Link Download

Sabtu, 30 Juni 2012

Nalar Sejarah Hegel


Hegel adalah termasuk ''catatan kaki'' Plato. Dia memaksakan harus nalarlah yang membentuk sejarah. Dia mengemukakan kekecewaannya pada Anaxagoras yang mengatakan alamlah yang membentuk sejarah (Hegel, 'Nalar Dalam Sejarah', Jakarta: Teraju, 20' h. 20). kita tahu bahwa pemahaman manusia sebelum Plato tidak berpusat pada manusia, bahkan jauh sebelum filsuf alam Yunani, manusia mengaku takluk pada alam. Ini tidak sepenuhnya sebab di beberapa bagian di Timur, senyatanya manusia tidak dikendalikan oleh alam tapi bersahabat dengannya. Tetapi sebelum Thales atau beberapa filsuf sebelumnya, terutama di Barat, mengaku alam punya kekuatan yang luar biasa sehingga manusia harus tunduk penuh dan bahkan ada yang menyembah alam. Barulah seelah Thales atau beberapa filsuf sebelumnya mencoba mengenal alam dengan baik dan sampai pada kesimpulan bahwa alam ini adalah benda mati. Berdasarkan kesimpulan ini, oleh Plato dan fisuf setelahnya mendeklarasikan manusia lebih unggul daripada alam. Dengan itu manusiapun menjadikan dirinya sendiri sebagai sentral.

Kesimpulan filsuf alam tidak sepenuhnya benar, alam tidaklah benar-benar mati. Dia hidup seperti manusia juga. Hegel yang termasuk filsuf yang menganut paham manusia sebagai pusat tapi dengan mengaku pengendali sejarah adalah seseatu di atas manusia yaitu ruh sebagian mengingkari pernyataannya sendiri ketika menolak alam punya kendali terhadap sejarah. Hegel benar ketika mengaku ruh yang mengendalikan sejarah, tetapi dia keliru ketika menafikan peran alam. Sebab ruh itu tidak hanya melampaui manusia tapi juga melampaui alam. Mungkin tepatnya adalah, ruh itu adalah kumpulan yang melampaui manusia sekaligus alam. Apatis terhadap alam di zaman ini semakin besar ketika kita meyakini bahwa alam ini cuma persepsi akal kita saja. Ini menghantarkan pada kesimpulan bahwa alam ini mutlak di bawah kendali (akal) manusia. Ketika mendeklarasakin superioritasnya atas apaun, maka manusia, melalui akalnya, terntunya diklaim mengatur alam ini. Bila dilihat, ini memang benar adanya, nalar, atau akal menaklukkan sehingga mengendalikan apapun yang perentangannya adalah mengendalikan sejarah. Tapi, sepenuhnyakah demikian? Mari kita lihat. Akal sendiri adalah konstelasi dari pengaruh-pengaruh. Yang paling mempengaruhi manusia adalah alam. Maka di sini, ternyata akal hanya alat atau perantara saja, yang sebenarnya mengendalikan sejarah adalah alam. Tetapi bila benar alam ini cuma persepsi akal semata, maka alam adalah cermin saja bagi akal untuk melihat dirinya sendiri. Berarti benar yang mengendalikan sejarah adalah akal. Apakah ada hal lain di luar akal yang ikut menentukan sejarah, atau, kalau alam cuma persepsi akal, maka benarkah akal, sesuatu yang asing, kesepian, tunggal sendiri ini yang menetukan bagian kecil dari dirinya sendiri yang disebut 'sejarah'. Hegel mengatakan ada sesuatu dari luar nalar yang menentukan sejarah yakni Tuhan (Hegel: 2005: 21). Dia mengakui agama sebagai instrumen di luar nalar yang ikut menentukan sejarah. Tetapi benarkah agama adalah sesuatu di luar akal? Untuk menjawab pertanyaan itu kita perlu sedikit menelisik tentang agama. Agama adalah dibawa oleh seorang manusia utusan yang katanya pesan dari Tuhan melalui malaikatnya bernama Jibril (as). Dapat saja kita menerima Tuhan sebagai sesuatu yang melampaui nalar, tapi Jibril sendiri tampaknya adalah Nalar itu sendiri meskipun dalam kapasitas dan kondisi yang agak berbeda. Di samping itu, pengikut nabi pilihan telah menerima pesan dari transnalar tidak bisa tidak menurut nalarnya, tidak lebih. Dengan itulah sejarah dibentuk. Maka di sini kemungkinan sejarah dibentuk oleh nalar adalah benar. Dan kemungkinan dianya adalah turut dipengaruhi oleh sesuatu transnalar adalah benar juga. Nalar adalam ambigu. Dianya tidak bunya batas, Tuhan itu sendiri kadang dapat disebut nalar pula. Tingkat nalar manusia tidak terbatas dan tidak berbatas.Hegel adalah pemikir yang sangat rejilius, itu kata dosen saya. Dia ingin supaya pesan agama yang di atas nalar itu mampu diterapkan secara objektif. Tampaknya hal ini adalah masalah bagi lingkungan agama Kristen yang pemahaman serta penafsirannya sangat beraneka ragam dan sulit disatukan. Objektivitas agama diperlukan supaya dapat dipahami secara bersama supaya menjadi bagian nalar sehingga dapat diterapkan supaya menjadi bagian dari sejarah. Dalam alam roh, Hegel mengatakan manusia bisa menemukan kebebasannya. Kebebasan yang ia maksudkan di sini sangatlah abstrak, karena memang alam ruh nya itu sendiri rancu, tidak jelas. Alam ini tampak hampir sama dengan Ada-nya Heidegger. Alam ini adalah kegelapan dan ketidakjelasan. Kebebasan manusia, atau free will hanya ada dalam pikirannya atau ruang ide yang universal itu. Pada alam materi, tidak ada yang namanya kehendak bebas. Setiap tindakan yang ingin dilakukan harus mengukuti pada keterbatasan dan ketentuan hukum alam materi. Boleh jadi yang dihayalkan dalam benak kecil tapi justru yang tejadi besar, atau sebaliknya. Yang jelas Kebebasan itu hanya ada dalam ide, individu sifatnya. Bahkan tampaknya kebebasan yang ada dalam ide itu sendiri dipengaruhi atau paling kurang diinspirasi oleh alam materi. Lihatlah segala produk manusia, diambil dari gejala-gelala dan realitas alam. Pesawat diinspirasi burung, kapal selam diinspirasi ikan. Perlu ada segolongan manusia yang punya otoritas mewujudkan ide-ide. Selayaknya mereka adalah yang punya ide-ide paling baik yang berguna dan paling bermanfaat bagi semua tanpa merugikan apapun dan siapapun. Tapi sayangnya, Hegel (h. 66) membiarkan individu subjek sejarah ini sama dengan melakukan keburukan-keburukan dan dia tahan melakukan itu dengan alasan kuatnya tujuan dan cita-citanya. Pernyataan Hegel itu tidak sepenuhnya keliru. Masalahnya adalah apakah seseorang yang mengaku menerima pesan dari Roh Absolut adalah memang benar dari Roh Absolut itu. Semua mengaku yang ia perjuangkan adalah murni dari Roh Absolut, tetapi apakah memang cara penerapan saja yang bertentangan, atau memang salah satu atau beberapa dari itu sebenarnya hanya mengira saja bertemu dengan Roh Absolut.Roh Absolut punya kekuatan supaya IdeNya dapat direalisasikan dalam dunia partikular. Realisasi ini adalah melalui pewujudan semua partikular olehNya. Khususnya bagi manusia, mereka punya tingkatan tertentu dalam hal ini: Manusia yang lebih dekat dengan roh absolut adalah mereka yang memiliki hasrat dan keinginan mewujudkan Ide Absolut ke dalam realitas partikular. Mereka yang dekat itu boleh jadi gagal mewujudkan keinginannya itu karena banyak halangan dari mereka yang jauh dari Ide Roh Absolut. Berhasil atau tidaknya mereka tidaklah menjadi soal, yang penting mereka berusaha dan konsisten sebab Roh Absolut bisa menerapkan sendiri Ide Absolutnya. Yang tidak absolud seperti jasad punya keterbatasan-keterbatasan dalam memperjuangkan tercapainya Ide Absolut. Karena itu jasad berganti jasad terus menerus, melanjutkan ide-ide sebelumnya untuk mencapai Ide Absolut. Setiap jasad malah sengajad memperbaharui dirinya dengan dirinya yang baru supaya produktivitas memperjuangkan yang Absolut menjadi semakin efisien.Hasrat mewujudkan Ide Absolut adalah potensi bawaan sebab manusia itu sejatinya adalah manifestasi dari Ide itu. Hegel mengatakan pewujudan itu melalui etika yang tampaknya ini untuk mewujudkan Ide Absolut dalam sejarah. Konsep ini tampaknya diinspirasikan dari ide Kant. Kant mengatakan hal-hal metafisik didak dapat dijelaskan melalui filsafat tetapi diapresiasi melalui etika. Karena merupakan manivestasi Ide Absolut, manusia punya beban tanggung jawab dalam mewujudkan Ide Absolut. Pengingkaran terhadap tujuan ini menyebabkan manusia mengingkasi fitrah Ide yang mewujudkannya. Tapi fitrah ini untuk diterapkan punya banyak penghalang dalam realisasinya. Oleh karena itu, negosiasi antar ide adalah niscaya. Hegel mengatakan orang yang lebih tua usianya cenderung lebih setuju untuk bernegosiasi dibandingkan yang muda yang lebih idealis. Tampaknya ini karena yang tua sudah banyak mengalami kegagalan idenya direalisasi sehingga mereka memilih bernegosiasi daripada tidak sedikitpun ideanya terealisasi.Kalau memang hanya segelintir person saja yang membonceng Ide Absolut untuk direalisasikan, maka kita cenderung menganggap Ide Absolut tidak terealisasi di realitas eksternal, tapi sebenarnya segala yang terjadi di alam, segalanya bahkan setitik hujan dan sedesir angin adalah Idea Absolut jua. Dalam pandangan Hegel, negara adalah sarana atau wadah untuk merealisasikan Ide Absolud. Tetapi saat berhimpun dalam negara, yang terealisasi bukanlah Idea milik satu individu, dalam negara, masing-masing Idea bertemu dan tidak satupun mulik indovidu yang menyeluruh, semuanya adalah sintesis dari masing-masing Idea. Kelihatan konstitusi negara adalah abstraksi dari ide segenap warga negara: Diharapkan seluruh warga menjadi patuh dan taap terhadap aturan itu karena secara konsep adalah buatan si penurut hukum itu. Menurut Hegel, hukum yang objektif itu adalah hal rasional yang layak diamalkan segenap warga.Tapi bagaimana mungkin warga yang puluhan juta jumlahnya bisa berkontribusi atau dapat dianggap idenya telah tercover dalam konstitusi itu? Ini tampak musykil. Karena itu pemikir-pemikir setelah Hegel tertarik membahas masalah ini. Seperti Foucoult misalnya, dia beriktikat supaya pengetahuan itu sekaligus menjadi kekuatan supaya pengetahuan itu dapat diterapkan. Dalam hal ini, Imam Khomaini menerapkan sebuah strategi cemerlang. Beliau menjadikan beberapa orang yang paling punya pengetahuan yang dihimpun dalam Wilayatul Faqih utuk membuat konstitusi negara.Parahnya di mayoritas negara, hukum itu dibuat untuk menurut kepentingan beberapa orang saja. Hukum wajib dipatuhi milyaran orang, mereka harus tunduk demi kepentingan beberapa orang yang berorientasi materi, harta kekayaan. Milyaran manusia digiring untuk menyokong tercapainya kepentingan beberapa orang korporat, mereka tidak bisa mengelak: menghondarinya dianggap melanggar hukum.Ketika mengatakan negara adalah realisasi kebebasan, Hegel tidak bersalah. Dia memang menghayalkan sebuah organisasi di mana masing-masing anggotanya saling melindungi dan masing-masing dapat merealisasikan kebebasannya. Masyarakat masa itu adalah masyarakat yang bekerja untuk tuan, baik itu untuk tuan tanah maupun raja. Di sini Hegel menegaskan kekesalannya pada institusi agama yang dimanfaatkan untuk kepentingan tuan tanah dan raja. Masyarakat dibius dengan teks-teks agama yang ditafsirkan sedemikian rupa untuk mengibuli masyarakat. Masyarakat yang tertindas yang memang tidak punya pilihan lain memang suka dengan obat bius itu dan malah dengan sengaja membius diri mereka sendiri. Berangkat dari trauma pengalaman ini, banyak pemikir menganjurkan supaya dalam negara tidak dibawa konsep-konsep agama. Negara harus murni merupakan kebijakan rasional. Dalam negara diharapkan semua keputusan dan kebijakan diambil secara objektif. Sebuah negara memiliki tujuan supaya segenap masyarakat terbebas dari segala bentuk penindasan sekalipun berdalih pada alasan apapun. Negara memang demikian tujuannya. Tapi pada masa sekarang kelas itu justru berdasarkan tingkatan kolektif yakni negara. Rakyat dari negara-negara kuat menindas rakyat dari negara yang lemah, negara kuat berhasi berhimpun untuk mensejahterakan rakyatnya. Tetapi yang berlaku bagi masyarakat negara lemah, organisasi bernama negara ini menghimpun masyarakat untuk ditindas secara konstitusional, penindasan yang legal. Konstitusi dan hukum disusun oleh segolongan orang dari negara kuat melalui agennya dari negara lemah yang juga warga negara lemah itu. Segala produk konstitusi dan hukum dibangun berdasarkan keinginan demi kepentingan korporat dan rakyat negara kuat. Inilah model penjajahan, kolonialisme gaya baru.Sekalipun banyak pemikir yang putus asa dengan kehadiran agama dalam negara, Hegel tidak demikian. Dia menolak sekularisme dan meyakinbah bahwa agama dan negara punya hubungan yang sangat mendalam. Agama memang jantung dari nurani manusia, Bagaimana bisa negara dipisahkan dari manusia, demikian pula bagaimana bisa manusia dipisahkan dari agama. Maka sekularisme adalah ide yang paling tidak masuk akal. Tetapi tampaknya agama yang dimaksudkan Hegel bukan semacan Kristen maupun Protestan yang terkonstitusi itu, tetapi agama dalam pandangan Hegel lebih mirip dengan apa yang dikatakan gurunya, Immanuel Kant, yakni suatu kondisi fitrah alami manusia yang mengada bersama manusia itu sendiri. Menurut Hegel (2005: 98), negara yang baik adalah yang belandaskan agama. Manusia tidak punya loyalitas dan kepatuhan murni pada hal-hal yang partikular. Segolongan orang mungkin akan setia pada hal-hal yang bersifat rasional karena beberapa alasan, tetapi rasionalitas ini sifatnya temporal dan dan relatif. Penginkaran terhadap sesuatu yang bersifat rasional sangat mungkin terjadi. Manusia hanya akan setia pada Tuhan, terhadap lembaga keagamaan tidak. Karena itu makna religius tidak boleh dikait-kaitkan dengan aliran-aliran agama atau mazhab tertenti yang sudah dikukuhkan. Mazhab dan aliran adalah agama yang telah dimodifikasi oleh rasionalisasi-rasionalisasi. Negara yang tidak berlandas pada Tuhan semata akan terlaksana dengan baik karena manusia hanya punya loyalitas dan kesetiaan sejati yakni pada Tuahan saja. Negara-negara yang berlandaskan pada selain Tuhan akan runtuh dengan mudah. Keruntuhan sebuah agama adalah kerugian yang tak terkira besarnya. Dalam menuju keruntuhannya, sebuah negara pastinya telah mengorbankan nyawa dan rasa aman jutaan orang. Dalam membangun sebuah sistem baru negara butuh waktu yang tidak sedikit. Darah, lagi-lagi dapat tumpah. Hegel rupanya menjadikan agama sebagai fondasi dan esensi negara. Dia (h.102 mengatakan hanya dengan agama negara dapat terbentuk dan tanpa negara, katanya, seni dan filsafat tidak dapat terbentuk. Dia megakini Roh Dunia itu senantiasa beergerak. Efek pergerakan ini membentuk pribadi-pribadi yang memiliki kesadaran bahwa mereka tidak boleh melanggar prinsi Roh Absolut. Setiap gerak langkahnya harus mengikuti Gerak Absolut yang substansi ini.Friedrick Nietzsche mengatakan alam ini merupakan ruang yang tetap, diam, kaku, statis(Graham Higgin, 'Antologi Filsafat', Yogyakarta: Bentang, 2004:166). Iqbal 2002: 190) menyebut waktu milik Nietzsche adalah serial pengulangan. Ternyata pemikiran Nietzsce ini adalah semangat yang dieariskan Hegel. ''Tidak ada yang baru dibawah terik matahari'' kata Hegel (h.105). Dunia memang bergerak, tetapi tidak ada yang berubah. Semuanya menuju kesempurnaan yang mustahil. Dunian ini ''...tanpa tujuan, kecuali jika lingakaran kegembiraan itu sendiri sebagai tujuannya; tanpa kehendak, kecuali lingkaran yang merasakan kehendak baik terhadap dirinya sendiri'' Kata Nietzsce. Iqbal langsung memvonis konsep waktu Nietzsche itu keliru yang dengan itu sekaligus menolak Hegel. Tapi kedua filosof Barat ini memaksudkan waktu serial yang diproduk oleh akal kita, bukan ''Waktu'' yang melampaui akal (kalau itu memang ada). Hegel dan Nietzsche sepakat bahwa kesempurnaan memang takkan terjangkau, dan energi waktu memang berbatas. Tetakopi doktrin yang ingin dibela Iqbal itu tidak juga tertolak, alam ini memang berbatas, akal tak mampu menjangkau hal diluar alam dimensi ini. Tapi gerak substansilah yang terus menglhami akal untu membentuk dimensi baru yang lebih baik, yang tampaknya memang tidak dipersepsikan dengan akal kita sekarang sekalipun mungkin saja disebut pengembangan akal ini (badingkan dengan bagian 'Gerak Substansi'). Hegel mengatakan roh itu merasuk ke dalam materi. Tapi bagi saya materi itu adalah semacam himpunan roh yang membentuk energi, lalu energi membentuk sub atom, sub atom membentuk atom dan atom membentuk benda-benda. Konstelasi ini terjadi karena gerak ruh yang terus menerus. Ini tampaknya dapat disebut gerak substamsi.Karakteristik geraksubstansi menjelma dalam realitas. Realitas tertinggi itu ada pada intelektualitas manusia. Manusia-manusia yang mempunya ras unggu adalah puncak tertinggi dari realitas. Kita tahu bahwa negosiasi antar individu tidak bisa dielakkan. Karena itu, dalam interaksi antar manusia, antar budaya dan atar peradaban akan dimenangkan oleh individu dan masyarakat yang lebih unggul, yang lebih baik penjelmaan ruh pada dirinya. Abdul Hadi WM dalam 'Falsafah India' mengatakan bahwa bangsa India telah ditaklukkan oleh bangsa Persia sehingga agama api dari Persia lestari di sana. Selanjutnya orang Persia lagi yang mewariskan Hindu sehingga sekarang Hindu identik dengan India sekalipun agama tua itu sendiri telah ditinggalkan orang Persia sendiri. Dengan itu, ajaran-ajaran yang berlaku di Cina dan Nusantara juga berarti adalah warisan Persia sekalipun orang-orang mengetahuinya dari India. Karakter mistik diwariskan Persia untuk Timur. Untuk Barat, Persia membawa sisten intelektualitas yang kencang. Melalui berbagai penaklukannya ke Romawi Timur, orang Persia selanjutnya mampu mengkader para filosof alam yang daftar nama-nama mereka resmi lestari hingga kini. Para folosof alam itu boleh saja dikenal sebagai orang Yunani. Tetapi sejatinya mereka berasal dari Turki yang memperoleh kebebasan menyampaikan gagasan di tempat yang relatif jauh dari perang fisik yakni Yunani. Selanjutnya para filosof kemanusiaan dari Plato juga adalah metamarfosisis filsafat alam.Setelah Islam datang, bangsa Arab hanya bisa menerapkan konsep secara parsial. Penerapan agama dengan cara seperti ini hampir mirip dengan alat perekam yang mampu menampilkan dengan baik tapi tidak memahami. Setelah Islam sampai kepada orang Persia, barulah agama ini memperoleh kesadaran yang baik. Islam melalui orang Persia menemukan keselarasannya antara kitab alam dengan kitab Jibril. Pertemuan ini melahirkan puncak kejayaan gemilang yang sulit ditandingi sampai kapanpun. Nama-nama ilmuan besar muslim juga hampir semuanya adalah orang persia. Kaum Ahlul Bayt seperti Al-Ghazali dan banyak ilmuan lainnya boleh saja berhasil dalam menyebarkan ajarannya, tetapi sekalipun mereka keturunan Arab, tanpa percampuran dengan darah Persia, maka merekaakan tetap seperti unta di lembah-lembah gurun jazirah. Para penyebar Islam hingga Nusantara sekalipun Ahlul Bayt tetapi pasti mereka menempuh jalur Perisia yang itu artinya mereka telah bercampur dengan darah Persia yang kaya intelektualitas. Konon menurut warga Aceh, Islam pertama dibawa oleh Salma Al-Farisi ke Nusantara. Syarif Hidayatullah, seorang keturunan Nabi Saw. Juga berdarah Persia sebelum beroleh darah Pasai (Muhammad Said, 'Aceh Sepanjang Abad' Vol. I). Para Rasul selalu muncul dari kalangan Israil, tetapi orang Persia semuanya adalah ''nabi''. Kalau para Rasul yang dari Israil itu didatangi tamu Jibril melalui otaknya, maka Jibril itu sendiri mengalir di setiap darah orang Persia. Persia campuran tidak terlalu baik, tapi perpaduan antara Jibril di langit dengan Jibril di bumi dalam diri seorang Ahlul Bayt adalah luar biasa untuk beberapa sisi.Orang Jerman yang terkenal paling cerdas di Barat itu adalah orang Persia yang berhijrah, sama seperti dilakukan orang Persia lainnya ke Romawi, Nusantara dan lainnya. Jerman dan Iran adalah sama-sama bangsa paling unggul, bangsa Arya. Ini bukan masalah doktrin Hitler. Si hina dari Nusantara ini melihatnya sendiri, bukan cuma dengan mata, tapi semua saya, baik yang terlihat maupun tidak. Maka disini saya katakan: Bila orang Jerman membabat habis Israil, maka Israil pasti akan melirik Iran untuk balas dendam pada Arya. Bila seorang anak yang masih tangguh perkasa Jerman masih mengaku sebagai Arya, maka bila Iran bertegang dengan Israil dan anaknya Amerika, Jerman wajib membela Iran. Dalam sejarah, hanya orang Persia saja si Timur yang menguasai Barat. Semua kekuatan dan intelektualitas Barat hari ini adalah mulik Timur. Orang Barat sejatinya berbapak pada orang Timur. Penjajahan Barat Atas Timur beberapa Millenia belakangan adalah adalah sebuah kisah pembunuhan seorang anak terhadap ayahnya. Atau bisa dilihat juga sebagai pengkhianatan akal pada hati.Sayangnya Hegel memberi kriteria aneh terhadap sesuatu yang disebut 'sejarah'. Dalam kriterianya, sejarah harus sebuah sintesis dari tesis dan antitesis yang berimbangan. Naginya, India tidak memiliki sejarah sekalipun punya aksara yang luar biasa, alasannya India adalah suatu sistem kasta yang baku. Di sana kekuasaan hanya milik kasta Brahmana, merekalah yang mengatur seluruh sendi. Tidak ada kompetisi disana, kekastaan itu statis, begitu terus menerus. Padahal Naquib Al-Attas lebih mengutamakan aksara sebagai indikator tertinggi yang menandakan tingginya sebuah peradaban. Mungkin dengan indikatornya, Hegel dapat menyanggahnya dengan mengatakan itu bukan sejarah. Sejarah bagi Hegel haruslah suatu gerak aktif yang merupakan penjelmaan dari gerak substansi. TKalau demikian, maka sejarah itu tidak akan pernah ada. Sebab, tidak akan ada pergesekan seimbang. Setiap peradaban atau kebudayaan yang seimbang tidak akan pernah ada. Hukum alam membuat konfluk dan pertentangan selalu muncul. Pertentangan ini berhenti ketika ada sesatu yang memenangi. Maka ada satu yang mengungguli yang lain adalah sebauh sejarah karena telah melewati satu pertikaian. Karena itu, kita harus mampu membedakan antara 'sejarah' dan 'gerak sejarah'. Gerak sejarah adalah proses, sementara sejarah adalah hasil petikaian itu. Suatu kasta adalah sejarah. Tapi dianya tidak benar-benar 'sejarah' sebab yang kalah terus bergerak untuk mengalahkan dan yang menang juga tetap bergerak untuk mempertahankan. Hingga hari ini, sampai kapanpun sejarah tetap bergerak. Hari ini beberapa korporasi besar yang mapan adalah penguasa. Tidak ada yang mampu mengusik. Bila mengikut konsep Hegel, maka sejarah terus berhentI. Hegel benar ketika mengetakan Ruh itu bergerak, tetapi tidak musti dengan sistem tesis-atitesis. Sistem itu hanya memudahkan pengatahuan untuk mengatahui gerak, tetapi sejatinya tidak demikian pergerakan Ruh. Apalagi dianalogikan pada realitas eksternal, pasti keliru.Anehnya, Hegel mengaku bahwa aksara adalah ciri peradaban bermutu, padahal aksara yang mapan dalam satu masyarakat adalah bukti sebuah komunitas itu stabil dalam waktu yang lama, tesis-antitesis Hegel tidak ada di sana, yang berarti tidak ada Sejarah dalam kacamata Hegel. Apakah Hegel tidak tahu bahwa sebuah karya besar hanya bisa lahir dalam kondisi politik yang stabil. Dalam kondisi ini penguasa tidak akan terusik dengan karya apapun, sebesar apapun karena kekuasaannya sudah sangat mapan. Di samping itu, kesempatan untuk menciptakan karya-karya agung hanya mungkin bila pengarangnya diberi kondisi, lingkungan dan referensi yang mumpuni. Namun Hegel mengakui intelektualitas adalah Ruh yang paling murni yang bisa diindikasi pada realitas eksternal. Akhirnya Hegel memperjelas bahwa realiras-realitas partikular adalah penjelmaan ruh ''...maka dia hanya bisa direngkuh secara spiritual, melalui pikiran.'' Hegel (2005:135). Maka dengan ini filsafat adalah tokoh utama dalam masalah demikian. Menurut Hegel, filsafat adalah pemikiran tentang pikiran. Di samping itu, sastra dan sains adalah tidak boleh dilupa (mengenai bahasan dan hubungan sastra, filsafat dan sains telah saya kemukakan dalam 'Garudaku Tangguh' dalam bahasan 'The Ultilmate Creations').''Secara umum, sejarah dunia adalah perkembangan Roh dalam Waktu, sebagaimana alam adalah perkembangan Ide dalam Ruang'' (h. 139). Tapi saya melihat, kalau melalui tesis-antitesis barulah adanya sejarah, maka sesuatu yang telah mapan sepeti contoh kasta di India, bukanlah sejarah; tapi itu adalah waktu. Inilah yang hendak saya kemukakan. Melihat kutipan milik Hegel di atas, maka benarlah dugaan saya. Yang tampak dalah realitas partikular ini adalah waktu, sekalipun kejadian-kejadian adalah penjelmaan dari perkembangan ruh atau gerak substansial. Pada level substansi, adalah perkembangan ruh; pada level aksiden, adalah waktu. Ini sejalan dengan perkembangan ide pada level substansi dan gerak dalam ruang dalam level aksiden. Karena waktu adalah buatan akal, maka secara pasti kausalitas yang sering menjadi bagian perdebatan filsafat itu juga adalah produksi akal. Kausalitas itu berada di dalam kategori aksiden. Kausalitas hanya ada dalam pikiran. Lalu pikiran mangabstraksikan tangan yang mendorong dan pintu terbuka dan menyematkan hukum kausalitas pada realitas tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar