Bismillahirrahmanirrahim.
Radhitubillahi Ranna wa bi Islami diina wa bi Muhammadi Nabiyya wa Rasula.
Salam kepada arwah para sahabat, keluarga Nabi Besar dan para syuhada. Semoga
Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan kesehatan kepada salah seorah cucu Nabi
Saw. Datok Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Usaha Al-Attas dalam menghidupkan kembali
khazanah sufi, budaya dan sastra Melayu patut diapresiasi. Utamanya adalah
perannya dalam memperkenalkan kembali pemikiran Hamzah Fansuri kepada
masyarakat kini. Akurasi analisa atas pemikiran Hamzah telah dilakukan dengan
baik oleh ulama kelahiran Bogor ini. Dia juga konsisten dengan ilmunya sehingga
dia memeberi solusi terhadap persoalan masa kini dengan merujuk kepada
pemikiran kaum sufi. Konsistensi ini telah mempengaruhi banyak generasi muda.
Tetapi dalam ruang filsafat Islam yang murni, solusi ini tidak dapat diterima
dengan baik.
Al-Attas mengusung proyek besar yakni
Islamisasi Sains. Proyek ini dibangun dengan landasan linguistik yang merupakan
bagian bidang pelajarannya selama di Barat. Menurutnya bahasa memegang peran
penting karena merupakan alat untuk mengkomunikasikan ide bahkan pengalaman
metafisik. Karena itu tidak heran kalau dalam membahas suatu persoalan beliau
mengusut persoalan tersebut hingga bahasa dan bahkan makna yang mewakilinya.
Keuletannya dalam mengkaji pemikiran kaum sufi sebelum kita juga telah
membentuk prinsip keilmuannya. Karena itu tidak heran bila Al-Attas selalu
menggunakan ajaran kaum sufi sebagai penguatnya berargumentasi. Tetapi
pemikiran al-Attas, termasuk proyek Islamisasi Ilmu, memiliki banyak kekeliruan
mendasar.
Persoalan
Ontologi
Al-Attas memang mampu menjelaskan pemikiran
ontologis para filosof dan kaum sufi dengan baik. Tetapi ketika menjelaskan
persoalan intinya yakni persoalan wujud dengan mahiyah Al-Attas hanya merujuk
pada Ibn Sina, Suhrawardi dan Taftazani (lihat Prolegomna to the Metaphysics of
Islam, KL: ISTAC, 2001) . Padahal persoalan ini belum usai dalam sejarah
filsafat Islam. Akibatnya pembahasan tentah wujud dan mahiyah dalam pemikiran
Al-Attas tidak usai dan ganji. Padahal persoalan ini adalah jantung dari
persoalan filsafat.
Benar saja, keganjilan Al-Attas berimplikasi
pada pandangannya tentang wujud (eksistensi) dan hirarkinya. Al-Attas terlalu
mencampuraduk antara pemikiran Al-Ghazali, Ibn 'Arabi, Asy'ari dan Abd
al-Rahman Jami. Persoalan ini memberikan implikasi kepada ganjilnya sistem
epistemologi Al-Attas.
Al-Attas menerima dengan baik sistem teologi
al-Ghazali, tentunya dia menerima teologi Asy'ari. Demikian itu dia juga
menerima ajaran Wujud Jami' yang pastinya dia menerima sistem Wujud Ibn 'Arabi.
Penerimaan secara sekaligus atas kedua prinsip yang berbeda secara signifikan
ini pernah pula dilakukan oleh Ibrahim Kurani denga kitab ithaf al-dhaki.
Kita tahu bahwa Asy'ari adalah representasi
teolog dan Ibn 'Arabi adalah representasi sufi. Persamaan antara keduanya
adalah pada keterangan bahwa “Zat Allah tidak dapat dijangkau oleh apapun selain
diriNya”. Tetapi letak perbedaan paling signifikan adalah pada hal yang
dianggap sama ini.
Teolog berpendapat al-Haqq tidak dapat
diketahui karena keabsolutannya, sangat terpisah dan sangat berbeda dengan
wujud selain Dia. Sementara sufi
memandang al-Haqq tidak dapat dikenal oleh selaiNya karena selain Dia adalah
tiada berwujud, karena wujudnya tiada, mustahil berpengetahuan. Di samping itu
sufi mengaku Dia hanya bisa dikenal melalui Dia. Dan pernyataan ini berasal
dari Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali ams. (Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, Kitab 'Asrar al-'Arifin').
Sebagian sarjana juga menambahkan kesamaan
mereka adalah bahwa Wujud Allah berbeda dengan Wujud Makhluk. Pada satu sisi
pandangan ini dapat dimaklumi, tetapi pada sisi lain yang lebih penting,
pendapat ini tidak benar sama sekali. Alasannya adalah karena kaum sufi hanya
mengakui eksistensi satu wujud saja yakni Wujud al-Haqq, wujud selainnya hanya
diterima sebagai bayangan bagi Wujud al-Haqq. Pengakuan adanya wujud selain
al-Haqq oleh kaum sufi hanyalah sebagai penerang bagi satu wujud Saja yakni
al-Haqq. Eksistensi bayangan hanya ada sebagai objek pembahasan, tidak ril,
tidak nyata, demikian juga eksistensi selain al-Haqq bagi sufi juga tidak dapat
diterima. Demikian pula eksistensi selain al-Haqq menjadi ada bagi sufi hanya
sebagai konsep pikiran, hakikatnya tiada. Antara sufi dan teolog, secara
linguistik sama, tetapi pernyataannya
sama,
Karena
perbedaan sufi dengan teolog adalah pada hal paling mendasar, maka niscaya
tidak dapat ditemukan sama sekali persamaan doantara keduanya. Al-Attas yang
meskipun banyak memakai nama sufi aliran Ibn 'Arabi dalam menguatkan
argumennya, tetapi dia tidak mampu memberikan artikulasi sistematis karena
terjebak oleh sistem ontologi teolog.
Epistemologi
Logika yang dipakai oleh Al-Attas perlu
dipertanyakan. Dia menerima sistem pemikiran al-Ghazali. Bahkan dia sangat
mengagungkannya. Al-Ghazali adalah filsuf yang dikritik dengan keras oleh Ibn
Arabi dalam Fusus al-Hikam mengenai persoalan sangat krusial yakni tentang
pengetahuan akan al-Haqq. Dan tema ini adalah persoalan paling krusial dalam
mengkaji keseluruhan pemikiran filosof dan sufi sebagaimana yang telah dibahas
di atas. Dengan ini, mengatakan pemikiran sufi dengan teolog adalah sama dalam
tema ontologi sekalipun adalah keliru, apalagi menggunakannya secara bersamaan
untuk memperkuat satu tema tertentu.
Persoalan yang lebih penting terkait tema
epistemologi adalah, ketika mengutip argumen kaum sufi Ibn 'Arabian seperti Ibn
'Arabi sendiri, Jami' dan Hamzah, sistem epistemologi apa dan bagaimana
digunakan al-Attas? Pertanyaan ini muncul karena sistem epistemologi apapun
yang digunakan tetap saja akan bermasalah karena sistem ontologinya sudah
keliru. Mungkin orang-orang akan mengatakan sistem hudhuri adalah sistem ideal
untuk persoalan ini, tetapi tentunya sistem ini akan menuai banyak pertentangan
karena mustahil mengharmoniskan antara al-Ghazali dengan Ibn 'Arabi karena Ibn
'Arabi bertentangan dengan al-Ghazali bukan melalui pandangan orang lain tetapi
oleh Ibn 'Arabi sendiri (lihat Fusus al-Hikam Bab tentang Nuh). Di samping itu,
al-Ghazali menggunakan sistem epistemologi Aristotelian dalam menyampaikan
pesan-pasannya. Tetapi kaum sufi banyak sistem logika Aristotelian. Hal ini
menunjukkan bahwa sistem epistemologi sufi dengan teolog adalah sangat jauh
bertentangan. Apalagi kalau menerima sistem atomisme Asy'ari (lihat Allama
Muhammad Iqbal The Reconstruction of
Religious Thought in Islam bab The Concept of God and The Meaning of
Prayer). Karena itu, bila mengkaji dengan baik, akan ditemukan kekeliruan
mendasar dalam pemikiran Al-Attas. Dia tidak menggunakan epistemologi filsafat
dalam teori-teorinya, dia melakukan pendekatan hermeunetik. Bahasa adalah wakil
bagi setiap esensi. Pendekatan hermeunetika adalah pendekatan menyusun
batu-bata menjadi sebuah dinding. Beginilah Al-Atas menyusun teorinya.
Esensi
Kita melihat air zam-zam. Dari mana asalnya?
Padahal di Timur-tengah adalah salah satu kawasan panas ekstrim di bumi. Makkah
memiliki energi untuk menarik sefala energi positif yang ada di semua sudut
bumi. Lihatlah sumber energi fosil,
sekalipun tanah ini tidak pernah hidup aneka tumbuhan dan hewan seperti
di negeri trpis, tetapi kandungan energi fosilnya paling banyak. Demikian juga
hujan hampir tidak pernah turun di sana tetapi sumur zam-zam tidak pernah kering.
Tidak hanya cairan, segala yang baik berkumpul di Makkah.
Bahasa (linguistik) adalah wakil dari setiap
realitas. Missal kata K.U.R.S.I. adalah wakil dari tempat duduk. Bahasa juga
mewakili tidakan. Misalnya M.A.K.A.N adalah wakil dari abstraksi tindakan
sseorang mmasukkan makanan kedalam mulut. Bahasa yang merupakan harta
terpenting manusia dengan kualitas terbaik berkumpul di tanah terbaik sehingga
puncaknya adalah turunnya sebuah Kitab Suci melalui insan terbaik. Karena
Makkah menghimpun segala yang baik, maka teraktualisasilah kata-kata yang baik
dari seluruh dunia yang terwujud dalam al-Quran. Bahasa terbaik adalah bahasa
Arab. Sementara sifat sifat terbaik terhimpun dalam diri Rasul Saw.
Kata-kata dan peristiwa-peristiwa terbaik yang
pernah lahir dari alam dan tindakan manusia-manusia dari Adam hingga menjelang
al-Qur'an turun---kata-kata tersebut disebut terbaik karena mampu mewakilkan
suatu esensi. Kata-kata baik ini dimulai sejak manusia berbahasa, mengalir
dalam sungai sejarah hingga terhimpun dalam samudra Al-Qur'an.
Kata-kata
selain kata-kata dalam Al-Qur’an sifatnya hanya kesepakatan, konvensi. Tetapi
kata-kata yang telah dipilih dalam al-Qur’an adalah humpunan paling baik dan satu-satunya
pewakilan yang benar dari realitas dan tindakan. Yang pertama selatif dan
terakhir mutlak. Yang pertama dapat dan yang terahir tidak dapat dirubah.
Kerancuan
Proyek Islamisasi Bahasa Al-Atas
Salah satu bagian dari proyek Islamisasi
Al-Attas adalah Islamisasi bahasa. Proyek ini adalah naturalisasi kosakata
bahasa Arab menjadi bahasa Melayu. Ini bukan Islamisasi tetapi Melayunisasi.
Yang disebut sebagai Islamisasi adalah kosakata Melayu yang tetap dipakai dan
maknanya yang diperbaiki. Karena banyak kosa kata Melayu yang telah kehilangan
makna aslinya karena dipakai untuk mewakilkan maksud yang berbeda. Demikian
juga kata-kata yang tidak mendalam harus diberi pemaknaan baru supaya ideal dan
semaksud dengan kata-kata yang dimiliki bahasa Arab. Misalnya kara 'rela'
dianggap tidak sesuai dengan kata 'iklash' dalam bahasa Arab. Karena dianggap
tidak sesuai, maka kata 'iklash' dinaturalisasi menjadi bagian dari kosakata
Melayu. Islamisasi adalah menjadikan Islam sesuatu yang tidak Islam. Tetapi bila menggunakan istilah Islam yakni
bahasa Arab dan menyingkirkan istilah Melayu yang identik, dalam sekup kata,
maka itu namanya Melayunisasi. Dan bila dilihat dari keseluruhan bahasa Melayu,
maka itu artinya penyusupan Islam. Islamisasi yang sesungguhnya, bila konsep
ini layak, terkait linguistik, adalah mengubah makna sebuah kata menjadi lebih
mendalam dan sesuai dengan maksud yang diinginkan pada sebuah kata. Jadi
tindakan kaum sufi Melayu di masalalu bukan ‘Islamisi’ bahasa--sebagaimana
dikatakan Al-Attas, tetapi Melayunisasi.
Namun demikian, sebuah kata tidak akan
berguna bila maknanya tidak mendasar. Degradasi dan promosi sebuah kata adalah
tergantung pada pola pikir, lingkungan dan tindakan masyarakat pengguna kata
tersebut. Kalaupun semua kosa kata Arab dinaturalisasi menjadi kosakata Melayu,
bila masyarakatnya kurang berkualitas, maka semua kata yang dimelayunisasikan
akan tetap tereduksi. Misalnya kata tawakal yang bermakna suatu tindakan
berdasarkan niat, aksi dan hasil karena Allah menjadi usaha untuk kepentingan
materi dengan niat menumpuk kekayaan. Demikian juga kata ‘iman’ dapat pula
dipakai untuk menggambarkan keyakinan masyarakat untuk menyembah pohon bila
mereka menjadi pagan. Maksudnya adalah sebuah kosakata adalah bergantung pada
penggunanya. Karena itu yang lebih penting adalah menjadikan masyarakat bertauhid
dengan baik, membentuk prinsip, paradigma dan sebagainya. Kalau tujuan yang
penting ini dapat tercapai, maka setiap kosa kata Melayu sendiri akan
terperbaiki maknanya dan menjadi lebih layak untuk mewakili maksud-maksud Islam
sehingga tidak perlu melakukan Melayunisasi kosa kata Arab atau kosakata
Al-Qur'an. Tetapi bila menganggap kosa Melayu tidak mampu mewakili
kosakata-kosakata Al-Qur'an maka gunakan saja bahasa Arab.
Sejarah
Al-Atas adalah tokoh yang paling keras
menentang teori-teori sejarah tentang Nusantara yang dilahirkan oleh para
sarjana Barat. Tetapi Al-Atas sendiri melakukan banyak kesalahan untuk
mempertegas sebuah kebenaran. Misalnya saat dia ingin mengungkap asal kata
'samudra', malah menulis salah, mengacaukan, atau adalah kesepakatan Inggris
tetapi tidak membuat penjelas karena sangat penting, saat menulis nama ‘Meurah
Seulu’ menjadi ‘Merah Silau’ ( Al-Attas, Historical Fact and Fiction, Kuala
Lumpur: UTM Press, 2011, Bab tentang Samudra Pasai. h. 12) dan menulis ‘Perlak’
(Historical, h. 37) yang seharusnya ‘Peureulak’. Pengubahan nama tempat dan
nama orang dalam mengkaji sesuatu tanpa membuat keterangan kata dasarnya,
apalagi sejarah, malah saat sedang mengkaji sesuatu berdasarkan pendekatan
semantik, adalah hal konyol.
Sekularisme?
Banyak kata yang muncul. Tetapi hampir sama
banyaknya dengan hanya sebatas kata. Hanya sedikit kata yang merupakan wakil
dari realitas, memiliki rujukan yang nyata.
Salahsatu kegunaan filsafat adalah membuktikan
sesuatu itu real, nyata, atau tidak.
Contoh yang diberikan adalah 'kesempatan'. Maksud kata ini seperti suatu
keajaiban yang muncul di luar hukum kebiasaan alam. Tongkat penyihir yang
tiba-tiba dapat memunculkan hal aneh adalah gambaran yang walaupun kurang tepat
tetapi tidak buruk amat. Setiap peristiwa memiliki sebab dan akibatnya.
Kausalitas adalah hukum yang berlaku untuk menjelaskan setiap peristiwa.
Artinya segala sesuatu adalah alamiah, tidak ada, misalnya 'kesempatan', sebab
dia tidak ril. Filsafat membantu menyelesaikan masalah ini sehingga bila
filsafat telah mampu membuktikan sesuatu itu ril, maka dapatlah dilanjutkan
pengkajiannya. Tetapi bila sesuatu ternyata tidak ril, maka tidak ada gunanya
melanjutkan pembahasan.
Sesuatu yang dianggap sebagai masalah, atau
sebaliknya dianggap sebagai solusi perlu dibuktikan apakah ril atau tidak. Bila
secara kesepakatan umum sesuatu dianggap sebagai masalah namun secara filsafat
terbukti ternyata bukan masalah, maka berarti bukan itu masalahnya. Demikian
pula sesuatu yang bila secara umum dianggap sebagai solusi tetapi ternyata
filsafat membuktikan dia tidak ril, maka solusi itu pasti semu.
Sekularisme menjadi solusi bagi kaum Kristen
modern yang konsisten dengan sains. Sekularisme juga menjadi masalah bagi orang
Islam belakangan. Tetapi apa sebenarnya
sekularisme ini? Al-Attas mengatakan
sekularisme berasal dari perpaduan dari dua kata yang bermakna 'kedisinian' dan
'kekinian' (Al-Attas, Islam and
Secularism dalam bab Secular, Secularization-Secularism h. 16, KL: ISTAC,
1993). Kedisinian dan kekinian adalah limitasi tertentu dari ruang dan waktu
yang tidak statis. Dalam pengertian
lebih luas, sekularisme adalah aliran yang melepaskan metafisika dari rasio.
Keyakinan-keyakinan dogmatis dianggap perlu dibuang supaya nalar dapat lepas
dari gangguan-gangguan waham sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang
benar. Dengan melepaskan dogma-dogma agama, manusia dapat berfikir rasional dan
praktis tanpa orientasi dogmatis. Al-Attas menolak pola pikir sekular karena
menurutnya setiap orang berangkat dan menuju orientasi metafisik dalam
melakukan setiap tindakan. Karena itu sekularisme adalah kebohongan, ketiadaan;
karena dalam term filsafat, kekinian dan kedisinian berarti ketiadaan sebab.
Kini dan di sini adalah bagian dari kategori aksiden. Pada realias, yang ada
adalah gerak terus-menerus. Limitasi kini dan di sini hanya berlaku dalam
kategori mental. Lebih dari itu sekularisme adalah teori yang dilahirkan oleh
Ibn Rusyd.
Ibn
Rusyd yang pemikirannya mempengaruhi hampir keseluruhan filsafat Barat Modern
salah paham terhadap Ibn Sina. Dia menganggap dualitas itu berlaku pada
realitas luar, padahal dualitas itu berlaku hanya pada wilayah pikiran. Makanya
sekularisme itu tidak ada. Seseorang dituduh sekuler karena tidak mengutip
kitab suci dalam mengemukakan gagasannya. Ini adalah penilaian aneh.
Kalau Al-Attas sendiri mengakui bahwa setiap
entitas alam materi tidak putus dari ilahiyah, (Islam dan Filsafat Sains, h:
20, Bandung: Mizan, 1995) maka setiap sisi sains pasti adalah metafisika itu
sendiri dan sains, apapun disiplinnya,
adalah bagian metafisika itu sendiri. Al-Ghazali selaku tokoh yang
dengan setia diikuti Al-Attas tidak memiliki masalah ketika memilah setiap disiplin
ilmu karena sadar bahwa memilah antar disiplin dapat membuat disiplin itu
semakin matang. Kesadaran Al-Ghazali inilah yang diikuti Kant ketika dia
menganjurkan dogma agama supaya dilepaskan dari akal budi murni (Immanuel Kant,
Kritik Atas Akal Budi Praktis, Yogyakarta: Pustakan Pelajar.
Al-Atas mengatakan hanya hidayah saja yang
menghantarkan pada kebenaran, bukan keraguan sebagaimana sumber energi kaum
Barat. ( Islam dan Filsafat Sains, h. 30) padahal teori keraguan ini dimulai
oleh Al-Ghazali yang selanjutnya diwarisi Bapak Filsafat Barat Modern yakni
Rene Descartes. Perbedaannya adalah, dalam pandangan Al-Ghazali, keraguan itu
sendiri adalah sarana (alat, kendaraan, tools) dari Allah untuk mencapai
hidayah, sementara Descartes menjadikan keraguan itu sendiri sebagai sumber
utama sehingga sering pemikir Barat selalu berujung pada keraguan juga.
Al-Attas (Islam dan Filsafat Sains, h. 31)
menilai keraguan adalah posisi netral antara kebenaran dan oposisinya yakni
kesalahan. Padahal dia adalah komentaror Sufi seperti Hamzah Fansuri yang
paling dipercaya. Dalam pandangan Hamzah, segalanya berasal. dari al-Haqq,
Al-Haqq Tunggal dan tidak memiliki oposisi. Karena itu oposisinya tidak ada.
Segala hal adalah dariNya. Keburukan hanyalah konsepsi mental manusia karena
keterbatasannya. Keraguan hanyalah posisi proses gerak jiwa manusia
meninggalkan satu stasium menuju stasiun lainnya. Stasiun satu dengan yang
lainnya adalah dari Al-Haqq. Keraguan disini, termasuk dalam kosep Al-Ghazali
bukan sebuah dilema saat menghadap dua persimpangan. Maha Suci Allah dari
penyekutuan.
Dengan pejelasan di atas, maka
sekularisme adalah teori dan ideologi yang tidak memilik rujukan.
Konsepsinyapun hanya sebuah manipulasi pikiran. Al-Attas sendiri menjawab
prolem sekularisasi denga proyek Islamisasi. Islamisasi sendiri adalah
manipulasi atas manipulasi. Sains itu semunya berjalan atas dasar hukum alam
yang mmerupakan manifestasi dari hokum Tuhan. Karena itu kalau mau melakukan
Islamisasi, ya kepada saintis, bukan sains karena sains itu sendiri memang
‘Islam. Wallahu ‘alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar