Link Download

Kamis, 31 Januari 2013

Argumentasi Wahdatul Wujud Mulla Sadra

Seluruh pandangan filsafat Mulla Sadra adalah untuk memperispkan kognisi dalam memahami prinsip wahdatul wujud sebagaimana diyakini para filosof, sufi atau 'urafa. Sayangnya para filofof (peripatetik) terlalu sibuk mengurusi persoalan konsep sehingga mereka tidak dapat menyentuh prinsip mereka sendiri yakni kemendasaran wujud. Sadra mengambil jalan yang berbeda dengan peripatetik dengan mengemukakan argumentasinya secara induktif mirip aliran illuminasi. Sadra berbeda dengan illuminasi karena dia menggunakan term 'wujud' dalam mengemukakan prinsip ontologinya sehingga dia tidak terjebak dalam analogi cahaya yang gagal melihat realitas eksternal sebagai 'wujud'. Sayangnya Ibnu Arabi hanya dapat memperkenalkan prinsipnya kepada yang telah juga mencapai maqam irfan. 
Sadra memiliki dua argumen utama untuk membuktikan wahdatul wujud yakni kausalitas dan hakikat sedehana adalah sesuatu (Muhammad Nur, Makassar: Chamran Press, 2012, h. 89). Sebab memiliki seluruh kesempurnaan akibat dan sebab tidak hadir seluruhnya ke dalam akibat. Tetapi dalam irfan, hubungan sebab akibat dilihat dengan pemberi keadaan dengan keadaan, di mana pemberi keadaan mengisi seluruh wadah keadaan sehingga keadaan penuh dengan 'ada'.
'Wadah' akibat diisi dengan wujud oleh sebab secara terus-menerus. Sesaat saja sebab menghentikan eksistensi kepada akibat, maka serta merta akibat menjadi musnah. Dalam pandangan penganut prinsip ashalatul wujud, Tuhan tidak memberikan eksistensi kepada quiditas yang telah tersedia. Tetapi ketika Tuhan memberi eksistensi, maka terbentuklah eksistensi dalam alam metal kita yang diikuti oleh quiditas. Bila mengamati sebab beserta akibatnya, maka tampaklah pada mental tiga entitas: sebab, pemberian akibat dan akibat. Bila diamati akibat saja, maka tampaklah wujud. Sebenarnya ternyata adalah satu wujud saja. Satu wujud eksistensinya adalah ontologis, bukan sekedar konsepsi atau kata sifat semata. (semoga Allah tidak menutup hati kita dari Wajah-Nya).
Kalau saja saya bertemu Mulla Sadra sebih cepat, mungkin saya tidak perlu galau dan bingung selama empat tahun. Seharusnya pertanyaan-pertanyaan filosofis di dalam kepala saya yang membuat tidak enak makan dan susah, tidur tidak perlu terjadi. Tetapi ada benarnya, ''Terlalu cepat selalu tidak baik'' kata Teuku Firman Nur. Ya. Mungkin bila bertemu Sadra sebelum masa kegalauan tidak akan bermakna juga. Segala jawaban yang saya temukan selama pencarian sejalan dengan pikiran-pikiran Mulla Sadra. Memang tanpa Sadra saya tidak mampu mengkonseptualisasikan penemuan-penemuan ini.
Filsafat Sadra dapat disebutkan filsafat empat. Alasannya banyak. Salah satunya adalah kitab terbesarnya adalah 'Empat Perjalanan'. Dia juga melakukan empat perjalanan dalam petualangannya. Sejak dari kapung halaman hingga berhaji ke Makkah. (Sadra meninggal dalam perjalanan pulang haji ketujuhnya dengan berjalan kaki.) Sadra menjelaskan empat tahapan yang ditempuh suluk untuk tenggelam ke dalam samudra Ilahi. Petama adalah membersihkan jasad lahiriyah, kedua membersihkan batin, ketiga menghiasi jiwa dan keempat adalah fana ke dalam Dzat. Jalan filsafat untuk melihat Wujud juga empat. Pertama adalah mengoptimalkan akal potensi, kedua akal aktual, ketiga akal disposisi dan keempat adalah Akal Mustafa'aad. Jalan akal pertama hingga ketiga tampaknya mirip dengan tiga akal Kant yakni murni, praktik dan pertimangan dan keempatnya adalah noumena. Empat terpenting Sadra adalah gradasi wujud, ashalatul wujud, gerak substansi dan wahdatul wujud. Sadra setidaknya membagi empat fakultas jiwa yang sebenarnya adalah satu entitas wujud jua, yakni indra, imajinasi, konsepsi dan Akal Aktif. Sadra mengelaborasi empat jalan besar yakni illuminasi, wahyu, akal intelek dan irfan. Di tangan Sadra, keempat jalan ini saling menguatkan.
*
Setelah di awal sepintas telah diuraikan argumentasi pertama untuk membuktikan wahdatul wujud, kini kita akan melihat argumentasi keduanya yakni wujud sederhana yang meilputi segenap hal. Wujud sederhana ini mustahil berganda. Pada setiap entitas wujud hanya dia yang ada. Dia adalah segala sesuatu dan sekaligus bukan sesuatu apapun.Maha Suci Allah dari segala bayangan dan konsepsi.
Masalah terbesar yang sering menjebak para filosof sehingga mereka terhambat melihat adalah karena mereka keliru dalam memaknai realitas eksternal. Mereka menganggap segala pluralitas maujudlah yang merupakan manifestasi dari Wujud Tunggal. Pemahaman seperti ini adalah zulum karena maujud yang plural ini adalah bentukan mental. Realitasnya kita tidak bisa tahu. Realitas sebenarnya yang disebut realitas eksternal gradasi Wujud adalah realitas yang sekali-sekali tidak dapat diinderai. Hakikatnya hanya bisa diterawang oleh orang 'arif dan eksistensinya adalah 'ilmu Allah.
*
Begitu bayak pemikir yang sering kita anggap sebagai representasi dari Mulla Sadra. Tetapi Sadra tidak bisa dipahami dengan pikiran. Sadra hanya bisa dikenal dengan rasa; tentunya ikut mengalami seperti yang ia alami. Oleh orang-orang elit para guru besar yang dianggap memahami sekali pemikiran Sadra ternyata mereka telah gagal. Seperti Misbah Yazdi yang dianggap orang adalah pakar Sadra, ternyata dia sama sekali tidak berkaitan dengan Sadra. Yazdi membangun sistem epistemologinya sendiri, lalu ia dililit oleh sistem logika sendiri. Dalam perjalanannya dia membawa-bawa nama Sadra. Sebenarnya dia tidak punya peran sama sekali terkait Sadra, bahkan menghantarkan untuk memahami epistemologi sadra-pun tidak. Malah, kalau boleh jujur, bahkan Yazdi dapat mengaburkan pemahaman tentang Sadra. Tetapi orang-orang seperti ini membantu pemula untuk terbiasa dengan istilah istilah yang dipakai Sadra dan para filosof. Ada yang lebih parah lagi yakni ketika Sadra mengatakan wahyu bukanlah sekedar sebuah perintah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk namun dia memiliki realitas ontologis dan ini saya lihat sendiri karen karunia Allah, malah Yazdi menjadikan wahyu sebagai premis untuk dijadikan alat permainan logika.Permainan Yazdi ini adan mejadi bermasalah bila dipakai oleh orang-orang yang logikanya lemah: malah Al-Qur'an sendiri menjadi diragukan. Bayangkan bila orang yang logikanya lemah memiliki banyak pengikut. Masalah lain yang penting adalah manusia akan sibuk menggunakan estimasi penemuan premis-premis dari Al-Qur'an. Sayang sekali Al-Qur'an nantinya akan dinomor sekiankan dalam menemukan hukum guna menciptakan perdamaian abadi di muka bumi (syari'ah). Masalah terpenting, Al-Qur'an akan tidak dapat menghantar hikmah.
Dari Chicago, seorang sarjana asal Pakistan bernama Fazlur Rahman adalah ahli Ibn Sina. Tetapi ketia dia mendekati Sadra menggunakan kacamata Ibn sina semuanya jadi kacau. Meskipun sangat mengapresiasi konsep Sadra tentang jiwa hingga ikut mengkritik gurunya yakni Ibn Sina, tetapi Rahman mempersoalkan banyak pandangan Sadra yang lain. Masalah terpenting yang menimpa Rahman yakni pandangannya tentang pandangan tasyqiq (taskik) Sadra. Dia mengatakan bahwa pandangan Sadra tentang tasykik adalah ambigu. Tentu saja tampak ambigu bila modal melihatnya adalah epistemologi peripatetik. Padahal Sadra pada bagian awal al-Hikmah al-Muta'aliyah fi al-Asyfar al-Aqliyah al-Arbaah sudah menegaskan bahwa epistemologinya berbeda dengan Ibn Sina dan peripatetik. Sadra sangat banyak mengkritik konsep epistemologi Ibn Sina. Rahman memang konyol.
Allama Thabattaba'i adalah pemikir Iran abad ke-20 yang hidup sederhana. Dia punya peran penting dalam memperkenalkan kembali filsafat Sadra kepada sarjana Timur dan Barat dewasa ini. Thabattaba'i menulis sebuah buku berjudul Bidayat al-Hikmah yang dapat dijadikan pengantar untuk memahami al-Hikmah al-Muta'alliyah yang merupakan magnum opus Sadra. Melalui Bidayat, yang menjadi buku wajib di perkuliahan kami, sulit dijadikan ukuran sepaham apakah pengarangnya memahami Sadra. Saya mencoba menilai bahwa Thabattaba'i tidak punya capaian sejauh perjalanan Sadra. Ini menjadi penting karena karya Sadra murninya adalah hikmah dalam arti yang benar.
Perbedaan dalam melihat Sadra terjadi tergantung status setiap yang melihat. Bila yang melihat tidak dikaruniai oleh Allah Penglihatan, maka dia hanya akan melihat pemikiran Sadra dari segi filosofisnya saja. Akibat tidak Melihat, dia akan mengklaim pikiran Sadra tidak konsisten saat membicarakan filsafat dengan saat membicarakan 'irfan. Yang tidak Melihat akan menilai ambigu karena cara Sadra menjelaskan wahdatul wujud adalah dengan dimulai dari argumen filsafat. Orang yang tidak melihat, ketika membaca al-Hikmah al-Muta'alliya pada bagian filsafat, akan nyaman dan angguk-angguk saja. Tetapi semakin menaik pembahasannya, pembaca yang hanya berada pada pada stasiun tertentu pemahaman akan berhenti pemahamannya pada stasiun tertentu. Pada pembahasan di atas stasiunnya, orang-orang yang tidak Melihat menjadi tidak memahami sehingga mereka hanya bisa menduga-duga dan atau berusaha mengait-ngait kannya dengan bahasan sejauh yang mereka pernah paham dan akhirnya menemukan diri mereka dalam ketidak pahaman: mereka tidak percaya diri mereka tidak paham ''... bukankah saya ini profesor filsafat Islam''. Akhirnya mereka memutuskan Sadralah yang salah. ''Filsafat Sadra adalah ambiguitas'' tuduh mereka. Padahal sebenarnya merekalah yang tidak diberi ilham oleh Allah.
Sekalipun tidak me ncapai tingkat yang setinggi Sadra, Ayatullah Jawadi Amuli dan Sayyid Jalaluddin Asytiyani mencoba untuk terus positif kepada Sadra karena hati mereka sadar akan maqam-makam Wujud, karena (insya' Allah) kedua orang ini telah menyaksikan.
*
Sumber perbedaan para sarjana dalam mengkaji Sadra adalah tentang gradasi wujud. Sebagian menganggap tajalli terakhir yang dimaksud adalah realitas beraneka warna dan bermacam corak yang dapat diindera. Sebagian lainnya menganggap tajalli terakhir bukan itu, tetapi tak terinderai juga. Tajalli terakhir mestinya bukanlah pluralitas karena pluralitas adalah pada realitas yang terindera. Menurut pengetahuan saya (semoga Allah senantiasa memberi saya petunjuk semoga saya sendiri dan pembaca agar kita tidak tersesat) pihak pertama menganggap realitas yang terinderalah sebagai gradasi terakhir karena pada realitas ini ditemukan pluralitas dan multiplisitas. Maka saya melihat adalah pluralitas yang dimaksud oleh paham wahdatul wujud bukanlah keragaman yang sebagaimana diinderai ini. Keragaman dalam sistem taskik adalah keragaman yang muncul dari tajalli pertama.
Terkait dengan pembahasan kita, maka akan kita pertanyakan persoalan klasik dalam khasanah intelektual Islam. Maksudnya adalah pertanyaan tentang apakan Al-Qur'an adalah makhluk ataukah ia kalam. Bila ia adalah kalam, maka asumsinya adalah bahwa Allah itu terbatas sehingga membutuhkan bahasa untuk menyampaikan pesanNya. Tetapi di sini yang terbatas adalah makhluk. Tetapi kalam adalah tambahan. Kalam adalah atribut. Bila sesuatu membutuhkan atribut, berarti ia terbatas. Padahal diakui bahwa Allah tidak berbatas (mari beristiqhfar dari segala sangka kita yang buruk akan Allah). Konsekuensi sesuatu yang membutuhkan atribut adalah dia tidak sempurna sehingga membutukan sesuatu selain dirinya yakni atribut itu. Kensekuensi lainnya adalah, bila sesuatu itu membutuhkan atribut, maka harus ada dua hal yakni atribut dan zat yang membutuhkan atribut. Artinya zat itu ada batasnya. Lagi, atribut dan zat haruslah dua wujud yang berbeda. Dua wujud saja sudah mustahil.
Al-Qur'an dalam pandangan Sadra adalah sesuatu yang memiliki status ontologis. Karena itu, Al-Qur'an yang dimaksud tentu bukan mushaf yang menghimpun jutaan kata. Kata-kata dalam mushaf sering membicarakan tentang maujud-maujud seperti gunung, laut, siang-malam, kapal, sungai dan lainnya; padahal semua wujud itu adalah mahiyah.
Kalimah dari Allah ternyata tidak hanya kata sebagaimana yang ada di dalam mushaf. Kepada 'Isa as. Allah juga mengatakan adalah kalimahNya. Dikatakan bahwa Al-Qur'an dan potensi segala makhluk adalah berada di lawh mahfudz. Selanjutnya secara bertahap diturunkan ke bumi. Lawh adalak qalam (tinta) sebagai umpama, dan Allah sebagai pena-nya. Sementara makhluk adalah tulisan dari pena itu. Antara pena dan tinta adalah satu kesatuan dan tinta yang menjadi tulisan adalah satu jua dengan tinta di dalam pena.
Semua kata-kata di dalam mushaf serta segala makhluk adalah tulisan yang menandakan bahwa pena itu ada sekalipun pena itu tidak dapat dilihat. Sungai, laut, langit, bintang dan kapal adalah ayat. Realitas hanya menjadi tanda atau ayat khulus bagi ulil albab. Segala makhluk tidak diciptakan dengan sia-sia. Semuanya berguna untuk menjadi tanda Allah. Ulil albab sadar bila melalui realitas maujud-maujud mereka gagal menjadikannya sebagai tanda, maka nerakalah kembalinya (Q.S. Ali Imran: 194).
Dari sini kita menemukan bahwa neraka adalah bagi yang tidak dapat menghantarkan dia kepada kenal akan Allah melalui realitas dan fenomena alam. Segala realitas plural yang diinderai adalah proyeksi pikiran. Dalam hal ini ternyata kita konsisten dengam ujaran-ujaran dalam Teuku Banta Ahmad (sebuah karya perjalanan yang saya tulis dalam masa pencarian selama empat tahun di Aceh Nusantara). Sementara wujud dalam gradasi terendahnya hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihat.
Perlu kita ketahui bahwa gradasi pertama memunculkan gradasi yang beraneka ragam: jibril, hari akhir, para malaikat, jin, ruh manusia, alam dunia ini dan lainnya. Inilah multiplisitas gradasi dari wahdah: bukan gunung, laut, awan dan kapal. Pluralitas ini adalah khalq Allah.
Terlebih dahulu mari kita ambil analogi seperti sebuah kata yang diucapkan seseorang. Ucapan itu adalah kalamnya. Makna dari kata itu adalah 'amrnya. Sementara khalq adalah objek dari kalamnya.Kalam Allah adalah ilmu Allah. Sebagaimana dikemukakan Hamzah Fansuri, bahwa ilmu Allah adalah sifatNya. Sifat dan Dzat adalah satu. Semantara 'amr Allah adalah makna. Yakni segala yang disebut sebagai 'amrNya berarti adalah sebuah makna dari kalamNya. KlalqNya adalah objek dari amr. Karena objek itu sendiri adalah dari SifatNya dan sifat adalh juga Dzat maka objek itu sendiri adalah subjek. Wahdah subjek-objek dipahami melalui kausalitas yang telah diargumentasikan Mulla Sadra di atas.
Maha Suci Allah dari segala pengematan dari kita yang tidak layak bagiNya. Sejatinya antara amr, khalq dan kalam atau kalimah adalah tajalliyat Dzat. Dia hanya layak mentajallikan diri kepada DiriNya saja. Sebab, tidak ada selain Dia. Maka amr, kalam dan khalq adalah Dia jua. Allahu 'alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar