'Dunia' yang dimaksutkan di sini bukanlah semata yang
tampak oleh mata dan tersentuh oleh kulit, dunia yang kita maksud adalah
dunia sebagai keseluruhannya, tidak peduli kita mampu menjangkaunya
ataupun tidak, tak mau tahu kita memahaminya atau tidak. Apa...
yang dapat diketahui, melalui alat bantu sekalipun, tidak sama dengan
apa yang sejatinya. Nihilisme tidak mempercayai apapun, apa saja yang
dipertanyakan ''apa itu''' mereka menolaknya. Sains modern telah
merumuskan teori pengembangan semesta. Stephen Hawking, antropolog
masyhur itu percaya. Tapi semua yang masuk dalam ruang kaji Hawking juga
dapat ditunjuk, dapat masuk ke dalam intelek. Jadi semua objek Hawking
itu cuma sebatas yang dapat dijangkau akal manusia. Semua yang meruang
dan mewaktu ditolak Netzshe. Filsuf Jerman itu hendak mengatakan bahwa
segala yang meruang dan mewaktu hanyalah persepsi pikiran. Segala hal
yang meruang telah mewaktu, yang waktu tersebut adalah alat pikiran
untuk menciptakan ruang. Akal diproduksi oleh kesadaran adalah bergerak.
Segala yang telah mewaktu pasti bergerak, karena ada yang bergerak,
pasti ada yang berubah. ''Tidak mungkin ada waktu bila tidak ada yang
berubah'' kata McTaggart, karena syarat perubahan adalah waktu. Tapi
bagaimana dengan akal yang melampaui waktu?
Kesadaran manusia, yang dibelakangnya tidak memiliki waktu tidak
berubahkah? Akal, atau intelek dibentuk oleh gerak. Gerak ini aktif
secara terus menerus. Gerak yang terus menerus ini mengilhami intelek
melalui jiwa hingga membentuk kesadaran. Kesadaran inilah yang kemudian
mewujudkan ruang dan waktu secara bersamaan. Jadi, akal manusia, adalah
bagian dari Akal Utama yang mengada melalui perantara jiwa (soul).
Intelek manusia melalui ruang-waktu mewujudkan badan atau materi-materi
lainnya. Masalahnya, akal kita secara apriori tidak menerima adanya
gerak tanpa ada perubahan: Setiap yang bergerak pasti akan berubah,
demikian konsepsi murni pikiran.
Iqbal dalam menyelesaikan
masalah ini membagi waktu ke dalam dua bagian. Waktu pertama adalah
bentukan intelek kita, waktu yang kedua ini adalah yang mengada bersama
gerak yang melampaui pikiran. Boleh saja perubahan berlaku bagi alam
yang dibawahi akal menurut gerak yang dikonsepsikan berbarengan dengan
waktu yang dikonsepsikan. Dengan ini kita harus menerima bahwa perubahan
itu juga adalah bentukan pikiran.
Pemikir sebelum Mulla Shadra
tidak berani menerima gerak yang melampaui akal, atau gerak substansial
karena menganggap hal substansial tidak berubah sebab kalau dia
berubah, maka dia tidak lagi dapat disebut findasi atau substansi.
Tetapi di sini kita menemukan bahwa perubahan hanya bentukan pikiran
semata. Gerak substansi tidak meniscayakan perubahan. ''Dahulu, sebelum
Tuhan menciptakan apapun, Tuhan demikian. Kini, setelah Tuhan
menciptakan semua ini, dan setelah semua ini berakhir, Tuhan tetap
demikian' Kalimat murid Bayazid Bistami sejauh yang dapat saya ingat itu
mensinyalkan hal substansial tidak berubah. Perubahan memang senyatanya
pergerakan menuju ke lebih baik. Karena yang substansi adalah sempurna,
maka dia tidak akan berubah. Substansi yang bergerak terus menerus
salah satu dari tak terhingga efeknya adalah aktifnya akal manusia.
Inilah tampaknya yang dimaksudkan dalam Al-Qur'an: ''Setiap saat Dia
dalam kesibukan (QS. 55:29). Segenap isi jagad raya bergantung pada
Substansi itu: ''Allah adalah Tuhan, bergantung padaNya segala sesuatu''
(AS. 112: 2), segala aksiden, bergantung pada substansi. Iqbal bahkan
mengatakan pada dimensi yang dipersepsikan setelah dimensi dunia ini,
manusia tetap juga bergerak karena diakibatkan substansi yak terus
bergerak.
''Dunia ini raksasa energi, tanpa awal, tanpa
akhir, sebuah besaran daya yang kukuh, kuat, Yang tidak membesar atau
mengecil, yang tidak memperluas dirinya sendiri melainkan hanya mengubah
dirinya sendiri; secara keseluruhan...'' (Friedrich Nietzsche). Ucapan
filsuf Jerman itu benar bila diamati dengan baik. untuk dirinya sendiri
perubahan memang tidak berlaku, perubahan hanya berlaku bagi pengamat.
Maksud 'mengubah' beda dengan 'berubah'. 'Berubah' itu menurut pengamat,
sementara 'mengubah' itu menurut subjek sendiri. Maka mengubah ini sama
dengan 'bergerak'.
Bagi subjek, karena itu yang diperlukan
adalah terus bergerak. Gerak ini muncul secara apriori, dia lebih azali
daripada akal itu sendiri. gerak ini adalah keniscayaan. Tegak ini
memunculkan kesadaran (akal) untuk menunjang gerak itu sendiri. Ketika
akal bersama serta, maka muncullah kategori-kategori. Kategori-kategori
ini menjadi barometer menentukan kita berangkat dari kekurang baikan
menuju lebih baik.
Individu punya fitrah yang sama untuk hal
ini, penilaian kekurang baikan dan kebaikan adalah sama sebab dia
berasal dari akal murni. Karena itu, adalah tugas tiap individu
mengingatkan individu yang lain untuk tetap konsisten dalam akal murni
itu sehingga secara bersama kita dapat bergerak membentuk karakter.
Pembentukan karakter penting menurut Kant. Bagi Kant, banyak hal
noumena yang tidak terjangkau akal praktis, akal praktis hanya mempu
menundukkan segilintir. Substansi tidak terjangkau akal. ''Bila kamu
ditanya tentang Ruh, katakan 'Ruh dari urusan Tuhanku', dan tidak
diberikan kamu pengetahuan kecuali sedikit'' (QS. Al-Isra': 85). Hal-hal
yang tidak terjangkau akal dapat diapresiasi melalui prilaku. Karena
itu, Kant meminta sepaya etika dilepaskan dari segala
kecenderungan-kacenderungan hal-hal yang tunduk (terpersersi) oleh akal.
Kesadaran murni perlu ditanamkan sejak dini supaya
kesadaran itu muncul. Kesadaran disini tidak cukup sebatas mengada
Heideggar, tetapi kesadaran akan adanya Sang Ada yang menyebabkan kita
mengada sangat perlu. Kesadaran seperti ini membuat kita paham bahwa
kita tidak boleh berhenti bergerak walaupun sejenak. Kesadaran seperti
ini juga penting agar kita sadar bahwa Sang Ada itu bukan objek kita,
tapi kita hanya segelintir manivestasi dari gerak substansial Sang Ada.
Kesadaran Ada-nya Heidegger tampaknya tetap saja antroposentris.
Sebagai individu dan masyarakat, gerak kita adalah membentuk
karakter sebagaimana disebutkan di atas. Jalan yang kita tempuh adalah
melalui pembentukan intelek yang berisi, memiliki keahlian menguasai
hukum berfikir benar dan tepat menurut kaidah fitrah intelek. Membentuk
intelek yang demikian adalah perlu sebab kesadaran itu, saat kita telah
berada pada ruang dan mewaktu, inteleklah yang bertama muncul. Intelek
yang ahli dan berisi dapat mengantar pada kepekaan yang tinggi yang
dengan itu membentuk rasa. Rasa ini diapresiasi melalui etika murni,
etika yang tidak berbatas pada sebab akibat semata, tetapi melampaui
hukum buatan akal.
Bila ini diterapkan secara sadar dan baik,
maka noumena itu akan berinteraksi dengan kita walau akal tidak mampu
menjelaskan. Spiritualitas akan menyatu dengan kita. Inilah harapan
kita. Kebersatuan spiritualitas dengan diri secara langsung melahirkan
karakter yang cerdas emosionalnya. Inilah harapan kita. Dan bila ini
terwujudkan, kita telah mengikuti hukum gerak substansial. Pengingkaran
terhadap hukum gerak substansiallah yang menyebabkan kerutuhan moral
individu dan kehancuran sebuah peradaban. Pencapaian hukum
geraksubstansial baru tercapai bila kita melaksanakannya secara
kolektif. Oleh sebab itu pembentukannya harus dimulai dari membentuk
karakter masyarakat intelektual.
Adapun konsentrasi
masyarakat intelektual yang cerdas emosional dan cerdas spiritual adalah
melalui advokasi media informasi. Kita telah menguraikan setumpuk
persoalan kebangsaan, salah satunya adalah kebablasan media dan
penggringan opini untuk kepentingan kapital segelintir kalangan.
Koordinator Pusat Brigade PII dikonsenterasikan menjadi badan otonom PII
yang mampu membentuk Kader PIi yang mampu merespon media massa secara
bijak demi menyelamatkan bangsa dapi penggiringan opini ke arah yang
telah kita ketahui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar