Ada sebuah kata yang telah tersembunyi semenjak peristiwa
itu terjadi. Kata itu tenggelam dengan popularitas yang dimiliki 'gua'. Kita
semua tidak peduli bahwa gua Hira itu letaknya di puncak sebuah bukit, di
sebuah gunung. Gunung memang seperti seorang martir: setelah kita banyak
mengambil darinya, lalu kita pergi meninggalkan dia tanpa pernah mengenangnya
kembali.
Sastrawan bukan
tanpa alasan meminjam kata 'gunung' sebagai tempat tertinggi dalam
spirititualitas. Gunung tidak hanya sebagai simbol dari keagungan tapi dia
sendiri telah memberi bukti bagi siapa saja yang pernah datang kepadanya dengan
kedirian mutlak.
Konon hanya orang
bawah saya yang bisa mendapat sebuah ilham atau wahyu dan semacam intuisi.
Kenapa? Jawaban saya (mungkin untuk sementara) adalah karena intuisi
walaubagaimanapun harus melalui penalaran yang benar, baik dan tajam. Ada
rubuan masyarakat yang tinggal di gunung. Tapi tidak satupun di antara mereka
yang memperoleh pencerahan. Hanya Barman yang bisa, tapi dia bukan orang gunung.
Karena itu dia bisa. Nabi Muhammad memperoleh penalaran yang tajam itu di bawah
dan mendapat wahyu di gunung.
Orang gunung
sendiri malah sifatnya sangat keral Brutal dan kasar. Jatinegara, Tegal, Jawa
Tengah adalah kisah di mana di sana mengeroyok orang hingga tewas adalah
peritiwa yang tidak luar biasa bagi masyarakat di sana. Pernah seorang pria
melawat ke kampung seberang untuk belajar bersama dengan teman perempuannya.
Mereka berdua mahasiswa Kedokteran. Karena waktu bertamu sudah lebih jam sembilam
malam, si pria di jemput paksa dari rumah temannya oleh pemuda kampung itu. Dia
dihujani beberapa bogem mentah di wajah. Lalu ditelanjangi, diarak dan diserek
di aspal. Pria itu meregang nyawa di kampung tetangganya.
Sebuah rumah yang
dikosongi pemiliknya lebih tiga hari langsung direbut para pemuda, dijadikan
markas. Minum tuak, main judi dan dijadikan tempat menyusun strategi aksi
kejahatan-kejahatan yang meresahkan.
Penangkapan
muda-mudi yang sedang mesum mudah saja didalihkan sebagai tindakan menjaga nama
baik kampung dan menjalankan ''syariat agama''. Saya jijik mendengar alasan
kedua ini. Mereka yang tidak pernah shalat, tidak tahu huruf Arab mudah saja
membawa nama agama.
Kaum muda mudah
saja menggelar pengadilan. Tapi mereka tidak peduli argumen tersangka (korban)
dan tidak perlu saksi dan bukti. Atas nama entah apa mudah saja mereka
melakukan pembunuhan. Oleh pemilik kebun yang tidak mahu hormat pada kaum muda,
maka kebunnya pasti dibuat berantakan dan pemilik kebun rugi sepenuhnya. Gunung
memang tidak aman, bukan dari babi hutan, bukan pula bencana alam, tapi kaum
muda.
Polisi? Di gunung
hanya ada Polsek terdekat. Pernah dalam satu tawuran antar kampung. Polisi yang
cuma dua mobil mencoba melerai. Mereka pula yang malah dikejar oleh kedua pihak
yang bertikai. Para polisi terpaksa berlindung di semak-memak, sebagian di
rumah warga. Setelah kedua mobil polisi dirusak, kedua kubu kembali melanjutkat
perang.
Masyarakat kota
yang punya pendidikan mulai mengekuhkan minimnya kontrol sosial sehingga aneka
kejahatan mudah saja terjadi di kota besar. Tapi apakah mereka ingin
memindahkan makhluk-makhluk gunung itu ke kota supaya mereka bawa mereka punya
pengadilan untuk di terapkan di kota.
Anda seorang
tidak bisa melakukan-apa apa di gunung yang brutal itu. Anda tidak bisa merubah
mereka semua, tidak pula beberapa orang dari mereka. Ketika kita tiba di gunung
itu, kita hanya akan merubah satu orang. Ya, satu orang saja: dia adalah diri
Anda sendiri.
Ketika Bell
memiliki hasrat tak terukur untuk membantu orang tuli untuk bisa mendengar,
malah dia menjadi pahlawan bagi mereka yang punya pendengaran yang baik:
menemukan telephone.
Ketika Musa ingin
menyelematkan Bani Israel dari Penyembahan seorang Raja, malah nasib lebih
tragis menimpa: mereka malah seonggah batu. Nuh ingin membuat kapal sangat
besar supaya semua makhluk dapat dia angkut, malah belah dannya sendiri yang
terbenam. Para nabi yang gagal itu malah diangkat menjadi ulil azmi. Bila Anda
tidak pernah dihadiahkan masalah-masalah, saya pastika Anda tidak disayang oleh
Yang Menciptakan Anda.
Allah sama sekali
tidak peduli dengan hasil dari usaha kita; dia Maha Bisa segalanya, dia hanya
ingin melihat pekerjaan kita.
Berbuat untuk
mendapat apresiasi dalam proses dan hasil mengharap apresiasi dan pujian dari
seseorang, itu sama halnya Anda menyembah berhala. Riya dan sombong sama
seperti menyembah batu.
Berbuatlah
hingga habis semua yang Anda miliki habis sama sekali. Jangan perhah mengharap
pujian manusia meski untuk sebuah 'terimakasih'.
Keluarlah,
segera, lihat mereka. Segera bertindak. Deklarasikan pada apapun yang
menyebabkan mereka begitu. Paksakan mandat dari Tuhan. Ikrarkan dengan segera
di hadapan Tuhan?: Wahai Kau yang telah percaya padaku dengan bukti aku
menghirup udara ini: sejak saat ini, aku berjanji akan menjadi titah kemulianmu
dengan mengabdi sepenuhnya untuk kemanusiaan. Bila aku mata, maka berarti
mandatMu telah dicabut dan tugasku juga selesai.
Sebelumnya, mari
kita hapus segala ketamakan dan rakus yang membekap kita sekalipun tanpa kita
sadara. Mari bersihkan itu dari persoalan-persoalan yang sebelumnya tidak kita
sadari, mulai dari poligami hingga banyak makan daging.
Kita harus
benar-benar berani mengendalikan diri: hanya memakan secuil daripada yang
dihidangkan, apalagi punya niat melirik ke dapur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar