir (Arab). Sementara Sekularisasi Islam bertujuan menemukan mana produk kebudayaan lokal dan mana konsep Islam murni (Al-Qur'an dan Hadits) dengan tujuan agar masyarakat mampu memahami perbedaan antara keduanya dan tidak membawa serta Konsep Islam (Al-Qur'an dan Hadits) dalam pergerakan kebudayaan.

Kalangan pendukung Pribumisasi Islam mengharapkan Islam Nusantra dapat menjadi bagian tersendiri yang unik dan berbeda dengan Islam di kawasan dunia Islam lain seperti Turki, Arab, Persia, Afrika dan Anak Benua. Untuk mewujidkan hal ini mereka mencoba meghapuskan seluruh unsur budaya Arab, yang merupakan asal lahirnya Islam, dan memformulasikannya dengan unsur kebudayaan lokal-Nusantara. Mereka mengatakan bahwa Islam Nusantara adalah hasil kerja kreatif para penyebar Islam yang mampu mendialogkan Islam dengan budaya-budaya lokal.

Dialog yang dilakukan Islam untuk menghapus seluruh unsur kebudayaan yang bertentangan dengan Islam dan mempertahankan yang tidak bertentangan dengannya. Islam datang menawarkan semua solusi atas segala persoalan kemanusiaan. Islam itu punya konsep yang lengkap dan menyeluruh. Jadi kalaupun seluruh panduan dan praktik pra-Islam ditinggalkan masyarakat, maka mereka tidak akan menderita kerugian apapun. Proses penggantian pola dan konsep kehidupan inilah yang dapat disebut sebagai dialog Islam-budaya lokal. Dialog yang dilakukan Islam adalah dialog yang belum usai sehingga Islam belum mampu mengahapus seluruh paraktik kebudayaan yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadits. Nah, proses yang belum selesai inilah yang dibangga-banggakan sebagai Islam Nusantara yang,katanya, unik.

Hanya budaya masyarakat yang tidak bertentangan dengan Islam sajalah yang masih layak dipertahankan. Dan budaya inilah yang dapat menjadi pembeda antara Islam suatu kawasan dengan kawasan lain. Budaya yang dipertahankan ini adalah solusi-solusi bagi persoalan-persoalan masyarakat yang bersifat dinamis serta tidak memiliki putusan atau panduan dalam Konsep Murni Islam (Al-Qur'an dan Hadits).

Karena bersifat dinamis, maka kebudayaan yang dipertahankan ini pasti akan mengalami perubahan dan pastinya persoalan-persoalan baru masyarakat selalu muncul. Dalam menyelesikan persoalan kemanusiaan inilah Ijtihad dibutuhkan. Ijtihad bermaksud merumuskan persoalan-persoalan baharu itu untuk dapat diselesaikan menurut kadidah-kaidah yang tersirat dalam Al-Qur'an dan Hadits, mencari mana yang paling sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadits. Metodenya harus dengan melibatkan keahlian pakat-pakar ilmu segala bidang masing-masing agar memperoleh informasi yang tepat dari persoalan yang dihadapi agar para pakar Ushul Fiqh dapat menetapkan solusi-solusi dalam bentuk UU.

Semakin baik ajaran Al-Qur'an dan Hadits diterapkan maka semakin sedikit pula persoalan-persoalan baru muncul. Tidak banyaknya persoalan-persoalan yang baru maka tidak banyak pula yang perlu di-ijtihad-kan.

Untuk terus dapat membedakan mana kebudayaan yang diterima dan dinamis itu, mana Islam Murni (Al-Qur'an dan Hadits) dibutuhkan sekularisari. Sekularisasi artinya pemisahan antara kebudayaan dengan agama. Tujuannya agar Islam Murni tidak dibawa serta dalam dinamisasi kebudayaan. Jadi tidak ada yang namanya Ijtihad pada aturan-aturan yang telah benar-benar jalas tertera dalam Al-Qur'an dan Hadits.

Kawan-kawan, saya pahami bahwa jalan itu tidak mudah bagi kita. Saya sadari bahwa Hukum Islam tidak boleh diterapkan pada sembarang masyarakat. Hukum Islam hanya bisa diberlakukan pada negara yang benar-benar menerapkan Islam sebagai sebuah sistem yang menyeluruh. Penulis menemukan kekacauan yang luar biasa bila Islam diterapkan di suatu kawasan yang segala perangkatnya tidak mendukung.

Bila sistem ekonominya kapitalis maka sistem mujarabah, zakat, infaq dan shadaqah sama sekali tidak akan mampu menyelesaikan krisis ekonomi masyarakat.
Bila yurisprudensi kotor maka jinayah hanya akan menjadi momok. Kalau pendidikannya masih menganut sistem materialisme, maka Islam benar-benar akan dibenci masyarakatnya. Bayangkan, seseorang akan mengatakan seperti ini saat menyaksikan hukum rajam dilaksanakan: "Produk hukum bajingan dari mana itu, mengeksekusi sepasang manusia yang bercinta atas dasar suka-sama suka sekejam ini." Wajar saja dia mengatakan demikian karena dia tidak pernah mengetahui Islam dengan benar sebab selalu disibukkan dengan waktu belajar yang padat, PR menumpuk, sekolah dari pagi hingga sore, di mana kalaupun ada hanya 2x45 menit seminggu belajar Islam sebatas sebagai "pengetahuan".

Untuk dapat Islam diterapkan sebagai hukum negara, seluruh anak-anak muslim sejak usia dini harus diajarkan Islam dengan baik, benar dan menyeluruh dan dibiasakan menjalankan seluruh amalan-amalan dalam Islam, dipaksakan bila perlu. Karena pengamalan perintah Islam hanya bisa terjadi dengan dua hal penting yaitu biasa dan paham. sebab itulah Madrasah dan PTAI hanya mampu memproduksi muslim yang hanya sebatas mengetahui Islam tanpa mengamalkan ajarannya. 

Kalau sekedar urusan mengetahui Islam Snouck Hurgrenje, Annemarie Schimmel dan John L. Esposito mungkin lebih baik daripada Hasyim Asy'ari, Muslem Ibrahim dan Muhammad Arifin Ilham. "Islam adalah kitab yang mengutamakan amal dari pada gagasan" sesuai kata Muhammad Iqbal (1966). Maka untuk itu, cara yang sangat baik adalah mengasramakan (boarding school) anak-anak muslim sejak usia dini. Hal ini memungkinkan proses pembiasaan dan pemberian
pemahaman yang baik tentang Islam. Selain itu, sistem demikian dapat menghindarkan anak-anak dari akses maksiat yang berbanjiran di tengah-tengah masyarakat. 

Disamping itu, UU yang menghambat segala produk dan akses maksiat harus dibuat dan diawasi dengan benar-benar tegas. Bila tidak, konsep pendidikan Islam di atas akan sia-sia sama sekali. Sebab, tindakan-tindakan adalah gerak spontan tanpa melibatkan pemahaman dan kebiasaan apapun. Kumpulan-kumpulan tindakan itu disebut karakter. Pembentukan karakter yang telah susah payah dilaksanakan akan sia-sia sama sekali bila UU demikian tidak ada.

Selanjutnya non-muslim juga perlu diberikan pemahaman yang benar tentang islam sebagai hukum negara. Sebab, Islam sebagai hukum negara malah akan lebih membuat mereka nyaman dan sejahtera.

Penulis pahami idealitas harus diterapkan pada sebuah realitas. Mungkin nilah yang membuat Abdurrahman Wahid tidak mau menjadikan Islam sebagai Dasar Negara. Masyarakat Indonesia belum siap. Namun hendaknya Wahid merintis jalan untuk itu: Menciptakan UU yang menutup segala akses maksiat dan pendidikan model tersebut di atas. 

Realisasi idealitas hendaknya tidak menciptakan pembodohan pada masyarakat. Misalnya yang dilakukan kalangan intelektual sekarang dengan menafsirkan makna jihad yang bena-benar keluar jalur. Pemurnian Islam hendaknya tidak semata-mata menempuh jalur dearabisasi. Karena Islam yang masuk ke Indonesia tidak sepenuhnya Islam yang mengandung unsur-unsur kebudayaan Arab pada masa itu namun juga ada Persia dan Turki. Dearabisasi ini secara perlahan akan menjadi Arab phobia. Ini akan dapat merusak ukhwah Islamiyah. Islam tidak menghendaki fanatisme yang dibungkus nasionalisme. Menggagas Islam Nusantara jangan sampai membuat kita menjadi manusia yang chauvanistik.

Lebih parah lagi Ulil Absar-Abdallah dalam artikelnya "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam" dia bahkan menyatakan Jilbab, potong tangan, qisash dan rajam merupakan produksi kebudayaan Arab, bukan Islam. Padahal dalam Al-Qur'an tertera jelas perintah ini. Ulil Juga menegaskan agama adalah urusan pribadi. Padahal Al-Qur'an dan Hadits jelas-jelas mengatur tentang perintah da'wah dan menegakkan Hukum Allah SWT.

Ulul juga mengatakan tidak perlu merujuk pada islam terkait urusan jual-beli, politik dan pernikahan. Ini jelas-jelas bukan anti Arab tetapi anti Islam. Padahal Al-Qur'an dan Hadits memiliki panduan yang lengkap tentang segala urusan manusia dan masyarakat, mulai dari kamar mandi hingga politik luar negeri.

Saya menemukan banyak pemikiran Abdurrahman Wahid dan Nurchalish Madjid memberi banyak faedah. Namun atas wacana-wacana Ulil Absar-Abdallah yang banyak saya dapatkan adalah staemen-statemen yang frontal dengan Al-Qur'an dan Hadits. Wallau'alam.

Station KA Senen, Jakarta, 01 Januari 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar