Kalangan muslim Indonesia belakangan gencar melakukan ta'lim
dan bentuk-bentuk kajian lain membahas sifat buruk aliran Islam Syiah. Berbagai
video, artikel dan data-data lain yang menyudutkan Syia'ah gencar dilakukan
sekalipun pertanggungjawaban akan data-data itu lemah dan cenderung provokatif.
Kaum Muslim Indonesia sedang dan akan semakin menderita Syiah-phobia yang saya
kira malah merugikan kita sendiri, merugikan Indonesia kita.
Kalangan pendakwah
atau pembicara sosialisasi anti Syiah memang tidak lupa menyelipkan kalimat
''Tidak semua Syiah itu berbahaya'' atau ''Tidak semua Syiah itu radikal''.
Tapi kalimat ini tidak dijelaskan lebih terperinci sehingga para jamaah hanya
bisa mengaku: Syiah itu memang sesat.
Beberapa argumen utama
yang menyudutkan Syi'ah antara lain (1) menuduh mereka identik dengan Yahudi;
(2) menjadi sekutu Barat, (3) tradisi menyiksa diri dan anak kecil sampai
berdarah diakui ''provokator'' Sunni sebagai cara mewariskan dendam pada Sunni
tentang Peristiwa Karbala, dan; (5) menghina Sahabat Nabi Saw. seperti Umar,
Usman dan Abu Bakar (radi Allahu anhum).
Kata mereka, tiga sahabat itu merampas kursi kedudukan Ali ra. Sebagai
Khalifah.
Provokasi-provokasi
itu sudah saatnya ditengarai oleh Negara (pemerintah) bila tidak ingin terjadi
perpecahan di Bumi Nusantara. Kita perlu tahu bahwa bahwa 'Syiah'
membonceng kepentingan Persia. Jadi
persoalan ini bukan masalah keagamaan seperti yang kita kira. Lagi pula,
ajaran-ajaran yang nyeleneh dalam
aliran Syiah tidak diamini mayoritas kalangan Syiah sendiri. Konon, sama
seperti ajaran Sunni, ajaran Syiah juga terpecah menjadi banyak golongan dan
beberapa diantaranya memang jauh menyimpang dari Al-Qur'an dan Hadits.
Kita perlu tahu bahwa di Timur Tengah sejak dulu dihuni
empat suku yakni Persia, Arab, Turki dan Bani Israil. Sejak dulu pula konfik
antar suku ini terus berlangsung. Sangat sering mereka melibatkan agama dalam
persoalan ini.
Kita musti ingat
bahwa Bangsa Persia tidak pernah ditaklukkan oleh bangsa manapun, hatta
Alexandre The Great sekalipun. Tapi mereka takluk oleh Umar Bin Khattab. Inilah
yang membuat Persia marah pada Umar yang bangsa Arab; yang memang Persia tidak
pernah suka pada Arab, yang memang satu sama lain keempat suku itu tidak saling
menyukai dan saling memusuhi.
Kita juga perlu
ingat bahwa runtuhnya kekhalifahan Islam terakhir, Usmani (Ottaman Empire)
adalah berkan konspirasi Barat dengan bangsa Arab. Lebih jauh ke belakang, Bani
Israil dendan pada Bangsa Arab yang pernah memperbudak mereka zaman Fir'aun.
''Provokator''
mengatakan Iran banyak memberi kontribusi pada AS untuk menaklukkan Irak dan
Afghanistan. Alasan karena di Irak dan Afghanistan ramai orang Syi'ah adalah
pembenaran mereka. Kita tahu bahwa Turki sangat banyak membantu AS dalam
memerangi Irak, termasuk menyediakan landasan peralatan militer, penempatan
prajurit dan lokasi penyerangan. Arab Saudi malah menyediakan pangkalan militer
buat AS hingga hari ini. Negara-negara dan konglomerat Arab banyak menabung
uang mereka di negara-negara Barat. Dari mana lagi bahan bakar mesin-mesin
perang Barat dan Israel kalau bukan negara-negara Arab.
Kenapa kita lupa
bahwa hingga hari ini Iran masih terus sudi memberi makan orang Palestina yang
terus dilanda perang. Orang Indonesia harus berhenti berbicara aliran
Sunni-Syiah. Kita tidak boleh terseret oleh fanatisme Timur Tengah. Bangsa kita
tidak seperti mereka, kita tidak memelihara chauvanisme seperti mereka. Jawa,
Sunda, Minang dan Dayak dal lainnya dapat hidup berdampingan tanpa dendam dalam
Rumah Indonesia. Tapi Arab, Persia dan Turki tidak bisa hidup bersama dalam
Rumah Islam. Ini bukti betapa sombongnya bangsa-bangsa Timur tengah.
Mari berhenti
memprovokasi rakyat Indonesia. Manusia Nusantara adalah manusia yang lembut,
toleran, tidak fanatik apalagi fanatisme kesukuan. Mari terus hidup damai dalam
Rumah Indonesia; berhenti melibatkan diri ''kekeraskepalaan'' bangsa Timur
Tengah yang jauh itu. Mari berhenti berbicara 'Syiah', 'Wahabi' dan lainnya,
mari selamatkan Nusantara, mari menjaga Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar