Link Download

Minggu, 05 Agustus 2012

Etika Kant

Hal yang paling membuat saya tertarik pada Kant (setidaknya saat ini) adalah pada argumennya: noumena hanya dapat diekspresikan melalui etika, bukan rasio. Argumennya inilah yang membuat para pemikir sangat tertarik mengkaji pandangan Kant mengenai etika. Untuk memulai bahasan ini, saya ingin mengajukan pertanyaan sederhana. Ini ikut diinspirasikan pula oleh seorang teman yang menyatak
an bahwa ''setiap tindakan memang punya alasan''. 'Alasan' yang kita maksudkan tampaknya mengarah pada 'reason', (bukan 'rationalization' tetapi lebih cenderung kepada 'state of argument'). Nah, pertanyaannya adalah: apakah alasan mendahului rencana tindakan, ataukah rencana tindakan yang melahirkan alasan? Umumnya kita menganggap setelah punya alasan yang baik dan jelas barulah rencana tindakan digagas. Tetapi bila merujuk pada konsep etika Kant, saya kira berarti umumnya kita keliru. Sebab, ekspresi dari prilaku (yang diabstraksikan menjadi: etika) bagikan adalah pewujudan dari wilayah noumena, bukan fenomena. Bahkan jadinya, 'alasan' tidak muncul setelah adanya rencana tindakan, namun bahkan setelah tindakan berlaku.
Saya pikir, konsep etika Kant tidaklah seperti yang disimpulkan Amin Abdullah dalam 'Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam' (Jakarta: Mizan, 2002[cet.II,Oktober], h.220). Di sana, Abdullah mengatakan konsep etika Kant di bangun berdasarkan rasio. Namun saya kira tidak demikian. Etika yang dirumuskan Kant adalah berasal dari noumena.
Namun, sekalipun menganggap konsep etika Kant dibangun berdasarkan rasio, tetap saja dia menganggap itu ''...kurang mampu mengapresiasikan muatan historis dari moralitas... dan tidak dapat membangun kepribadian yang kuat'' (h.219). Pernyataannya ini tentu saja secara terang menunjukkan dia ingin sebuah sistem etika partikular yang terbatas . Tetapi sistem etika partikular diakuinya dapat menciptakan ketegangan dan konflik internal akibat setiap kelompok ingin memaksakan standarnya dianut oleh kelompok yang lain (h.217).
Gambaran awal yang terlihat dari kebingunagan Abdullah ini adalah dia ingin mengesankan konsep etika Kant itu punya kekurangan dan kekurangan itu dapat dilengkapi oleh konsep etika Al-Ghazali. Bagi saya argumen demikian terlalu berlebihan. Malah terlalu mereduksi bahkan mengaburkan konsep matang yang dibangun Kant tentang etika.
Kant mengatakan bahwa etika itu adalah murni datangnya dari akal (bedakan 'akal' dengan 'rasio'). Untuk ini, pemikiran Kant identik dengan Popper. Filosof asal Austria itu mengatakan realitas alam (hukum-hukum yang berlaku di dalamnya) berasal dari alam metafisik. Kant mengatakan etika juga berasal dari alam metafisik. Rasio menerima dari alam metafisik sesuatu yang disebut etika. Perantaranya adalah rasio. Rasio pada menerima ini belum dapat menganalisis yang diterimanya sehingga oleh Kant disebut rasio murni. Inilah yang membuat pengkaji konsep Etika Kant melihat etikanya itu adalah etika rasional. Kant membedakan etika murni ini dengan etika yang telah teranalisis oleh akal sehingga dapat diterapkan secara praktis. Etika Praktis atau partikular ini disebut 'etika terapan''.
Sebagai simpulan awal, saya melihat etika murni adalah tindakan fitrah yang tidak memerlukan rasionalisasi (pertimbangan-pertimbangan). Selanjutnya tindakan tindakan berdasarkan kesadaran, yakni dilakukan setelah dipikirkan, diperhitungkan atau dilakukan karena telah biasa. Etika murni menurut saya sama dengan tindakan berdasarkan hati nurani tanpa melakukan pertimbangan sebelum dilakukan. Misalnya, bila melihat seorang bocah hampir ditamrak mobil, kita segera bereaksi supaya tabrakan tidak terjadi. Reaksi ini tanpa melakukan pertimbangan apapun. Tindakan ini dilakukan murni dari dorongan akal metafisik tanpa membiarkan rasio melakukan analisa sebelumnya. Sementara akal praktis adalah tindakan yang dilakukan dengan menghitung segala hal yang berhubungan dengan tindakan yang akan dilakukan. Melakukan kebiasaan-kebiasaan etis seperti mengetuk pintu sebelum masuk atau tersenyum bila melihat orang adalah termasuk etika praktis.
Etika praktis adalah sebuah tindakan objektif. Dianya muncul dari ranah metefisik yang secara perlahan ditangkap oleh rasio. Setelah ditangkap rasio dia menjadi suatu konsep etika subjektif. Konsep yang subjektif ini selanjutnya diobjektifkan. Pengobjektifan ini adalah langkah penyesuai antara etika subjektif dengan kondisi eksternal (termasuk subhektivitas diri yang lain). Etika objektif inilah yang disebut etika praktis, norma, kebiasaan atau adat. Sebuah norma, sudah barang tentu dapat dianggap didahului 'alasan'.
Sebuah norma sejatinya adalah dari alam metafisik. Dianya sebenarnya adalah fitrah murni. Namun dia tampak semacam sesuatu yang konfensional karena telah menjadi tetrtib mulik antar individu, sekalipun tidak statis. Norma ini dicari titik kesamaan yang paling objektif dan ditetapkan menjadi hukum. Hukum adalah aturan paling objektif sehingga dianggap paling rasional bagi komunal. Hukum ini tetntunya dapat direvisi seiring waktuk karena perjalanan rasio dalam akal terus bergerak sehingga norma menjadi bergerak dan efek akhirnya yajni revisi hukum.
Kant mengatakan tujuan manusia adalah kebahagiaan. Kebahagiaan adalah standar kebaikan. Karena itu, mustahil ada kebahagiaan objektif, semuanya relatif. ini menjadi dilema. Karena kebahagiaan itu diperoleh ketika etika murni terterapkan menjadi etika praktis. Tetapi sayangnya manisia tidak bisa melawan kodratnya yang lain yakni sebagai makhlik sosial. Artinya, objektivitas itu niscaya pula. Dalam kehidupan, dilema antara pemuasan fitrah etika murni dengan fitrah diri selaku makhluk sosial atau makhluk objektif senatiasa terjadi. Saya jadi terfikir: o, inilah sebabnya dalam sejarah, perjuangan manusia adalah mengajak individu lain kepada subjektivitasnya.
Etika Kant, diputuskan oleh Abdullah sebagai etika rasional tampaknya karena Kant lebih sepakat bila penerapan etika itu secara praktis. Mungkin tujuannya karena etika itu penerapannya pada alam dan alam itu adalah sebuah ranah objektif. Lebih jauh, Abdullah (h.95) menarangkan ''kebaikan'' dalam pandangan Kant adalah hal yang objektif. Salah satu alasannya, dari yang dapat saya lihat, karena konsesi maksim itu semuanya berasal dari rasio murni (sekalipun intelsitasnya berbeda). Perlu diketahu, bahwa Kant sendiri menurut saya tidak menegaskan akal praktis yang lebih utama. Buktinya dia sendiri menegaskan bahwa tujuan tertinggi etika bukan pada ranah partikular melainkan yang universal. Alasannya, dalam etika, orientasinya tidak boleh pada hal yang berbatas. Bila berbatas, maka akan statis. Karena itu orientasinya harus pada hal yang tak berbatas. Hegel menegaskan orientasinya adalah 'kesempurnaan'. Karena kesempurnaan adalah hal yang tidak memiliki batas. Gerak kita hanya bisa terus-menerus mendekati makna itu.
Saya melihat sekalipun Kant dianggap memberi apresiasi terhadap etika praktis hingga mendukung hukum, tetapi sering dalam realitas kita melihat orang sering melanggar hukum itu karena mengikuti rasio murni. Berbarengan itu juga, orang sering menolak rasio murni demi hal yang objektif atau praktis. Dari sini saya menemukan bukti bahwa manusia dalam menerapkan hukum objektifnya itu berada dalam posisi tidak dari rasio murni, tidak pula benar benar praktis.
Seperti kajian terhadap teori Popper. Persoalan etika Kant juga menunjukkan pada kita tentang motif objektivitas: bahwa dalam mengobjektivikasi rasio murninya, manusia memiliki dua persoalan yakni kedalaman perjalanan rasionya dalam intelek dan ketidakmampuannya melepaskan diri dari kecenderungan-kecenderungan tertentu yang tidak murni, tidak pula rasional. Oleh karena itu tampaknya diperlukan sebuah aturan universal yang mampu mengatasi persoalan-persoalan partikular. Kalau aturan universal dimaksud adalah wahyu, maka dia tetap saja semacam rasio murni yang dalam prosesnya untuk diobjektifkan tetap saja harus menempuh dua kendala itu sekalipun bajunya berbeda, yakni: kedalaman pemahaman antar individu dan bisikan-bisikan nafsu dan syetan untuk menghindari wahyu-wahyu yang menyudutkan dirinya. Dengan ini, kita dapat menemukan alasan kenapa sekalipun secara prinsipil Kant lebih tertarik dengan etika murni tetapi dia mengaju yang diterapkan adalah etika praktis yang diterapkan. langkah inidiambil Kant saya kira karena supaya manusia selaku makhluk sosial terhindar dari perselisihan ideologis.
Kendala besar lain dalam gagalnya rasio murni maupun wahyu diobjektifkan yakni kondisi alam dan lingkungan. Hal ini digambarkan dengan jelas oleh Kant sebagaimana dikutip oleh Abdullah (h.123). Alam dianggap sebagai sebagai ''kendala'' bukan berarti karena alam ini yang menganut sebuah pelanggaran. Saya melihat alam sebagai produksi hukum Tuhan melalui rasio manusia. Hukum-hukum alam adalah hukum-hukum Tuhan yang diterapkan melalui intelek manusia. Alam adalah nmanifestasi Tuhan yang rasional. Dia disebut saja 'rasional' karena objektif. Karena'objektif, maka dia adalah punya kita bersama. Alam adalah ''Tuhan kita bersama''. Di sini kita menemukan karakter sebagai terapan statis dari intelek yang dimiliki setiap manusia. Terapan ini adalah murni dari alam metafisik (atau psikologis manusia). Hanya segelintir orang tertentu yang mampu merubah (atau menggerakkan) hukum rasio yang objektif ini (alam). Karena itu, melalui uraian Abdullah, tampaknya Kant keliru ketika mengatakan alam sebagai 'kendala'.
Bagi saya, terdapat dua kategori terapan intelek, yakni yang statis dan yang dinamis. Yang statis itu contonya 'alam' yang dinamis itu adalah seperti etika. Alam juga punya dua kategori yakni yang statis dan dinamis. Yang statis seperti hukum-hukum alam yang dibentuk akal apa adanya seperti gravitasi. Sementara yang dinamis adalah cara kita mengenal hukum-hukumnya dan cara hukum-hukum itu berlaku, mungkin inilah sains. Etika demikian pula. Etika demikian pula; yang statis adalah apa yang telah di tetapkan dalam hukum dan yang dinamis adalah 'nurani'.
Coba renungkan sedalam-dalamnya. Maka di sana kita menemukan Tuhan itu cuma persepsi pikiran? Tampaknya memang tepat argumen Kant, beriman kepada Tuhan hanya masalah probabilitas: Kita percaya pada Tuhan ternyata setelah mati nanti rupanya Dia Ada, kita beruntung; tidak percaya ternyata nanti Dia ada, kita rugi; kita percaya ternyata nanti dia tidak ada; kita tidak rugi. Jadi, lebih baik kita percaya saja Tuhan itu ada. Tetapi karena Tuhan noumena, maka tetntu saja pikiran tidak mampu menjangkaunya. Karena itu, sebagaimana disebutkan di awal, melailui tindakan, melalui etika, kita dapat.
Lagi pula, Tuhan yang dimaksud Kant di atas adalah Tuhan yang menjadi bagian dari agama-agama. Dalam kajian kita, tampaknya ini adalah Tuhannya para teolog. Tetapi Tuhannya para filosof, Kant utamanya, tentunya berbeda. Kant percaya pada satu Ruang yang tak berbatas di mana dianya tidak sama dengan yang lain, menjadi sumber segala kausal; Dia, adalah akal murni, atau setidaknya manifertasi Akal Murni.
Posisi rasio murni hampir sama seperti wahyu. keduanya (mau-tidak mau) ketika ingin direalisasikan pada ranah objektif, mereka harus turun ke ranah praktis. Kant menginginkan orientasi etika itu bukan pada ranah praktis, bukan pula pada Tuhan (para teolog) tetapi kepada ''fitrah'' rasio murni. Karena, aturan-aturan agama adalah aturan objektif, partikular. Dalam hal ini, saya dapat melihat wahyu saat ditetapkan sebagai hukum agama telah mengalami objektivikasi. Tetapi Kant tetap mengapresiasi etika relijius karena itu dapat dijadikan titik awal menuju orientasi etika ke akal murni. Saya melihat anjuran Kant mirip dengan anjuran kalangan sufi yang meyakini syariat sebagai kendaraan menuju Hakikat.



Medan, 28 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar