Link Download

Minggu, 22 Juli 2012

Falsifikasi Popper

Saya tidak suka Derrida. Saya suka Popper. Popper tidak menyangkal rasionalisme. Dia tidak ingin membongkar kerja keras orang-orang cerdas sebelumnya. Dia ingin memperbaiki. Dia melakukannya dengan hati-hati. Dia adalah filosof yang saya sukai.
Untuk memudahkan mengkaji bahasan ini marilah kita sepakati apa yang telah kita pikir perlu sebelumnya, dan di sini Popper datang mengingatkan. Bahwa kita harus membesakan antara akal dengan rasio (Alfons Taryadi, 'Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper',Gramedia: Jakarta, 1991, h.25). Akal itu kapasitasnya tidak terbatas, kebenarannya tidak pernah usai. Sementara rasio adalah capaian-capaian dari perjalanan dalam akal yang telah mampu terjangkau. Maksud 'mampu terjangkau' adalah yang mampu disadari hingga dapat diingat, bahkan mungkin untuk diobjektifkan. Maka saya melihat kebenaran itu tergantung pada sejauh mana rasio menempuh akal. Itu untuk pribadi. Sementara kebenaran objektif adalah sebuah kesepakatan yang diterima secara bersama. Saya berikan contoh dengan angka. Sebagaimana angka, kebenaran dalam wilayah akal tidak terbatas. Maka angka itu diperoleh oleh masing masing orang berbeda-beda. Dalam wilayah subjektifnya orang A memperoleh 7, orang B memperoleh 8 dan orang C memperoleh 9. Ketika ingin diobjektifkan, maka kebenaran masing-masing harus dinegosiasikan. Si C boleh saja punya argimen yang lebih baik, untuk menawarkan kebenaran 9nya, tetapi si A punya egoisme yang banyak untuk mempertahankan 7nya. Maka kebenran objektif itu bukan 9, tapi untungnya tidak 7. Bagi Kant, kita mencoba menerapkan hukum-hukum akal atas alam, dan menurut Popper kita mesti menemukan kesalahan-kesalahan dari hukum alam (h.28). Saya melihat hukum di alam adalah hukum yang akal yang diobjektifkan. Karenanya, Teori Popper dapat diterima sebab dengan mengoreksi hal yang diobjektifkan sendiri, kita dapat lebih menyelam ke dalam akal. Teori Kant tidak keliru. Kedua teori ini berjalan seiring. Kant dahulu, baru Popper. Kita menerapkan akal sejauh jangkauan rasio pada alam, lalu mengevaluasinya dengan sistem mencari kesalahan-kesalahan pada hal yang kita objektifkan, yang oleh Popper disebut Falsifikasi. Untuk memperindah diri baik dengan berdiri di depan cermin, tetapi bila ingin memberi sentuhan agar lebih baik, mempreteli cermin. Untuk menjangkau akal yang lebih medalam itu perlu menemukan kesalahan-kesalahan dari alam dan itu memicu perenungan subjektif dan nantinya diobjektifkan kembali. Semoga falsifikasi bisa memancing refleksi.
Karena tidak berguna mempreteli cermin, maka dalam sistem falsifikasi tidak ada ide atau penemuan ilmiah baru, yang ada hanya suatu kesalahan-kesalahan yang ditemukan pada sistem sains. Ya, Popper memang menolak sistem induksi dalam mencari kebenaran. Dia menolak sostem itu karena baginya induksi tidak menampilkan suatu fakta secara utuh. Sistem deduksi dapat dipakai untuk menemukan kesalahannya dengan diperbandingkan dengan sebuah fakta yang lain. Popper berfokus pada pencarian kesalahan-kesalahan sebuah teori. Karena itu tidak boleh menggunakan sisten induksi, dia menolak sistem verifikasi.
Di lain pihak, kita dapat menemukan bahwa Popper tidak hanya menganggap logika sebagai proses pencarian kebenaran subjektif, dia bahkan memfokuskan diri pada penemuan kesalahan pada uk.psebuah teori yang objektif. Popper berharap cara yang ia pakai dapat memberi sumbangsih pada sebuah teori objektif yang lebih baik. Di sini, Popper sepakat bahwa karakterl sains seperti teori evolusi, yang kalah harus punah dan yang bertahan hanya yang telah lolos seleksi falsifikasi.
Wilayah akal yang tak terjangkau itu adalah wilayah metafisika. Popper menerima wilayah itu, bahkan dia sendiri mengatakan semua sains berasal dari sana. Artinya, tidak ada penemuan sebuah teori dari ranah objektif. Maka model deduksi tidak bisa melahirkan pengetahuan baru. Dalam suratnya kepada Popper, Einstein sepakan dengan sahabatnya itu. Einstein mengakui ''...teori tidak bisa disusun Dari hasil observasi, tapi hanya bisa ditemukan (invented)'' (Karl R. Popper, 'Logika Penemuan Ilmiah', Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h.588)
Menanggapi teori tiga dunia Popper, saya berpendapat dunia pertama adalah wilayah Akal, yang secara perlahan ditangkap intelek. Dunia kedua adalah intelek yang sifatnya subjektif dan dunia ketiga adalah wijayah subjektif tempat antar subjektif bersepakat. Dunia ketiga inilah wilayah sains, terhadap wilayah inilah Popper ingin memperbaiki. Tentu saja ini berbeda dengan yang Popper gagas.
Popper mengatakan yang disebuat sains adalah yang menjadi masalah dari realitas kehidupan, bukan apa yang kita persepsikan begitu saja. Intelek menerapkan hukum-hukumnya pada alam, tetapi karena intelek itu terus berubah mengikuti jalan Akal yang tidak berbatas, maka apa yang telah diterima intelek sebelumnya yang telah dicerminkan pada alam harus dikoreksi kembali. Karena perjalanan intelek terus berlangsung, maka penerapannya di alam terus berubah: dengan itu sains terus hidup, takkan pernah berhenti. Seharusnya Kant dan Popper tidak perlu berdebat. Dalam menerapkan hukumnya kepada alam, intelek bukan gagal sepenuhnya, tetapi karena intelek sendiri tidak pernah berhenti.
Bagi Popper, semua realitas kehidupan adalah pemecahan masalah (problem solving). Bagaimana tidak. Mari melihat bagian awal tulisan tentang 'Descartes'. Terapan akal pada pikiran, lalu pikiran pada realitas selalu berubah. Dengan itu dalah setiap detik merespon realitas adalah pewujudan baru dari pikiran. Realitas eksternal itu selalu berbeda setiap saat dari sebelumnya. Masalah adalah realitas eksternal yang harus selalu dilihat, dinilai dan dimaknai secara berbeda. Kalau untuk pribadi saja demikian, apalagi untuk mengobjektifkannya (secara bersama). Maka, sains sama tak berhingganya dengan akal itu sendiri. Popper (ibid, h. 150) berpendapat pengalaman objektif lebih bermanfaat dari pengalaman subjektif. Menurutnya pengalaman subjektif sufatnya lebih mengarah ke persoalan psikologis, sementara yang objektif adalah yang dapat dijadikan bahan epistemologis.
Realitas eksternal yang diakui para filosof sebagai kreasi akal telah diterima oleh ilmuan masa kini. Fritjof Chapra, seorang Doktor Fisika Teoritis, dalam 'The Tao of Physics', menulis: ''Para fisikawan mulai melihat bahwa seluruh teori mereka tentang fenomena alam, termasuk 'hukum' yang mereka deskripsikan, adalah ciptaan-ciptaan pikiran manusia; sifat-sifat dari peta konseptual kita terhadap realitas, bukan realitas itu sendiri'' (Yogyakarta: 2009, h.299). Tetapi para ilmuan adalah mereka yang melihat pada realitas dunia ketiga secara gamblang. Mereka tidak berralas dari dunia pertama menunu dunia kedua lalu ketiga. Mereka melepaskan wilayah metafisik dan psikologis, itu bukan wilayah mereka. Tugas mereka adalah murni dunia ketiga yang objektif itu. Ketika melihat realitas objektif sebelumnya berbeda dengan realitas sebelumnya, segera mereka memusnahkan hal objektif sebelumnya. Namun, setidaknya, kita punya sekulpulan orang yang mampu menerangkan dunia ketiga. Pertanyaannya apakah dunia ketiga yang mereka objektifkan itu adalah benar dari perjalanan lebih jauh intelek dalam menelusuri akal yang tak berakhir itu, atau malah penemuan-penemuan saintis itu adalah perjalanan mundur?
Pertanyaan tersebut penting, dikaitkan dengan peralihan ''kiblat'' dari Newton ke Einstein sebagai contoh kasus, Terkait kajian kita ini, adalah sebuah permisalan dari perjalanan intelek dalam akal yang sebelumnya mencapai Newton, lalu sekarang sampai pada Einstein. Pertanyaannya: apakah perjalanan kita sebelumnya adalah perjalanan yang salah? Apa jalannya keliru? Menurut saya, perjalanan teori sains seperti kedai minuman pinggir jalan dalam perjalanan yang tak berakhir. Ketika tiba di kedai pertama, kita saintis mengklaim inilah tujuan perjalanannya, tapi karena perjalanan intelek dalam akal tidak pernah berhentik, kitapun kembali melanjutkan perjalanan. Lalu saat sampai di kedai minuman selanjutnya, saintis kembalii mengklaim inilah tujuan perlajanan. Kembali, karena gerak akal dalam akal takkan pernah berakhir, maka perjalanan kembali dilanjutkan. Demikian seterusnya. Gerak intelek dalam akal yang tak bertepi, oleh filsuf muslim, Mulla Shadra, disebut gerak substansial.
Menurut pandangan saya,teori Einstein sama akan dianggap kelirunya dengan teori Newton saat perjalanan berhenti sejenak di kedai selanjutnya. Yang membuat geram adalah, hal-hal yang transsains seperti agama terlalu cepat dinilai melalui kacamata dunia ketiga. Agama Kristen adalah korban dari ketololan ini. Boleh saja kita memahami dan mengambil manfaat dari penemuan sains mutakhir, tetapi hal-hal yang tidak sekarakter dengan dunia ketiga, yang tidak bisa masuk ke bawah kaca mikroskop tidak perlu diseret. Sains adalah kesepakatan bersama kita melihat dunia, tetapi melihat Tuhan tampaknya tidak bisa secara bersama sebab Dia tidak mau diseret ke atas meja dunia ketiga kita.
Jadi, ada tiga ranah: pertama ontologis, yaitu Akal yang tidak terbatas dan tak berbatas itu. Kedua adalah intelek, sifatnya psikologis. Ketiga adalah sains, yaiti sebuah tempat di mana kita saling bersepakat. Ya, saling bersepakat, sebab, kalaupun intelek seseorang sudah menempuh perjalanan yang teramat jauh, tetapi orang kebanyakan belum mampu menjangkaunya, maka pemahaman subjektif kita tetap akan menjadi paradoks. Kasus Einstein sebagaimana dikemukakan Chapra (h. 325-326) adalah contoh kasus di mana Einstein punya perjalanan intelek secara subjektif yang sangat jauh, tetapi perjalanannya itu ditundukkan oleh objektivitas Bohm dan Hessenberg.
Popper adalah filsuf yang memahami teori Einstein. Semasa muda dia rajin mengikuti publikasi-publikasi revolusi sains. Dia pernah berjumpa dengan ilmuan terbesar itu. Penemuan Einstein menjadi inspirasi bagi Popper bahwa sistem induksi memang tidak lagi sesuai untuk menemukan kebenaran. Paradigma mekanik Newton yang melihat alam sebagai susunan balok tak terpecahkan memang menyeret pada model verifikasi. ''Dalam paradigma ilmiah klasik yang mekanistik diyakini bahwa dalam setiap sistem kompleks apapun dinamika keseluruhan dapat dipahami dari sifat-sifat bagiannya'', tulis Chapra (h. 346). Paham akan sistem meanika kuantum membuat Popper insaf bahwa dengan memacah setiap sisunan hingga menemukan satu bagian yang tak terpecahkan adalah prinsip alam yang sudah tertolak maka dia merumuskan sistem penemuan kekeliruan dan ketimpangan dari peristiwa yang disebut falsifikasi.
Tapi memang, sesuai yang dikatapan Chapra (h.357) selanjutnya, tidak ada yang namanya reformasi dalam sains, setiap penemuan baru dalam sains hanya hanyalah (lihat: h.358) sebuah pilesan dari penemuan sebelumnya, meminjam istilah Thomas S. Kuhn, Revolusi. Dan Popper sendiri sepakan ranah objektif, dunia ketiga itu, yang disebut sains adalah sebuah evolusi. Dan lagi, dianya adalah sebuah evolusi yang tiada akhir, sebuah sistem yang telah diperkenalkan fiosof-mistikus Persia melalui meditasi spiritualnya (bukan dengan alat teknologi seperti miksoskop dsb.) yang disebut 'gerak substansial'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar