Nalar Sejarah Hegel
Hegel adalah termasuk ''catatan kaki'' Plato. Dia
memaksakan harus nalarlah yang membentuk sejarah. Dia mengemukakan
kekecewaannya pada Anaxagoras yang mengatakan alamlah yang membentuk sejarah
(Hegel, 'Nalar Dalam Sejarah', Jakarta: Teraju, 20' h. 20). kita tahu bahwa
pemahaman manusia sebelum Plato tidak berpusat pada manusia, bahkan jauh
sebelum filsuf alam Yunani, manusia mengaku takluk pada alam. Ini tidak sepenuhnya sebab di
beberapa bagian di Timur, senyatanya manusia tidak dikendalikan oleh alam tapi
bersahabat dengannya. Tetapi sebelum Thales atau beberapa filsuf sebelumnya,
terutama di Barat, mengaku alam punya kekuatan yang luar biasa sehingga manusia
harus tunduk penuh dan bahkan ada yang menyembah alam. Barulah seelah Thales
atau beberapa filsuf sebelumnya mencoba mengenal alam dengan baik dan sampai
pada kesimpulan bahwa alam ini adalah benda mati. Berdasarkan kesimpulan ini,
oleh Plato dan fisuf setelahnya mendeklarasikan manusia lebih unggul daripada
alam. Dengan itu manusiapun menjadikan dirinya sendiri sebagai sentral.
Kesimpulan filsuf alam tidak sepenuhnya benar, alam
tidaklah benar-benar mati. Dia hidup seperti manusia juga. Hegel yang termasuk
filsuf yang menganut paham manusia sebagai pusat tapi dengan mengaku pengendali
sejarah adalah seseatu di atas manusia yaitu ruh sebagian mengingkari
pernyataannya sendiri ketika menolak alam punya kendali terhadap sejarah. Hegel
benar ketika mengaku ruh yang mengendalikan sejarah, tetapi dia keliru ketika
menafikan peran alam. Sebab ruh itu tidak hanya melampaui manusia tapi juga
melampaui alam. Mungkin tepatnya adalah, ruh itu adalah kumpulan yang melampaui
manusia sekaligus alam. Apatis terhadap alam di zaman ini semakin besar ketika
kita meyakini bahwa alam ini cuma persepsi akal kita saja. Ini menghantarkan
pada kesimpulan bahwa alam ini mutlak di bawah kendali (akal) manusia. Ketika mendeklarasakin superioritasnya atas apaun,
maka manusia, melalui akalnya, terntunya diklaim mengatur alam ini. Bila
dilihat, ini memang benar adanya, nalar, atau akal menaklukkan sehingga
mengendalikan apapun yang perentangannya adalah mengendalikan sejarah. Tapi,
sepenuhnyakah demikian? Mari kita lihat. Akal sendiri adalah konstelasi dari
pengaruh-pengaruh. Yang paling mempengaruhi manusia adalah alam. Maka di sini,
ternyata akal hanya alat atau perantara saja, yang sebenarnya mengendalikan
sejarah adalah alam. Tetapi bila benar alam ini cuma persepsi akal semata, maka
alam adalah cermin saja bagi akal untuk melihat dirinya sendiri. Berarti benar
yang mengendalikan sejarah adalah akal. Apakah ada hal lain di luar akal yang ikut
menentukan sejarah, atau, kalau alam cuma persepsi akal, maka benarkah akal,
sesuatu yang asing, kesepian, tunggal sendiri ini yang menetukan bagian kecil
dari dirinya sendiri yang disebut 'sejarah'. Hegel mengatakan ada sesuatu dari
luar nalar yang menentukan sejarah yakni Tuhan (Hegel: 2005: 21). Dia mengakui
agama sebagai instrumen di luar nalar yang ikut menentukan sejarah. Tetapi
benarkah agama adalah sesuatu di luar akal? Untuk menjawab pertanyaan itu kita
perlu sedikit menelisik tentang agama. Agama adalah dibawa oleh seorang manusia
utusan yang katanya pesan dari Tuhan melalui malaikatnya bernama Jibril (as).
Dapat saja kita menerima Tuhan sebagai sesuatu yang melampaui nalar, tapi Jibril
sendiri tampaknya adalah Nalar itu sendiri meskipun dalam kapasitas dan kondisi
yang agak berbeda. Di samping itu, pengikut nabi pilihan telah menerima pesan
dari transnalar tidak bisa tidak menurut nalarnya, tidak lebih. Dengan itulah
sejarah dibentuk. Maka di sini kemungkinan sejarah dibentuk oleh nalar adalah
benar. Dan kemungkinan dianya adalah turut dipengaruhi oleh sesuatu transnalar
adalah benar juga. Nalar adalam ambigu. Dianya tidak bunya batas, Tuhan itu
sendiri kadang dapat disebut nalar pula. Tingkat nalar manusia tidak terbatas
dan tidak berbatas.Hegel adalah pemikir yang sangat rejilius, itu kata
dosen saya. Dia ingin supaya pesan agama yang di atas nalar itu mampu
diterapkan secara objektif. Tampaknya hal ini adalah masalah bagi lingkungan agama
Kristen yang pemahaman serta penafsirannya sangat beraneka ragam dan sulit
disatukan. Objektivitas agama diperlukan supaya dapat dipahami secara bersama
supaya menjadi bagian nalar sehingga dapat diterapkan supaya menjadi bagian
dari sejarah. Dalam alam roh, Hegel mengatakan manusia bisa
menemukan kebebasannya. Kebebasan yang ia maksudkan di sini sangatlah abstrak,
karena memang alam ruh nya itu sendiri rancu, tidak jelas. Alam ini tampak
hampir sama dengan Ada-nya Heidegger. Alam ini adalah kegelapan dan
ketidakjelasan. Kebebasan manusia, atau free will hanya ada dalam
pikirannya atau ruang ide yang universal itu. Pada alam materi, tidak ada yang
namanya kehendak bebas. Setiap tindakan yang ingin dilakukan harus mengukuti
pada keterbatasan dan ketentuan hukum alam materi. Boleh jadi yang dihayalkan
dalam benak kecil tapi justru yang tejadi besar, atau sebaliknya. Yang jelas
Kebebasan itu hanya ada dalam ide, individu sifatnya. Bahkan tampaknya
kebebasan yang ada dalam ide itu sendiri dipengaruhi atau paling kurang
diinspirasi oleh alam materi. Lihatlah segala produk manusia, diambil dari
gejala-gelala dan realitas alam. Pesawat diinspirasi burung, kapal selam
diinspirasi ikan. Perlu ada segolongan manusia yang punya otoritas mewujudkan
ide-ide. Selayaknya mereka adalah yang punya ide-ide paling baik yang berguna
dan paling bermanfaat bagi semua tanpa merugikan apapun dan siapapun. Tapi
sayangnya, Hegel (h. 66) membiarkan individu subjek sejarah ini sama dengan
melakukan keburukan-keburukan dan dia tahan melakukan itu dengan alasan kuatnya
tujuan dan cita-citanya. Pernyataan Hegel itu tidak sepenuhnya keliru.
Masalahnya adalah apakah seseorang yang mengaku menerima pesan dari Roh Absolut
adalah memang benar dari Roh Absolut itu. Semua mengaku yang ia perjuangkan
adalah murni dari Roh Absolut, tetapi apakah memang cara penerapan saja yang
bertentangan, atau memang salah satu atau beberapa dari itu sebenarnya hanya
mengira saja bertemu dengan Roh Absolut.Roh Absolut punya kekuatan supaya IdeNya dapat direalisasikan
dalam dunia partikular. Realisasi ini adalah melalui pewujudan semua partikular
olehNya. Khususnya bagi manusia, mereka punya tingkatan tertentu dalam hal ini:
Manusia yang lebih dekat dengan roh absolut adalah mereka yang memiliki hasrat
dan keinginan mewujudkan Ide Absolut ke dalam realitas partikular. Mereka yang
dekat itu boleh jadi gagal mewujudkan keinginannya itu karena banyak halangan
dari mereka yang jauh dari Ide Roh Absolut. Berhasil atau tidaknya mereka
tidaklah menjadi soal, yang penting mereka berusaha dan konsisten sebab Roh
Absolut bisa menerapkan sendiri Ide Absolutnya. Yang tidak absolud seperti jasad punya
keterbatasan-keterbatasan dalam memperjuangkan tercapainya Ide Absolut. Karena
itu jasad berganti jasad terus menerus, melanjutkan ide-ide sebelumnya untuk
mencapai Ide Absolut. Setiap jasad malah sengajad memperbaharui dirinya dengan
dirinya yang baru supaya produktivitas memperjuangkan yang Absolut menjadi
semakin efisien.Hasrat mewujudkan Ide Absolut adalah potensi bawaan
sebab manusia itu sejatinya adalah manifestasi dari Ide itu. Hegel mengatakan
pewujudan itu melalui etika yang tampaknya ini untuk mewujudkan Ide Absolut
dalam sejarah. Konsep ini tampaknya diinspirasikan dari ide Kant. Kant
mengatakan hal-hal metafisik didak dapat dijelaskan melalui filsafat tetapi
diapresiasi melalui etika. Karena merupakan manivestasi Ide Absolut, manusia
punya beban tanggung jawab dalam mewujudkan Ide Absolut. Pengingkaran terhadap
tujuan ini menyebabkan manusia mengingkasi fitrah Ide yang mewujudkannya. Tapi
fitrah ini untuk diterapkan punya banyak penghalang dalam realisasinya. Oleh
karena itu, negosiasi antar ide adalah niscaya. Hegel mengatakan orang yang
lebih tua usianya cenderung lebih setuju untuk bernegosiasi dibandingkan yang muda
yang lebih idealis. Tampaknya ini karena yang tua sudah banyak mengalami
kegagalan idenya direalisasi sehingga mereka memilih bernegosiasi daripada
tidak sedikitpun ideanya terealisasi.Kalau memang hanya segelintir person saja yang
membonceng Ide Absolut untuk direalisasikan, maka kita cenderung menganggap Ide
Absolut tidak terealisasi di realitas eksternal, tapi sebenarnya segala yang
terjadi di alam, segalanya bahkan setitik hujan dan sedesir angin adalah Idea
Absolut jua. Dalam pandangan Hegel, negara adalah sarana atau
wadah untuk merealisasikan Ide Absolud. Tetapi saat berhimpun dalam negara,
yang terealisasi bukanlah Idea milik satu individu, dalam negara, masing-masing
Idea bertemu dan tidak satupun mulik indovidu yang menyeluruh, semuanya adalah
sintesis dari masing-masing Idea. Kelihatan konstitusi negara adalah abstraksi
dari ide segenap warga negara: Diharapkan seluruh warga menjadi patuh dan taap
terhadap aturan itu karena secara konsep adalah buatan si penurut hukum itu.
Menurut Hegel, hukum yang objektif itu adalah hal rasional yang layak diamalkan
segenap warga.Tapi bagaimana mungkin warga yang puluhan juta
jumlahnya bisa berkontribusi atau dapat dianggap idenya telah tercover dalam
konstitusi itu? Ini tampak musykil. Karena itu pemikir-pemikir setelah Hegel
tertarik membahas masalah ini. Seperti Foucoult misalnya, dia beriktikat supaya
pengetahuan itu sekaligus menjadi kekuatan supaya pengetahuan itu dapat
diterapkan. Dalam hal ini, Imam Khomaini menerapkan sebuah strategi cemerlang.
Beliau menjadikan beberapa orang yang paling punya pengetahuan yang dihimpun
dalam Wilayatul Faqih utuk membuat konstitusi negara.Parahnya di mayoritas negara, hukum itu dibuat
untuk menurut kepentingan beberapa orang saja. Hukum wajib dipatuhi milyaran
orang, mereka harus tunduk demi kepentingan beberapa orang yang berorientasi
materi, harta kekayaan. Milyaran manusia digiring untuk menyokong tercapainya
kepentingan beberapa orang korporat, mereka tidak bisa mengelak: menghondarinya
dianggap melanggar hukum.Ketika mengatakan negara adalah realisasi
kebebasan, Hegel tidak bersalah. Dia memang menghayalkan sebuah organisasi di
mana masing-masing anggotanya saling melindungi dan masing-masing dapat
merealisasikan kebebasannya. Masyarakat masa itu adalah masyarakat yang bekerja
untuk tuan, baik itu untuk tuan tanah maupun raja. Di sini Hegel menegaskan
kekesalannya pada institusi agama yang dimanfaatkan untuk kepentingan tuan
tanah dan raja. Masyarakat dibius dengan teks-teks agama yang ditafsirkan
sedemikian rupa untuk mengibuli masyarakat. Masyarakat yang tertindas yang
memang tidak punya pilihan lain memang suka dengan obat bius itu dan malah
dengan sengaja membius diri mereka sendiri. Berangkat dari trauma pengalaman ini, banyak
pemikir menganjurkan supaya dalam negara tidak dibawa konsep-konsep agama.
Negara harus murni merupakan kebijakan rasional. Dalam negara diharapkan semua
keputusan dan kebijakan diambil secara objektif. Sebuah negara memiliki tujuan
supaya segenap masyarakat terbebas dari segala bentuk penindasan sekalipun
berdalih pada alasan apapun. Negara memang demikian tujuannya. Tapi pada masa
sekarang kelas itu justru berdasarkan tingkatan kolektif yakni negara. Rakyat
dari negara-negara kuat menindas rakyat dari negara yang lemah, negara kuat berhasi
berhimpun untuk mensejahterakan rakyatnya. Tetapi yang berlaku bagi masyarakat
negara lemah, organisasi bernama negara ini menghimpun masyarakat untuk
ditindas secara konstitusional, penindasan yang legal. Konstitusi dan hukum
disusun oleh segolongan orang dari negara kuat melalui agennya dari negara
lemah yang juga warga negara lemah itu. Segala produk konstitusi dan hukum
dibangun berdasarkan keinginan demi kepentingan korporat dan rakyat negara
kuat. Inilah model penjajahan, kolonialisme gaya baru.Sekalipun banyak pemikir yang putus asa dengan
kehadiran agama dalam negara, Hegel tidak demikian. Dia menolak sekularisme dan
meyakinbah bahwa agama dan negara punya hubungan yang sangat mendalam. Agama
memang jantung dari nurani manusia, Bagaimana bisa negara dipisahkan dari
manusia, demikian pula bagaimana bisa manusia dipisahkan dari agama. Maka
sekularisme adalah ide yang paling tidak masuk akal. Tetapi tampaknya agama
yang dimaksudkan Hegel bukan semacan Kristen maupun Protestan yang
terkonstitusi itu, tetapi agama dalam pandangan Hegel lebih mirip dengan apa
yang dikatakan gurunya, Immanuel Kant, yakni suatu kondisi fitrah alami manusia
yang mengada bersama manusia itu sendiri. Menurut Hegel (2005: 98), negara yang baik adalah
yang belandaskan agama. Manusia tidak punya loyalitas dan kepatuhan murni pada
hal-hal yang partikular. Segolongan orang mungkin akan setia pada hal-hal yang
bersifat rasional karena beberapa alasan, tetapi rasionalitas ini sifatnya
temporal dan dan relatif. Penginkaran terhadap sesuatu yang bersifat rasional
sangat mungkin terjadi. Manusia hanya akan setia pada Tuhan, terhadap lembaga
keagamaan tidak. Karena itu makna religius tidak boleh dikait-kaitkan dengan
aliran-aliran agama atau mazhab tertenti yang sudah dikukuhkan. Mazhab dan
aliran adalah agama yang telah dimodifikasi oleh rasionalisasi-rasionalisasi.
Negara yang tidak berlandas pada Tuhan semata akan terlaksana dengan baik
karena manusia hanya punya loyalitas dan kesetiaan sejati yakni pada Tuahan
saja. Negara-negara yang berlandaskan pada selain Tuhan akan runtuh dengan
mudah. Keruntuhan sebuah agama adalah kerugian yang tak terkira besarnya. Dalam
menuju keruntuhannya, sebuah negara pastinya telah mengorbankan nyawa dan rasa
aman jutaan orang. Dalam membangun sebuah sistem baru negara butuh waktu yang
tidak sedikit. Darah, lagi-lagi dapat tumpah. Hegel rupanya menjadikan agama sebagai fondasi dan
esensi negara. Dia (h.102 mengatakan hanya dengan agama negara dapat terbentuk
dan tanpa negara, katanya, seni dan filsafat tidak dapat terbentuk. Dia
megakini Roh Dunia itu senantiasa beergerak. Efek pergerakan ini membentuk
pribadi-pribadi yang memiliki kesadaran bahwa mereka tidak boleh melanggar
prinsi Roh Absolut. Setiap gerak langkahnya harus mengikuti Gerak Absolut yang
substansi ini.Friedrick Nietzsche mengatakan alam ini merupakan
ruang yang tetap, diam, kaku, statis(Graham Higgin, 'Antologi Filsafat',
Yogyakarta: Bentang, 2004:166). Iqbal 2002: 190) menyebut waktu milik Nietzsche
adalah serial pengulangan. Ternyata pemikiran Nietzsce ini adalah semangat yang
dieariskan Hegel. ''Tidak ada yang baru dibawah terik matahari'' kata Hegel
(h.105). Dunia memang bergerak, tetapi tidak ada yang berubah. Semuanya menuju
kesempurnaan yang mustahil. Dunian ini ''...tanpa tujuan, kecuali jika
lingakaran kegembiraan itu sendiri sebagai tujuannya; tanpa kehendak, kecuali
lingkaran yang merasakan kehendak baik terhadap dirinya sendiri'' Kata
Nietzsce. Iqbal langsung memvonis konsep waktu Nietzsche itu keliru yang dengan
itu sekaligus menolak Hegel. Tapi kedua filosof Barat ini memaksudkan waktu
serial yang diproduk oleh akal kita, bukan ''Waktu'' yang melampaui akal (kalau
itu memang ada). Hegel dan Nietzsche sepakat bahwa kesempurnaan memang takkan
terjangkau, dan energi waktu memang berbatas. Tetakopi doktrin yang ingin
dibela Iqbal itu tidak juga tertolak, alam ini memang berbatas, akal tak mampu
menjangkau hal diluar alam dimensi ini. Tapi gerak substansilah yang terus
menglhami akal untu membentuk dimensi baru yang lebih baik, yang tampaknya
memang tidak dipersepsikan dengan akal kita sekarang sekalipun mungkin saja
disebut pengembangan akal ini (badingkan dengan bagian 'Gerak Substansi'). Hegel mengatakan roh itu merasuk ke dalam materi.
Tapi bagi saya materi itu adalah semacam himpunan roh yang membentuk energi,
lalu energi membentuk sub atom, sub atom membentuk atom dan atom membentuk
benda-benda. Konstelasi ini terjadi karena gerak ruh yang terus menerus. Ini
tampaknya dapat disebut gerak substamsi.Karakteristik geraksubstansi menjelma dalam
realitas. Realitas tertinggi itu ada pada intelektualitas manusia.
Manusia-manusia yang mempunya ras unggu adalah puncak tertinggi dari realitas.
Kita tahu bahwa negosiasi antar individu tidak bisa dielakkan. Karena itu,
dalam interaksi antar manusia, antar budaya dan atar peradaban akan dimenangkan
oleh individu dan masyarakat yang lebih unggul, yang lebih baik penjelmaan ruh
pada dirinya. Abdul Hadi WM dalam 'Falsafah India' mengatakan bahwa bangsa
India telah ditaklukkan oleh bangsa Persia sehingga agama api dari Persia
lestari di sana. Selanjutnya orang Persia lagi yang mewariskan Hindu sehingga
sekarang Hindu identik dengan India sekalipun agama tua itu sendiri telah
ditinggalkan orang Persia sendiri. Dengan itu, ajaran-ajaran yang berlaku di
Cina dan Nusantara juga berarti adalah warisan Persia sekalipun orang-orang
mengetahuinya dari India. Karakter mistik diwariskan Persia untuk Timur. Untuk
Barat, Persia membawa sisten intelektualitas yang kencang. Melalui berbagai
penaklukannya ke Romawi Timur, orang Persia selanjutnya mampu mengkader para
filosof alam yang daftar nama-nama mereka resmi lestari hingga kini. Para
folosof alam itu boleh saja dikenal sebagai orang Yunani. Tetapi sejatinya
mereka berasal dari Turki yang memperoleh kebebasan menyampaikan gagasan di
tempat yang relatif jauh dari perang fisik yakni Yunani. Selanjutnya para
filosof kemanusiaan dari Plato juga adalah metamarfosisis filsafat alam.Setelah Islam datang, bangsa Arab hanya bisa
menerapkan konsep secara parsial. Penerapan agama dengan cara seperti ini
hampir mirip dengan alat perekam yang mampu menampilkan dengan baik tapi tidak
memahami. Setelah Islam sampai kepada orang Persia, barulah agama ini
memperoleh kesadaran yang baik. Islam melalui orang Persia menemukan keselarasannya
antara kitab alam dengan kitab Jibril. Pertemuan ini melahirkan puncak kejayaan
gemilang yang sulit ditandingi sampai kapanpun. Nama-nama ilmuan besar muslim
juga hampir semuanya adalah orang persia. Kaum Ahlul Bayt seperti Al-Ghazali
dan banyak ilmuan lainnya boleh saja berhasil dalam menyebarkan ajarannya,
tetapi sekalipun mereka keturunan Arab, tanpa percampuran dengan darah Persia,
maka merekaakan tetap seperti unta di lembah-lembah gurun jazirah. Para penyebar Islam hingga Nusantara sekalipun
Ahlul Bayt tetapi pasti mereka menempuh jalur Perisia yang itu artinya mereka
telah bercampur dengan darah Persia yang kaya intelektualitas. Konon menurut
warga Aceh, Islam pertama dibawa oleh Salma Al-Farisi ke Nusantara. Syarif
Hidayatullah, seorang keturunan Nabi Saw. Juga berdarah Persia sebelum beroleh
darah Pasai (Muhammad Said, 'Aceh Sepanjang Abad' Vol. I). Para Rasul selalu muncul dari kalangan Israil,
tetapi orang Persia semuanya adalah ''nabi''. Kalau para Rasul yang dari Israil
itu didatangi tamu Jibril melalui otaknya, maka Jibril itu sendiri mengalir di
setiap darah orang Persia. Persia campuran tidak terlalu baik, tapi perpaduan
antara Jibril di langit dengan Jibril di bumi dalam diri seorang Ahlul Bayt
adalah luar biasa untuk beberapa sisi.Orang Jerman yang terkenal paling cerdas di Barat
itu adalah orang Persia yang berhijrah, sama seperti dilakukan orang Persia
lainnya ke Romawi, Nusantara dan lainnya. Jerman dan Iran adalah sama-sama
bangsa paling unggul, bangsa Arya. Ini bukan masalah doktrin Hitler. Si hina
dari Nusantara ini melihatnya sendiri, bukan cuma dengan mata, tapi semua saya,
baik yang terlihat maupun tidak. Maka disini saya katakan: Bila orang Jerman
membabat habis Israil, maka Israil pasti akan melirik Iran untuk balas dendam
pada Arya. Bila seorang anak yang masih tangguh perkasa Jerman masih mengaku
sebagai Arya, maka bila Iran bertegang dengan Israil dan anaknya Amerika,
Jerman wajib membela Iran. Dalam sejarah, hanya orang Persia saja si Timur
yang menguasai Barat. Semua kekuatan dan intelektualitas Barat hari ini adalah
mulik Timur. Orang Barat sejatinya berbapak pada orang Timur. Penjajahan Barat
Atas Timur beberapa Millenia belakangan adalah adalah sebuah kisah pembunuhan
seorang anak terhadap ayahnya. Atau bisa dilihat juga sebagai pengkhianatan
akal pada hati.Sayangnya Hegel memberi kriteria aneh terhadap
sesuatu yang disebut 'sejarah'. Dalam kriterianya, sejarah harus sebuah
sintesis dari tesis dan antitesis yang berimbangan. Naginya, India tidak
memiliki sejarah sekalipun punya aksara yang luar biasa, alasannya India adalah
suatu sistem kasta yang baku. Di sana kekuasaan hanya milik kasta Brahmana,
merekalah yang mengatur seluruh sendi. Tidak ada kompetisi disana, kekastaan
itu statis, begitu terus menerus. Padahal Naquib Al-Attas lebih mengutamakan aksara
sebagai indikator tertinggi yang menandakan tingginya sebuah peradaban. Mungkin
dengan indikatornya, Hegel dapat menyanggahnya dengan mengatakan itu bukan
sejarah. Sejarah bagi Hegel haruslah suatu gerak aktif yang merupakan
penjelmaan dari gerak substansi. TKalau demikian, maka sejarah itu tidak akan
pernah ada. Sebab, tidak akan ada pergesekan seimbang. Setiap peradaban atau
kebudayaan yang seimbang tidak akan pernah ada. Hukum alam membuat konfluk dan pertentangan selalu
muncul. Pertentangan ini berhenti ketika ada sesatu yang memenangi. Maka ada
satu yang mengungguli yang lain adalah sebauh sejarah karena telah melewati
satu pertikaian. Karena itu, kita harus mampu membedakan antara 'sejarah' dan
'gerak sejarah'. Gerak sejarah adalah proses, sementara sejarah adalah hasil
petikaian itu. Suatu kasta adalah sejarah. Tapi dianya tidak benar-benar
'sejarah' sebab yang kalah terus bergerak untuk mengalahkan dan yang menang
juga tetap bergerak untuk mempertahankan. Hingga hari ini, sampai kapanpun sejarah tetap
bergerak. Hari ini beberapa korporasi besar yang mapan adalah penguasa. Tidak
ada yang mampu mengusik. Bila mengikut konsep Hegel, maka sejarah terus
berhentI. Hegel benar ketika mengetakan Ruh itu bergerak, tetapi tidak musti
dengan sistem tesis-atitesis. Sistem itu hanya memudahkan pengatahuan untuk
mengatahui gerak, tetapi sejatinya tidak demikian pergerakan Ruh. Apalagi
dianalogikan pada realitas eksternal, pasti keliru.Anehnya, Hegel mengaku bahwa aksara adalah ciri
peradaban bermutu, padahal aksara yang mapan dalam satu masyarakat adalah bukti
sebuah komunitas itu stabil dalam waktu yang lama, tesis-antitesis Hegel tidak
ada di sana, yang berarti tidak ada Sejarah dalam kacamata Hegel. Apakah Hegel tidak tahu bahwa sebuah karya besar
hanya bisa lahir dalam kondisi politik yang stabil. Dalam kondisi ini penguasa
tidak akan terusik dengan karya apapun, sebesar apapun karena kekuasaannya
sudah sangat mapan. Di samping itu, kesempatan untuk menciptakan karya-karya
agung hanya mungkin bila pengarangnya diberi kondisi, lingkungan dan referensi
yang mumpuni. Namun Hegel mengakui intelektualitas adalah Ruh yang paling murni
yang bisa diindikasi pada realitas eksternal. Akhirnya Hegel memperjelas bahwa
realiras-realitas partikular adalah penjelmaan ruh ''...maka dia hanya bisa
direngkuh secara spiritual, melalui pikiran.'' Hegel (2005:135). Maka dengan
ini filsafat adalah tokoh utama dalam masalah demikian. Menurut Hegel, filsafat
adalah pemikiran tentang pikiran. Di samping itu, sastra dan sains adalah tidak
boleh dilupa (mengenai bahasan dan hubungan sastra, filsafat dan sains telah
saya kemukakan dalam 'Garudaku Tangguh' dalam bahasan 'The Ultilmate
Creations').''Secara umum, sejarah dunia adalah perkembangan
Roh dalam Waktu, sebagaimana alam adalah perkembangan Ide dalam Ruang'' (h.
139). Tapi saya melihat, kalau melalui tesis-antitesis barulah adanya sejarah,
maka sesuatu yang telah mapan sepeti contoh kasta di India, bukanlah sejarah;
tapi itu adalah waktu. Inilah yang hendak saya kemukakan. Melihat kutipan milik
Hegel di atas, maka benarlah dugaan saya. Yang tampak dalah realitas partikular
ini adalah waktu, sekalipun kejadian-kejadian adalah penjelmaan dari
perkembangan ruh atau gerak substansial. Pada level substansi, adalah
perkembangan ruh; pada level aksiden, adalah waktu. Ini sejalan dengan
perkembangan ide pada level substansi dan gerak dalam ruang dalam level
aksiden. Karena waktu adalah buatan akal, maka secara pasti
kausalitas yang sering menjadi bagian perdebatan filsafat itu juga adalah
produksi akal. Kausalitas itu berada di dalam kategori aksiden. Kausalitas
hanya ada dalam pikiran. Lalu pikiran mangabstraksikan tangan yang mendorong
dan pintu terbuka dan menyematkan hukum kausalitas pada realitas tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar