Link Download

Minggu, 24 April 2011

Maulinar Intan

Telah ada sebuah cerita tentang seorang gadis belia yang hidupnya penuh kesedihan, tertekan dan ditindas oleh keluarganya sendiri. Dia hidup seperti mati dan mungkin nanti ketika mati dia akan hidup. 


Tidak perlu kita ceritakan tentang gadis ini karena menang dia tidak memiliki nilai lebih untuk dibicarakan. Biarkan dia hidup dalam kepedihan dan menjemput mati dengan kesengsaraan.

Tidak ada hidung mancung dimilikinya. Tidak pula jelas pandangan matanya. Giginya bolong seperti sebuah gua. Tidak ada yang bisa ia banggakan dalam hidupnya karena harta-harta yang dimiliki keluarganya telah menjadikan sayap-sayapnya lumpuh, hatinya mati.

Air bersih yang jernih dirasanya selokan. Sarapan pagi dengan susu dan roti tidak memberinya energi. Antar-jemput kemana ia pergi bagaikan berjalan kaki mengelilingi Sahara. Karena dia tidak pernah berada di tempat yang ia idam-dambakan. Kasur empuk tempat dia merebahkan diri bersama penderitaannya bagaikan bara api yang memanggang jiwanya yang penuh keresahan. Teman-teman yang ia miliki bagaikan musuh baginya oleh saudara-saudaranya. Mereka menjadikan intan di matanya bagaikan belati yang siap menghujam nadi dan lehernya setiap detik. Tatapan matanya serasa hampa. Apa yang ia raba adalah bara api baginya. Setiap langkahnya berat. Dan semua makanan yang ia makan menjadi kelu.

Dia tidak mengingat lagi wajah ayah tercintanya kecuali foto-foto manusia yang paling ia cintai itu dimilikinya. Ingatan, rasa rindu pada sang ayah yang hampir terhapus dalam ingatan terpaksa harus kembali kembali hadir dan kembali membuatnya bersedih. Ketika saudara-saudaranya memarahi dan sering menteror dirinya dengan ancaman-ancaman.

"Ayah, begitu cepat engkau pergi. Kau tinggalkan aku bersama srigala-srigala liar ini. Yang meski di hadapan manusia mereka adalah saudaraku. Tapi lihatlah keadaan diriku. Apa yang kualami? Setiap kali srigala-srigala itu memarahi dan mengancamkudengan gigi-gigi dan cakar mereka yang telah bersedia menerkan jiwa kreatifku. Tidang ada di didiku yang mampu menyelamatkanku. Bahkan, teman untuk berbagi penderitaan inipun tidak ada. Maka kuhadirkan engkau, wahai ayah, dalam memori ingatanku.

Kuharap rinduku padamu bisa menyelamatkanku dari rasa takut. Kuharap bayangmu yang hadir dalam ingatanku mampu menyembuhkan, mengobato sayap&sayapku yang patah." 

Pada sebuah perjalanan Pelatihan Brigade Pelajar Islam Indonesia (PII) ke Pulau Weh, Maulinar tersesat di seputar pantai danau Aneuk Laôt. Teman-teman telah lelah mencari. Selama tiga hari, jejak intan di kakinya tidak ditemukan. Maulinar hilang. Tenggelam di danau Aneuk Laôt?

Ratusan juta rupiah telah dihabiskan keluarga Maulinar untuk mencari putri keluarga kaya itu. Dari tim SAR hingga TNI AL telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan untuk mencari jasad Maulinar yang mereka perkirakan tenggelam di dalau, yang menurut warga setempat, tidak memiliki dasar kedalaman. 

Kami semua, seluruh tim yang mengikuti Pelatihan Brigade PII yang bersama dengan Maulinar di Aneuk Laôt telah berada di rumah duka untuk mendoakan, yang menurut mata manusia: empat puluh empat hari meninggalnya Maulinar. Dihirung semenjak peserta dan pemandu Pelatihan Brigade PII kehilangan dia di sekitar tempat tenda pleuton didirikan di sebuah lapangan bola kaki, dua belas meter dari bibir pantau danau Aneuk Laôt.

Siapa yang paling tolol diantara para jamaah malam itu? Jwabannya adalah: saya. Kenapa saya mendoakan pada orang yang telah meraih cita-cita yang sepanjang hidup menjadi harapannya.Kenapa saya bersedih dan bermurung ketika telah meraih mimpi yang menggagu lelap setiap tidurnyaUsaha yang setiap gerak langkah ia upayakan. Ketika dia, maulinar, telah menembus bullan-bintang yang setiap duduknnya memberi gelisah. Dan tisur berbaringnya bagaikan langit menimpanya.

"Kakakku, setiap malamku terasa diintai hantu-hantu masalalu. Dan diawasi srigala-srigala ketika aku melihat masadepanku. Ketika hampir lelap tidurku, ketakutan akan datangnya mimpi-mimpi membuatku takut memejamkan mata. Dalam bunga tidu itu aku seakan mendapatkan sebuah dunia yang suci dan indah. Namun, ketika fajar berada di depan rumahku, dan cahaya pagi menembus jendela kamarku, akau menyesali mimpi mimpi indahku.

"Hidupku seakan hancur, intan yang kulihat menjadi beling-beling kaca di mataku. Ketika kuangkat tubuhku, bergerak menuju jendela dan tirai kusingkap. Di sana mimpiku jadi neraka. Dunia ini telah merenut pangeran perahu yang selalu hadir dalam mimpiku.

"Kakakku, bukankah aku tidak lagi menyembunyikan sesuatu apapun padamu. Bukankah telah kulisan-perasaankan semua mimpi-mimpiku padamu. Kakak, bantu aku berjumpa dan dibawa Pangeran Parahu-ku. Yang setiap saat hadir di hadapanku Dengan perahu kecil, sebatang dayung dia genggam erat di tangannya. Dia menungguku, menyeberangi danau itu. Bantu aku menaiki perahuitu. Bantu aku menaiki perahu itu, duduk dihadapannya.

"Pakaikan aku gaun pengantin bewarna putih. Ikatkan pita purih itu pada sanggul rambutku. Hantarkan aku ke tempat pangeranku! yang bersiap membawaku ke tempat yang baru. Kehidupan di mana mimpiku tidak ditelan sang surya. Kehidupan di mana srigala-srigala itu minggat dari hadapanku."

Pagi itu tepat pukul sepuluh. Aku diamanahkan memandu materi Survival nagi peserta Pelatihan Brigade Pelajar Islam. Kusampaikan teori pengantar materi dengan baik. Kemudian kutugaskan peserta meneliti dan mengumpulkan buah, biji dan daun dari hutan seputar pinggiran danau Aneuk Laôt yang bisa di konsumsi.

Salah seorang peserta, maulinar, terpisah dari teman-temannya. Saya berkeliling memantau peserta-peserta untuk melihat keberhasilan mereka berpraktek materi Survival.

Sadang sibuk peserta-peserta lain meneliti jenis buah, biji dan sayur, jauh dari mereka, Maulinar sendiri di bawah sebatang pohon rindang. Tangannya telah memengang beberapa jenis biji dan sayur. Sementara pandangan matanya koosong ke arah danau. 

Sadar kuhampiri, tanpa memandang ke arahku, Maulinar berkata: "Kaka, lihatlah diriku. Tidak kasihankah engkau padaku? Kalau bukan engkau yang akan membebaskan aku dari penjara penderitaan ini, siapa lagi?"

Maulinar perlahan menggerakkan kepala ke arahku. Matanya telah memerah. Menatap wajahku. Seketika matanya ngeluarkan air. Dibiarkannya mengalir deras di pipi kuning langsatnya.

"Kakakku, telah kelepas kkepedihan ketika engkau bersedia mendengan semua jeritan perasaanku. Kumengira ketika itu aku bisa terbebas dari semua permasalahan yang menimpaku di dunia ini. Tapi sayang, seribu kali sayang. Kakak, ternyata masalah-masalah itu kembali menghantam leher dan nadikubagai sepusing angin yang menghantam dinding-dinding batu di pingggiran pantai hingga dia jatuh ke laut.

Di alih kannya wajahnya ke danau kecil itu. Diangkatnya tangan kirinya, dengan telunjuk me-horizontal, dia berucap "Kakakku lihatlah. Lihatlah perahu kecil itu." Aku memang melihat sebuah perahu kecil. Bewarna kayu. Terikat di sebatang tiang yang terpancang di pantai danau. 

Semakin teguh, berkomitman dan saya yakin dia bersemangat dengan yang akan dia ucapkan. Saya melihat bibir tipisnya mulai bergerak. "Lihatlah di atas perahu itu. Seorang berbaju kemeja coklat lengan panjang. Celana kainnya bewarna abu-abu. Sudong di kepalanya yang menyembunyikan pesona Yusuf bewarna kuning kecoklatan. Meski alis matanya yang tebal dan buli matanya yang lentik tidak terlihat olehmu, samar engkau bisa melihat hidung mancungnya yang luarbiasa. 

"Bola matanya yang indah tidak terlihat olehmu. Lihatlah kumistipisnya bergantung di atas bibir sexy-nya. Bulu jambangnya berbentuk shot gun men-sempurnakan wajahnya. Setelah Yusuf, kau dan aku tidak akan penah menjumpai laki-laki setampan dan semanis pangeranku. Asalkan engkau tidak membandingkannya dengan Rasul mulia Muhammad Salallahu'alaihi wasallam.

"Kakakku, bila engkau merasakan seperti yang kualami, tabahkanlah dirmu. Bimbing aku menaiki perahu itu. Karena pangeranku tidak sabar lagi menanti diriku.

"Jadikanlah kata-kataku sebagai refleksi kehidupanmu, sebagai penguat langkahmu. Teruslah hidup demi aku. Setidaknya, setahun sekali datangkah ke tempat ini, tempat terakhir kali bertemu secara badani. Tempat dua jasad kita berpisah. taburkan bungong jeumpa dan seulanga ke air danau ini. Karena dengan itu kau akan menjadi memori kehidupanku. Ditempat lain dari ini. Di Raung dan waktu yang berbeda. 

"Kakakku, hiduplah demi cita-citamu. Mimpikan aku setiap tidur malammu. Bila imanmu membangunkanmu pada pertiga malam, bergegaslah mensucikan badanmu. Bertakbir, ruku' dan dan sujudlah di hadapan Allah, Tuhanku, Tuhanmu, Tuhan semesta alam. Panjatkan doa-doamu dan sertakan diriku dalam doamu. Mintalah pada Allah agar dia memaafkan dosa-dosaku. Doakan semoga mudah jalanku di luar ruang-waktumu."

Maulinar berdiri tegak. Dihela nafasnya panjang-panjang. Dua kali. Dia melihat ke arahku. Terlihat beban berat di pundaknya. Kutahu matanya yang penuh derita menatap dunia lain dari dunia yang membenaninya ini. Diraihnya pena dan kertas dari gaun putih yang memanjang hingga dedaunan rebah olehnya. Aku heran, padahal beberapa menit yang lalu, disini juga aku melihat dia mengenakan seragam latihan sama seperti kawan-kawannya yang lain.

"Tulislah kisah pedih yang kau rasakan, karena aku paling tahu jeritan batinmu. Lupakan aku untuk cintamu. Tapi ingatlah aku selalu untuk kasih-sayang, iba dan rindumu. Jadikan jiwaku sebagai sumber inspirasi karya-karya fiksimu. Cantumkan namaku pada pengantar karya ilmiahmu" pesannya. 

"Dengan penuh harapan dan rasa cemas aku melepaskan isi hatiku. Meski tak yakin, meski tak yakin, setidaknya takkan kualami seperti salah-satu yang dia alami sehingga memuncaklak beban hidupnya:

"Tidak mungkinkah cinta itu untukku? Kenapa kita tidak meninggalkan manusia-manusia di sini dan mengungsi dari mereka dengan tetap berada di ruang dan waktu ini?"

"Tidak" sanggahnya cepat "jangan berharap lebih. Engkau lihat mendung telah datang. Matahari telah bersembunyi. Dengan begitu nanti malammu tidak secerah hati sucimu. Malam ini tidak satu bintangpun yang akan engkau lihat. Tak ada sumber inspirasi malam ini."

Dia meraih tangan kananku. Diletakkannya sebatang pulpen dan selembar kertas di telapak tangan kananku. "Simpanlah ini. Meski kau tak medapatkan cinta dariku, meski malam ini gelap bagimu. Tapi periharalah cinta tak berbalas ini hingga engkau di antar keliang lahat. Teruslih hidup dalam kepedihan dan kesedihan.

"Meski aku yakin ini takkana engkau lakukan. Tapi tetap kuingatkan satu hal. Karena aku tidak memba;as cintamu, jangan membenci, namun tatap pertahankan cinta itu. Cinta yang akan kusambut ketika doa-doamu selasai shalatmu tersampaikan untukku. Meski saat ini, di ruang-waktu yang sama cintamu padaku tak berbalas, maka yakinlah, aku akan menjawab cintamu ketika aku menyebarangi danau ini. Atau aku lelap di dalamnya." 

Kubimbing Maulinar menaiki perahu itu. Pengaran Perahunya yang tak terlihat mataku kini jelas dalam pandanganku mengangkat tangannya tanda penghormatan beserta senyum manisnya padaku.

Ketika Maulinar telah duduk di dalam perahu kecil itu, ketika tepat berada di hadapan pemuda "langsing" itu, kupesankan padanya:

"Maulinar adalah nafasku. Dialah kakiku ketika aku berjalan. Dialah mataku untuk melihat. Dialah telingaku saatku mendengar sayup-sayup suara yang merdu memecah malam. Namun kini engkau akan membawanya. Sumpah, kalau bikan cintaku sejati padanya, kalau bukan karena hendak membebaskan dari beban-beban dunia, maka sungguh tidak akan kubiarkan dia pergi bersamamu."

Aku tersentak dari kenangan empat puluh empat hari yang lalu. Dua orang pria berpakaian preman tiba di rumah duka. Bukan untuk yasinan bersama. Mereka mencari yang namanya Miswari.

Isuzu Phanter meluncur ke markas Poltabes Banda Aceh. Aku di dalamnya, bersama dua anggota Satuan Reserse Kriminal. Esok hari harianya, head line 'Serambi Indonesia' memuat judul "Seorang Pelatih tenggelamkan Seorang Peserta pada Pelatihan Brigade PII"

Aneuk Laôt, Sabang-Merduati, Banda Aceh, 14 Juli 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar