Link Download

Minggu, 16 Februari 2014

Keruntuhan Proyek Islamisasi Ilmu al-Attas

Bismillahirrahmanirrahim. Radhitubillahi Ranna wa bi Islami diina wa bi Muhammadi Nabiyya wa Rasula. Salam kepada arwah para sahabat, keluarga Nabi Besar dan para syuhada. Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan kesehatan kepada salah seorah cucu Nabi Saw. Datok Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
 Usaha Al-Attas dalam menghidupkan kembali khazanah sufi, budaya dan sastra Melayu patut diapresiasi. Utamanya adalah perannya dalam memperkenalkan kembali pemikiran Hamzah Fansuri kepada masyarakat kini. Akurasi analisa atas pemikiran Hamzah telah dilakukan dengan baik oleh ulama kelahiran Bogor ini. Dia juga konsisten dengan ilmunya sehingga dia memeberi solusi terhadap persoalan masa kini dengan merujuk kepada pemikiran kaum sufi. Konsistensi ini telah mempengaruhi banyak generasi muda. Tetapi dalam ruang filsafat Islam yang murni, solusi ini tidak dapat diterima dengan baik.
   Al-Attas mengusung proyek besar yakni Islamisasi Sains. Proyek ini dibangun dengan landasan linguistik yang merupakan bagian bidang pelajarannya selama di Barat. Menurutnya bahasa memegang peran penting karena merupakan alat untuk mengkomunikasikan ide bahkan pengalaman metafisik. Karena itu tidak heran kalau dalam membahas suatu persoalan beliau mengusut persoalan tersebut hingga bahasa dan bahkan makna yang mewakilinya. Keuletannya dalam mengkaji pemikiran kaum sufi sebelum kita juga telah membentuk prinsip keilmuannya. Karena itu tidak heran bila Al-Attas selalu menggunakan ajaran kaum sufi sebagai penguatnya berargumentasi. Tetapi pemikiran al-Attas, termasuk proyek Islamisasi Ilmu, memiliki banyak kekeliruan mendasar. 

Persoalan Ontologi
 Al-Attas memang mampu menjelaskan pemikiran ontologis para filosof dan kaum sufi dengan baik. Tetapi ketika menjelaskan persoalan intinya yakni persoalan wujud dengan mahiyah Al-Attas hanya merujuk pada Ibn Sina, Suhrawardi dan Taftazani (lihat Prolegomna to the Metaphysics of Islam, KL: ISTAC, 2001) . Padahal persoalan ini belum usai dalam sejarah filsafat Islam. Akibatnya pembahasan tentah wujud dan mahiyah dalam pemikiran Al-Attas tidak usai dan ganji. Padahal persoalan ini adalah jantung dari persoalan filsafat.
 Benar saja, keganjilan Al-Attas berimplikasi pada pandangannya tentang wujud (eksistensi) dan hirarkinya. Al-Attas terlalu mencampuraduk antara pemikiran Al-Ghazali, Ibn 'Arabi, Asy'ari dan Abd al-Rahman Jami. Persoalan ini memberikan implikasi kepada ganjilnya sistem epistemologi Al-Attas.
 Al-Attas menerima dengan baik sistem teologi al-Ghazali, tentunya dia menerima teologi Asy'ari. Demikian itu dia juga menerima ajaran Wujud Jami' yang pastinya dia menerima sistem Wujud Ibn 'Arabi. Penerimaan secara sekaligus atas kedua prinsip yang berbeda secara signifikan ini pernah pula dilakukan oleh Ibrahim Kurani denga kitab ithaf al-dhaki.
 Kita tahu bahwa Asy'ari adalah representasi teolog dan Ibn 'Arabi adalah representasi sufi. Persamaan antara keduanya adalah pada keterangan bahwa “Zat Allah tidak dapat dijangkau oleh apapun selain diriNya”. Tetapi letak perbedaan paling signifikan adalah pada hal yang dianggap sama ini.
 Teolog berpendapat al-Haqq tidak dapat diketahui karena keabsolutannya, sangat terpisah dan sangat berbeda dengan wujud selain Dia.  Sementara sufi memandang al-Haqq tidak dapat dikenal oleh selaiNya karena selain Dia adalah tiada berwujud, karena wujudnya tiada, mustahil berpengetahuan. Di samping itu sufi mengaku Dia hanya bisa dikenal melalui Dia. Dan pernyataan ini berasal dari Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali ams. (Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, Kitab 'Asrar al-'Arifin'). 
 Sebagian sarjana juga menambahkan kesamaan mereka adalah bahwa Wujud Allah berbeda dengan Wujud Makhluk. Pada satu sisi pandangan ini dapat dimaklumi, tetapi pada sisi lain yang lebih penting, pendapat ini tidak benar sama sekali. Alasannya adalah karena kaum sufi hanya mengakui eksistensi satu wujud saja yakni Wujud al-Haqq, wujud selainnya hanya diterima sebagai bayangan bagi Wujud al-Haqq. Pengakuan adanya wujud selain al-Haqq oleh kaum sufi hanyalah sebagai penerang bagi satu wujud Saja yakni al-Haqq. Eksistensi bayangan hanya ada sebagai objek pembahasan, tidak ril, tidak nyata, demikian juga eksistensi selain al-Haqq bagi sufi juga tidak dapat diterima. Demikian pula eksistensi selain al-Haqq menjadi ada bagi sufi hanya sebagai konsep pikiran, hakikatnya tiada. Antara sufi dan teolog, secara linguistik sama, tetapi  pernyataannya sama,
Karena perbedaan sufi dengan teolog adalah pada hal paling mendasar, maka niscaya tidak dapat ditemukan sama sekali persamaan doantara keduanya. Al-Attas yang meskipun banyak memakai nama sufi aliran Ibn 'Arabi dalam menguatkan argumennya, tetapi dia tidak mampu memberikan artikulasi sistematis karena terjebak oleh sistem ontologi teolog.

Epistemologi
 Logika yang dipakai oleh Al-Attas perlu dipertanyakan. Dia menerima sistem pemikiran al-Ghazali. Bahkan dia sangat mengagungkannya. Al-Ghazali adalah filsuf yang dikritik dengan keras oleh Ibn Arabi dalam Fusus al-Hikam mengenai persoalan sangat krusial yakni tentang pengetahuan akan al-Haqq. Dan tema ini adalah persoalan paling krusial dalam mengkaji keseluruhan pemikiran filosof dan sufi sebagaimana yang telah dibahas di atas. Dengan ini, mengatakan pemikiran sufi dengan teolog adalah sama dalam tema ontologi sekalipun adalah keliru, apalagi menggunakannya secara bersamaan untuk memperkuat satu tema tertentu.
   Persoalan yang lebih penting terkait tema epistemologi adalah, ketika mengutip argumen kaum sufi Ibn 'Arabian seperti Ibn 'Arabi sendiri, Jami' dan Hamzah, sistem epistemologi apa dan bagaimana digunakan al-Attas? Pertanyaan ini muncul karena sistem epistemologi apapun yang digunakan tetap saja akan bermasalah karena sistem ontologinya sudah keliru. Mungkin orang-orang akan mengatakan sistem hudhuri adalah sistem ideal untuk persoalan ini, tetapi tentunya sistem ini akan menuai banyak pertentangan karena mustahil mengharmoniskan antara al-Ghazali dengan Ibn 'Arabi karena Ibn 'Arabi bertentangan dengan al-Ghazali bukan melalui pandangan orang lain tetapi oleh Ibn 'Arabi sendiri (lihat Fusus al-Hikam Bab tentang Nuh). Di samping itu, al-Ghazali menggunakan sistem epistemologi Aristotelian dalam menyampaikan pesan-pasannya. Tetapi kaum sufi banyak sistem logika Aristotelian. Hal ini menunjukkan bahwa sistem epistemologi sufi dengan teolog adalah sangat jauh bertentangan. Apalagi kalau menerima sistem atomisme Asy'ari (lihat Allama Muhammad Iqbal The Reconstruction of Religious Thought in Islam bab The Concept of God and The Meaning of Prayer). Karena itu, bila mengkaji dengan baik, akan ditemukan kekeliruan mendasar dalam pemikiran Al-Attas. Dia tidak menggunakan epistemologi filsafat dalam teori-teorinya, dia melakukan pendekatan hermeunetik. Bahasa adalah wakil bagi setiap esensi. Pendekatan hermeunetika adalah pendekatan menyusun batu-bata menjadi sebuah dinding. Beginilah Al-Atas menyusun teorinya.  

Esensi
 Kita melihat air zam-zam. Dari mana asalnya? Padahal di Timur-tengah adalah salah satu kawasan panas ekstrim di bumi. Makkah memiliki energi untuk menarik sefala energi positif yang ada di semua sudut bumi. Lihatlah sumber energi fosil,  sekalipun tanah ini tidak pernah hidup aneka tumbuhan dan hewan seperti di negeri trpis, tetapi kandungan energi fosilnya paling banyak. Demikian juga hujan hampir tidak pernah turun di sana tetapi sumur zam-zam tidak pernah kering. Tidak hanya cairan, segala yang baik berkumpul di Makkah.
 Bahasa (linguistik) adalah wakil dari setiap realitas. Missal kata K.U.R.S.I. adalah wakil dari tempat duduk. Bahasa juga mewakili tidakan. Misalnya M.A.K.A.N adalah wakil dari abstraksi tindakan sseorang mmasukkan makanan kedalam mulut. Bahasa yang merupakan harta terpenting manusia dengan kualitas terbaik berkumpul di tanah terbaik sehingga puncaknya adalah turunnya sebuah Kitab Suci melalui insan terbaik. Karena Makkah menghimpun segala yang baik, maka teraktualisasilah kata-kata yang baik dari seluruh dunia yang terwujud dalam al-Quran. Bahasa terbaik adalah bahasa Arab. Sementara sifat sifat terbaik terhimpun dalam diri Rasul Saw.
 Kata-kata dan peristiwa-peristiwa terbaik yang pernah lahir dari alam dan tindakan manusia-manusia dari Adam hingga menjelang al-Qur'an turun---kata-kata tersebut disebut terbaik karena mampu mewakilkan suatu esensi. Kata-kata baik ini dimulai sejak manusia berbahasa, mengalir dalam sungai sejarah hingga terhimpun dalam samudra Al-Qur'an.
Kata-kata selain kata-kata dalam Al-Qur’an sifatnya hanya kesepakatan, konvensi. Tetapi kata-kata yang telah dipilih dalam al-Qur’an adalah  humpunan paling baik dan satu-satunya pewakilan yang benar dari realitas dan tindakan. Yang pertama selatif dan terakhir mutlak. Yang pertama dapat dan yang terahir tidak dapat dirubah.
Kerancuan Proyek Islamisasi Bahasa Al-Atas
 Salah satu bagian dari proyek Islamisasi Al-Attas adalah Islamisasi bahasa. Proyek ini adalah naturalisasi kosakata bahasa Arab menjadi bahasa Melayu. Ini bukan Islamisasi tetapi Melayunisasi. Yang disebut sebagai Islamisasi adalah kosakata Melayu yang tetap dipakai dan maknanya yang diperbaiki. Karena banyak kosa kata Melayu yang telah kehilangan makna aslinya karena dipakai untuk mewakilkan maksud yang berbeda. Demikian juga kata-kata yang tidak mendalam harus diberi pemaknaan baru supaya ideal dan semaksud dengan kata-kata yang dimiliki bahasa Arab. Misalnya kara 'rela' dianggap tidak sesuai dengan kata 'iklash' dalam bahasa Arab. Karena dianggap tidak sesuai, maka kata 'iklash' dinaturalisasi menjadi bagian dari kosakata Melayu. Islamisasi adalah menjadikan Islam sesuatu yang tidak Islam.  Tetapi bila menggunakan istilah Islam yakni bahasa Arab dan menyingkirkan istilah Melayu yang identik, dalam sekup kata, maka itu namanya Melayunisasi. Dan bila dilihat dari keseluruhan bahasa Melayu, maka itu artinya penyusupan Islam. Islamisasi yang sesungguhnya, bila konsep ini layak, terkait linguistik, adalah mengubah makna sebuah kata menjadi lebih mendalam dan sesuai dengan maksud yang diinginkan pada sebuah kata. Jadi tindakan kaum sufi Melayu di masalalu bukan ‘Islamisi’ bahasa--sebagaimana dikatakan Al-Attas, tetapi Melayunisasi.
  Namun demikian, sebuah kata tidak akan berguna bila maknanya tidak mendasar. Degradasi dan promosi sebuah kata adalah tergantung pada pola pikir, lingkungan dan tindakan masyarakat pengguna kata tersebut. Kalaupun semua kosa kata Arab dinaturalisasi menjadi kosakata Melayu, bila masyarakatnya kurang berkualitas, maka semua kata yang dimelayunisasikan akan tetap tereduksi. Misalnya kata tawakal yang bermakna suatu tindakan berdasarkan niat, aksi dan hasil karena Allah menjadi usaha untuk kepentingan materi dengan niat menumpuk kekayaan. Demikian juga kata ‘iman’ dapat pula dipakai untuk menggambarkan keyakinan masyarakat untuk menyembah pohon bila mereka menjadi pagan. Maksudnya adalah sebuah kosakata adalah bergantung pada penggunanya. Karena itu yang lebih penting adalah menjadikan masyarakat bertauhid dengan baik, membentuk prinsip, paradigma dan sebagainya. Kalau tujuan yang penting ini dapat tercapai, maka setiap kosa kata Melayu sendiri akan terperbaiki maknanya dan menjadi lebih layak untuk mewakili maksud-maksud Islam sehingga tidak perlu melakukan Melayunisasi kosa kata Arab atau kosakata Al-Qur'an. Tetapi bila menganggap kosa Melayu tidak mampu mewakili kosakata-kosakata Al-Qur'an maka gunakan saja bahasa Arab. 

Sejarah
 Al-Atas adalah tokoh yang paling keras menentang teori-teori sejarah tentang Nusantara yang dilahirkan oleh para sarjana Barat. Tetapi Al-Atas sendiri melakukan banyak kesalahan untuk mempertegas sebuah kebenaran. Misalnya saat dia ingin mengungkap asal kata 'samudra', malah menulis salah, mengacaukan, atau adalah kesepakatan Inggris tetapi tidak membuat penjelas karena sangat penting, saat menulis nama ‘Meurah Seulu’ menjadi ‘Merah Silau’ ( Al-Attas, Historical Fact and Fiction, Kuala Lumpur: UTM Press, 2011, Bab tentang Samudra Pasai. h. 12) dan menulis ‘Perlak’ (Historical, h. 37) yang seharusnya ‘Peureulak’. Pengubahan nama tempat dan nama orang dalam mengkaji sesuatu tanpa membuat keterangan kata dasarnya, apalagi sejarah, malah saat sedang mengkaji sesuatu berdasarkan pendekatan semantik, adalah hal konyol.   

 Sekularisme?
 Banyak kata yang muncul. Tetapi hampir sama banyaknya dengan hanya sebatas kata. Hanya sedikit kata yang merupakan wakil dari realitas, memiliki rujukan yang nyata.
 Salahsatu kegunaan filsafat adalah membuktikan sesuatu itu real, nyata, atau tidak.  Contoh yang diberikan adalah 'kesempatan'. Maksud kata ini seperti suatu keajaiban yang muncul di luar hukum kebiasaan alam. Tongkat penyihir yang tiba-tiba dapat memunculkan hal aneh adalah gambaran yang walaupun kurang tepat tetapi tidak buruk amat. Setiap peristiwa memiliki sebab dan akibatnya. Kausalitas adalah hukum yang berlaku untuk menjelaskan setiap peristiwa. Artinya segala sesuatu adalah alamiah, tidak ada, misalnya 'kesempatan', sebab dia tidak ril. Filsafat membantu menyelesaikan masalah ini sehingga bila filsafat telah mampu membuktikan sesuatu itu ril, maka dapatlah dilanjutkan pengkajiannya. Tetapi bila sesuatu ternyata tidak ril, maka tidak ada gunanya melanjutkan pembahasan.
 Sesuatu yang dianggap sebagai masalah, atau sebaliknya dianggap sebagai solusi perlu dibuktikan apakah ril atau tidak. Bila secara kesepakatan umum sesuatu dianggap sebagai masalah namun secara filsafat terbukti ternyata bukan masalah, maka berarti bukan itu masalahnya. Demikian pula sesuatu yang bila secara umum dianggap sebagai solusi tetapi ternyata filsafat membuktikan dia tidak ril, maka solusi itu pasti semu.
 Sekularisme menjadi solusi bagi kaum Kristen modern yang konsisten dengan sains. Sekularisme juga menjadi masalah bagi orang Islam belakangan.  Tetapi apa sebenarnya sekularisme ini?  Al-Attas mengatakan sekularisme berasal dari perpaduan dari dua kata yang bermakna 'kedisinian' dan 'kekinian' (Al-Attas,  Islam and Secularism dalam bab Secular, Secularization-Secularism h. 16, KL: ISTAC, 1993). Kedisinian dan kekinian adalah limitasi tertentu dari ruang dan waktu yang tidak statis.  Dalam pengertian lebih luas, sekularisme adalah aliran yang melepaskan metafisika dari rasio. Keyakinan-keyakinan dogmatis dianggap perlu dibuang supaya nalar dapat lepas dari gangguan-gangguan waham sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang benar. Dengan melepaskan dogma-dogma agama, manusia dapat berfikir rasional dan praktis tanpa orientasi dogmatis. Al-Attas menolak pola pikir sekular karena menurutnya setiap orang berangkat dan menuju orientasi metafisik dalam melakukan setiap tindakan. Karena itu sekularisme adalah kebohongan, ketiadaan; karena dalam term filsafat, kekinian dan kedisinian berarti ketiadaan sebab. Kini dan di sini adalah bagian dari kategori aksiden. Pada realias, yang ada adalah gerak terus-menerus. Limitasi kini dan di sini hanya berlaku dalam kategori mental. Lebih dari itu sekularisme adalah teori yang dilahirkan oleh Ibn Rusyd. 
   Ibn Rusyd yang pemikirannya mempengaruhi hampir keseluruhan filsafat Barat Modern salah paham terhadap Ibn Sina. Dia menganggap dualitas itu berlaku pada realitas luar, padahal dualitas itu berlaku hanya pada wilayah pikiran. Makanya sekularisme itu tidak ada. Seseorang dituduh sekuler karena tidak mengutip kitab suci dalam mengemukakan gagasannya. Ini adalah penilaian aneh. 
  Kalau Al-Attas sendiri mengakui bahwa setiap entitas alam materi tidak putus dari ilahiyah, (Islam dan Filsafat Sains, h: 20, Bandung: Mizan, 1995) maka setiap sisi sains pasti adalah metafisika itu sendiri dan sains, apapun disiplinnya,  adalah bagian metafisika itu sendiri. Al-Ghazali selaku tokoh yang dengan setia diikuti Al-Attas tidak memiliki masalah ketika memilah setiap disiplin ilmu karena sadar bahwa memilah antar disiplin dapat membuat disiplin itu semakin matang. Kesadaran Al-Ghazali inilah yang diikuti Kant ketika dia menganjurkan dogma agama supaya dilepaskan dari akal budi murni (Immanuel Kant, Kritik Atas Akal Budi Praktis, Yogyakarta: Pustakan Pelajar.
 Al-Atas mengatakan hanya hidayah saja yang menghantarkan pada kebenaran, bukan keraguan sebagaimana sumber energi kaum Barat. ( Islam dan Filsafat Sains, h. 30) padahal teori keraguan ini dimulai oleh Al-Ghazali yang selanjutnya diwarisi Bapak Filsafat Barat Modern yakni Rene Descartes. Perbedaannya adalah, dalam pandangan Al-Ghazali, keraguan itu sendiri adalah sarana (alat, kendaraan, tools) dari Allah untuk mencapai hidayah, sementara Descartes menjadikan keraguan itu sendiri sebagai sumber utama sehingga sering pemikir Barat selalu berujung pada keraguan juga.
 Al-Attas (Islam dan Filsafat Sains, h. 31) menilai keraguan adalah posisi netral antara kebenaran dan oposisinya yakni kesalahan. Padahal dia adalah komentaror Sufi seperti Hamzah Fansuri yang paling dipercaya. Dalam pandangan Hamzah, segalanya berasal. dari al-Haqq, Al-Haqq Tunggal dan tidak memiliki oposisi. Karena itu oposisinya tidak ada. Segala hal adalah dariNya. Keburukan hanyalah konsepsi mental manusia karena keterbatasannya. Keraguan hanyalah posisi proses gerak jiwa manusia meninggalkan satu stasium menuju stasiun lainnya. Stasiun satu dengan yang lainnya adalah dari Al-Haqq. Keraguan disini, termasuk dalam kosep Al-Ghazali bukan sebuah dilema saat menghadap dua persimpangan. Maha Suci Allah dari penyekutuan.
            Dengan pejelasan di atas, maka sekularisme adalah teori dan ideologi yang tidak memilik rujukan. Konsepsinyapun hanya sebuah manipulasi pikiran. Al-Attas sendiri menjawab prolem sekularisasi denga proyek Islamisasi. Islamisasi sendiri adalah manipulasi atas manipulasi. Sains itu semunya berjalan atas dasar hukum alam yang mmerupakan manifestasi dari hokum Tuhan. Karena itu kalau mau melakukan Islamisasi, ya kepada saintis, bukan sains karena sains itu sendiri memang ‘Islam. Wallahu ‘alam

    
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar