Link Download

Minggu, 05 Agustus 2012

Suhrawardi Vs Ibn Sina

Masalah yang tidak mungkin diabaikan oleh pengkaji filsafat Islam adalah perdebatan (atau lebih tepatnya: 'serangan') Suhrawardi atas thesis pemikiran Ibn Sina. Sesiapa ahli sejarah filsafat Islam pasti memahami thesis perdebatan ini. Perdebatan ini adalah topik paling menarik sepanjang sejarah filsafat Islam. Tidak heran bahkan hingga sekarang para pemikir y
ang tertarik mengkaji perdebatan ini tidak hanya dari kalangan muslim tapi juga dari Eropa bahkan ahli linguistik ternama asal Jepang, Tosihiko Isutzu ikut membicarakan masalah ini. Melalui pengantar atas penelitiannya atas karya seorang filosof muslim beraliran eksistensialis berjudul 'Syarh-i Manzhumah'' yakni Hadji Sabzawari yang disusun dalam 'Struktur Metafisika Sabzawari', Isutzu mengulas dengan terang perdebatan Suhrawardi-Ibn Sina. Dalam karya kecil Isutzu itu, seseorang yang masih awam mengenai perdebatan dalam filsafat Islam dapat masuk dan mengamati perdebatan ini tepat di jantungnya.
''Tidak ada yang baru di bawah kolong langit'' kata seorang filsuf Cina ''semuany adalah pembaharuan-pembaharuan''. Demikian juga denga filsafat Islam. Dianya tidak dibangun dari ketiadaan (dari nol). Filsafat Islam adalam pengembangan para pemikir muslim dari karya-karya para filosof Yunani. Pada masa Al-Kindi, sangat banyak karya filsafat Yunani dialih bahasa ke bahasa Arab [1]. Pada masa itu, geliat intelektualisme Timur-tengah yang disemangati oleh agama baru, Islam, sangat kuat. Tidak hanya filsafat Yunani, karya-karya intelektual lain dari berbagai belahan dunia diambil dan diterjemahkan. Penguasa sendiri sangat mengapresiasi kegiatan intelektualisme Ini. Bahkan konon para ahli yang mampu menterjemah karya-karya asing itu ke bahasa Arab diberi upah emas seberat kertas yang ia terjemahkan. Bahkan Iqbal sempat ,enuduh orisinilitas Islam menjadi terganggu akibat kuatnya arus pola pikir Yunani [2].
Salah satu karya yang mendapat tempat yang sangat baik di hati para pemikir muslim yakni filsafat. Banyak para pemikir muslim yang tidak hanya menterjemahkan, namun juga menguraikan, mengomentari bahkan mengkritik dan meluruskan karya-karya tersebut.
Aristoteles adalah filsuf Yunani yang paling banyak mendapat perhatian dari para pemikir muslim. Salah seorang pemikir muslim yang paling kompeten dalam memahami dan merespon pemikiran Aristoteles adalah Al-Farabi. Dia banyak memberi komentar dan kritik atas karya-karya Aristoteles. Salah satu peran terpenting Al-Farabi adalah kepekaannya dalam membuat perbedaan antara quiditas dan eksisstensi.
Segala sesuatu baru dapat dikenal bila dia punya perbedaan yang dapat dirumuskan intelek melalui indera. Setiap sesuatu yang dapat disebut sebagai 'apa itu' (maa hiya) dengan sendirinya sudah mengandung dua unsur 'ke-ada-annya) dan ke-apa-annya. Singkatnya, sesuatu yang dapat ditunjuk pastinya telah ada.
Kalangan yang mendukung kemendasaran eksistensi atas quiditas. Mengegaskan bahwa ke-ada-an sesuatu lebih mendasar dari ke-apa-annya. Konsep tentang eksistensi ini membuat kaum teolog marah karena menurut mereka, Tuhan (yang dapat disebut sebagai eksistensi) menjadi dianggap dengan segenap makhluk (yang juga dapat disebut sebagai eksistensi. Karenanya, untuk meluruskan persoalan ini, Prof. M.T. Misbah Yazdi mengingatkan bahwa persamaannya hanya pada tataran contoh, bukan konsep [3]. Bila Tuhan tidak dapat disebut sebagai eksistensi, maka pasti dianya adalah lawannya eksistensi yakni nihil (tidak ada)[4]. Dalam hal ini, kemampuan dan kemauan membedakan antara tataran filsafat dan ekuivokal sangat diperlukan. Lebih dari itu kemampuan dan kemauan lain adalah membedakan tataran logika dan realitas.
Kita tahu bahwa, perbedaan antara quiditas dan eksistensi adalah termasuk tema pokok dalam filsafat Islam. Tetapi, bibit-bibit perbedaan ini telah dibuat sendiri oleh Aristoteles [5]. Sebagaimana argumen Aristoteles yang dikutip Isutzu [6] menunjukkan perbedaan ini telah dimulai ketika Aristoteles menyatakan 'keapaan' sesuatu dengan 'ke-ada-an'nya adalah dua hal berbeda (sekalipun dalam realitas eksternal objek konkritnya satu).
Potensi perbedaan antara quiditas dan eksistensi diberi ketegasan atau perbedaan yang jelas oleh Al-Farabi. Dalam karya Isutzu yang sama, secara panjang lebar [7] dia mengutip uraian Al-Farabi. Di sana, Al-Farabi menerangkan bila kita menggambarkan ke-apa-an sesuatu maka sebenarnya kita menggambarkan ke-ada-annya. Setiap sesuatu yang dapat disebutkan ke-apa-annya maka pastilah dia ada. Argumen Al-Farabi ini menjadi bibit munculnya tesis kemendasaran eksistensi dibandingkan esensi atau quiditas. Ibn Sina berhutang banyak pada Al-Farabi. Konon sudah lima puluh kali Ibn Sina membaca karya Aristoteles tapi tak kunjung paham hingga membaca karya Al-Farabi. Melalui Al-Farabilah, Ibn Sina menyusun corak berfikir yang sangat identik khas Peripatetik. Hal yang sangat unik dari pemikiran Ibn Sina adalah sistem metafisikanya yang sering disalah tafsir. Memang, sistem filsafat Ibn Sina sangat sulit di pahami [8]. Kesalahpahaman atas Ibn Sina oleh Suhrawadi adalah dia menduga dualitas eksistensi dan esensi dalam pemikiran Ibn Sina adalah para realitas eksternal. Padahal tentu saja Ibn Sina tidak bermaksud demikian. Tetapi memang Ibn Sina sendiri tidak menjelaskan secara jelas perbedaan tersebut adalah semata pada ruang konsep.
Kemudian Suhrawardi mengkritik dan mencoba meluruskan dengan menyatakan bahwa pada realitas eksternal, dualitas itu tidak ada dan adanya hanya pada tataran konsep. Adalah Nashruddin Thusi selanjutnya yang memberikan kejelasan posisi dualitas tersebut melalui syarahnya atas kitab Ibn Sina 'Al-Isyarat Wattahbihat'.
Suhrawardi benar ketika meluruskan pandangan tersebut. Tetapi serangannya atas argumen Ibn Sina semakin membuat pemikiran Ibn Sina semakin kabur. Adalah Mulla Shadra yang kemudian sanggup menjelaskan pandangan Ibn Sina secara terang dan juga meluruskan pandangan Suhrawardi. Sekalipun dianggap berada pada posisi Ibn Sina, Mulla Shadra banyak mengambil sistem metafisika Suhrawardi terutama analogi gradasi wujud melalui konsep cahaya.
Mulla Shadra membuat penegasan yang sangat jelas mengenai posisi dan keutamaan eksistensi. Eksistensi yang tidak bercampur dengannya sesuatu apapun ia sebut sebagai Realitas Wujud (wajibul wujud). Menurutnya tanpa Realitas ini segala apapun tidak ada [9]. Ini artinya quiditas-esensi dan eksisten juga takkan pernah ada tanpanya. Hal-hal lain selain Realitas Wujud adalah niscaya, mereka semua mengandung potensi untuk tiada.
Sementara Suhrawardi sendiri yang punya kemampuan logika yang baik menyerang Ibn Sina melalui premis-premis logika yang dibangun Ibn Sina sendiri. Konsep logika Ibn Sina yang dikembangkan dari logika Aristoteles bahkan diambil secara mentah oleh Imam Al-Ghazali dalam menyerang metafisika Ibn Sina. salah satu kritik Suhrawardi adalah menurutnya aksioma-aksioma dasar peripatetis adalah tidak padat dan sulit dipahami sehingga memiliki banyak beban dan kelemahan-kelemahan apologis [10].
Suhrawardi memang punya kemampuan nalar yang baik dan disiplin. Namun dua kebaikan ini sayangnya tidak dibarengi dengan kaidah etika yang baik dalam mengambil posisi sebagai pembicara maupun sebagai pengkritik. Dia berbicara banyak mengenai logika, tetapi pada saat yang sama ekspektasi maupun orientasinya terlihat adalah pada hal metafisis. Dia menyisiri logika, tetapi berada pada ranah metafisika. Sikap seperti ini sangat berbeda dengan Ibn Sina, yang ketika dia membahas logika, maka dia melepaskan segala kecenderungan-kecendurungan lain sehingga bahasannya tidak berbau bias.
Kekeliruan yang besar atas konsep metafisika Ibn Sina dilakukan oleh Ibn Rusyd. Ibn Rusyd tidak meluruskan pandangan Ibn Sina apa adanya. Setelah mengkritik berbagai pandangan Ibn Sina, lalu Ibn Rusyd sendiri memakai pola dualitas itu pada realitas eksternal. Kekeliruan Ibn Rusyd ini diwariskan kepada Thomas Aquinas. Sekalipun Aquinas sendiri kurang sepakat dengan konsep Ibn Rusyd dan mencoba meluruskannya dengan mengatakan pemikiran Ibn Rusyd sama sekali menyimpang dari gagasan Aristoteles.
Suhrawardi melalui pandangannya itu mengatakan bahwa pada realitas ekternal, yang lebih mendasar adalah quiditas. tetapi sebagaimana yang dapat saya pahami dari uraian Isutzu, para filosof tidak ingin melibatkan diri pada persoalan realisme. Tetapi yang menjadi perhatian mereka adalah ''...apakah secara aktual mungkin ditemukan 'realitas' yang langsung berhubungan dengan tindakan konsep yang menunjukkan 'eksistensi', ataukah realitas di luar konsep hanyalah 'quiditas'''[11]. Dari kutipan ini dapat memahami bahwa menurut Suhrawardi pada realitas, yang mendasar adalah quiditas sementara realitas adalah tempelan yang melekat pada quiditas. Sementara yang dapat kita pahami, menurut aliran peripatetik, yang mendasar adalah eksistensi dan qiuditas adalah tempelan atau penyematan.

Catatan:
1. Fritjof Chapra, 'Sains Leonardo' (Yogyakarta: Jalasutra, 2010) h.185

2. Muhammad Iqbal 'Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam' (Yogyakarta: Jalasutra, 2002) h. 229.

3. Prof. M.T. Misbah Yazdi 'Buku Daras Filsafat Islam', (Jakarta: Shadra Press, 2010) h. 211

4. Ibid, h.212.

5. Tosihiko Isutzu, 'Struktur Metafasika Sabzawari' (Bandung: Pustaka, 1995) h. 39.

6. Ibid, h. 40.

7. Ibid, h. 44-47.

8. Lenn Goodman, 'Avicenna', (London: Routledge, 1995) h.77.

9. Mulla Shadra 'Kearifan Puncak, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) h. 126.

10. Syihabuddin Suhrawardi, 'Hikmah Al-Isyraq', (Yogyakarta: Islamika, 2003) h.55.

11. Ibid. h. 75

Tidak ada komentar:

Posting Komentar