Link Download

Sabtu, 30 Juni 2012

Gerak Substansi

'Dunia' yang dimaksutkan di sini bukanlah semata yang tampak oleh mata dan tersentuh oleh kulit, dunia yang kita maksud adalah dunia sebagai keseluruhannya, tidak peduli kita mampu menjangkaunya ataupun tidak, tak mau tahu kita memahaminya atau tidak. Apa... yang dapat diketahui, melalui alat bantu sekalipun, tidak sama dengan apa yang sejatinya. Nihilisme tidak mempercayai apapun, apa saja yang dipertanyakan ''apa itu''' mereka menolaknya. Sains modern telah merumuskan teori pengembangan semesta. Stephen Hawking, antropolog masyhur itu percaya. Tapi semua yang masuk dalam ruang kaji Hawking juga dapat ditunjuk, dapat masuk ke dalam intelek. Jadi semua objek Hawking itu cuma sebatas yang dapat dijangkau akal manusia. Semua yang meruang dan mewaktu ditolak Netzshe. Filsuf Jerman itu hendak mengatakan bahwa segala yang meruang dan mewaktu hanyalah persepsi pikiran. Segala hal yang meruang telah mewaktu, yang waktu tersebut adalah alat pikiran untuk menciptakan ruang. Akal diproduksi oleh kesadaran adalah bergerak. Segala yang telah mewaktu pasti bergerak, karena ada yang bergerak, pasti ada yang berubah. ''Tidak mungkin ada waktu bila tidak ada yang berubah'' kata McTaggart, karena syarat perubahan adalah waktu. Tapi bagaimana dengan akal yang melampaui waktu?
Kesadaran manusia, yang dibelakangnya tidak memiliki waktu tidak berubahkah? Akal, atau intelek dibentuk oleh gerak. Gerak ini aktif secara terus menerus. Gerak yang terus menerus ini mengilhami intelek melalui jiwa hingga membentuk kesadaran. Kesadaran inilah yang kemudian mewujudkan ruang dan waktu secara bersamaan. Jadi, akal manusia, adalah bagian dari Akal Utama yang mengada melalui perantara jiwa (soul). Intelek manusia melalui ruang-waktu mewujudkan badan atau materi-materi lainnya. Masalahnya, akal kita secara apriori tidak menerima adanya gerak tanpa ada perubahan: Setiap yang bergerak pasti akan berubah, demikian konsepsi murni pikiran.
Iqbal dalam menyelesaikan masalah ini membagi waktu ke dalam dua bagian. Waktu pertama adalah bentukan intelek kita, waktu yang kedua ini adalah yang mengada bersama gerak yang melampaui pikiran. Boleh saja perubahan berlaku bagi alam yang dibawahi akal menurut gerak yang dikonsepsikan berbarengan dengan waktu yang dikonsepsikan. Dengan ini kita harus menerima bahwa perubahan itu juga adalah bentukan pikiran.
Pemikir sebelum Mulla Shadra tidak berani menerima gerak yang melampaui akal, atau gerak substansial karena menganggap hal substansial tidak berubah sebab kalau dia berubah, maka dia tidak lagi dapat disebut findasi atau substansi. Tetapi di sini kita menemukan bahwa perubahan hanya bentukan pikiran semata. Gerak substansi tidak meniscayakan perubahan. ''Dahulu, sebelum Tuhan menciptakan apapun, Tuhan demikian. Kini, setelah Tuhan menciptakan semua ini, dan setelah semua ini berakhir, Tuhan tetap demikian' Kalimat murid Bayazid Bistami sejauh yang dapat saya ingat itu mensinyalkan hal substansial tidak berubah. Perubahan memang senyatanya pergerakan menuju ke lebih baik. Karena yang substansi adalah sempurna, maka dia tidak akan berubah. Substansi yang bergerak terus menerus salah satu dari tak terhingga efeknya adalah aktifnya akal manusia. Inilah tampaknya yang dimaksudkan dalam Al-Qur'an: ''Setiap saat Dia dalam kesibukan (QS. 55:29). Segenap isi jagad raya bergantung pada Substansi itu: ''Allah adalah Tuhan, bergantung padaNya segala sesuatu'' (AS. 112: 2), segala aksiden, bergantung pada substansi. Iqbal bahkan mengatakan pada dimensi yang dipersepsikan setelah dimensi dunia ini, manusia tetap juga bergerak karena diakibatkan substansi yak terus bergerak.
''Dunia ini raksasa energi, tanpa awal, tanpa akhir, sebuah besaran daya yang kukuh, kuat, Yang tidak membesar atau mengecil, yang tidak memperluas dirinya sendiri melainkan hanya mengubah dirinya sendiri; secara keseluruhan...'' (Friedrich Nietzsche). Ucapan filsuf Jerman itu benar bila diamati dengan baik. untuk dirinya sendiri perubahan memang tidak berlaku, perubahan hanya berlaku bagi pengamat. Maksud 'mengubah' beda dengan 'berubah'. 'Berubah' itu menurut pengamat, sementara 'mengubah' itu menurut subjek sendiri. Maka mengubah ini sama dengan 'bergerak'.
Bagi subjek, karena itu yang diperlukan adalah terus bergerak. Gerak ini muncul secara apriori, dia lebih azali daripada akal itu sendiri. gerak ini adalah keniscayaan. Tegak ini memunculkan kesadaran (akal) untuk menunjang gerak itu sendiri. Ketika akal bersama serta, maka muncullah kategori-kategori. Kategori-kategori ini menjadi barometer menentukan kita berangkat dari kekurang baikan menuju lebih baik.
Individu punya fitrah yang sama untuk hal ini, penilaian kekurang baikan dan kebaikan adalah sama sebab dia berasal dari akal murni. Karena itu, adalah tugas tiap individu mengingatkan individu yang lain untuk tetap konsisten dalam akal murni itu sehingga secara bersama kita dapat bergerak membentuk karakter.
Pembentukan karakter penting menurut Kant. Bagi Kant, banyak hal noumena yang tidak terjangkau akal praktis, akal praktis hanya mempu menundukkan segilintir. Substansi tidak terjangkau akal. ''Bila kamu ditanya tentang Ruh, katakan 'Ruh dari urusan Tuhanku', dan tidak diberikan kamu pengetahuan kecuali sedikit'' (QS. Al-Isra': 85). Hal-hal yang tidak terjangkau akal dapat diapresiasi melalui prilaku. Karena itu, Kant meminta sepaya etika dilepaskan dari segala kecenderungan-kacenderungan hal-hal yang tunduk (terpersersi) oleh akal.
Kesadaran murni perlu ditanamkan sejak dini supaya kesadaran itu muncul. Kesadaran disini tidak cukup sebatas mengada Heideggar, tetapi kesadaran akan adanya Sang Ada yang menyebabkan kita mengada sangat perlu. Kesadaran seperti ini membuat kita paham bahwa kita tidak boleh berhenti bergerak walaupun sejenak. Kesadaran seperti ini juga penting agar kita sadar bahwa Sang Ada itu bukan objek kita, tapi kita hanya segelintir manivestasi dari gerak substansial Sang Ada. Kesadaran Ada-nya Heidegger tampaknya tetap saja antroposentris.
Sebagai individu dan masyarakat, gerak kita adalah membentuk karakter sebagaimana disebutkan di atas. Jalan yang kita tempuh adalah melalui pembentukan intelek yang berisi, memiliki keahlian menguasai hukum berfikir benar dan tepat menurut kaidah fitrah intelek. Membentuk intelek yang demikian adalah perlu sebab kesadaran itu, saat kita telah berada pada ruang dan mewaktu, inteleklah yang bertama muncul. Intelek yang ahli dan berisi dapat mengantar pada kepekaan yang tinggi yang dengan itu membentuk rasa. Rasa ini diapresiasi melalui etika murni, etika yang tidak berbatas pada sebab akibat semata, tetapi melampaui hukum buatan akal.
Bila ini diterapkan secara sadar dan baik, maka noumena itu akan berinteraksi dengan kita walau akal tidak mampu menjelaskan. Spiritualitas akan menyatu dengan kita. Inilah harapan kita. Kebersatuan spiritualitas dengan diri secara langsung melahirkan karakter yang cerdas emosionalnya. Inilah harapan kita. Dan bila ini terwujudkan, kita telah mengikuti hukum gerak substansial. Pengingkaran terhadap hukum gerak substansiallah yang menyebabkan kerutuhan moral individu dan kehancuran sebuah peradaban. Pencapaian hukum geraksubstansial baru tercapai bila kita melaksanakannya secara kolektif. Oleh sebab itu pembentukannya harus dimulai dari membentuk karakter masyarakat intelektual.
Adapun konsentrasi masyarakat intelektual yang cerdas emosional dan cerdas spiritual adalah melalui advokasi media informasi. Kita telah menguraikan setumpuk persoalan kebangsaan, salah satunya adalah kebablasan media dan penggringan opini untuk kepentingan kapital segelintir kalangan. Koordinator Pusat Brigade PII dikonsenterasikan menjadi badan otonom PII yang mampu membentuk Kader PIi yang mampu merespon media massa secara bijak demi menyelamatkan bangsa dapi penggiringan opini ke arah yang telah kita ketahui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar